Orang yang beribadah dengan ikhlas akan mendapat

Perbuatan baik apa saja jika tidak dilakukan dengan ikhlas maka dianggap tidak sempurna dan bahkan tidak memiliki nilai apa-apa. Oleh karena itu ikhlas adalah menjadi bagian yang amat penting dari semua kegiatan ibadah. Sekalipun begitu tidak mudah menjalankannya.

Ikhlas adalah perbuatan hati. Siapapun tidak bisa membantu agar sempurna, oleh karena bersifat individu, atau sangat pribadi. Orang lain hanya bisa memberi saran atau peringatan yaitu bahwa agar semua perbuatan baik, amal, ibadah didasari oleh keikhlasan. Sementara itu, yang bersangkutan sendiri yang bisa menata hatinya, agar ikhlas itu.

Bahkan, perbuatan hati berupa ikhlas itu tidak perlu dilaporkan kepada siapapun. Seseorang yang mengatakan bahwa ibadahnya dilakukan dengan ikhlas, maka bisa jadi sebenarnya justru tidak ikhlas. Ikhlas adalah suara hati yang tidak perlu diucapkan. Suara itu hanya patut disampaikan kepada Tuhan dan tidak perlu kepada sesama manusia.

Ibadah apapun seharusnya dilakukan dengan sempurna. Berdzikir, shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain tidak akan sempurna dan bahkan tidak akan ada gunanya jika tidak dibarengi dengan niat ikhlas itu. Memang, semua ibadah, setidaknya melibatkan tiga aspek, yaitu hati atau qolby, ucapan atau qouly, dan perbuatan atau fi'ly. Ketiganya harus dilakukan secara sempurna.

Di antara ketiga aspek dimaksud yang paling sulit dilakukan dalam beribadah adalah justru yang memiliki posisi terpenting, yaitu niat dimaksud. Terkait dengan ucapan atau doa yang seharusnya diucapkan atau bagian tubuh yang seharusnya digerakkan adalah mudah dilakukan. Hal itu bisa dilatih. Yang dibutuhkan, agar berhasil menjadi benar, hanyalah berlatih dengan tekun dan sabar.

Namun betapapun tepatnya aspek qouly dan fi'ly dalam rangkaian ibadah itu, jika tidak disempurnakan dengan suara batin, hati, atau qolby yang benar, maka ibadah yang dimasksudkan itu tetap tidak akan nyampai pada tujuan yang sebenarnya. Namun sayangnya, orang lebih sibuk berdebat tentang hal yang mudah itu.

Sebagai contoh sederhana, orang menyukai berdebat tentang perlu tidaknya doa qunut, adzan jum'ah dua atau satu kali, jumlah bilangan raka'at shalat tarweh, niat itu harus diucapkan atau tidak, hisab atau ru'yat, dan seterusnya. Sekalipun hal itu penting, yaitu bahwa ucapan doa atau qouly dan atau gerak anggota ubuh atau fi'ly itu penting, tetapi ada yang jauh lebih penting lagi, yaitu suasana batin atau qolby yang ikhlas.

Ada saja orang merasa bahwa ibadahnya paling benar, sedangkan yang lain dianggap keliru. Padahal yang dimaksudkan benar itu adalah baru pada tataran qouly dan fi'lynya. Kebenaran pada kedua aspek tersebut masih harus disempurnakan dengan ketepatan pada suara hatinya masing-masing. Sementara itu, merasa benar dan apalagi menyalahkan orang lain adalah merupakan ekspresi dari ketidak-ikhlasannya, atau setidaknya akan mengganggu hati orang lain, yang hal itu seharusnya dihindari.

Memperhatikan lingkup keseluruhan aspek ibadah seperti itu, maka seharusnya tidak perlu saling menyalahkan, saling menilai kualitas ibadah orang lain, dan apalagi mengklaim bahwa ibadah dirinya saja yang diterima. Bisa saja ibadah itu dari aspek qouly dan fi'lynya benar, tetapi belum tentu aspek qolbynya benar-benar telah sempurna.

Oleh karena itu, setelah ibadah dijalankan, cara yang tepat adalah menyerahkan saja semuanya pada Allah, Dzat Yang Maha Memiliki Otoritas menerima ibadah dari siapapun. Segala ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, sedangkan yang mengetahui keikhlasan itu hanya Allah sendiri. Dengan berpikir seperti itu, maka kiranya tidak perlu saling menyalahkan antar sesama yang hanya membuahkan perpecahan hingga akibatnya umat menjadi lemah. Wallahu a'lam.

Salah satu derajat yang harus dicapai seorang muslim adalah menjadi seorang mukmin. Untuk melihat ciri seorang mukmin, Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Ali-Imron ayat 113-114, yang artinya : “Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh.”

DARI firmah Allah itu, ada empat perilaku yang menunjukkan bahwa seseorang mempunyai ciri seorang mukmin, yaitu : Pertama, orang mukmin jika bekerja akan cepat, tidak pernah dinanti-nanti. Kedua, ketika bekerja paling semangat. Ketiga, paling depan ketika berbuat baik. Keempat, tidak pernah mempunyai niat untuk berbuat jahat.

Semua perbuatan itu harus dijalankan dengan ikhlas, seperti dicontohkan Rasulullah yang selalu menghabiskan waktu malam untuk sujud dan ruku meminta ridho-Nya. Rasulullah mencontohkan untuk tidak pernah lelah dalam melakukan sesuatu, karena ikhlas dalam menjalankannya.

