Tantangan paling penting dalam ekonomi internasional yang dihadapi dunia saat ini

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki lima tantangan utama di industri perdagangan global. Tantangan tersebut muncul di tengah pandemi Corona yang belum ketahuan ujungnya ini. 

Kasubdit Agro Direktorat Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Mila Karmila Bishry menjelaskan, tantangan pertama adalah perubahan perilaku konsumen dan pola perdagangan global. Mengingat pandemi ini membuat sikap konsumen lebih selektif akan keamanan pangan dan higienitas menjadi prioritas. Serta, pandemi ini juga membuat sistem perdagangan harus bertransformasi dalam ekosistem digital.

Kedua, proteksionisme perdagangan dan meningkatnya hambatan perdagangan. Diantaranya pemberlakuan tarif oleh negara mitra dagang, kewajiban lisensi impor dari negara mitra dagang, dan sustainable issues (yang mana produk ekspor harus bersifat ramah lingkungan).

"Di tengah pandemi ini, perdagangan global juga diwarnai aksi proteksionisme antar mitra dagang. Ini akan menjadi tantangan yang harus dicarikan solusinya," jelas dia dalam webinar bersama Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) via Zoom, Kamis (13/8/2020).

Kemudian, perundingan kerja sama perdagangan menjadi sulit diselesaikan. Padahal adanya perundingan yang baik memungkinkan untuk meningkatkan arus investasi, membuka pasar untuk produk baru, dan mengurangi hambatan perdagangan baik berupa eliminasi tarif atau pengurangan hambatan non tariff.

Keempat, potensi defisit dan resesi ekonomi, mengingat telah banyak negara maju di berbagai benua yang mengumumkan masuk jurang resesi pada tahun ini. Pun, perang dagang antara China dan Amerika Serikat kian memanas.

"Kondisi ini bagian dari fokus kita, untuk juga melihat sistem politik dunia. Nantinya jangan sampai membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit," ucapnya.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Tantangan paling penting dalam ekonomi internasional yang dihadapi dunia saat ini
Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and – kj/ones

Nilai tambah ekonomi di sektor pertanian dan manufaktur mesti ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekspor.

JAKARTA – Pemerintah diminta mencermati kondisi ekonomi global yang masih diselimuti ketidakpastian, sehingga berpotensi mempe­ngaruhi kinerja ekonomi Indonesia. Paling ti­dak ada empat tantangan yang perlu diwaspa­dai pada tahun ini.

Pertama, kenaikan suku bunga Bank Sen­tral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Kedua, perang dagang AS-Tiongkok yang mengakibat­kan penyusutan perdagangan global. Ketiga, ancaman perlambatan ekonomi Tiongkok. Ke­empat, tren kenaikan harga minyak dan gejolak harga komoditas.

Hal itu diungkapkan oleh ekonom senior, Faisal Basri, di Jakarta, Rabu (13/2). “Di 2020 akan lebih besar (tantangannya), karena tan­da-tanda semakin banyak walau belum signifi­kan ancaman krisis di AS. Ekonomi AS ada per­lambatan sampai 2020, ini juga dampak dari government shutdown,” lanjut Faisal.

Terkait dengan ekonomi Tiongkok, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pro­yeksi pertumbuhan Tiongkok dari 6,6 persen menjadi 6,2 persen di 2019. Ini merupakan per­tumbuhan ekonomi paling lemah sejak 1990. Otomatis, pertumbuhan ekonomi global akan terkena dampak perlambatan tersebut.

“Pertumbuhan ekonomi di 2019 masih akan lumayan walau tren dunia menurun dibanding 2018. IMF dua kali menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 per­sen dan akhirnya 3,5,” tutur Faisal.

Dia menambahkan faktor keempat yang juga harus diantisipasi adalah kecenderungan harga minyak dunia yang kembali merangkak ke level 60–80 dollar AS per barel dan harga komoditas yang masih rentan bergejolak.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indo­nesia Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengemukakan hal senada. Menurut dia, perlambatan perdagangan global pada 2019 berpeluang terjadi akibat perang dagang yang mengganjal ekonomi Tiongkok dan AS. Se­lain itu, potensi penurunan harga komoditas dan pembatasan impor komoditas di bebera­pa negara, khususnya terkait dengan kebijak­an ramah lingkungan yang melarang penggu­naan sawit dan batu bara. “Hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja perdagangan Indone­sia, khususnya di sektor nonmigas,” papar dia. (Lihat infografis)

Rachmi menambahkan, dalam merespons perekonomian global hari ini, pemerintah telah menyusun beberapa strategi prioritas dalam RKP 2019 guna meningkatkan daya saing indus­tri nasional. Salah satunya adalah kebijakan yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, industri pengolahan, dan jasa produktif seperti sektor pariwisata dan perdagangan elektronik atau e-commerce.

