Pada tahun 2004 terjadi hal yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan dengan ditemukannya manusia purba di flores, mengapa?

Sungguh tak sering suatu penemuan ilmiah, apalagi dalam bidang paleoantropologi, menjadi santapan pembaca awam di media massa-baik nasional maupun internasional. Namun itulah yang terjadi dengan penemuan fosil di Flores yang dianggap terpenting di dunia dalam 50 tahun terakhir ini. Sebabnya adalah segera setelah pengumuman penemuan itu di jurnal ilmiah bergengsi, Nature, kontroversi merebak di media massa.

Penemuan fosil oleh Peter Brown dan Mike Morwood dari australia ini menjadi spektakuler karena fosil tersebut dianggap berasal dari spesies baru “manusia kerdil” yang dinamai Homo floresiensis. Namun menyusul diumumkannya penemuan ini secara resmi di beberapa surat kabar, Prof. Teuku Jacob dari Laboratorium Paleoantropologi UGM menyatakan bahwa identifikasi penemuan fosil diatas tidak benar. Menurutnya, spesies baru manusia dari Flores itu sebenarnya manusia modern yang termasuk dalam spesies Homo sapiens dari ras Australomelanisid. Hanya saja menurutnya, fosil manusia Flores tampak istimewa karena menderita penyakit microchepali yang banyak diderita oleh masyarakat Flores.

Untuk memahami lebih jauh kontroversi ini, maka Masyarakat Yogya untuk Ilmu dan Agama (MYIA) Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM menggelar acara Diskusi Publik berjudul “Kontroversi Homo floresiensis: Perspektif Sains dan Agama”. Diskusi ini digelar pada Senin, 10 Januari 2005 di University Center (UC) UGM Bulaksumur.

Hadir sebagai pembicara pada diskusi yaitu Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM), Prof. Dr. Josef Glinka SVD (UNAIR), dan Dr. Hamim Ilyas (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Menurut Prof. Dr. T. Jacob, untuk memahami evolusi manusia, antripogenesis, asal-usul manusia dan paleonantropologi kita perlu mengetahui tentang paleontologi, geologi kuarter, geokronologi, biostratigrafi, paleongeografi, biogeografi, paleoekologi dan paleoklimatologi, taxonomi, primatologi, embriologi anatomi, paleopatologi dan genetika. Manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terus berubah, dan turut mengubah fisik dan budaya manusia. Cukup banyak fosil manusia sudah ditemukan mulai dari Australopithecus, H. habilis, H. ergaster, H. erectus dan H. sapiens awal. “Dari fakta-fakta yang ada telah lahir banyak teori dan hipotesis, yang tentu saja terus berubah dengan adanya temuan baru, fakta ekologis baru, peralatan baru serta temuan-temuan beru dalam biologi dan ilmu-ilmu dasar. Pada hakekatnya teori evolusi mencari cara-cara dan mekanisme terjadinya makhluk hidup dan perubahan-perubahan yang dialaminya melalui masa,” ungkapnya.

Dalam makalahnya berjudul “Rangka Liang Bua dan Evolusi Manusia” ia menjelaskan bahwa acap kali orang menghubungkan evolusi manusia dengan teori Darwin atau Darwinisme. “Darwin sebetulnya hanya menerangkan terjadinya dan perubahan-perubahan spesies malalui seleksi alam. Ini sebenarnya dilakukan bersamaan dengan teori Wallace, sehingga lebih tepat disebut teori Darwin-Wallace. Acap kali Darwinisma diartikan Darwinisme sosial, yang sesungguhnya lebih tepat disebut Spencerisma,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa, teori evolusi sekarang adalah teori sintetis biologis, yang mempergunakan banyak bidang biologi. Teori evolusi biologis ini terus mengalami evolusi pula dengan bertambahnya pengetahuan kita. “Yang pokok dalam teori sintetis ini adalah kepurbaan bumi yang jauh lebih tua daripada yang disangkakan atau dipercaya, dan bahwa spesies dan segala taxa makhluk hidup berubah dari masa ke masa. Perubahan paradigma ini yang penting dalam Darwinisme, yang mempengaruhi banyak disiplin ilmu dengan konsep dinamis, yang menggemparkan para penganut konsep statis. Hasil penciptaan dapat terus berkembang secara autonom dibawah suatu program yang mahabesar. Mengatahui evolusi dan mekanismanya akan membuat orang lebih beriman,” tegasnya.

Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan karst di wilayah Kabupaten Manggarai, Flores, Indonesia. Secara geografis, lokasinya ± 14 km di sebelah utara kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai dan secara astronomi, terletak pada koordinat 08° 31’ 50.4” LS dan 120° 26’ 36.9” BT, dengan ketinggian ±500 m di atas permukaan laut. Nama “Liang Bua” berasal dari Bahasa Manggarai-Flores, “Liang” memiliki arti gua dan “bua” berarti dingin, jadi Liang Bua dapat diartikan “gua yang dingin”

Dilihat dari morfologinya, Liang Bua memang memiliki ciri sebagai hunian pada masa prasejarah. Hal tersebut terlihat dari ukuran gua yang dalam, lebar, dan atap yang tinggi, serta lantai gua yang luas dan relaif datar. Mulut gua yang menghadap ke timur laut turut mendukung untuk mendapatkan sinar  matahari cukup dan sirkulasi udara yang baik. Lokasi gua yang dekat dengan aliran sungai (Sungai Wae Racang dan Wae Mulu), turut mendukung penghuninya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sejak dilakukan penelitian pada tahun 1965 oleh Theodore Verhoeven, seorang Pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, kemudian dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) tahun 1978 – 1989, dan berlanjut dengan penelitian kerjasama antara Puslit Arkenas dengan Universitas New England dan Universitas Wollongong, Australia dari tahun 2001 hingga saat ini di Situs Liang Bua, telah banyak menghasilkan temuan arkeologi yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan.

Temuan paling spektakuler ditemukan pada 2003 yaitu fosil manusia purba Homo Floresiensis. Penemuan manusia purba ini sangat menggemparkan dunia arkeologi baik nasional maupun internasional dan cukup mengundang kontroversi. Kerangkanya ditemukan pada lapisan Plestosen Akhir di kedalaman 5,9 m. Pada lapisan ini, ditemukan kurang lebih 9 individu Homo Floresiensis, akan tetapi hingga saat ini hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh (Liang Bua 1/LB1). Dilihat dari ciri fisiknya, kerangka tersebut berjenis kelamin perempuan, diperkirakan berusia 25-30 tahun, dan memiliki karakeristik fisik yang unik, yaitu tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar. Bagian tengkorak memiliki ciri-ciri arkaik, seperti tulang kening menonjol dengan dahi miring ke belakang, volume otak 380 cm3 (diukur dengan mustard seed) dan 417 cm3 (diukur secara digital dari data CT scan). Bagian wajah menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar, serta tidak memiliki dagu.

Untuk mengetahui pertanggalan Situs Liang Bua dilakukan serangkaian analisis laboratorium melalui 7 teknik yang berbeda, yaitu: Radiocarbon/C14, Luminescene (Thermoluminescene/TL, Optically-stimulated Luminescene/OSL, Infrared-stimulated Luminescene/IRSL), Electron Spin Resonance/ESR, Uranium-series/U-series, dan gabungan ESR/U-series.

Hasil analisis yang dilakukan pada tahun 2003 menyatakan bahwa Situs Liang Bua berusia sekitar kurang lebih 13.000 – 12.000 tahun yang lalu. Namun, pada tahun 2007-2014 para peneliti Situs Liang Bua dari Puslit Arkenas bekerja sama dengan Universitas Wollongong, Australia dan Program dari Smithsonian Institute melakukan evaluasi terhadap usia tulang Homo Floresiensis dan sedimen yang mengandung fosil.

Melalui analisis sedimen, didapat bukti stratigrafi baru dan kronologi situs Liang Bua. Berdasarkan hasil analisis, diketahui situs Liang Bua berusia antara 60.000 – 100.000 tahun yang lalu, sedangkan alat batu mereka diperkirakan berusia antara 50.000 – 190.000 tahun yang lalu, jauh lebih tua dibandingkan hasil sebelumnya. Hewan-hewan yang turut punah beserta Homo Floresiensis adalah gajah kecil, burung Marabou raksasa, burung Nazar, dan komodo.  Hasil analisis terbaru yang lebih mendetail telah diterbitkan dalam Majalah Nature.

Meskipun telah dilakukan evaluasi dan dilakukan analisis kembali dengan hasil baru, namun ada pertanyaan yang masih belum terjawab, seperti apa alasan spesies Homo Floresiensis ini punah? Apakah Homo Sapiens turut andil dalam kepunahan mereka? Untuk menjawab pertanyaan diatas merupakan fokus penelitian selanjutnya. (Tim Penelitian Situs Liang Bua)

Pengumuman tentang penemuan manusia jenis apa yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan pada tahun 2004?

Penemuan Homo floresiensis yang dipublikasikan pada 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut menganggap Homo floresiensis sebagai keturunan spesies Homo erectus yang hidup di Asia Tenggara sekitar satu juta tahun lalu.

Siapakah yang menemukan fosil manusia Liang Bua?

Menurut Arfan Diansyah, Flores Tanjung, dan Abdul Haris Nasution dalam buku yang berjudul Prasejarah Indonesia, manusia Liang Bua atau Homo florensis adalah jenis manusia purba yang fosilnya pertama kali ditemukan di Pulau Flores oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September 2003.