Loading Preview Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Dr Sutomo, salah satu tokoh ISCSebelumnya Selanjutnya
Pada awalnya merupakan sebuah perkumpulan kaum terpelajar yang bekerja di Surabaya saja, kemudian mempunyai pengaruh cukup luas. Satu tahun setelah berdiri, mengadakan Interinsulaire Vag atau Hari Nusantara di Surabaya, yang merupakan pertemuan besar antara berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Madura, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dll. Tujuan utamanya adalah menyebarluaskan prinsip-prinsip persatuan dan solidaritas Indonesia. Dr. Sutomo adalah perintis Indonesische Studie Club. Rapat pembentukan organisasi ini diadakan di rumah RM Hariyo Suroyo di Jl. Sudirman No 35 Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 25 orang cendekiawan, antara lain Sunaryo, Sunyoto, Mr. Kusnun, dr. Saleh, serta beberapa orang Belanda, ternyata organisasi ini tampak begitu Jawa Sentris bagi Sutomo, maka untuk mempertegas idenya tentang Indonesische Vereniging, pada 1925 Sutomo keluar dari Budi Utomo. Indonesische Studiedub mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, pengetahuan politik, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama untuk membangun Indonesia. Kelompok studi ini merupakan usaha nyata bekas anggota-anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang kembali ke tanah air untuk merealisasikan ide-ide mereka tentang pembangunan Indonesia, yang telah terbentuk dan berkembang ketika mereka masih aktif dalam organisasi PI di Negeri Belanda. Terbentuknya Indonesische Studiedub ini merangsang dibentuknya kelompok-kelompok studi di tempat lain, seperti di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Solo. Selain ISC, kelompok studi yang paling aktif adalah Algemene Studiclub di Bandung. Di bidang penerbitan, ISC menerbitkan sebuah majalah yang bernama Sulah Indonesia. Majalah ini kemudian disatukan dengan majalah Algemene Sudieclab di Bandung dengan nama Sulah Indonesia Muda. Pada saat ISC mempropagandakan persatuan Indonesia, kehidupan rakyat Indonesia sedang sangat tertekan. Politik penghematan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1920-an ternyata mempunyai pengaruh buruk terhadap kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti ini Indonesische Studieclub juga melakukan kegiatan sosial-ekonomi yang bertujuan untuk meringankan penderitaan rakyat. Asrama-asrama pelajar didirikan, Vrouwenhuis (Wisma Wanita) juga didirikan guna menampung wanita-wanita tuna susila untuk diberi ketrampilan sebagai bekal mencari nafkah yang halal. Sekolah pertenunan diselenggarakan. Selain itu, pada bulan Maret 1926 Bank Bumiputra didirikan. Karena keberhasilan bank ini, pada kongres PPPKl (federasi organisasi pergerakan tempat ISC juga ikut bergabung) bulan September 1928, Bank Bumiputra kemudian diubah menjadi Bank Nasional Indonesia. ISC merintis pula berdirinya koperasi, baik koperasi konsumsi maupun koperasi produksi. Atas usaha organisasi ini, koperasi-koperasi kecil yang ada dihimpun dalam Persatuan Koperasi Indonesia (pCI). Pada tanggal 16 Oktober 1930, ISC mengadakan reorganisasi, dan mengubah namanya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Latar belakang reorganisasi ini adalah tekanan yang makin kuat dari pihak pemerintah Hindia Belanda terhadap organisasi-organisasi non-kooperatif dan kesadaran akan kebangsaan semakin kuat. Anggaran dasar organisasi diubah, sehingga anggota organisasi tidak lagi terbatas pada kaum terpelajar, tetapi juga kepada masyarakat umum. Dalam anggaran dasar dicanturnkan pula bahwa PBI bertujuan mencapai kebahagiaan yang sempurna bagi tanah air dan rakyat Indonesia atas dasar nasionalisme Indonesia. PBI berpendapat rakyat Indonesia telah sadar akan kedudukanya dan mempunyai hasrat kuat memperbaiki kedudukanya. Program kerja PBI sendiri menekankan pemberian perlindungan, penerangan, dan pimpinan. Pada tahun 1935, bersama-sama dengan Budi Utomo yang lebih dahulu membubarkan diri PBI menjelma menjadi Partai Indonesia Raya (parindra) dengan dr. Sutomo sebagai ketuanya. Ruang tahanan yang dipakai pemerintah Belanda untuk memenjara Soekarno. Kini ruang tahanan tersebut menjadi situs sejarah di Jalan Banceuy, Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com) BANDUNG, bandungkiwari – Bulan Juni disebut juga bulannya Soekarno. Di bulan ini Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara dilahirkan, bulan ini juga