Siapa nama Sultan yang mengutus Muhammad Arsyad Al Banjari untuk belajar ilmu agama dan ilmu umum di Mekkah?

TAK hanya, julukan bagi Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary lainnya adalah Matahari Agama, Matahari Islam Nusantara, Mercusuara Islam Kalimantan dan bagi saya, sosok ulama berpengaruh Tanah Banjar ini merupakan seorang insinyur.

Dengan nama lahir Muhammad Ja’far, kemudian putra pasangan Abdullah dan Siti Aminah yang lahir di Lok Gabang, Martapura pada 15 Safar 1122 H (17 Maret 1710 M) dan wafat pada 6 Syawal 1227 H (3 Oktober 1812 M), merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Dalam pengabdiannya usai ditarik masuk ke Istana Sultan Banjar di Martapura, sedikitnya ada 4 Sultan banjar yang memberi beasiwa kepada sang Syekh.

BACA : Menghidupkan Kembali Sungai Tuan, Menjaga Warisan Datu Kalampayan

Dikutip dari buku karya Abu Daudi berjudul Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari” (Tuan Haji Besar), diketahui ada 4 Sultan Banjar yang bertemu dengan beliau sejak masa kecil hingga berpulang ke Rahmatullah. Yakni, Sultan Hamidullah bin Amrullah Bagus Kasuma bergelar Sultan Saifullah (1700-1734) yang mengangkat Arsyad sebagai anak sekaligus memeliharanya semasa kecil hingga menjelang desa. Kemudian, mengawinkan dengan pemudi bernama Syarifah salah seorang anggota keluarga besar istana.

Kemudian, Sultan Saifullah juga memberi biaya dan beasiswa ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji juga sekaligus menuntut berbagai ilmu pengetahuan. Berikutnya, Pengeran Tamjid bin Sultan Amrullah Bagus Kasuma bergelar Sultan Tamjidullah (1734-1759), meneruskan fasilitas biaya dan beasiswa studi di Mekkah dan Madinah. Langkah serupa juga diambil Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah bergeral Sultan Tahmidullah (1787-1801) yang meneruskan beasiswa bagi Syekh Muhammad Arsyad.

BACA JUGA : Sungai Tuan, Karya Besar Tuan Syekh Muhammad Arsyad

Bahkan, pada Desember 1772 M, Sultan Tahmdiullah juga menyambut kedatangan beliau kembali ke Martapura. Kemudian, memberikan sebidang tanah dan hutan belukar untuk dijadikan pusat dakwah dikenal dengan Pesantran Dalam Pagar. Terakhir adalah Sultan Sulaiman Almin Tahmidillah bin Sultan Tahmidullah (1801-1825 M). Saat itu, Sultan Banjar ini berkuasa saat Syekh Muhammad Arsyad wafat pada tanggal 6 Syawal 1227 H atau bertepatan tanggal 13 Oktober 1812 M.

Nah, dari sebidang tanah atau lahan yang diberi Sultan Banjar itu, dimulai konstruksi infastruktur Sungai Tuan yang dibuat Datu Kalampayan dengan metode Falakiyah. Berdasar ilmu Falakiyah, dihitung dalam 365 hari satu tahun ada satu banjir besar atau satu hari, ketika jumlah air di bumi lebih tinggi dibanding hari biasa.

BACA JUGA : Didirikan Buyut Datu Kalampayan, 95 Persen Bangunan Masjid Baangkat Terjaga

Kemudian, Syekh Muhammad Arsyad mengerjakan atau membuat sodetan secara alamiah tanpa menggunakan alat berat pada zaman itu. Informasinya, hanya menggunakan tongkang ilatung (sejenis rotan) untuk menggaris dalam. Hal ini menitikkan dari satu titik ke titik lainnya. Dalam istilah teknik sipil adalah benchmark (BM), sejauh kurang lebih 8 kilometer hingga sampai ke kawasan Dalam Pagar.

Untuk waktu pengerjaannya dilakukan dalam dua musim. Yakni, musim kering dan musim basah dalam setahun atau 365 hari. Pengerjaannyha dimulai dari matahari terbit timur hingga tenggelam di barat, awalnya dari Jembatan Astambul. Hingga warisan Syekh Muhammad Arsyad ini pernah mendapat program normalisasi pada tahun 1963 oleh Presiden Soekarno, Presiden RI pertama usai berkunjung ke Guru Anang Zainal Ilmi di Dalam Pagar, Martapura.

BACA JUGA : Belajar dari Datu Kalampayan dan Datu Sanggul

Dari kajian teknik sipil, sangat jelas fungsi Sungai Tuan itu. Yakni, sebagai fungsi irigasi saluran primer untuk mengaliri pertanian Astambul, pada saat itu pertanian dan perkebunan Kesultanan Banjar sangat maju bahkan komoditasnya menembus pasar Eropa.

Kemudian, Sungai Tuan juga menjadi sarana sistem transportasi berupa perlaluan jukung dan sebagai sistem pengendali banjir di sekitar Martapura. Adanya Sungai Tuan ini merupakan manifestasi keilmuan Datu Kalampayan atau Syekh Muhammad Arsyad dalam keilmuan teknik sipil dan pendidikan, khususnya berdasar pada ilmu Falakiyah (perbintangan).

BACA JUGA : 4 Kontribusi Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bagi Nusantara

Sementara dalam perencanaan teknik sipil, terlihat jelas bagaimana Datu Kalampayan mempelajari tentang siklus hidrologi, pengairan pasang surut, rekayasa lingkungan hingga rekayasa sungai, sehingga Sungai Tuan sebagai mahakarya yang wajib dilestarikan. Bahkan, satu-satunya contoh pembuatan sodetan tanpa alat berat dan hanya menggunakan hukum alam.

Karenanya, dalam sejarah Islam menjadi mata kuliah yang wajib dan khusus dalam mempelajari tentang Datu Kalampayan dan penyebaran Islam di zaman itu. Untuk itu, Sungai Tuan yang berfungsi teknis wajib dijaga dan dilestarikan demi keberlanjutan warisan atau pusaka untuk masa depan sebagai karya teknis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang sudah berumur 2 Abad.

BACA JUGA : Islam di Nusantara Tak Lepas dari Pengaruh Ulama Banjar Syekh Arsyad Al Banjari

Kemudian, Sungai Tuan segera dinormalisasikan karena kondisinya sekarang kritis dengan adanya pendangkalan dan penyempitan sungai. Ke depan, kajian secara teknis dan perhitungan Sungai Tuan bisa dilakukan penelitian lebih mendalam, serta menjadi heritage atau warisan dunai melalui Unesco, PBB.(jejakrekam)

Siapa nama Sultan yang mengutus Muhammad Arsyad Al Banjari untuk belajar ilmu agama dan ilmu umum di Mekkah?

Penulis adalah Dosen Teknik Sipil Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Banjary Banjarmasin

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul tiga dini hari tanggal 15 Shafar 1122 H (bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1710 M). Waktu kecil bernama Muhammad Ja’far dan menjelang remaja diberi nama Muhammad Arsyad.

Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya bernama Siti Aminah. Mereka hidup pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah atau Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah (1700-1734 M). Menurut cucunya, Muhammad Khatib bin Pangeran Ahmad Mufti bin Syekh Muhammad Arsyad, ayah Syekh Arsyad berasal dari Hindi yang menetap di kampung Lok Gabang sampai akhir hayatnya. Ayahnya merupakan seorang ahli pertukangan atau seni ukir kayu, yang konon sengaja didatangkan dari Pahuluan, tepatnya di Kampung Jambu dekat kota Kandangan, untuk kegiatan pertukangan (seni ukir kayu) di dalam istana (keraton).

Ketika Sultan Banjar saat berkunjung ke kampung Lok Gabang dan melihat hasil lukisan Syekh Arsyad kecil ia terpesona dengan keindahan karya Syekh Arsyad yang baru berusia 7 tahun itu. Kemudian Sultan membawanya ke istana untuk dididik ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu lain yang dapat mengembangkan bakat dan kecerdasannya.

Sultan menikahkan Syekh Arsyad yang sudah dewasa dengan seorang perempuan yang bernama Tuan Bajut. Tidak lama setelah menikah, ia pergi menuntut ilmu ke tanah suci Mekkah.

Di Mekkah, ia tinggal di sebuah rumah di kampung Syamiah. Di sana, ia dengan tekun mempelajari berbagai bidang ilmu dengan sejumlah guru (syekh) dan ulama-ulama yang terkenal pada masa itu.

Adapun guru-guru yang banyak memberikan sanadnya kepada Muhammad Arsyad, dalam berbagai bidang ilmu antara lain adalah:Syekh Sayyid Abil Faidh Muhammad Murtadho bin Muhammad az-Zabidi, Syekh Sayyid Sulaiman bin Sulaiman al-Ahdal, Syekh Salim bin Abdullah al-Bashri al-Makkiy, dan Syekh Hasan bin Ahmad ‘Akisy al-Yamani. Dalam bidang tasawuf, beliau sempat melaksanakan khalwat di bawah bimbingan Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, dan mendapat ijazah serta kedudukan sebagai Khalifah tariqat Sammaniyyah. .

Syekh Arsyad memiliki beberapa orang sahabat antara lain; Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Syekh Abdur Rahman al-Mishri al-Batawi, Syekh Dawud bin Abdullah al-Fathani, Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi, dan Syekh Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani.

Setelah puluhan tahun belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Arsyad telah mempelajari tidak kurang dari 35 disiplin ilmu, baik ilmu diniyah (agama) maupun ilmu ‘ashriyah (umum), termasuk ilmu falak. Atas capaiannya itu, ia mendapat kepercayaan dan izin dari guru-gurunya untuk mengajar di Masjidil Haram. Dengan demikian, ia termasuk sebagai salah seorang Jawi (bangsa Indonesia) yang mengajar atau memberikan pelajaran di Masjidil Haram dengan sebutan Syekh. Banyaklah murid-murid yang belajar kepadanya dari berbagai suku, bangsa, dan negara.

Syekh Muhammad Arsyad yang cinta akan ilmu pengetahuan, masih ingin menuntut ilmu. Untuk tujuan itu ia ingin berangkat ke Mesir. Ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya, terutama dengan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani. Setelah didapat kata sepakat, mereka berikrar untuk pergi ke Mesir bersama-sama. Setelah melaksanakan Thawaf Wada’, mereka berangkat ke Mesir melalui Madinatul Munawarah. Di Madinah mereka berziarah ke makam Rasul, dan menetap di sana untuk sementara waktu sambil belajar ilmu-ilmu agama dengan sejumlah syekh yang ada di sana. Sementara mempersiapkan keberangkatan mereka ke Mesir, datanglah ke Madinah seorang ulama besar yang terkenal dari Mesir yaitu Syeikhul Islam Imam al-Haramain Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy dengan beberapa orang muridnya yang kebetulan dari Jawi (Indonesia) pula, yaitu Syekh Abdurrahman Mishri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahhab Bugis (anak seorang raja Bugisbergelar Sadenreng Bunga Wardiyah). Syekh Sulaiman al-Kurdi mengadakan pengajian di Madinah. Banyak penuntut ilmu yang datang belajar kepadanya termasuk Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani.

Baca juga:  Ketika Dakwah di TV Jadi Komoditas

Suatu ketika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani mengutarakan niat mereka kepada Syekh Sulaiman Kurdi tentang keinginan mereka untuk menuntut ilmu ke Mesir. Mendengar hal itu, Syeikhul Islam menjelaskan kepada mereka, bahwa mereka tidak perlu lagi pergi ke Mesir. Selain ilmu dan kecerdasan yang mereka miliki sudah tinggi, juga tidak ada lagi guru-guru di Mesir saat itu, yang sanggup memberikan pelajaran kepada mereka. Karena itu sang guru menyarankan kepada mereka agar pulang ke Jawi (Indonesia).

Selain dengan Syekh Sulaiman al-Kurdi, Syekh Arsyad al-Banjari juga belajar Tasawuf dengan Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani. Dengan gurunya ini, ia menjalankan praktik suluk dan khalwat langsung di bawah bimbingan sang guru. Dari gurunya ini, Syekh Arsyad mendapat ijazah dan mendapat posisi sebagai khalifah tariqat Sammaniyyah.

Setelah merasa cukup belajar di Madinah, Syekh Arsyad bersama dengan sahabatnya kembali ke Makkah. Di Makkah, ia bertemu dengan adiknya yang bernama Zainal ‘Abidin. Adiknya datang untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menjadi utusan Sultan Banjar untuk menjenguknya. Dari adiknya pula, ia mendapat kabar bahwa puteri pertamanya yang bernama Syarifah telah dewasa dan menitipkan satu cincin sebagai cendera mata untuk sang ayah. Mengetahui bahwa Syekh Arsyad memiliki anak gadis yang sudah dewasa, ketiga sahabatnya meminang sang anak. Oleh karena pinangan lebih dari satu, maka dilakukanlah undian untuk mereka dan ternyata jatuh kepada Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi. Syekh Arsyad menikahkan Syarifah dengan sahabatnya ini di Makkah melalui wali mujbir.

