Bustomi, S.HI., M.H merupakan seorang dosen dan juga menjabat sebagai kaprodi S1 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan, berikut pandangan Mengenai Pembaharuan Hukum Keluarga dalam KHi Terbentuknya hukum Islam (hukum keluarga) yang tertulis, sebenarnya sudah lama menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat muslim. Sejak diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, rasanya sangat diperlukan adanya hukum keluarga Islam di Indonesia tertulis. Sehingga munculah gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam rangka mencari pola fiqh yang bersifat khas Indonesia atau fiqh yang bersifat kontekstual. Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme putusan hakim pengadilan agama, karena kitab yang Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 6 bab dan 43 pasal (pasal 171 s/d pasal 214) dan Buku Dalam Bidang Perkawinan Peraturan yang ada dalam KHI untuk bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum subtantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi dari kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak memberikan peraturan tentang masalah prosedural yang seharusnya termasuk dalam porsi undang-undang perkawinan. Walaupun pada dasarnya, ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan yang termuat dalam KHI. Adapun perbedaan (hal-hal baru) yang termuat dalam KHI merupakan sebagai kemajuan dari pengembangan hukum keluarga di Indonesia.Sebagai pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan, maka KHI tidak boleh lepas dari misi yang diemban oleh undang-undang tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, antara lain, kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam. a. Pencatatan perkawinan. b. Talik talak. c. Menikahkan wanita hamil karena zina. d. Persetujuan untuk dilangsungkannya pernikahan. Para ulama fiqh sepakat bahwa calon mempelai pria tidak dapat dipaksa untuk menikah dan pernikahannya didasarkan atas kehendak dan persetujuannya. Akan tetapi, para ulama fiqh membedakan status hukum bagi calon mempelai wanita antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi mazhab Hanafi, persetujuan calon mempelai wanita baik yang masih perawan maupun yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkannya pernikahan. Bagi mazhab ini, wali tidak menjadi rukun nikah. Dengan demikian, wali tidak berhak memaksa terhadap calon mempelai wanita untuk dinikahkan. Mazhab Maliki dan Syafi’i membedakan calon mempelai wanita dewasa antara yang masih perawan dan yang sudah janda. Bagi kedua mazhab ini, persetujuan dari calon mempelai wanita dewasa yang sudah janda menjadi syarat untuk dapat dilangsungkan pernikahannya. Sedangkan calon mempelai wanita dewasa yang masih perawan tidak perlu dimintai persetujuannya terlebih dahulu. Walinya dapat saja memaksanya untuk menikahkan dengan pria yang sebanding (kafā’ah) dengannya. Ketentuan dalam Pasal 71 huruf d dan f KHI ini sejalan dengan pandangan mazhab Hanafi dan pasal ini meninggalkan pandangan mazhab utama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu mazhab Syafi’i. e. Usia minimal yang diperbolehkan kawin. f. Harta bersama dalam perkawinan. g. Talak dan lian |