Cara menulis puisi sebetulnya sangatlah sederhana, akan tetapi terkadang terlalu banyak yang mempersulit dirinya sendiri di dalam prosesnya. Sebagai produk seni lainnya, puisi mendapatkan stigma bahwa yang mampu menulis puisi baik hanyalah orang-orang tertentu saja, katakanlah seseorang yang terlahir dengan bakat untuk menjadi pujangga. Padahal, kenyataannya kita dapat memetakan berbagai aspek yang membuat suatu puisi menjadi bagus atau indah. Berbagai teori mengenai keberadaannya itu telah dipetakan melalui ilmu pengetahuan kesusastraan sejak lama. Namun pernyataan “menulis puisi itu sangatlah mudah” tentunya mengandung banyak catatan pula. Menulis puisi itu sangat mudah, tetapi menelurkan karya dengan kualitas mahakarya sangatlah sulit. Meskipun begitu, kita dapat menulis puisi yang baik dan relatif cukup indah terutama untuk konsumsi khalayak dengan cara yang cukup mudah. Saat kita telah terbiasa produktif menciptakan karya puisi yang katakanlah “biasa-biasa” saja, maka dengan sendirinya suatu kualitas mahakarya akan bertelur dengan sendirinya. Hal tersebut karena jam terbang tidak akan pernah berbohong dengan hasilnya. Bahkan bisa jadi kita tidak sadar saat menciptakan karya yang biasa-biasa saja, sebenarnya kita telah menciptakan karya yang luar biasa. Harus saya tekankan terlebih dahulu bahwa sejatinya tidak ada cara menulis puisi yang benar. Puisi merupakan karya seni murni yang seharusnya membebaskan. Dengan demikian, proses kreatifnya juga seharusnya amatlah bebas. Namun bukan berarti tidak ada langkah atau tips dan trik yang membantu meringankan beban pekerjaan menulis puisi. Beberapa teknik, langkah atau tips ini mungkin seakan mengurangi kebebasan kita saat berkarya, namun percayalah, sebetulnya tidak! Permasalahannya adalah menulis puisi akan sangat menyita pikiran kita dalam hal rumit yang sebetulnya diciptakan oleh diri kita sendiri ketika kita memosisikan diri menjadi seorang pujangga. Puisi memang produk kreatif dan menggunakan imajinasi sebagai alat utama untuk menciptakannya. Namun bukan berarti kita tidak dapat menggunakan sains untuk mengakalinya. Inilah mengapa seni dan sains adalah kombinasi kajian ilmu yang mematikan terutama dalam mengarungi industri kreatif. Pertama, saya ingin memberikan gambaran sebetulnya bagaimana suatu puisi akan dinilai. Terutama dalam suatu perlombaan. Mengapa? Karena terdapat banyak gelagat petunjuk untuk menciptakan maha karya yang besar di dalamnya. Kalaupun tidak, setidaknya terdapat jalan menuju juara lomba di dalamnya. Menulis puisi untuk lomba berarti menulis sesuatu yang diinginkan atau didambakan oleh panitia, juri, dan lomba tersebut. Terdengar sedikit picik? Ya. Bukankah berkarya seharusnya adalah sesuatu yang bajik dan dilakukan dengan hati, jawabannya adalah iya juga. Namun dalam proses pembiasaan diri untuk mampu berkarya dengan baik terkadang hal picik seperti ini justru harus dilakukan. Mengapa? Untuk melatih dan mengukur kemampuan kita terhadap standar tertentu. Bayaran termahal dalam kebebasan seni adalah buta akan patokan atau standarisasi produk seni yang bermutu itu seperti apa. Hal ini banyak menyebabkan seniman menjadi seniman medioker yang bahkan mereka sendiri tidak menyadarinya. Jika kita terus melihat seni sebagai hal yang relatif, maka tidak akan ada seni yang bagus, semua lukisan itu bagus, semua puisi itu indah, dan bahkan seni yang tidak menyenangkan sekali pun adalah karya yang layak untuk