Pernyataan yang berkaitan dengan Suku Tengger

Suku Tengger juga biasa disebut dengan wong Brama, atau orang Bromo. Sebutan lainnya adalah wong Tengger. Suku ini menempati daerah dataran tinggi pegunungan Bromo, Semeru, Tengger yang terletak di Jawa Timur.

Sebagian dari masyarakat Tengger juga tersebar dan tinggal di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang. Saat ini, jumlah populasi suku Tengger mencapai 500 ribu jiwa.

Asal Nama Suku Tengger

Berkaitan dengan nama Tengger yang disematkan untuk kelompok etnis ini, setidaknya ada 3 teori yang bisa menjelaskannya, yaitu:

  • Tengger bermakna pegunungan, hal ini sangat sesuai dengan tempat tinggal mereka yang berada di dataran tinggi.
  • Tengger memiliki arti berdiam diri tanpa gerak atau berdiri tegak. Hal ini sangat berkaitan dengan karakteristik masyarakat Tengger yang berbudi pekerti luhur. Watak ini tercermin dalam segala aspek kehidupan yang mereka jalani.
  • Tengger berasal dari gabungan nama leluhur suku Tengger. Kedua nama tersebut adalah Rara Anteng dan Jaka Seger.

Sejarah Suku Tengger

Dipercaya bahwa Suku Twngger merupakan keturunan dari penduduk Kerajaan Majalahit. Pada sekitar abad ke-16, Kerajaan Majapahit mendapat serangan dari kerajaan yang dipimpin oleh Raden Patah. Pada saat itu sering terjadi peperangan dan pertentangan karena perbedaan agama. Agama Buddha dan Hindu yang lebih dulu masuk ke tanah air mulai tergeser dengan masuknya agama Islam.

Pernyataan yang berkaitan dengan Suku Tengger
artisanalbistro.com

Di masa lalu, agar agama dapat tersebar luas terkadang digunakan cara paksaan dengan berperang. Sebab pada masa itu masyarakat masih hidup secara berkelompok dan sangat protektif terhadap kelompoknya.

Musyawarah sulit dilakukan, sehingga saat terjadi serangan dari kerajaan Islam, beberapa penduduk Majapahit lari ke arah pegunungan Bromo. Ada pula yang mengungsikan diri ke Pulau Bali dan akhirnya menjadi Suku Bali yang ada saat ini.

Pengungsi dari Kerajaan Majapahit yang mengungsi ke pegunungan di Jawa Timur memilih untuk menutup diri dari dunia luar. Alasan terbesarnya adalah karena mereka ingin hidup damai dengan kelompoknya, tanpa terlibat peperangan yang baru mereka lewati. Mereka akhirnya membentuk komunitas sendiri yang disebut sebagai Suku Tengger.

baca juga:  Taman Nasional Bukit Dua Belas - Surga Orang Rimba

Dari cerita di atas, muncul dua sosok leluhur Suku Tengger, yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger. Rara Anteng adalah anak dari seorang raja Majapahit yang masuk dalam kasta Ksatria, sementara Jaka Seger adalah anak dari seorang pemuka agama yang masuk alam kasta Brahmana. Jaka Seger yang berasal dari kasta lebih tinggi menikahi Rara Anteng. Mereka berdua ikut mengungsi ke pegunungan Jawa Timur dan menjadi pemimpin bagi masyarakat Tengger.

Pernikahan Rara Anteng dan Jaka Seger memberi dampak bagi kehidupan dan adat istiadat Suku Tengger. Mereka tidak mengenal kasta dalam kehidupan, semuanya menjadi satu saudara dan punya kedudukan yang sama.

Keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger serta para pengikutnya kemudian berkembang menjadi etnis Tengger yang ada sekarang. Pada awalnya, kehidupan mereka sangat tertutup karena ingin melindungi diri dan kelompoknya.

Masyarakat Tengger tidak tersentuh oleh dunia luar sama sekali selama bertahun-tahun. Namun seiring dengan perkembangan jaman, Suku Tengger tidak lagi terlalu menutup diri meskipun mereka tetap memegang teguh tradisi dan adat istiadat warisan nenek moyang.

Agama & Kepercayaan Suku Tengger

Salah satu tradisi Suku Tengger adalah ketaatan dalam menjalankan aturan atau ajaran agama Hindu. Sebagian besar orang tengger adalah pemeluk agama Hindu. Oleh sebab itu, sangat diyakini Suku Tengger merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit yang dahulu merupakan kerajaan Hindu. Hal ini selaras dengan asal-usul kata Tengger yang berasal legenda Rara Anteng dan Jaka Seger.

Bila dalam agama Hindu India ada sistem kasta dalam kehidupan sosial yang bertingkat-tingkat, lain halnya dengan agama Hindu yang dianut masyarakat Tengger. Mereka mengikuti ajaran Rara Anteng dan Jaka Seger yang mengajarkan rasa persaudaraan yang kuat, sehingga tidak ada sistem kasta pada kehidupan masyarakat Tengger. Semua adalah satu saudara dan satu keturunan.

Gunung Bromo adalah tempat yang sakral bagi masyarakat Tengger. Mereka mempercayai gunung ini adalah gunung suci. Setiap 1 tahun sekali, masyarakat Tengger akan mengadakan upacara adat di bawah kaki Gunung Bromo. Tepatnya di sebuah pura yang bernama Pura Luhur Poten Bromo. Upacara tersebut kemudian akan berlanjut ke puncak Gunung Bromo.