Setelah sekitar 35 tahun belajar di Timur Tengah, Syekh Muhammad Arsyad pulang bersama dengan beberapa sahabatnya kembali ke Nusantara.

Dalam perjalanan menuju Batavia rombongan singgah beberapa lama di Pulau Penyengat Riau. Syekh Muhammad Arsyad sempat mengajar di mesjid Pulau Penyengat. Sebagai tanda ungkapan terimakasih, Sultan dan masyarakat Pulau Penyengat (Riau) menghadiahkan sebuah tasbih yang terbuat dari kayu akar bahar kepadanya yang sampai sekarang masih dirawat oleh salah seorang zuriat Syekh Muhammad Arsyad di Dalam Pagar Martapura.

Setibanya di Batavia, mereka tinggal beberapa bulan dan melakukanbeberapa aktivitas. Aktivitas pertama, mereka mengunjungi sejumlah mesjid untuk shalat berjamaah dan membetulkan arah kiblat beberapa mesjid yang belum tepat, seperti Mesjid Jembatan Lima. Meski sempat menimbulkan sedikit keributan dan kesalahpahaman, tokoh agama dan masyarakat setempat kemudian sepakat mengubah arah kiblat mesjid ini seperti yang ditunjukkan oleh Syekh Arsyad. Kemudian mereka tulis sebagai memoria yang tertulis dalam bahasa Arab, yang maksudnya: “Arah kiblat mesjid ini dipalingkan ke kanan sebanyak 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, pada tanggal 4 Shafar 1186 H (7 Mei 1772 M). Mesjid lainnya yang juga dibetulkan arah kiblatnya adalah Mesjid Luar Batang dan Mesjid Pekojan. Aktivitas kedua, mereka mengadakan pertemuan dan silaturrahmi dengan sejumlah ulama.

Syekh Muhammad Arsyad bersama rombongan dipanggil oleh Belanda untuk menghadiri pertemuan dan perjamuan di atas sebuah kapal. Kepada beliau ditanyakan berbagai masalah geografi dan kelautan, untuk menguji ilmu yang dimilikinya. Kesemuanya terjawab dengan baik dan tuntas. Belanda yang kagum dengan kemampuan Syekh Arsyad memberinya gelar kehormatan dengan sebutan Tuan Haji Besar.

Setelah merasa cukup tinggal di Batavia, Syekh Arsyad al-Banjari berangkat menuju Martapura. Di sinilah beliau berpisah dengan para sahabatnya. Syekh Arsyad bersama Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi berangkat menuju Martapura sementara sahabatnya yang lain menuju kampung halamannya masing-masing.

Setelah berada di Martapura, Syekh Muhammad Arsyad segera melakukan sejumlah aktivitas untuk melaksanakan perannya sebagai ulama.

Tidak lama setelah tiba di Martapura, Syekh Arsyad membuka pengajian. Banyak orang yang datang untuk menuntut ilmu-ilmu agama kepadanya termasuk Sultan Banjar. Pengajian ini kian lama kian membesar sehingga kondisi lokasinya terasa menjadi sempit. Apalagi Martapura yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian semakin padat. Karena itu, pengajian harus dipindahkan ke tempat yang lebih luas.

Sultan memberi tanah lungguh kepada Syekh Muhammad Arsyad karena ia sudah dianggap bubuhan (keluarga besar kaum bangsawan). Tanah ini kemudian dijadikan suatu perkampungan dan pusat pendidikan agama di Kerajaan Banjar.

Melalui lembaga pendidikan Dalam Pagarnya, Syekh Muhammad Arsyad berusaha untuk mencetak kader-kader ulama dan da’i yang akan ia sebar ke berbagai wilayah. Sasaran pertamanya adalah keturunan dan kerabatnya sendiri. Ia selalu berupaya semaksimal mungkin agar anak cucu, kerabat, dan para santri dapat dibina dan dididik secara intensif, sehingga dalam waktu yang singkat dapat dibentuk menjadi kader-kader juru dakwah yang siap pakai. Syekh Arsyad sendiri memiliki 30 anak dari beberapa istrinya yang berjumlah 11 orang. Beberapa anaknya terutama yang laki-laki dididik menjadi kader ulama. Selain anak, keturunan dan kerabat lainnya yang dikader dan dididik langsung olehnya di antaranya adalah Muhammad As’ad (cucu), Muhammad Yasin (cucu), Fatimah binti Abdul Wahhab Bugis (cucu), dan Ideris bin H. Zainal ‘Abidin (kemenakan).

Sejumlah keturunan dan murid Syekh Arsyad yang telah berhasil dikader kemudian disebar di sejumlah daerah untuk membangun langgar-langgar tempat beribadah berjamaah sekaligus dijadikan tempat-tempat pengajian agama. Keturunannya yang menjadi ulama seperti Abu Thalhah berdakwah di wilayah Pagatan, Ahmad di Amuntai dan Balimau, Sa’duddin di wilayah Amuntai dan Kandangan terutama Taniran, dan lainnya. Anak-anaknya yang laki-laki seperti Mufti Jamaluddin, Ahmad Mufti, Qadhi Abu Su’ud, Qadhi Abu Na’im, Khalifah Syahabuddin, Khalifah Zainuddin, dan Khalifah Hasanuddin semuanya menjadi ulama yang mewarisi keilmuan Syekh Arsyad al-Banjari.

Baca juga:  Sajian Khusus: Islam di Tengah-Tengah Masyarakat Banjar

Untuk kepentingan pelaksanaan hukum Islam, atas persetujuan Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah, Syekh Muhammad Arsyad membentuk Mahkamah Syariah berpusat di Martapura. Lembaga ini dimasukkan ke dalam struktur Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh seorang Mufti yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan dalam masalah-masalah keagamaan, dan seorang Qadhi yang mengurus bidang hukum Islam dalam masalah perdata, pernikahan dan waris. Mufti pertamanya adalah cucu Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Muhammad As’ad dan Qadhi pertamanya adalah Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Berikut ini adalah sejumlah karya Syekh Muhammad Arsyad dalam beberapa disiplin ilmu keislaman. Karyanyadi bidang akidah adalah: (1) Kitab Ushuluddin, ditulis pada tahun 1188 H atau 1774 M menggunakan bahasa Melayu. isinya berkaitan dengan masalah ketauhidan. Naskah risalah ini belum pernah dicetak; (2) Kitab Tuhfaturraghibin, ditulis pada tahun 1188 H atau 1774 M, bersamaan dengan ditulisnya Risalah Ushuluddin. Pernah diterbitkan di Mesir pada tahun 1353 H, dan (3) Kitab Al-Qaulul Mukhtashar Fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar, Risalah ini ditulis pada tahun 1196 H. Pernah dicetak oleh Maktabah Al-Ahmadiyah Singapura, tahun 1356 H/1937 M bersama-sama dengan RisalahSyajaratul Arsyadiyah, karya Syekh H. Abdurrahman Shiddiq, Mufti Indragiri Riau.

Karya Syekh Muhammad Arsyad di bidang fiqih adalah: (1) Kitab Luqhatul ’Ajlan, baru dicetak pada tahun 1992 M setelah ditransliterasi ke huruf Latin dan bahasa Indonesia, (2) Kitab Fara`idh, tidak pernah diterbitkan dan naskah aslinyapun tidak ada lagi. isinya tentang hukum waris yang memuat masalahharta perpantangan; (3) Kitab an-Nikah, dicetak di Istanbul (Turki) pada tahun 1304 H; (4) Fatawa Sulaiman Kurdi, berisi fatwa-fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman Kurdi terkait pertanyaan-pertanyaan Syekh Muhammad Arsyad kepada beliau tentang berbagai masalah. Belum pernah diterbitkan meski naskah aslinya yang ditulis dalam bahasa Arab masih ada; (5) Sabilal Muhtadien lit Tafaqquh fi Amriddin. Naskah aslinya terdiri dari empat jilid sedang dalam bentuk cetakterdiri dua jilid. Dicetak pertama kali di Mekkah pada tahun1300 H, di Istanbul tahun 1302 H dan 1307 H, dicetak jga di Mesir.

Di bidang Tasawuf ia menulis risalah Kanzul Ma’rifah. Di bidang ilmu Falak, ia menulis Ilmu Falak yang ditulis dalam bahasa Arab. Di bidang studi al-Qur`an, ia menulis Mushhaf Al-Qur`an yang ditulis pada tahun 1779 M. Mushaf ini ditulis dalam tiga jilid yang masing-masing terdiri dari 10 juz. Ketiga karya Syekh Arsyad ini masih dalam bentuk manuskrip (belum pernah dicetak) dan disimpan oleh zuriatnya di Dalam Pagar.

Demikianlah beberapa jasa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau mengabdi selama puluhan tahun hingga menjelang usia lanjut. Akhirnya, pada tanggal 6 Syawal 1227 H (13 Oktober 1812 M) beliau wafat dalam usia 105 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Kalampayan Martapura.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.