Siapa saja yang membawa Islam ke indonesia

KALAU kita bertanya-tanya tentang bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia, berikut ada empat teori yang berkembang menurut para ahli.

Keempat teori itu saling mengemukakan perspektif waktu masuknya Islam, asal negara hingga penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.

Baca juga: Ini Teori Masuknya Agama Hindu dan Budha ke Indonesia

Teori Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Yuk kita kenali dan simak penjelasan tentang empat teori masuknya agama Islam ke Indonesia.

Ada 4 teori yang cukup terkenal dalam menjelaskan masuknya agama Islam ke Indonesia.

1. Teori India (Gujarat)

Teori India atau teori Gujarat menyebutkan agama islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari india muslim (Gujarat) yang berdagang di nusantara pada abad ke-13. Saudagar dari Gujarat yang datang dari Malaka kemudian menjalin relasi dengan orang-orang di wilayah barat di Indonesia, setelah itu terbentuklah sebuah kerajaan Islam yang bernama kerajaan Samudra Pasai.

Selain itu, teori ini juga diperkuat dengan penemuan makam Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh S. Hurgronje dan J. Pijnapel.

Teori ini dicetuskan oleh GWJ. Drewes dan dikembangkan oleh Snouck Hurgronje dan kawan-kawan. Teori india atau teori Gujarat ini juga diyakini oleh sejarawan Indonesia Sucipto Wirjosuprato soal awal mula masuknya islam di Indonesia adalah melalu india (Gujarat).

2. Teori Arab (Mekah)

Selanjutnya ada teori Arab (Mekah) yang menyebutkan Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Mekah) pada masa kekhalifahan. Teori ini didukung oleh J.C. van Leur hingga Buya Hamka atau Abdul Malik Karim Amrullah.

Menurut Buya Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Hamka dalam bukunya berjudul Sejarah Umat Islam (1997) menjelaskan salah satu bukti yang menunjukkan Islam masuk ke Nusantara dari orang-orang Arab.

Teori dan bukti yang dipaparkan Hamka tersebut didukung oleh T.W. Arnold yang menyatakan kaum saudagar dari Arab cukup dominan dalam aktivitas perdagangan ke wilayah Nusantara.

3. Teori Persia (Iran)

Teori yang menyatakan asal mula Islam masuk ke Indonesia dari Negara Persia (yang sekarang bernama Negara Iran) didukung oleh Husen Djadjadiningrat dan Umar Amir Husen.

Abdurrahman Misno dalam Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia (2016) menuliskan, Djajadiningrat berpendapat tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia.

Salah satu contohnya adalah seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Adapula budaya Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatra Barat yang serupa dengan ritual di Persia setiap tanggal 10 Muharam.

Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, aliran Islam di Persia merupakan aliran Islam Syiah sedangkan aliran Islam yang berkembang di Indonesia adalah aliran Sunni. Sehingga teori Persia ini dianggap kurang relevan dengan fakta yang ada.

4. Teori Tiongkok

Ajaran Islam berkembang di Tiongkok pada masa Dinasti Tang (618-905 M) dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash.

Kanton pernah menjadi pusatnya para pendakwah muslim dari Tiongkok. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Tiongkok terjadi pada 713 M. Diyakini, Islam memasuki Nusantara bersamaan migrasi orang-orang Tiongkok ke Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah Sumatra bagian selatan, Palembang, pada 879 atau abad ke-9 M.

Bukti lain adalah banyak pendakwah Islam keturunan Tiongkok yang punya pengaruh besar di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan Kemaharajaan Majapahit pada perjalanan abad ke-13 M. Sebagian dari mereka disebut Wali Songo.

Itulah teori yang terkait masuknya islam di Indonesia. Semoga kalian paham!.(OL-5)

sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina Jakarta

Agama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.

Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai (1270-1524) dan Malaka (1400-1511), serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual.  Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.

Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya (Braginsky 1998). Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka (M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984).

Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.

 Islam dan Kegiatan Perdagangan

Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette (1912). Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman  yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh  M. Naquib al-Attas (1972:33-4) yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.

Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel  dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.

Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa  bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.

Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnya Rihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” (Gibb 1957:273-6).

Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M.  Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia (Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991).

Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan.  Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy (1935), Kern (1937), Bonsquet (1938), Gonda (1952), dan terutama sekali oleh van Leur (1955:100-6) dan Schrieke (1955). Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia.