Salah satu manfaat yang diperoleh kaum muslimin dengan adanya perjanjian Hudaibiyah yaitu

Hudaibiyah menjadi titik kemenangan umat Islam.

Antara/Zarqoni/ca

Hudaibiyah Pintu Islam: Sekelompok unta berjajar menikmati makanan di peternakan unta masyarakat setempat di kawasan Hudaibiyah, pinggiran Kota Makkah.

Rep: Nidya Zuraya Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hudaibiyah merupakan kota yang berada di sekitar 26 kilometer dari Masjidil Haram. Saat ini, kawasan tersebut juga dikenal sebagai daerah perbatasan Tanah Haram sehingga sering dijadikan tempat miqat umat Islam yang melaksanakan ibadah haji atau umrah.Nama Hudaibiyah sebenarnya diambil dari nama telaga, yang juga dikenal dengan sebutan telaga Asy-Syumaisi. Sejarah Islam menyebutkan, Hudaibiyah menjadi pintu masuk kecemerlangan kaum Muslimin dalam menaklukkan Kota Makkah (Fathul Makkah). Di kota ini, Rasulullah SAW dan kaum Quraisy Makkah membuat perjanjian untuk saling tidak menyerang, yang kemudian membuka peluang umat Islam Madinah untuk mengislamkan pendudukan Kota Makkah.Kisah tersebut berlangsung pada bulan Dzulqaidah tahun 6 Hijriah saat umat Islam Madinah yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar berencana akan melakukan umrah di Baitullah. Keputusan melakukan umrah ini diawali dari mimpi Rasulullah SAW yang menggambarkan beliau serta sahabat-sahabatnya bisa masuk ke Masjidil Haram dan melakukan umrah dengan aman.Hal ini kemudian tertuang dalam Alquran yang menyebutkan, "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, mencukur rambut dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat." (QS Al-Fath: 27)Mendapat wahyu ini, Rasulullah kemudian memerintahkan umat Islam Madinah bersiap-siap pergi ke Makkah untuk melakukan umrah. Bukan untuk menantang kaum Quraisy berperang. Umat Islam Madinah pun menyambut perintah Rasulullah dengan sukacita karena sudah enam tahun mereka tidak bisa melepaskan kerinduan bersimpuh di Baitullah.Namun, ketika rombongan Rasulullah sampai di Asfan, mereka didatangi seseorang yang mengabarkan kaum Quraisy sudah menyiapkan pasukan untuk berperang. Mendapat informasi tersebut, Nabi Muhammad SAW mencoba menghindari pertumpahan darah dengan menempuh jalur diplomasi.Nabi SAW kemudian mengutus Usman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy. Namun ternyata, Usman disandera pihak Quraisy. Kabar ini membuat para sahabat bersumpah untuk memerangi kaum kafir Quraisy sampai titik darah penghabisan. Sumpah tersebut rupanya membuat kaum Quraisy gentar dan akhirnya melepaskan Usman. Bahkan, kaum Quraisy akhirnya bersedia berunding sehingga Rasulullah mengirim Suhail bin Amar sebagai utusan.Dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak mencapai beberapa kesepakatan yang kemudian disebut sebagai perjanjian Hudaibiyah. Isi perjanjian, antara lain, kaum Muslimin bersedia menunda umrah ke Baitullah hingga tahun depan. Dan saat umrah dilakukan, kaum Muslim hanya diizinkan membawa senjata yang biasa dibawa seorang musafir, yaitu sebatang tombak dan sebilah pedang yang disarungkan.Selain itu, antarkedua belah pihak juga sepakat melakukan perdamaian melalui gencatan senjata selama 10 tahun. Sementara itu, jika kaum Muslimin datang ke Makkah, pihak Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu ke Madinah. Sedangkan jika penduduk Makkah datang kepada Rasulullah di Madinah, kaum Muslimin harus mengembalikan orang tersebut ke Makkah.Kendati perjanjian Hudaibiyah sepertinya merugikan kaum Muslim, namun dari perjanjian inilah Rasulullah SAW dapat mengembangkan dakwah hingga ke Hudaibiyah. Bahkan, selama masa gencatan senjata, Nabi bisa melakukan dakwah dengan leluasa, bahkan menyampaikan pesan Islam pada Kaisar Romawi, Raja Habsyah (Ethiopia), Raja Mesir, dan Raja Parsi.

Peristiwa ini disebut oleh Alquran dengan istilah Fathun Mubiinun (kemenangan nyata), sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3. "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kokoh (banyak).

