Oleh. H. Awalluddin Abutari[*] Peran yang sekarang dimainkan oleh lembaga-lembaga resmi dan tidak resmi dalam perlindungan gerakan ilmu pengetahuan di dunia Arab Islam bukanlah fenomena baru dalam sejarah Arab Islam. Perlu diketahui bahwa khulafa dan petinggi kekhalifahan Abbasiah semuanya cinta kepada ilmu dan ilmuwan. Mereka mendukung gerakan ilmu dan ilmuwan dengan menyediakan sarana dan pra sarana yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan ilmu dan kepastia hidup para ilmuan. Khalifah merupakan pelaku-pelaku gerakan ilmu dan sastera sehinggga sebagian dari mereka menjadi ilmua yang ahli di bidang sastra. Para sejarawan sepakat menyatakan bahwa Khalifah Abbasiah II yakni Abu Ja’far Al Manshur (wafat 775 Masehi) sebagai penyedia pasilitas pertama untuk mengembangkan ilmu diantara khulafa Bani Abbasiah. Disamping kesibukannya sebagai kepala Negara beliau tetap menaruh perhatian yang besar pada pengembangan ilmu pengetahuan. Beliau juga termasuk ilmuan yang ahli dalam bidang fikih, filsafat, dan ilmu falak dan juga ahli di bidang sastra. Khalifah Al Manshur adalah khalifah Abbasiah yang menaruh perhatian pada gerakan penerjemahan. Banyak buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Dokter pribadi beliau Georges Bakhtisou yang beragama Kristen Nastarian menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab terutama buku-buku yang berkaitan dengan kedokteran. Patrick menerjemahkan beberapa buku karya Hipocrates dan Jalinus yang berbahasa Yunani kuno. Demikian pula Muhammad Ibrahim Al Qazari menerjemahkan buku Sand Hindia sebagai buku ilmu falak yang paling popular saat itu dari bahasa India ke dalam bahasa Arab. Khalifah Harun Al Rasyid (wafat tahun 809 Masehi) melanjutkan apa yang telah dirintis oleh kakeknya Al Manshur dalam pemeliharaan gerakan ilmu, bahkan dia mengungguli kakeknya dalam ragam dan aneka bentuk gerakan ilmu tersebut. Al Rasyid mendedikasikan dirinya untuk ilmu, sastera dan beliau juga seorang penyair dan perawi. Tidak ada dalam sejarah seorang khalifah karena kecintaannya kepada ilmu lalu ia merantau kecuali Al Rasyid. Dia dan kedua puteranya (Al Amin dan Al Ma’mun) merantau untuk mendengarkan Al Mutha’ dari Imam Syafi’i. Al Rasyid mengumpulkan buku-buku warisan Yunani dan menyimpannya di perpustakaan khusus yang dikenal dengan nama Khazanatulhikmah dan menugaskan tim penerjemah untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Arab. Dia menunjuk Johanes Masweh sebagai seorang sekretaris tim penerjemah dan memberi kewewenangan untuk merekrut sejumlah penerjemah yang cakap. Khalifah Harun Al Rasyid menggelar pertemuan-pertemuan di istananya dengan mengundang ilmuwan besar seperti Al Ashma’i, Al Kasa’i, Sibaweh, Al Waqidi, Abu Ubaidah, Abu Al ‘Atahiah, Abu Yusuf Yaqub, Da’bal, Ibrahim Al Moshuli, puteranya Ishak, dan yang lainnya. Dalam tiap pertemuan berlangsung perdebatan ilmiah dan sastera di bawah perlindungan sang khalifah dan juga dengan partisipasi sebagai peserta debat. Pada masa al_Rasyid ini ditemukan pabrik kertas yang sangat mendukung pengembangan limu pada saat itu. Al Ma’mun dan Baitulhikmah: Sebagaimana diketahui bahwa tatkala Al Ma’mun memangku sebagai