Orang yang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah bernama

Orang yang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah bernama
abu bakar

BincangSyariah.Com – Pada masa Rasulullah Saw, tugas Rasul tidak saja sebagai pembawa risalah Islam, akan tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat. Setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat Rasulullah Saw. merasakan adanya kekosongan kepemimpinan di tengah masyarakat, dan para sahabat Nabi pun berkumpul untuk menentukan pilihannya.

Para sejarahwan seperti Ibnu Ishaq, al-Thabari menceritakan bahwa sesaat setelah Rasulullah wafat, para sahabat Nabi pun dibuat tidak percaya akan hal tersebut. Sepeninggalnya Nabi, kondisi masyarakat masih dalam keadaan tidak menentu. Maka kaum muslim di Madinah berusaha untuk mencari penggantinya.

Ibnu Ishaq menceritakan bagaimana masyarakat Ansor dan Muhajirin berbeda pendapat terkait siapa yang menjadi suksesi Nabi pascawafatnya. Suksesi di sini bukanlah dalam persoalan kenabian, tetapi menjadi pengganti Rasulullah Saw. Karena bagi para sahabat sangat mafhum bahwa tidak ada lagi Nabi setelahku.

Pertentangan terkait proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Ketika kaum Muhajirin dan Ansor berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah.

Kaum Ansor mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti Nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy.

Akan tetapi, hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Ansor). Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.

Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatan pun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Para ulama menyebutkan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang pernah menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai imam salat. Pesan secara tersirat bahwa Abu Bakar memang layak menggantikan Rasulullah.

Di sisi lain, untuk menghindari perseteruan berkepanjangan antara kaum Muhajirin dan Ansor, di mana kaum Ansor sudah berkumpul di Bani Tsaqifah untuk mengangkat Saad bin Ubadah sebagai pemimpin, Abu Bakar al-Shiddiq menghampiri mereka dan melakukan distribusi kekuasaan.

Abu Bakar al-Shiddiq mengatakan, kami adalah pemimpinnya, dan kalian adalah para menterinya (Nahnu al-Umara’ wa Antum al-Wuzara’). (lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-Suyuthi)

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya mulus karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum Muhajirin dan Ansor dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membaiat Ali bin Abi Thalib dengan anggapan bahwa beliau lebih patut menjadi khalifah karena berasal dari bani Hasyim yang berarti ahlul bait.

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun.

Pasca pengangkatan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, ia diberi gelar dengan khalifat rasulillah (pengganti Rasulullah). Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak mengklaim dirinya sebagai ‘pemimpin’ umat Islam atau amirul mukminin. Adapun gelar amirul mukminin baru ada ketika kekhalifahan al-Rasyidin berada di bawah sahabat Umar bin al-Khattab.

Wallahu A’lam.

Salah satu kedudukan Rasulullah saw di tengah-tengah umatnya adalah sebagai kepala negara. Begitu beliau wafat, otomatis negara telah kehilangan sosok pemimpin. Tentu, pasca kewafatannya, para sahabat membutuhkan pengganti demi menjaga stabilitas umat.


Sebelum Rasulllah wafat, beliau tidak menyampaikan pesan apapun untuk suksesi pemimpin setelahnya. Akibatnya, umat bingung untuk menunjuk orang sebagai pengganti. Kendati demikian, ada pesan tersirat yang sempat beberapa kali Nabi sampaikan semasa hidupnya terkait sosok yang layak menduduki kursi kepala negara, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq.