IGJ menilai, pembukaan pasar-pasar baru yang ditargetkan oleh pemerintah masih belum terlihat hasilnya. Apalagi, beberapa perundingan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) bilateral yang dilakukan belum juga dapat diselesaikan, sehingga efek positif yang diharapkan belum da­pat diimplementasikan dalam jangka pendek.

Dalam konteks penguatan industri hilir, lanjut Rachmi, pada tahun ini pemerintah me­nyusun program prioritas untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi di sektor pertanian dan industri manufaktur dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor.

“Strategi ini teramat penting untuk mem­perkuat peran Indonesia dalam agenda Global Value Chain sehingga tidak hanya ditarget se­bagai pasar,” tukas dia.

Pelemahan Rupiah

Meyinggung soal nilai tukar, Faisal mengingat­kan selama neraca transaksi berjalan masih terus defisit, maka “hantu” pelemahan rupiah masih akan terjadi. “Rupiah saat ini kembali ke level 14.000 rupiah per dollar AS. Sedikit menguat. Tapi secara teori dan historis akan melemah karena current account deficit (CAD),” kata dia.

Pada 2018, CAD Indonesia mencapai 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar 31,1 miliar dollar AS.

Faisal menjelaskan transaksi berjalan ter­diri atas ekspor-impor yang terjadi setiap hari, sedangkan rupiah sangat mengandalkan ke­kuatan modal asing yang masuk.

“Rupiah akan menguat sustainable jika CAD turun dan capital inflow naik, terutama FDI (Foreign Direct Investment),” tutur dia.

Menurut Faisal, yang terjadi saat ini, CAD tersebut bukan sepenuhnya terkait defisit nera­ca migas. Sebenarnya penyebab defisit adalah anjloknya ekspor nonmigas. “Yang meningkat impor nonmigas yang dahsyat. Gula saja kita impor, garam juga, beras juga impor,” tukas dia. ahm/WP

Sumber >>>http://www.koran-jakarta.com/perlu-antisipasi-4-tantangan-ekonomi-global/

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memetakan beberapa tantangan ekonomi global yang perlu diwaspadai Indonesia. Tantangan tersebut perlu diwaspadai supaya tidak mengganggu perekonomian dalam negeri.

Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan ekonomi secara global di tahun 2018 bisa mencapai 3,6%. Prediksi itu lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sudah direvisi menjadi 3,5%, dari sebelumnya 3,7%.

Kuatnya pertumbuhan ekonomi global tahun depan didorong oleh perekonomian negara maju, terutama Amerika Serikat.  Hal itu berdampak pada volume perdagangan internasional yang mulai membaik dibandingkan sebelumnya.

Perbaikan ekonomi Amerika Serikat ini tentu menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara eksportir. ”Kita akan memiliki  kesempatan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang didorong dari mesin ekspor ini,” kata dia di Jakarta, Rabu (29/11).

Meski begitu, Sri Mulyani juga tetap mengantisipasi adanya tantangan yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi secara global. Pertama, adalah kondisi politik di beberapa negara. Tahun 2017, banyak sekali yang menggunakan isu nasionalisme untuk memenangkan pemilihan umum (pemilu). Hal ini tentu akan berpengaruh pada kebijakan perdagangan yang cenderung protektif.

Faktor kedua yang bisa mempengaruhi ekonomi dunia adalah kebijakan moneter negara maju, khususnya Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok dan bahkan Eropa. Apalagi Bank Sentral Amerika Serikat mulai melakukan normalisasi.

Advertising

Advertising

Dengan kebijakan normalisasi itu artinya, jumlah uang beredar akan menurun dan suku bunga akan meningkat. “Banyak negara berkembang harus siap-siap hadapi kecenderungan suku bunga global yang relatif tinggi,” kata Sri Mulyani.

Ketiga, kondisi geopolitik. Yang perlu diperhatikan adalah memanasnya kondisi Korea Utara. Selain itu juga kondisi internal Arab Saudi, serta hubungan dengan Iran dan negara lainnya. Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi harga minyak atau emas yang sering dipakai untuk berjaga-jaga ketika situasi mengalami ketidakpastian.

(Baca: Kenaikan Harga Minyak Dapat Perkecil Defisit Anggaran Negara)

Keempat adalah perubahan iklim yang bisa menimbulkan bencana. Kelima, tantangan perubahan teknologi yang bisa berdampak pada tenaga kerja dan produktivitas. “Ini kesempatan yang apabila kita tidak sikapi akan bisa jadi tantangan terhadap pemulihan ekonomi dunia,” ujar dia.