Keunikan Suku Tengger

Seperti halnya suku lain yang ada di nusantara, Suku Tengger juga memiliki keunikannya berdasarkan tradisi dan kebudayaan. Beberapa keunikan Suku Tengger antara lain:

Pernyataan yang berkaitan dengan Suku Tengger
Wikimedia Commons

1. Perayaan Hari Karo

Karo bagi masyarakat Tengger adalah hari raya paling besar. Datangnya hari ini sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Tengger. Pada dasarnya, hari raya Karo dirayakan bersamaan dengan hari raya Nyepi.

Saat hari raya Karo, masyarakat Tengger akan melakukan pawai dengan membawa hasil bumi. Kemudian ada pula pementasan kesenian adat seperti pergelaran Tari Sodoran. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan bersilaturahmi ke rumah saudara dan juga tetangga.

Ritual hari raya Karo dipimpin oleh seorang ratu. Ratu dalam masyarakat Tengger mempunyai arti seorang pemimpin yang bertugas untuk memimpin doa. Seorang ratu adalah seorang laki-laki. Selain disebut sebagai ratu, Suku Tengger juga menyebutnya sebagai dukun.

2. Yadnya Kasada

Yadnya Kasada adalah upacara adat yang dilakukan setiap tahun. Acara ini diikuti oleh oleh masyarakat Tengger maupun wisatawan lokal dan mancanegara. Wisatawan dapat melihat langsung jalannya upacara, asalkan tidak mengganggu dan tetap menjaga jarakserta tidak membuat keributan.

Upacara Yadnya Kasada sering juga disebut upacara Kasodo. Upacara tradisional ini dilakukan setiap tanggal 14 di bulan Kasada atau bulan kesepuluh. Yadnya Kasada hanya diikuti oleh masyarakat Tengger yang beragaman Hindu.

Masyarakat Tengger menganggap Gunung Beomo sebagai tempat yang suci. Pada upacara Yadnya Kasada, mereka memberikan seserahan berupa hasil panen seperti buah-buahan, sayuran dan juga hewan ternak. Seserahan ini ditata dengan cantik dan dibawa ke Gunung Bromo sebagai bentuk permintaan berkah dan keselamatan bagi Suku Tengger.

3. Ritual Ojung

Ojung merupakan salah satu kesenian asli Suku Tengger. Kesenian ini berupa perkelahian satu lawan satu menggunakan senjata yang terbuat dari rotan. Mereka akan saling mencambuk satu sama lain dengan rotan tersebut. Pemenang Ojung adalah peserta yang lebih banyak mencambuk. Ojung bisa diikuti oleh pria Tengger dari usia 17 hingga 50 tahun.

Selain merupakan seni pertunjukan, Ojung sekaligus menjadi ritual meminta hujan pada sang pencipta. Ojung biasanya dilakukan di saat musim kemarau. Sebelum memulai Ojung, akan ditampilkan tarian daerah terlebih dahulu, yaitu Topeng Kuna dan Rontek Singo Wulung.

Bahasa Tengger

Orang Tengger menggunakan bahasa Jawi Kuno untuk berkomunikasi sehari-hari. Masyarakat di sekitarnya meyakini bahasa tersebut adalah dialek yang digunakan masyarakat Kerajaan Majapahit. Untuk menulis mantra, orang Tengger menggunakan aksara Jawa Kawi.

Pernyataan yang berkaitan dengan Suku Tengger
solopos.com

Secara linguistik, bahasa Tengger adalah rumpun bahasa Jawa dalam cabang bahasa Formosa atau Paiwanik dari rumpun bahasa Austronesia. Ada anggapan yang menyebut bahasa orang Tengger adalah turunan bahasa Kawi yang mempertahankan kalimat-kalimat Jawa Kuni yang kini tidak lagi digunakan.

Mata Pencaharian Masyarakat Tengger

Hingga kini, mayoritas masyarakat Tengger bekerja dan bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar adalah bertani ladang dengan hasil tani meliputi jagung, kentang, tembakau, wortel, dan kubis.

Selain bertani, berkembangnya pariwisata di Gunung Bromo membuat masyarakat Tengger membuka diri dan berbaur dengan masyarakat suku lain di sekitarnya. Beberapa diantara mereka bekerja sebagai pemandu wisata di Gunung Bromo.

Sistem Kekerabatan

Setiap desa dipimpin oleh kepala desa yang disebut petinggi, serta dibantu oleh carik atau juru tulis kantor desa. Dalam kehidupan masyarakat Tengger, sosok yang dianggap penting dalam kegiatan sosio-religi adalah dhukun. Dhukun adalah sebutan untuk pemimpin upacara menurut agama Hindu Darma sekaligus pemimpin adat.

Dhukun dibantu oleh dua orang yang disebut wong sepuh dan legen. Tugas wong sepuh adalah mengurus dan mengelola upacara adat kematian, serta menyediakan semua sesaji. Sedangkan tugas legen ialah mengurus upacara perkawinan dan perlengkapannya.

Sistem kekerabatan kelompok masyarakat Tengger menganur sistem bilateral. Meski keluarga inti lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam urusan sosial maka kekerabatan bilateral lebih diutamakan.

Sistem pewarisan sama seperti tradisi Jawa pada umumnya, yaitu melalui ungkapan sepikul segendongan. Sepikul untuk anak laki-laki dan segendongan untuk anak perempuan. Artinya adalah anak laki-laki maupun perempuan sama banyak mendapat sumbangan. Dalam kehidupan sosial masyarakat, suku tengger tidak memberlakukan perbedaan status.

20200905