Banyak hadits-hadits Nabi yang secara implisit mengindikasikan Abu Bakar sebagai khalifah pasca kewafatan Nabi. Bahkan kualitas hadits-hadits tersebut sampai pada derajat mutawatir, baik pesannya secara jelas ataupun sebatas isyarat. Salah satunya adalah hadits riwayat Siti ‘Aisyah ra, ia berkata:


قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه: ادعي لي أبا بكر وأخاك حتى اكتب كتابا، فإني أخاف أن يتمنى متمنٍّ ويقول قائل: أنا أولى، ويأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فكلمته في شيء فأمرها بأمر، فقالت: أرأيت يا رسول الله إن لم أجدك؟ قال: إن لم تجديني فأتي أبا بكر


Artinya: “Rasulullah saw berkata kepadaku ketika beliau sakit, ‘Panggillah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata, ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mu’minin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah. Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi saw mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Perempuan itu bertanya, ‘Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: ‘Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Berkaitan dengan riwayat di atas, Imam Ibnu Hazm menjelaskan, hadits ini merupakan redaksi yang cukup jelas terkait diangkatnya Abu Bakar menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Melengkapi penjelasan Ibnu Hazm, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga mengatakan, hal ini juga menjadi kontra narasi bagi kelompok yang mengklaim bahwa khalifah yang layak setelah Nabi wafat adalah Sahabat Ali dan Abbas. (Nashir bin ‘Ali A’id, ‘Aqidatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, h. 539)


Detik-detik diangkat menjadi khalifah

Diangkatnya Abu Bakar menjadi khalifah betul-betul dalam keadaan yang sangat krusial. Pada hari kedua pasca Rasullah wafat, kaum Anshar berkumpul di balai Bani Sa’idah (Tsaqifah Bani Sa’idah) dan menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah (yang kebetulan dari Madinah dan kalangan Anshar sendiri). 


Mendengar hal itu, segera Umar bin Khattab bersama bersama Abu Bakar dan Abu Ubaidillah bin Jarrah menyusul perkumpulan orang-orang Anshar dan berhasil mengubah keadaan. Abu Bakar diberi kesempatan untuk berpidato menyampaikan bahwa orang yang berhak menjadi khalifah harus dari suku Quraisy. Hal ini berdasarkan beberapa sabda Nabi saw. Salah satunya adalah hadits berikut,


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :اَلنَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هٰذَا الشَّأْنِ. مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ. وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ


Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Manusia itu dalam urusan ini menjadi pengikut kaum Quraisy. Orang Muslim dari mereka mengikuti muslim Quraisy, demikian pula orang Kafir mereka mengikuti orang yang kafir dari kaum Quraisy.” (HR Bukhari dan Muslim)


Alasan suku Quraisy mendapatkan superioritas adalah karena pada era jahiliah, suku Quraisy merupakan pembesar-pembesar masyarakat Arab. Selian itu, mereka juga penduduk asli Tanah Haram (Makkah). Begitu mereka memeluk Islam dan Makkah ditaklukkan oleh Muslim, orang-orang mengikuti mereka dan berbondong-bondong masuk Islam. (Darul Ifta al-Mishriyah, juz 8, h. 180)


Tentu, superioritas suku Quraisy ini tidak lagi relevan untuk konteks sekarang.


Melanjutkan pidatonya, Abu Bakar menyampaikan agar Umar bin Khattab atau Abu Ubaidillah bin Jarrah yang diangkat sebagai khalifah. Namun usulannya tidak mendapat respons sama sekali. Orang-orang justru terkesan dengan apa yang baru saja Abu Bakar sampaikan. Saat itulah Umar bin Khattab bangun untuk membaiat Abu Bakar, tapi langkahnya didahului oleh seorang tokoh dari Khazraj bernama Basyir bin Sa’ad. 


Setelah itu, menyusul kemudian Umar, Abu Ubaidillah, dan seluruh orang-orang yang hadir di lokasi, termasuk tokoh suku Aus yang bernama Asid bin Khudair. Bai’at ini masih terbatas, mengingat hanya dihadiri oleh kaum Anshar dan beberapa dari kaum Muhajirin. Tidak ada ahlul bait yang terlibat dalam pembai’atan itu, termasuk juga sahabat-sahabat senior seperti Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lain.


Pada hari berikutnya, atau bertepatan dengan hari ketiga setelah kewafatan Rasulullah, dilaksakanlah bai’at secara terbuka di masjid. Semua orang berkumpul dan membai’at Abu Bakar. Laki-laki membai’at dengan menjabat tangan, sementara perempuan cukup dengan menggunakan isyarat ucapan. 


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta