Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games

antvklik.com -  - Penyelenggaraan Asian Games ke-18 ini merupakan kali kedua Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara. Yang pertama kali pada tahun 1962, tepat 17 tahun setelah Indonesia merdeka.

Untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games pada waktu itu lahirlah bangunan-bangunan yang menjadi Proyek Mercusuar Soekarno agar Indonesia mendapat perhatian dalam pergaulan di kancah internasional.

Saat itu, tak ada apapun juga yang dimiliki oleh Indonesia untuk menyelenggarakan event olahraga terbesar benua Asia yang diikuti oleh 17 negara. Meskipun situasi Indonesia tengah dilanda krisis keuangan, Sukarno tetap pada pendiriannya. Bagi Presiden Pertama RI ini, momen Asian Games 1962 adalah ajang pembuktian pada dunia luar, bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain.

Dengan hanya memiliki waktu 4 tahun dari penunjukkan Dewan Federasi Asian Games pada 23 Mei 1958, maka Soekarno merasa wajib mewujudkan Jakarta agar dapat menampilkan wajah Indonesia kepada dunia. Berikut beberapa bangunan bersejarah peninggalan Asian Games 1962.

Stadion Utama Gelora Bung Karno

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Stadion Utama Senayan selesai pembangunannya pada 21 Juli 1962

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Stadion Utama Senayan dalam Tahap Pembangunan. Ciri khas bangunan ini adalah atap temu gelang berbentuk oval. Sumbu panjang bangunan (utara-selatan) sepanjang 354 meter; sumbu pendek (timur-barat) sepanjang 325 meter. Stadion ini dikelilingi oleh jalan lngkar luar sepanjang 920 meter. Bagian dalam terdapat lapangan sepak bola berukuran 105 x 70 meter, berikut lintasan berbentuk elips, dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,2 meter

Stadion yang kerap menggelar pertandingan sepakbola Internasional ini berada di kompleks Gelanggang Olahraga Bung Karno, Jakarta.

Kunjungan Soekarno ke Moskow pada 1956 membawa kesan tersendiri baginya. Sewaktu di Moskow, dia sempat menyaksikan kemegahan Stadion Lenin. Dalam perencanaan rancangan Stadion Utama GBK, Soekarno ingin menyamai konsep kemegahan, kekokohan struktur serta artistik dari Stadion Lenin.

Rancangan stadion Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK)pun dikerjakan L. S. Tyatenko, arsitek yang mengerjakan desain Stadion Lenin. Secara keseluruhan pembangunan kompleks olahraga Senayan menelan biaya US$12,5 juta dolar. Sumber pendanaan proyek itu diperoleh dari bantuan kredit Uni Soviet.

Hotel Indonesia

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Bangunan Hotel Indonesia dirancang oleh arsitek Abel Sorensen dan istrinya, Wendy, asal Amerika Serikat. Menempati lahan seluas 25.082 meter persegi, hotel ini mempunyai slogan A Dramatic Symbol of Free Nations Working Together.

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Dalam peresmian Hotel Indonesia 5 Agustus 1962, Presiden Soekarno menyebut Hotel Indonesia adalah wajah muka Indonesia, dengan judul pidatonya "Tunjukkanlah Kepribadian Indonesia"

Hotel Indonesia juga menjadi salah satu gedung yang dibangun guna menyambut Asian Games 1962 menjadikannya sebagai hotel berbintang pertama yang di bangun di Jakarta, Indonesia yang berdiri kokoh 14 lantai.

Soekarno yang sempat singgah di Amerika Serikat ketika berkunjung ke Gedung Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, sangat terkesan dengan penampilan bangunan tersebut. Bung Karno akhirnya menunjuk sang arsitek, Abel Sorensen, asal Amerika Serikat, untuk membantunya merancang Hotel Indonesia. Proyek pembangunan Hotel Indonesia dibiayai dengan uang hasil Perjanjian Pampasan Perang dari Jepang dan secara resmi dibuka pada tanggal 5 Agustus 1962 oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Monumen Selamat Datang

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Presiden Sukarno membangun Monumen Selamat Datang dalam rangka Asian Games IV yang diadakan di Jakarta. Para atlet dan ofisial menginap di Hotel Indonesia dan bertanding di komplek olahraga Ikada, sekarang komplek Gelora Bung Karno.
(sumber foto : Kompas)

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
Tinggi patung perunggu ini dari kepala sampai kaki 5 m, sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah kira-kira7 m, dan tinggi kaki patung adalah 10 m

Patung Selamat Datang yang dibuat oleh Edhie Sunarso pada tahun 1961 sebagai bentuk simbolis penyambutan tamu-tamu mancanegara. Pada masa itu semua tamu asing yang datang di Jakarta masuk melalui bandara Internasional Kemayoran dan langsung menuju ke hotel Indonesia yang menjadi tempat penginapan bagi mereka, sehingga sebelum mereka memasuki hotel maka mereka akan mendapatkan patung Selamat Datang ini di depannya.

