Siapa yang mengusulkan sila pertama pada Piagam Jakarta?

tirto.id - Kamis malam, 16 Agustus 1945, Mohammad Hatta baru pulang dari Rengasdengklok. Ia harus begadang dan sahur di rumah Laksamana Maeda. Hatta dan Sukarno harus merampungkan naskah Proklamasi. Sesudahnya Hatta sahur dengan roti, telur, dan sarden. Setelah pulang sebentar, pagi hari 17 Agustus, ia berdiri di samping Sukarno untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Namun, situasi di masa revolusi itu tak bikin jenak. Baru tadi pagi Proklamasi dibacakan, Hatta mesti menghadapi situasi pelik yang bisa bikin negara baru ini terancam cerai.

Sore itu, 17 Agustus, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), ia kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di Indonesia, Kaigun berkuasa di wilayah Indonesia timur plus Kalimantan.

“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Kalimat itu bagian dari kesepakatan yang disusun oleh Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 22 Juni 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tujuh kata itu sensitif serta dianggap menusuk hati orang-orang Indonesia nonmuslim.

Siapa yang mengusulkan sila pertama pada Piagam Jakarta?

“Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain [….] kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan...,” protes Johannes Latuharhary, dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni (1981).

Meski golongan Islam mengakui kalimat itu tidak mengikat warga nonmuslim, dan hanya ditujukan kepada rakyat beragama Islam, tetapi bagi Hatta, “tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka (yang) golongan minoritas.”

Ancamannya sangat serius, tulis Hatta. “Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”

Hanya salah satu anggota Panitia Sembilan beragama Kristen; ia adalah A.A. Maramis. Sisanya beragama Islam, dan empat di antaranya mendaku sekuler: Sukarno, Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim.

“Mr. Maramis, yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa, dan pada 22 Juni, ia ikut menandatangannya [...] mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90 persen jumlahnya, dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi,” pandangan Hatta mengenai Maramis.

Namun, tetap saja, di mata Hatta, “Pembukaan Undang-undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecuali.”

Menurut H. Endang Saifuddin Anshari, yang berlatar belakang aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, “Kesembilan penandatangan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh representatif mencerminkan alam dan aliran pikiran dalam masyarakat Indonesia.”

Esok harinya, 18 Agustus—tepat hari ke-10 bulan Ramadan 1364 H, Kasman Singodimedjo diminta Sukarno datang untuk membicarakan masalah itu dengan Hatta dan beberapa tokoh lain. Kasman adalah tokoh Islam dari Muhammadiyah.

Dalam buku tentang dirinya, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982), Kasman berkata bahwa bukan Sukarno yang pagi itu datang untuk bicara dengan dia. Melainkan Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan.

Siapa yang mengusulkan sila pertama pada Piagam Jakarta?

Sukarno tak muncul, menurut Kasman, karena “merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikoesoemo (Ketua Muhammadiyah) dan kawan-kawannya.” Jadi, Sukarno diwakili Mr. Hasan ke gelanggang lobbying.

Menurut Dwi Purwoko dalam Dr. Mr. T.H. Moehammad Hasan (1995), “Teuku Mohammad Hasan diundang karena kehidupan keagamaannya serta hubungan baiknya denga kalangan Islam.”

Tak lama setelah Kasman datang, sebelum Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Hatta dan beberapa tokoh Islam melakukan pembicaraan terbatas. Hatta mengajak “Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu.”

“Ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata termaksud [….] tetapi saya pun tidak dapat memungkiri untuk menghilangkan, (karena) adanya situasi darurat dan terjepit sekali itu,” ujar Kasman dalam bukunya, lebih dari tiga dekade sesudahnya.

Meski alot, setelah rapat selama 15 menit, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus. Alasan dominan: Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakawan kawasan Indonesia timur.

“Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap PPKI dengan suara bulat. Sesudah itu dipersoalkan Undang-undang Dasar yang seluruhnya, dengan mengadakan sedikit perubahan sana-sini yang tidak prinsipil,” tulis Hatta.

Ancaman tentara Sekutu kala itu membuat Kasman setuju sila pertama itu diubah. Sebagai perwira PETA, Kasman sadar bahwa kekuatan persenjataan Indonesia tidak mumpuni menghadapi Sekutu. Pisahnya Indonesia timur sama saja memperlemah Republik Indonesia yang baru berumur sehari.