Sebagai karyawan-karyawati, kita harus meniru sikap Rasulullah yang tak kenal lelah beribadah dan bekerja atas nama Allah, bukan yang lainnya. Padahal Rasulullah adalah manusia yang akhlaqnya paling mulia, pasti terbebas dari semua dosa, dan dijamin masuk surga. Bekerja dengan hati ikhlas dan bulat tekad karena Allah akan memudahkan perjalanan karier kita ke depan.

Ada tiga tingkatan orang ikhlas. Pertama, orang beribadah karena Allah, namun masih dikaitkan dengan urusan dunia. Contohnya, semangat bekerja jika ada pimpinan, karena ingin mendapat pujian.

Kedua, ibadah karena Allah, namun masih dikaitkan ingin masuk surga dan menghindari neraka. Ketiga, beribadah karena Allah tidak ada iming-iming lain kecuali hanya karena Allah. Sebab, apapun yang Allah kehendaki, tentu Allah sudah ridho. Ikhlas jenis terakhir inilah ikhlas yang sangat dimuliakan.

Orang ikhlas hatinya senantiasa terbuka, karena mendapat cahaya iman dan takwa dari Allah SWT. Sebaliknya, celakalah bagi orang yang suka melanggar, karena memiliki hati yang sangat keras untuk ingat kepada Allah. Mereka itulah yang berada dalam kesesatan yang nyata.

Agar tidak sesat dan selalu dicintai Allah SWT, Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 19-20 memberi petunjuk : “ Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.”

Ada tiga hal yang harus diperhatikan manusia dalam berperilaku agar dicintai Allah. Pertama, tidak sombong dan angkuh. Allah akan mencintai hambaNya yang senantiasa rendah hati dan tidak sombong. Kemuliaan di depan Allah bukan karena warna kulit, jabatan, atau ilmu, tetapi karena takwa. Perilaku sombong dan angkuh merupakan induk dosa. Berawal dari sombong dan angkuh akan menyebabkan perilaku-perilaku lain yang tidak diridhoi Allah.

Tanda kedua orang yang dicintai Allah adalah ketika manusia beribadah, baik beribadah kepada Allah maupun kepada masyarakat. Kalau kita bekerja, niatkan karena Allah, bukan karena uang dan yang lainnya. Bila di dunia tidak didapat, kelak di akhirat Allah akan memberi kesempatan dan kebahagiaan yang luas, karena kita bekerja karena Allah.

Tanda terakhir orang yang dicintai Allah adalah dia selalu mengingat Allah. tidak ada hentinya. Dalam Al-Quran ada pesan : “Saat kalian selesai menunaikan shalat, jangan berhenti untuk ingat kepada Allah.” v (wasu / DK)

Tausyah Ustadz Hapid, Dosen UIN, dalam Manajemen Qalbu di hadapan pimpinan, karyawan dan, karyawati DBMPR Provinsi Jawa Barat.

Kajian Online Penyejuk Iman (KOPI Ramadan) kembali digelar. Kali ini mengangkat tema mengikhlaskan amal. Ustadz Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi. dalam kajiannya mengulas tips agar selalu tenang dan bahagia setelah beramal. Menurutnya, perkara paling dasar adalah mengikhlaskan diri kepada Allah sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah.

Ikhlas merupakan amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian khusus secara mendalam dan dilakukan secara terus-menerus. Baik ketika hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sudah beramal. Hal ini dilakukan agar amalan yang dilakukan bernilai di hadapan Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….”

Maksud dari agama yang lurus dari ayat tersebut adalah kita terjauhkan dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Disinilah kedudukan ikhlas yang begitu penting dalam amal ibadah, agar amalan-amalan tidak sia-sia dan tidak mendapatkan azab di dunia maupun akhirat kelak.

Ustadz Sus Budiharjo dalam tausiyahnya memaparkan agar tidak berharap kepada manusia ketika beramal, melainkan berharap hanyalah kepada Allah. Caranya yakni dengan menanyakan kepada diri sendiri mengenai hal yang dilakukan. Apakah kita melakukan ini untuk teman, kerabat, kantor, bangsa, atau untuk Allah?

“Hal ini perlu dilakukan agar hati kita tertata untuk terus menumbuhkan rasa ikhlas di hati. Sehingga apabila mendapatkan cacian atau hinaan dari oranglain, kita tidak merasa sedih. Karena pada hakikatnya kita melakukan itu hanyalah untuk Allah,” terangnya.

Allah menyeru hamba-Nya dalam QS. Al-Ikhlas pada kalimat Qul atau katakanlah. “Mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan semua yang dilakukan hanya untuk Allah, serta apapun yang telah dilakukannya diserahkan hanya kepada-Nya. Sebab tidak ada yang dapat disetarakan dengan-Nya,” jelasnya.

Ustadz Sus Budiharjo menambahkan, InsyaAllah dengan melakukan hanya karena-Nya, kita mencintai Allah dan sebaliknya. Jika kita diuji kita bersyukur, jika dikhianati kita bersyukur, sebab kita melakukannya hanya karena Allah. Untuk itu kita menjadi lebih tulus, ikhlas dan bahagia.

“Jangan menggantungkan amalan itu untuk mendapatkan pujian dari manusia. Alhamdulillah kalau dapat pujian, kalau dapat makian kita terima dan setelah itu memohon kepada Allah,” pungkasnya. (SF/RS)