Jembatan Semanggi

Pada masa Demokrasi Terpimpin diadakan event kejuaraan olahraga Asian Games
 Jembatan Semanggi diawali pembuatannya atas prakarsa dari Presiden Soekarno, di tahun 1961.
Jembatan Semanggi dinamai sesuai bentuknya yaitu daun Semanggi, jembatan tersebut terletak di daerah Karet, Semanggi, Setiabudi

Jembatan Semanggi merupakan arsitektur monumental yang juga digagas oleh Soekarno. Demi mengantisipasi kemacetan lalu lintas saat Asian Games berlangsung, maka jembatan ini dibangun.

Bung Karno memilih nama Semanggi karena bentuk jembatan yang dibangun oleh Menteri PU Ir Sutami itu menyerupai daun Semanggi. Bung Karno pernah mengemukakan filosofi daun Semanggi, yaitu simbol persatuan. Jembatan ini diklaim sebagai cloverleaf bridge terbesar di Asia Tenggara diresmikan tahun 1962. Tak salah apabila Proyek Asian Games IV Jakarta 1962 merupakan implikasi dari politik luar negeri Mercusuar yang dicetuskan Soekarno.

Ditulis oleh Tomas Satiri, Reporter ANTV Sport

Sumber Foto : goodnewsfromindonesia.id, Kompas, FB Bintoro Hoepoedio

Hari Olahraga Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 September bisa menjadi momentum untuk memberikan penghargaan...

tirto.id - Menjelang akhir dekade 1950-an perekonomian Indonesia dalam keadaan berat. Inflasi dan kelangkaan barang menjadi hal lumrah di mana-mana. Pemerintah bukan tak berupaya, hanya saja hasilnya tak menunjukkan progres membaik.

Menilik kondisi itu Mohammad Hatta hanya bisa geram. Ia sudah bukan lagi wakil presiden dan tak ada guna berharap kepada Sukarno, kawan seperjuangannya dulu. Tetapi, ia tahu itu bukan salahnya seorang.

"Presiden Sukarno yang memimpin pemerintahan diakuinya mempunyai ‘cita-cita, tetapi [ia] bukan ahli ekonomi, sedangkan orang yang disuruh menjalankan ekonomi tidak mengerti seluk-beluk ekonomi’. [...] Akibatnya, ‘semua menjadi kacau’," tulis Deliar Noer mengutip Hatta dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990, hlm. 567).

Baca juga:

  • Perjumpaan dan Perpisahan Dwitunggal Sukarno-Hatta

Karena itu Hatta bertambah geram ketika tahu pada 1958 pemerintahan Sukarno begitu ngotot mengajukan diri menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. Kali ini ia sampai perlu menyurati langsung Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958 untuk menyatakan keberatannya itu.

Alasannya, ongkos penyelenggaraan yang besar tak sepadan dengan kemampuan ekonomi Indonesia dewasa itu. Lagi pula ada permasalahan politik yang tak kalah penting: keikutsertaan Israel dan Taiwan. Kedua negara itu belum sepenuhnya diterima oleh negara Asia lain. Konsekuensi politik internasionalnya agak berat, menurut Hatta. Karena itu, kepada PM Djuanda, Hatta meminta agar pengajuan proposal tuan rumah Asian Games ke-4 baiknya ditinjau kembali.

Tetapi, pemerintah sudah tak bisa mundur. Sukarno pun jelas tak ingin mundur. Lantas, apa yang membuat Indonesia begitu percaya diri mampu menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 1962 di tengah keterbatasan ekonominya?

Baca juga:

  • Asian Games: Hasrat Politik Sukarno & Ambisi Infrastruktur Jokowi

Setelah Dua Kali Gagal

Bukan hanya sekali Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games. Upaya itu bahkan sudah dimulai sejak Asian Games pertama di India pada 1951. Saat itu Asian Games Federation (AGF) menolak proposal Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games kedua.