dipamerkan. Bisa jadi kita melakukannya, tapi dalam proses pembelajarannya, tidak mungkin. Sementara itu, jika kita secara objektif mengejar suatu target atau indikator yang diinginkan oleh suatu institusi yang membesarkan dunianya, maka kita akan jauh lebih fokus dan tahu harus berbuat apa, tahu harus menulis seperti apa agar suatu karya yang kita ciptakan diterima oleh orang-orang atau institusi yang berkaitan. Dalam dunia kompetisi (olahraga atau e-sport) hal seperti ini biasa disebut dengan objective gaming. Ini adalah urusan untuk memenangkan pertandingan, bukan masalah kita menggocek bola dengan cakap lalu mencetak gol yang cantik dari kejauhan, lupakan bahwa kita mencintai bola (untuk sementara). Setiap perlombaan yang diselenggarakan dengan serius akan memiliki semacam format penilaian menulis puisi yang biasa disebut dengan rubrik penilaian. Rubrik ini berisi berbagai aspek penilaian yang dalam penilaian menulis puisi, biasanya mencakup unsur batin dan unsur fisik seperti:
Ini adalah kunci kemenangan kita dalam lomba atau dalam menulis puisi yang dianggap baik, bagus, atau indah. Berikut ini adalah contoh penilaian yang dilakukan melalui rubrik penilaian menulis puisi.
Seandainya karya kita tidak memuat salah satu unsur batin atau fisik puisi, dapat ditebak apa yang akan terjadi bukan? Penilai, baik itu kritikus, guru, dosen, atau juri lomba akan memberikan nilai 0-25 saja. Maka dari itu salah satu cara yang paling mudah untuk menciptakan puisi yang baik adalah dengan memastikan seluruh unsur fisik dan batin puisi ada dalam karya yang kita ciptakan. Setelah itu baru kita bicarakan perihal kualitas dari masing-masing unsur. Jangan lupa bahwa kelima unsur di atas hanyalah contoh saja. Untuk mengetahui berbagai unsur fisik dan unsur batin puisi yang ada dapat dilihat pada artikel di bawah ini:
Melalui pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, secara objektif kita dapat melakukan beberapa langkah & teknik untuk menulis puisi dengan baik, yakni sebagai berikut.
Berikut adalah beberapa tips menulis puisi yang dihimpun berdasarkan kesalahan umum yang biasanya dilakukan oleh seseorang saat menulis puisi.
PenutupPenilaian semacam rubrik penilaian menulis seperti di atas tidaklah sempurna. Tetapi, penilaian semacam itu jauh lebih baik jika dibandingkan penilaian “bagus atau jelek” semata. Karena penilaian itu jauh lebih objektif serta sesuai dengan kaidah evaluasi yang harus valid dan reliable. Apakah kita harus benar-benar mempedulikannya? Lagi-lagi, bukankah puisi itu seharusnya sesuatu yang bajik, agung, dan memberikan kebebasan berekspresi baik kepada penyair maupun pembacanya? Ya dan tidak. Ya, karena pada akhirnya kita harus mampu mendobrak berbagai penilaian konvensional yang akan menjebak ekspresi dalam suatu zona penilaian yang sama. Tidak, karena bagaimana kita tahu bahwa kita telah keluar dari zona penilaian yang sama jika kita tidak mengetahui zona sebelumnya itu seperti apa? Jauh lebih menyedihkan ketika kita merasa telah keluar dari kotak padahal masih berada dalam kotak yang sma hanya karena kita tidak pernah benar-benar tahu di mana batas kotak sebelumnya. Sebagai catatan akhir, tidak ada referensi atau daftar pustaka dalam artikel kali ini karena semua yang ditulis di sini adalah murni curahan pemikiran penulis. Penulis yang mungkin bukan seorang penyair, namun penikmat sastra yang antusias dan rindu akan karya-karya sastra baru yang menggemparkan. |