Perubahan pada sila pertama itu, seperti yang kita kenal sekarang, berbunyi: Ketuhanan yang Maha Esa. Ia menjadi landasan pokok untuk seterusnya bagi Republik Indonesia.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juni 2017 dan merupakan bagian dari laporan mendalam tentang Piagam Jakarta. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PIAGAM JAKARTA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/fhr)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri SalamIvan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarahnya mengalami dinamika dalam apa yang disebut 'Piagam Jakarta'. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang otentik disebut bersumber pada Piagam Jakarta.  

Lahirnya Piagam Jakarta itu merupakan kesepakatan dari perdebatan antara kalangan nasionalis dan Islam. Sebagai persiapan membentuk sebuah negara Indonesia yang merdeka, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945.

BPUPKI dibentuk untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Salah satu yang dibahas dalam rapat-rapat penting badan ini adalah menyangkut landasan filosofis negara yang hendak didirikan.

Pada sidang pertama, muncul kelompok yang memilih kebangsaan sebagai dasar negara yang memisahkan unsur agama dan negara, dan kelompok yang memilih Islam sebagai dasar negara.

Mengutip buku berjudul "Piagam Jakarta" oleh Linda Asy-Syifa, disebutkan bahwa Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Muhammad Yamin tidak memuat satu pun pidato para anggota nasionalis Islam. Pidato yang dimuat hanyalah tiga, yakni pidato Soekarno, Yamin dan Soepomo. 

Sementara itu, BPUPKI juga merumuskan bentuk pemerintahan melalui pemungutan suara. Terdapat 45 suara pemilih dasar negara kebangsaan, dan 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara.

Untuk mengakomodasi kepentingan kelompok nasionalis dan Islam itu, dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang untuk menyelenggarakan tugas tersebut.

Sembilan orang itu di antaranya, Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin.

Akhirnya, rumusan teks proklamasi yang dirancang  Panitia Sembilan ini kemudian disetujui pada 22 Juni 1945, yang diberi nama 'Piagam Jakarta'. Nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan Moh Yamin. 

Perumusan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta itu salah satunya memuat sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang diikuti kalimat yang berbunyi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Soekarno kemudian membacakan Piagam Jakarta tersebut pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI.

Sehari setelah pidato Soekarno itu, seorang Protestan anggota BPUPKI bernama Latuharhary menyatakan keberatan langsung atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta.

Beberapa orang anggota BPUPKI yang keberatan juga termasuk Wongsonegoro dan Hosein Djajadiningrat. Sementara Agus Salim melihatnya secara netral, walaupun cenderung mendukung Piagam Jakarta. 

Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul "Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman", menuliskan bahwa rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama.

Mengutip Slamet Sutrisno dalam buku berjudul "Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah" disebutkan, bahwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sehingga menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 itu terjadi dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'  

Sebelumnya pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti.

Penghapusan 'tujuh kata' dalam sila pertama Piagam Jakarta itu disebabkan adanya desakan dari anggota PPKI asal bagian Timur Indonesia. Jika 'tujuh kata' itu dicantumkan, pihak Kristen dari Indonesia bagian timur tidak mau bersatu dengan RI yang baru saja diproklamasikan. Wakil Indonesia Timur menilai kata-kata itu terkesan diskriminatif terhadap golongan minoritas.

Bung Hatta mengatakan, bahwa desakan itu disampaikan oleh seorang Jepang yang merupakan pembantu pribadi Laksamana Maeda, Nizijima, pada 17 Agustus 1945, sebelum memimpin rapat PPKI keesokan harinya. 

Menurut Hatta, utusan Kaigun (Angkatan Laut) mengatakan kepadanya bahwa wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan laut Jepang keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 dalam Piagam Jakarta. Kalimat itu dinilai tidak mengikat mereka, dan hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.  

Hatta yang memiliki pandangan agar Indonesia tidak terpecah belah dan memilih persatuan lantas memanggil para tokoh golongan Islam untuk merundingkan masalah tersebut pada pagi hari pada 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh itu di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan. 

Dalam sidang di hari yang sama, hasil lobi antara wakil golongan kebangsaan dan Islam menyepakati diubahnya sila pertama Pancasila tersebut. Saat itu, Teuku Moh. Hassan dari Aceh mewakili golongan kebangsaan, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Yogyakarta mewakili golongan Islam, sementara Bung Hatta mendampingi. (Kiki Sakinah)  

Siapa yang mengusulkan sila pertama pada Piagam Jakarta?

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...