Proposal kedua kembali diajukan kepada sidang AGF yang bertepatan dengan Asian Games kedua pada 1954 di Filipina. Selain masalah ekonomi, AGF menilai kondisi politik dan keamanan Indonesia kurang kondusif. Kenyataannya memang pemerintah Indonesia dibuat pusing oleh pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), dan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.

Baca juga:

  • Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan

“Lagi-lagi, masih belum ada kepercayaan AGF terhadap kemampuan pemerintah Indonesia untuk menjamin kelancaran atau berlangsungnya AG III tahun 1958. Sebagian besar anggota AGF lebih memilih Tokyo untuk menyelenggarakan AG III tahun 1958," tulis Amin Rahayu dalam tesisnya, Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya (2012, hlm. 5).

Amin Rahayu meneliti seluk-beluk penyelenggaraan Asian Games ke-4 pada 1962, termasuk usaha-usaha delegasi pemerintahan Bung Karno melobi AGF agar bersedia menerima proposal Indonesia.

Pemerintahan Sukarno kembali mengajukan proposal pada Asian Games ke-3 pada 1958 di Tokyo. Kala itu delegasi Indonesia diwakili oleh Menteri Olahraga R. Maladi dengan anggota Sri Paku Alam VIII dan Dr. A. Halim. Ketiganya membawa misi berat dari Presiden Sukarno: meyakinkan AGF agar Asian Games ke-4 dilangsungkan di Jakarta.

Baca juga:

  • Pasukan Andi Azis Menolak Tentara dari Jawa
  • Kekecewaan Kartosoewirjo yang Memicu Proklamasi NII

Jakarta kala itu belum jadi metropolitan sebagaimana sekarang. Infrastruktur olahraga yang dimiliki Jakarta hanya lapangan Ikada. Akomodasi penunjang lain seperti hotel dan sarana transportasi masih ala kadarnya. Saingan Indonesia kala itu adalah Taiwan dan Pakistan yang nisbi lebih siap.

Meski begitu, Indonesia memiliki satu jaminan yang diharapkan bisa meyakinkan AGF: pembayaran pamapasan perang Jepang untuk pembangunan.

Agaknya jaminan itulah yang kemudian cukup bisa meyakinkan anggota AGF. Proposal Indonesia akhirnya diterima setelah melalui debat dan pemungutan suara yang melelahkan.

Dalam tesisnya, Amin menulis, “Pada saat proses penghitungan suara dalam sidang AGF, yang dihadiri secara lengkap oleh para anggotanya, yang diselenggarakan di Sankei Kaikan, akhirnya Jakarta berhasil mengumpulkan 22 suara pendukung, menang tipis atas Karachi, ibukota Pakistan, yang memperoleh 20 suara, sementara satu suara dinyatakan void atau batal."

Baca juga:

  • Olimpiade Tandingan yang Menyatukan Politik dan Olahraga

Demi Wibawa Internasional

Menurut Amin Rahayu, motivasi terbesar Indonesia ingin menjadi tuan rumah Asian Games demi menunjukkan Indonesia adalah "bangsa besar" meski baru saja merdeka. Jadi, Sukarno merasa perlu mengangkat nama, harkat, dan martabat bangsa Indonesia di mata internasional. Motivasi kedua demi menunjukkan prestasi olahraga Indonesia di mata internasional.

“Hal ini dilakukan dengan upaya meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana olahraga," tulis Amin. Karena itulah persiapan Asian Games ke-4 berkelindan dengan visi besar pembangunan Indonesia ala Bung Karno.

Soal ini juga dikuatkan oleh sejarawan Restu Gunawan. Sukarno selalu mengangankan Indonesia sebagai "mercusuar dunia" dengan Jakarta sebagai pusatnya. Asian Games ke-4 adalah momen awal pembangunan fisik besar-besaran di Jakarta.

"Dalam gagasan Bung Karno ada sebuah paket segitiga pembangunan. Kawasan sekitar Monumen Nasional ditentukan sebagai pusat pemerintahan, Senayan pusat olahraga dan budaya, sebelah barat Senayan sebagai political venue," tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010, hlm. 74-75).

Baca juga:

  • Cara Legendaris ala Hatta Mengkritik Sukarno

Akan tetapi, karena kebijakan yang terlihat hanya menghamburkan uang negara itu, Bung Karno menuai banyak kritik.