Baca Juga

  • hudaibiyah
  • nabi muhammad
  • makkah
  • alquran

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Terdapat hikmah di balik Perjanjian Hudaibiyah yang rugikan umat Islam

paramanio

Terdapat hikmah di balik Perjanjian Hudaibiyah yang rugikan umat Islam. Masjid Hudaibiyah

Rep: Rossi Handayani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi sebelum penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), dianggap merugikan bagi kaum Muslimin, dan sebaliknya ini akan menguntungkan orang-orang kafir Quraisy. Namun ternyata justru ada hikmah di balik perjanjian ini. 

Baca Juga

Sejarawan Islam, Dr Tiar Anwar Bachtiar, mengatakan pemboikotan pernah terjadi sebelum Fathu Makkah, itu merupakan peristiwa perang Hudaibiyah atau perjanjian Hudaibiyah.  

"Itu terjadi pada tahun ke enam, dua tahun sebelum peristiwa Fathu Makkah, sebelum Perang Khandaq, pada Perjanjian Hudaibiyah memang diawali dengan satu peristiwa di mana Rasulullah hendak melaksanakan umroh pada tahun keenam Hijriyah, tapi kemudian dihadang pasukan Quraisy, tidak diperkenankan," ucap Ustadz Tiar. 

Pada saat itu, tidak boleh ada kaum Muslim yang pergi ke Makkah untuk umroh. Maka kemudian hampir terjadi pertempuran, namun bisa diselesaikan dengan satu perjanjian, perjanjian itulah yang dinamakan dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Dalam kesepakatan ini ada satu poin atau klausul yang mungkin bisa dikatakan sebagai pemboikotan. Adalah klausul yang apabila ada kaum Muslim datang ke Makkah, maka orang ini tidak boleh keluar dari Makkah sampai nanti perjanjian selesai pada tahun ke tujuh. Kemudian apabila ada orang-orang Makkah atau Quraisy datang ke Madinah, mereka tidak boleh ditahan, mereka diperkenankan kembali lagi ke Makkah. 

"Jadi ini seperti tidak adil untuk umat Islam, kalau umat Islam datang ke Makkah itu ditahan, sampai perjanjian selesai tentu saja waktunya cukup lama, dan sebaliknya. Ini diprotes kesepakatannya oleh para sahabat," kata Ustadz.  

Akan tetapi Rasulullah menjelaskan bahwa perjanjian ini ada maksudnya. Pertama, kalau ada kaum Muslimin ditahan tidak boleh keluar dari Makkah, mereka yang ditahan akan menjadi duta umat Islam. Mereka akan memperlihatkan bagaimana akhlak umat Islam yang sesungguhnya, dibandingkan dengan perilaku orang kafir. Dari sini, kemungkinan banyak orang yang akan tertarik untuk masuk Islam.  

Di samping itu, orang Quraisy yang datang ke Madinah mereka dibiarkan bebas untuk melihat Madinah. Mereka dapat melihat bagaimana kaum Muslim hidup di Madinah, seperti apa mereka menjalankan syariat Islam. 

"Itu nanti mereka akan bisa melihat bedanya ajaran orang Islam dan kafir, sehingga ketika mereka pulang ke Makkah itu mereka akan mencocokkan perilaku orang-orang Muslim yang ada di Makkah, sehingga nanti orang-orang Makkah banyak yang tertarik dengan Islam," kata Ustadz yang juga Sekretaris PP Persatuan Islam (Persis) ini.

Dia melanjutkan, dengan cara seperti itu lewat perjanjian Hudaibiyah, banyak sahabat, dan bahkan tokoh-tokoh Quraisy yang masuk Islam, seperti Amr bin Ash, kemudian Khalid bin Walid. Mereka merupakan tokoh yang dikenal, dan akhirnya mereka tertarik dengan akhlak kaum Muslim sampai akhirnya kemudian masuk Islam. 

tirto.id - Isi perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Makkah pada bulan Dzulqa'dah, tahun ke-6 Hijriyah, atau sekitar bulan Maret 628 M. Salah satu poin isi perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum Quraisy selama 10 tahun.

Poin itulah yang kemudian dilanggar oleh kaum Quraisy, saat sekutu mereka Kabilah Bani Bakr menyerang Kabilah Khuza’ah yang beraliansi dengan umat Islam. Pelanggaran tersebut memicu peristiwa akbar dalam sejarah Islam di masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni Fathul Makkah.