khalifah yang menetap di Baghdad, dia membentuk sebuah perkumpulan ilmuwan dan sasterawan untuk selalu berdiskusi dan berdialog. perkumpulan ini mengadakan pertemuan setiap hari Selasa di bawah kordinator sang kahlifah dan dengan keikutsertaannya sebagai peserta diskusi. Mereka melontarkan pendapat-pendapat mereka dengan kebebasan mutlak tanpa ada rasa takut dan cemas, bahkan para ilmuwan dari dunia Islam saling bersaing untuk membangun reputasi ilmiah dan memperoleh penghormatan hadir dalam perkumpulan ini. Pada era Al Ma’mun Baitulhikmah berkembang pesat, walau benih Baitulhikmah sebenarnya berasal dari Khazanatulhikmah yang didirikan oleh bapak beliau. Pada eranya Baitulhikmah menjadi kompleks ilmu dan budaya yang memiliki ruang-ruang khusus untuk terjemah, naskah, penelitian, pembacaan, perdebatan, dan satu perpustakaan yang terbuka untuk umum. Baitulhikmah mengoleksi kekayaan budaya Arab Islam dan budaya asing terutama Yunani, Persia, India, dan Serenia. Melalui surat-menyurat dengan para patrik Romawi, Al Ma’mun mampu memperoleh banyak naskah-naskah warisan Yunani. beliau mengutus para delegasi ilmuwan ke Asia Kecil, Ciprus, dan negeri-negeri Romawi yang lain. Di antara mereka yang diutus adalah Al Hujaj putera Mathar, Johanes Patrick, Johanes Masweh, dan yang lainnya. Mereka mengambil naskah-naskah warisan Yunani dan membawanya ke Baitulhikmah di Baghdad dengan imbalan besar yang diterima orang Romawi. Naskah-naskah itu berkaitan dengan ilmu kedokteran, falak, teknik, dan bidang-bidang ilmu yang lain. Di antara mereka yang mahir menerjemah adalah Hunain bin Ishak, puteranya Ishak, Johanes bin Patrick, Al Hujaj bin Mathar, dan yang lainnya. Khalifah mengeluarkan berani mengeluarkan biaya yang besar untuk penerjemahan naskah-naskah itu. Di samping gaji bulanan yang diterima oleh penerjemah dari Baitulhikmah, mereka juga menerima dana lain seperti Hunain bin Ishak yang menerima hadiah emas dari Al Ma’mun seberat buku yang diterjemahkannya. Berbagai narasumber menyebutkan bahwa Al Ma’mun mengalokasikan satu ruang di istananya untuk Abu Zakaria Al Faraa’ agar dia mendedikasikan diri untuk menyusun sebuah buku tentang ilmu Nahwu dan menugaskan para pelayannya untuk menyiapkan apa yang dibutuhkannya, banyak penulis dikirim oleh Khalifah untuk membantu Al Faraa’ dalam penulisan sehingga ia mampu menyelesaikan buku Al Hudud dalam dua tahun. Banyak para ilmuan pada masa itu sangat sulit ekonomi mereka sampai-sampai mereka harus bertutang, namun ketika khalifah mengetahui hal tersebut beliau membanyar hutang-hutan ilmuan tesebut. Dewan menteri dan kebangkitan ilmu: Bentuk kepedulian dewan menteri terhadap ilmu dan ilmuwan tersebut beragam, Yahya dan puteranya Ja’far mempunyai sebuah majelis ilmu yang dihadiri oleh para ilmuwan dan sasterawan untuk berdialog tentang berbagai bidang ilmu dan pengetahuan, terutama ilmu bahasa dan sastera. Majelis ini dihadiri oleh ilmuwan-ilmuwan terkenal seperti Al Kasa’i, Al Faraa’, Al Waqidi, Abu Ya’qub, dan yang lainnya. Dewan menteri Al Rasyid merupakan para pelindung gerakan terjemahan di era mereka. Mereka memberikan uang kepada Aban bin Abdulhamid sebesar limabelas ribu Dinar untuk menerjemahkan Kalilah dan Domnah dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dalam bentuk syair. Demikian pula dewan menteri Al Rasyid menaruh perhatian dalam penerjemahan warisan Yunani ke dalam bahasa Arab. Yahya Al Baramiki misalnya menaruh perhatian dalam penerjemahan buku The Majesty karangan Baltimus. Dia memberi tugas kepada beberapa ilmuwan untuk mengkaji ulang buku itu agar keluar dengan hasil yang sempurna. Dewan menteri berperan dalam mendatangkan para ilmuwan dan dokter yang terkenal ke istana Abbasiah. Yahya Al Baramiki-lah yang mengusulkan kepada Khalifah Al Rasyid untuk memanggil dokter dari Kristen Nastarian asal Jundisabor Bakhtisou untuk mengobati penyakitnya. Anak-anak dan cucu-cucu sang dokter menetap di Baghdad untuk mengabdi kepada istana Abbasiah. Mereka memainkan peran penting dalam pengembangan kedokteran secara praktek dan teori selama dua setengah abad. Demikian pula Yahya Al Baramiki-lah yang mengusulkan kepada Al Rasyid untuk mendatangkan dokter asal India yaitu Monaka ke Baghdad. Monaka menerjemahkan beberapa buku dari bahasa India ke dalam bahasa Arab. Narasumber mengisyaratkan bahwa Al Fadhlu bin Yahya adalah orang pertama yang mengusulkan kepada Al Rasyid tentang pentingnya pembangunan pabrik kertas pertama di Baghdad karena Al Fadhlu telah mengenal kertas Samarkand ketika dia menjadi wakil Al Rasyid di Khurasan. Tentang sikap hormat dewan menteri Al Rasyid kepada ilmu dan ilmuwan, seorang sejarawan menggambarkan bahwa Yahya Al Baramiki adalah (seorang yang mencintai sastera dan menghormati para sasterawan dan penyair). Bahkan sebagian dari para ilmuwan dan sasterawan itu memperoleh gaji tetap dari dewan menteri seperti dokter Kristen Nastarian Bakhtisuo yang menerima gaji tahunan sebesar dua juta empatratus ribu Dirham selama tigabelas tahun. Menteri dan ilmuwan: Al Zayyat mengikuti jejak perjalanan khulafa Abbasiah dalam perlindungan ilmu dan ilmuwan. Dia mempunyai sebuah majelis ilmu yang sejalan dengan majelis ilmu yang dimiliki oleh Al Rasyid dan Al Ma’mun. Di dalamnya berkumpul para ilmuwan dan sasterawan untuk berdiskusi di bawah pengawasannya dan partisipasinya. Majelis itu senantiasa dihadiri oleh Abu Ustman Al Mazini, Ibnu Al Sakit, dan yang lainnya. Al Zayyat pada waktu itu melindungi gerakan penerjemahan, terutama terjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Banyak penerjemah ulung yang menerjemahkan buku-buku untuknya seperti Johanes bin Masweh, Gibrail bin Bakhtisou, Hunain bin Ishak, dan yang lainnya. Para sejarawan memastikan bahwa Al Zayyat menggaji para penulis naskah sebesar seribu Dinar setiap bulan. Belum lagi hadiah-hadiah yang diberikannya kepada para ilmuwan dan sasterawan yang menghadiahkan kepadanya buku-buku karangan mereka seperti kepada Al Jahidh sebesar lima ribu Dinar sebagai hadiah atas bukunya Al Haiwan yang diberikan kepadanya. Keluarga elit ilmu: Sejatinya era khulafa Abbasiah adalah era pengecualian dalam peradaban Arab Islam dan benarlah kata mutiara: “Jika seorang raja adalah seorang ilmuwan maka sejatinya seorang ilmuwan adalah seorang raja”.
[*] Pengamat Politik Timur Tengah dan Pemerhati Dunia Arab Islam comments |