Kritik Hatta hanyalah salah satunya. Meski begitu, toh Sukarno jalan terus. Ia tahu benar bahwa prioritas kala itu adalah memberantas kemiskinan rakyatnya. Namun, kebanggaan nasional juga penting.

“Ini semua bukanlah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia," ujar Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 354).

"Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibukotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia. [...] Ya, memberantas kelaparan memang peting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan—ini juga penting," tambah Sukarno.

Proyek-Proyek Mercusuar Sukarno

Amin Rahayu dalam penelitiannya menyebut bahwa persiapan untuk mengegolkan proposal Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 sudah direncanakan sejak 1957.

Kala itu pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk membahas persoalan ekonomi dan politik nasional. Salah satu bahasannya adalah biang dua kali kegagalan proposal Indonesia kepada Asian Games Federation. Karena itu Musyawarah memutuskan perlu pembangunan sarana dan prasarana olahraga yang memadai untuk gelaran internasional (hlm. 8-9).

Indonesia mendapat angin segar dari perjanjian pampasan perang dengan Jepang, yang sempat macet tapi akhirnya disepakati pada 15 April 1958. Itu tepat sebulan sebelum sidang AGF di Tokyo yang membahas pelaksanaan Asian Games 1962. Karena kesepakatan itulah delegasi Indonesia punya jaminan untuk menjadi tuan rumah pesta olahraga terakbar se-Asia itu.

“Jumlah pampasan perang senilai 223.390.000 juta dolar AS akan dilunasi selama 12 tahun dengan cicilan 20 juta dolar AS selama 11 tahun, dan sisanya 3,08 juta dolar AS akan dilunasi pada tahun ke-12. Dengan demikian berarti pembayaran tersebut akan lunas pada tahun 1970," tulis Amin dalam tesisnya (hlm. 33).

Proyek pertama yang kemudian dibangun dari dana pampasan perang itu adalah Hotel Indonesia. Hotel mewah bintang lima pertama di Indonesia itu mulai dibangun pada 1959. Selain disiapkan untuk menampung tamu-tamu luar negeri selama Asian Games berlangsung, HI juga menjadi tonggak awal pengembangan pariwisata Indonesia.

Baca juga:

  • Hotel Indonesia: Proyek Mercusuar Sukarno untuk Asian Games
  • Sarinah, Proyek Mercusuar Sukarno

Proyek selanjutnya tentu saja pembangunan sarana olahraga berstandar internasional sesuai persyaratan AGF. Sejarawan Restu Gunawan menyebut semula Sukarno merencanakan pembangunan kompleks olahraga di daerah Bendungan Hilir seluas 300 hektare. Rencana ini tak diteruskan karena ditolak oleh Gubernur Jakarta Soemarno Sostroatmodjo, yang mengusulkan daerah Rawamangun saja karena masih kosong (hlm. 74).

Bung Karno lantas mengajak arsitek kesayangannya Friedrich Silaban untuk bersama mencari lokasi yang lebih cocok untuk dibangun kompleks olahraga. Dengan helikopter, keduanya mulai mengamati daerah selatan Istana. Mereka mengamati daerah sekitar Bendungan Hilir dan Senayan.

"Dalam penerbangan tersebut, Silaban mengarahkan agar helikopter berputar di atas Senayan. Sampai akhirnya, secara perlahan muncul ide Bung Karno bahwa daerah Senayan cocok untuk stadion," tulis Restu.

Baca juga:

  • Soemarno Sosroatmodjo: Gubernur Jakarta Penggagas Rumah Murah
  • Friedrich Silaban, Sentuhan Tangan Anak Pendeta di Masjid Istiqlal

Kala itu kawasan Senayan merupakan kampung dengan daerah rawa dan kebun. Karena pertimbangan itulah Sukarno memilih daerah Senayan sebagai lokasi kompleks olahraga untuk Asian Games.

Sebagai langkah awal, pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan menggusur dan memindahkan warga ke daerah lain pada 1959. Empat kampung yang digusur adalah Senayan, Petunduan, Kebon Kelapa, dan Bendungan Hilir. Penduduk empat kampung itu lalu direlokasi ke daerah Tebet.

Restu menulis, "bekas penduduk Senayan yang dipindahkan ke Tebet menerima kaveling masing-masing keluarga seluas minimal 100 meter persegi, dengan membayar harga maksimal 60 persen dari ganti rugi atas tanah hak milik mereka di Senayan."