Advertising

Advertising

Menyitir catatan Mahdi Rizqullah Ahmad, dalam terjemahan karyanya, Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017:631), Hudaibiyah sebenarnya nama sebuah sumber air. Lokasi Hudaibiyah berjarak sekitar 22 km arah barat laut dari Kota Makkah. Di sekitar sumber air itu, tumbuh banyak taman dan berdiri masjid bernama Ar-Ridhwan.

Persitiwa terbentuknya Perjanjian Hudaibiyah terjadi setelah meletup rentetan bentrok militer antara umat Islam dengan kaum Quraisy, termasuk perang Badar, Uhud, hingga Khandaq. Sebelum perjanjian itu diteken, hubungan Madinah-Makkah dalam situasi menegangkan sehigga kedua kubu saling bersiaga.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Rangkaian peristiwa yang berujung pada perjanjian Hudaibiyah berawal dari mimpi Rasulullah SAW pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah ke Madinah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat memasuki Makkah dengan aman, menginjakkan kaki di Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah, dan melaksanakan ibadah umrah.

Rasulullah SAW lantas menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW pun bilang ke para sahabat soal rencananya menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Para sahabat setuju dan segera bersiap melakoni perjalanan yang penuh risiko itu.

Maka itu, pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke 6 Hijriyah, Rasulullah SAW bersama 1500-an sahabat berangkat ke Makkah. Adapun kepemimpinan di Madinah dipasrahkan untuk sementara kepada Abdullah bin Ummi Maktum.

Menyitir catatan Amin Iskandar dalam "Hikmah di Balik Perjanjian Hudaibiyah" yang termuat di Jurnal Studi Hadis Nusantara (Vol. 1, No. 1, 2019), Nabi Muhammad dan semua sahabatnya yang berangkat ke Makkah sama sekali tidak membawa senjata, kecuali pedang dan sarungnya sebagaimana para musafir di masa itu.

Baca juga:

Dalam rombongan Rasulullah SAW, juga ada puluhan unta dengan tanda di lambung kanannya sebagai petunjuk bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan kendaraan perang. Pesan terang benderang ditunjukkan Rasulullah SAW bahwa kedatangannya ke Makkah bukan untuk bertempur dengan kaum Qurays.

Bahkan saat sampai di tempat bernama Dzul Hulaifah, Rasulullah SAW meminta para sahabatnya segera memakai pakain ihram, berniat melaksanakan umrah, dan membaca talbiah sepanjang perjalanan.

Meskipun begitu, kaum Qurays di Makkah tetap curiga dan bahkan berusaha menghalangi rombongan Rasulullah SAW agar tidak bisa masuk ke Kota Makkah. Mereka pun sempat mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk melakukan pengadangan, tapi Rasulullah SAW memutuskan untuk melewati jalur berbeda agar tidak terjadi konfrontasi.

Peristiwa itu, seperti dikutip dari buku SKI

(Kemenag, 2019), terjadi beberapa bulan setelah berlangsung perang Khandaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah. Artinya, situasi tegang antara kedua kubu belum mereda. Banyak kaum Qurays menganggap kedatangan Rasulullah SAW sebagai serbuan mendadak, meski ada sinyal jelas bahwa rombongan dari Madinah berniat menjalankan ibadah.

Baca juga:

Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Makkah, Rasulullah SAW meminta rombongannya untuk berhenti dan berkemah di sebuah lembah yang lantas jadi lokasi perundingan Hudaibiyah. Di tempat itu pula, Nabi Muhammad SAW menerima beberapa utusan dari kaum Qurays.

Utusan-utusan itu dikirim oleh kaum Qurays untuk mengonfimasi maksud rombongan Rasulullah SAW datang ke Kota Makkah. Ada 4 utusan yang dikirim secara bergilir oleh kaum Qurays, yaitu Badil bin Warqa (Bani Khuzaah), Makraz bin Haf, Hulais (Kabilah Ahabsy), Urwah bin Mas’ud as-Saqaf. Namun, kaum Qurays masih tidak percaya bahwa rombongan Nabi Muhammad SAW datang ke Makkah untuk umrah.

Karena itu, Rasulullah SAW kemudian mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menegaskan keterangan ke kaum Qurays bahwa tidak ada niat perang. Akan tetapi, unta yang dikendarai Khurasy dibunuh dan ia sendiri nyaris kehilangan nyawa.

Setelah insiden tersebut, dikutip dari situs Kemenag, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan pesan kepada kaum Qurays terkait niat rombongan dari Madinah yang hendak melaksanakan umrah. Utsman jadi pilihan, terutama karena dia dikenal memiliki sikap yang lunak dan banyak kerabat berpengaruh di kalangan kaum Qurays Makkah.

Ketika tiba di Makkah, Utsman segera menemui perundingan yang alot. Sekalipun banyak pembesar kaum Qurays, seperti Abu Sufyan, adalah kerabat Utsman, izin bagi rombongan Rasulullah SAW untuk masuk Makkah tetap tidak diberikan. Akibat perundingan yang alot itu, Utsman terpaksa tinggal lebih lama di Makkah dari rencana semula.

Di tengah situasi yang demikian meresahkan para sahabat, tersiar isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar kabar itu, Rasulullah SAW segera memerintahkan para sahabat untuk berkumpul dan menyampaikan sumpah setia, bahwa mereka tidak akan pulang sebelum memerangi kaum Qurays.

Maka, seluruh sahabat kemudian berikrar akan memerangi kaum Qurays. Usai baiat itu berlangsung, Utsman baru datang kembali dari Makkah, dan segera ikut berbaiat. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridwan itu diabadikan dalam firman Allah SWT QS Al-Fath ayat 48.

Baca juga:

Menyadari situasi semakin genting, Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk membahas perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. Perundingan Suhail dengan Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabat tersebut berlangsung lama. Apalagi, Suhail ngotot menyodorkan poin yang tidak bisa ditawar, seperti rombongan Rasulullah SAW harus kembali ke Madinah, dan baru boleh datang ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya.

Akhirnya, dalam perundingan tersebut, muncul kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Sebenarnya, banyak sahabat yang keberatan dengan sejumlah poin dalam Perjanjian Hudaibiyah. Meski demikian, Rasulullah SAW berbesar hati untuk menyetujuinya, demi tercipta perdamaian.

Bahkan, mengutip buku SKI (Kemenag, 2014), Rasulullah SAW tidak menolak saat Suhail meminta teks perjanjian Hudaibiyah tidak diawali kata Bismillaahirrahmanirrahiim, melainkan Bismika Allahumma (atas nama ya Allah).

Suhail juga menolak pencantuman nama "Muhammad Rasulullah" dan memintanya dengan diganti Muhammad bin Abdullah. Usul yang terakhir ini juga diterima oleh Rasulullah SAW, sekalipun banyak sahabat keberatan.

Dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2014), isi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun

2. Setiap orang diberi kebebasan bergabung dan mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad, atau dengan Kaum Quraisy.

3. Setiap orang Quraisy yang menyeberang ke kubu Nabi Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan, sedangkan jika pengikut Nabi Muhammad bergabung dengan Quraisy tidak dikembalikan.

4. Nabi Muhammad dan sahabatnya harus kembali ke Madinah dan tidak boleh masuk Makkah, dengan ketentuan bisa kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama 3 hari di Makkah dan tidak dibenarkan membawa senjata kecuali pedang tersarung.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Awalnya sempat timbul kekhawatiran di kalangan para sahabat mengenai perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengira perjanjian ini hanya menguntungkan kaum Quraisy dan merugikan umat Islam.

Namun, Rasulullah SAW menyikapi perjanjian ini dengan arif. Nabi Muhammad memanfaatkan situasi aman dan damai setelah perjanjian Hudaibiyah untuk semakin memperluas dakwah Islam.

Duta-duta Islam dikirim ke negara tetangga untuk mengajak mereka mengikuti seruan Nabi Muhammad. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga, meski ditolak oleh sebagian lainnya. Jumlah umat Islam pun segera bertambah banyak setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati.

Setidaknya ada 2 hikmah di balik perjanjian Hudaibiyah.

Pertama, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan legitimasi. Perjanjian Hudabiyah secara tidak langsung mengakui status Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam dan Kota Madinah. Artinya, perjanjian itu mencerminkan pengakuan kaum Qurays terhadap pemerintahan Islam di Madinah.

Kedua, salah satu kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Kesepakatan ini memberi peluang kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk makin memperluas dakwah Islam tanpa harus disibukkan dengan urusan perang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan menarik lainnya Nurul Azizah
(tirto.id - azz/add)

Penulis: Nurul Azizah Editor: Addi M Idhom Kontributor: Nurul Azizah