Nabi adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya karena dia titik-titik rakyatnya titik-titik

Oleh Nicky Alma Febriana Fauzi

Seorang pemimpin diibaratkan seperti nahkoda kapal yang harus siap-siaga dalam setiap pelayaran guna bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan seisi kapal. Mulai dari lingkup kecil, sosok ayah sebagai tulang puggung rumah tangga adalah pemimpin bagi setiap anggota keluarganya. Sementara di lingkup yang lebih besar (masyarakat), sosok lurah, bupati, gubernur dan juga presiden atau pemimpin negara merupakan figur-figur yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan para rakyatnya.

Menjadi sosok pemimpin yang dicintai anggotanya (baca: rakyat) adalah mimpi dan harapan besar dari setiap pemimpin. Hal ini dapat dimengerti karena salah satu parameter sederahana yang dapat digunakan untuk mengukur seorang pemimpin itu sukses atau tidak adalah dengan melihat respon serta kecintaan masyarakat kepadanya. Bila respon masyarakat kepadanya baik, maka bisa dipastikan pemimpin itu telah sukses dalam mengayomi para anggotanya. Namun sebaliknya, bila respon masyarakat kepadanya buruk, maka besar kemungkinan bahwa ia telah gagal dalam melaksanakan amanah sebagai pemimpin rakyat.

Islam sebagai ‘pemimpin’ dan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, dalam sejarahnya telah mampu melahirkan sosok-sosok pemimpin yang dicintai rakyat. Contoh paling masyhur dan nyata adalah Nabi Muhammad saw, yang selain menjadi Rasul (utusan) juga menjadi pemimpin negara kala itu. Islam, melalui ‘tangan emas’ Rasulullah mampu mensejahterakan, bahkan mengayomi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang ras, suku bahkan agama. Rasulullah tidak hanya dicintai kaum muslimin, tapi lebih dari itu orang-orang non-muslim juga merasa mendapatkan perlindungan serta pengayoman di bawah payung kepemimpinannya. Sosok pemimpin seperti inilah yang senantiasa dirindukan kehadirannya oleh umat. Sosok pemimpin yang bertanggung jawab, adil, jujur, tidak otoriter, berpihak kepada yang lemah dan merakyat.

Meskipun sekarang Rasulullah telah tiada, namun paling tidak spirit kepemimpinan beliau dapat terus terwariskan ke dalam setiap diri pemimpin yang benar-benar berusaha meneladaninya. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadits tentang pemimpin dan kepemimpinan serta kriteria-kriteria pemimpin yang dicintai rakyat.

Menumbuhkan Kesadaran Kepemimpinan dalam Diri

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Dari Abdullah (Ibn Umar) ra (berkata), Rasulullah saw bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya (kepada anaknya). Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Ketahuilah, kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertang jawaban) dari hal yang dipimpinnya.”

Hadits yang dibawa Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 2554, no. 2409, no. 2558, vol. 4, no. 2751, vol. 7, no. 5188, no. 5200) dengan beberapa varian matan yang berbeda, namun dengan subtansi yang tetap sama. Selain itu, hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 1829), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 4, no. 3890), Malik dalam al-Muwatha’ (no. 991), Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. 3, no. 2930), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. 4, no. 1705), al-Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 4881, no. 6975), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya(vol. 10. No. 4489, no. 4490, no 4491) dan beberapa mukharrij lainnya dalam karya-karya mereka. Hadits ini tidak perlu diragukan lagi keotentikannya, karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang terkenal ketat dalam meriwayatkan hadits serta beberapa imam lainnya.

Satu pesan besar dari hadits ini adalah spirit tanggung jawab. Siapapun dia dan apapun profesinya, pada hakikatnya ia adalah pemimpin. Pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Seorang suami akan ditanya tentang kepemimpinannya terhadap keluarga. Seorang istri akan ditanya tentang tugasnya dalam rumah tangga. Seorang penuntut ilmu akan ditanya tentang ilmu yang ia dapatkan. Seorang pemimpin negara juga akan ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap rakyat yang dipimpinnya. Tanggung jawab dalam hal ini tidak semata-mata bermakna melaksanakan tugas saja, kemudian setelah itu tidak memberikan dampak apapun bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih kepada upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpinnya.

Dengan menyadari bahwa setiap individu pada dasarnya adalah pemimpin (minimal bagi dirinya sendiri), niscaya akan tumbuh rasa tanggung jawab atas apa yang diamanahkan kepadanya.  Jika setiap orang telah tahu dan sadar bahwa apa yang ada padanya hanyalah titipan dan amanah, maka tentu ia akan berhati-hati dalam mengelola dan menggunakannya.

Pemimpin yang Jujur

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Artinya: “Dari al-Hasan, ia berkata, ‘Ubaidullah ibn Ziyad mengunjungi Ma’qil ibn Yasar  yang sedang sakaratul maut. Kemudian Ma’qil berkata: aku akan memberitahumu sebuah hadis yang aku dengar langsung dari Rasulullah saw. Seandainya aku tahu kalau aku masih bisa hidup (setelah ini), maka aku tidak akan menceritkan ini kepadamu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat  kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya (vol. 9, no. 7150), Muslim dalam Shahih-nya (vol. , no. 142), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (vol. 10, no. 4495), al-Darimi dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 2796), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (vol. 9, no. 18359) dan Syu’ab al-Iman (vol. 6, no. 6976), dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. 20, no. 474).

Hadits di atas merupakan ancaman besar bagi para pemimpin yang tidak jujur. Para pemimpin yang senantiasa menipu rakyat demi keuntungan pribadi dan juga kelompoknya. Mereka yang tanpa merasa salah berbuat tidak jujur kepada rakyat ini diancam oleh Allah dengan haramnya surga. Bentuk keharaman ini menurut al-Manawi ialah dengan cara menundanya masuk surga (Al-Manawi, Faid al-Qadir, vol. 5, hal. 623). Begitu besar ancaman yang diberikan Allah kepada para pemimpin yang suka menipu rakyat, mengindikasikan betapa pentingnya kejujuran harus selalu ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jujur adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang jujur adalah ia yang dapat mengemban amanah tanpa harus takut bila suatu ketika rakyat yang dipimpinnya menuntut sikap transparansi tentang apa yang telah ia lakukan. Lebih jauh lagi, rasa kejujuran yang dimiliki oleh seorang pemimpin juga harus mampu menjadi stimulus bagi para ‘bawahan’nya untuk turut melestarikan kejujuran di tengah roda pemerintahan. (bersambung)

Ilustrasi

Rep: Oleh Muhbib Abdul Wahab Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sepulang dari pembebasan Yaman, tentara Muslim membawa sejumlah ghanimah (rampasan perang) ke Madinah dan langsung menyerahkannya kepada Khalifah Umar bin al-Khattab. Umar lalu membagikan sehelai pakaian hasil rampasan perang itu kepada setiap penduduk Madinah.Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?""Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya." Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari, ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai saya kembali."Ia lantas masuk ke peraduannya untuk beristirahat. Tiba-tiba anaknya, Abdul Malik, mengingatkannya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan engkau masuk kamar?" Khalifah menjawab, "Saya ingin beristirahat sejenak." Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang, sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?" Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat yang sedang menunggunya.Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal" kepemimpinannya.Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda, "Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan mengambil kebijakan.

Nabi adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya karena dia titik-titik rakyatnya titik-titik

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...