Restu juga menyebut bahwa pembangunan kompleks olahraga yang nantinya disebut sebagai Gelora Bung Karno itu dibantu pembiayaannya oleh Uni Soviet. Sukarno berhasil melobi Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev untuk mendapatkan pinjaman lunak sebesar 12,5 juta dolar AS. Pembangunan Gelora Bung Karno resmi dimulai pada 8 Februari 1960.

Menurut Amin Rahayu, pembangunan-pembangunan besar semasa Demokrasi Terpimpin diamankan dengan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pembangunan infrastruktur terkait Asian Games 1962 yang masuk dalam beleid ini di Jakarta adalah Gelora Bung Karno, Pembangunan Monumen Nasional, Pembangunan TVRI, Wisma Warta, dan Tugu Selamat Datang.

Baca juga:

  • Sejarah Monas dan Ironi Cita-Cita Bung Karno
  • Kemesraan Jakarta-Moskow dalam Kunjungan Khrushchev ke Indonesia

Restu juga mencatat beberapa proyek lain yang tak kalah besar selama persiapan Asian Games: Sebuah jalan raya baru yang menghubungkan Slipi dan Cawang; serta pelebaran ruas Jalan Sudirman hingga Thamrin.

“Untuk menghubungkan jalan baru, dibangun jalan memotong Jalan Sudirman yang dibuat setengah lingkaran sehingga menyerupai daun semanggi (cloverleaf, klaverblad)," tulis Direktur Seni dan Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan itu.

Itulah yang kini kita kenal sebagai Jembatan Semanggi.

Sukarno juga membangun Jakarta bypass sepanjang 27 kilometer Pelabuhan Tanjung Priok ke pusat kota Jakarta. Menurut Restu proyek-proyek jalan inilah yang memicu pertumbuhan permukiman di Cempaka Putih dan Pulo Gadung (hlm. 78-79).

Seturut penelusuran Amin Rahayu, selain mengandalkan pinjaman luar negeri, pemerintahan Sukarno juga mengalokasikan anggaran khusus untuk proyek-proyek kolosal itu. Total, negara menganggarkan dana senilai Rp 3,637 miliar. Dana itu dianggarkan untuk tahun 1961 sebesar Rp 1,537 miliar dan 1962 sebesar Rp 2,100 miliar.

Untuk mengejar tenggat waktu pelaksanaan Asian Games ke-4, yang sedianya dilangsungkan pada Agustus 1962, seluruh proyek itu dikerjakan secara serentak. Tak hanya melibatkan pekerja bangunan biasa, kesatuan Zeni TNI AD juga ikut diterjunkan.

“Pada saat puncak penyelesaiannya, lebih dari 40 sarjana teknik dari Indonesia, siang-malam harus turun tangan memimpin sekitaran 12.000 tenaga kerja sipil dan militer, yang datang secara bergiliran dalam tiga shift. Selama pelaksanaan tugasnya, para teknisi Indonesia tersebut didampingi oleh tenaga ahli bantuan teknis dari Uni Soviet," tulis Amin Rahayu (hlm. 89).

Proyek-proyek itu hampir semuanya selesai tepat pada waktunya. Indonesia pun cukup sukses sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962 itu.

Baca juga:

  • Mencari Tenang di Kemang

Hingga kini proyek-proyek monumental itu masih dapat kita saksikan dan berfungsi. Namun, selain kebanggaan, monumen-monumen itu juga mewariskan dampak negatif.

Sejarawan Restu Gunawan menyebut pemindahan warga Senayan ke Tebet dan beberapa daerah lain sebenarnya menyalahi rencana pembangunan Jakarta. Tebet dan Kemang, misalnya, sejak zaman Belanda sudah ditetapkan sebagai daerah penggenangan banjir. Kepadatan penduduk yang terjadi setelahnya justru membikin runyam warganya kini.

“Dampaknya sejak tahun 1960-an, daerah Lembah Setiabudi (Karet), Lembah Tebet, dan Kemang selalu kebanjiran," tulis Restu. "Lembah Setiabudi terkena limpahan air dari kanal banjir dan daerah-daerah sekitarnya yang sudah terbangun sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi ke kanal banjir. Sementara itu, daerah Kemang terkena banjir dari Sungai Krukut yang meluap. Warga Tebet terkena banjir dari Sungai Ciliwung."

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 1962 atau tulisan menarik lainnya Fadrik Aziz Firdausi
(tirto.id - fdr/fhr)


Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Fahri Salam

Subscribe for updates Unsubscribe from updates