bulan kelahirannya sang Proklamator. Soekarno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Di masa mudanya, Soekarno berkegiatan di banyak tempat, salah satunya di Bandung. Pada 1921, dia kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeang (kini Institut Teknologi Bandung). Selama kuliah, murid HOS Tjokroaminoto itu aktif dalam sejumlah organisasi pergerakan nasional. Bandung sendiri menjadi salah satu basis pergerakan Hindia Belanda di awal abad ke-20. Pemerhati sejarah Bandung, M Rizky Wiryawan, menyebut sejumlah organisasi yang dicap radikal dan eksremis oleh Belanda yang tumbuh di Bandung antara lain, Boedi Utomo, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij (Partai Hindia), Paguyuban Pasundan, Algemeene Studie Club dan lain-lain. Seringkali orang-orang dari organisasi tersebut saling beririsan atau berjaringan satu sama lain. Nah, 4 Juli 1927 Soekarno muda menjadi salah satu pendiri Algemeene Studie Club atau organisasi belajar. Organisasi belajar di zaman kolonialisme tentu berbeda maknanya dengan organisasi belajar di masa kini. Karena belajar di masa kolonial mengandung arti perlawanan. Algemeene Studie Club nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno. Menurut M Rizky Wiryawan, Algemeene Studie Club Bandung merupakan perkumpulan yang membicarakan berbagai isu khususnya politik masa penjajahan. Selain di Bandung, Algemeene Studie Club juga terdapat di Surabaya. Malah kedua klub ini sempat akan disatukan. “Ini sempat mau digabung dengan Algemeene Studie Club Surabaya dan Bandung, tapi tidak pernah jalan. Bandung dipimpinan Soekarno, ini nanti bikin PNI. Orang-orangnya hampir sama antara Algemeene Studie Club dan PNI,” terang M Rizky Wiryawan, saat berbincang dengan Bandungkiwari.com. Salah satu tempat yang dijadikan Algemeene Studie Club berkumpul ialah Ons Genoegen, warga lokal menyebutnya gedong tonil karena biasa dipakai tempat pertunjukkan tonil atau teater. Kini Ons Genoegen berubah nama menjadi Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), gedungnya masih berdiri di Jalan Naripan-Braga. Soekarno melalui Algemeene Studie Club-nya kemudian mendirikan PNI. Partai ini mendapat simpatik rakyat. Rakyat melihat harapan besar bahwa PNI mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Namun di mata pemerintah Belanda, PNI justru gerakan radikal yang berbahaya. Di sisi lain, organisasi pergerakan lainnya di Bandung justru mengalami pasang surut. “Setelah 1926, kekuatan di Bandung yang maju itu PNI,” kata M Rizky Wiryawan. Selanjutnya sebagaimana dicatat sejarah, pemerintah Belanda menyatakan PNI sebagai partai terlarang. Belanda menangkap Soekarno dan menjebloskannya ke penjara Banceuy untuk diadili digedung Landraad dengan tuduhan makar. Baik penjara Banceuy maupun gedung Landraad, kini ditetapkan sebagai situs budaya yang dilindungi. Gedung Landraad namanya menjadi Gedung Indonesia Mengguggat. Di gedung ini, Soekarno membacakan pledionya berjudul Indonesia Mengguggat. Namun pledoi itu ditolak. Soekarno kemudian dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Rizky melihat di zaman pergerakan nasional terdapat ciri khas yang relevan untuk kondisi kekinian. Menurutnya, usia para tokoh pergerakan dahulu rata-rata masih muda, antara 20 tahun—bahkan kurang—hingga 30 tahunan. Bahkan Soekarno ketika mendirikan PNI baru berusia 25 tahun. “Bahwa tak bisa dipisahkan, anak muda tak bisa tidak melek dari politik, saat usia muda itulah idealisme masih tinggi harus dimanfaatkan dalam kegiatan organisasi terutama yang memberi sumbangsih bagi masyarakatnya,” kata Rizky. Pegiat komunitas pecinta sejarah Aleut yang juga penulis buku “Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung”itu menambahkan, memaknai sejarah anak muda masa lalu bukan berarti meniru total pola pergerakan mereka. Ia berharap anak muda zaman sekarang mau memaknai sejarah dan memetik nilainya untuk kemudian disalurkan dalam kegiatan yang bermanfaat bagi orang banyak. Contohnya, anak muda yang kini punya kesempatan kuliah, tentu memiliki peluang untuk mengabdi kepada masyarakat. “Tak hanya kuliah berkutat dengan buku tapi terjun langsung ke masyarakat. Karena usia muda ini waktunya untuk berkecimpung, kalau suda tua susah. Di zaman pergerakan pun digerakkan anak muda. Maka semangatnya tidak boleh mati,” ungkap dosen AMIK & STIBANKS Al Ma’soem yang juga lulusan Administrasi Negara Unpad (S1) dan Studi Pembangunan ITB (S2). (Iman Herdiana) |