Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?
ilustrasi operasi pasien


Tidak diragukan lagi, saat ini sektor kesehatan mulai memasuki era disrupsi. Pasien kini dapat berkonsultasi dengan dokter melalui berbagai aplikasi seluler. Layanan perawatan di rumah, pemeriksaan laboratorium maupun pemesanan obat, juga dapat dilakukan melalui aplikasi seluler, terpadu dengan jasa transportasi daring. Jika sebelumnya pasien kesulitan mendapatkan informasi riwayat kunjungan di fasilitas kesehatan, tapi saat ini sebagai contoh, peserta program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bisa mengakses informasi ini melalui aplikasi mobile JKN. Teknologi digital yang semakin maju sudah dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta peningkatan mutu pelayanan. Sistem komputasi dari BPJS Kesehatan memungkinkan fasilitas kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke tingkat lanjut secara daring. Beberapa rumah sakit telah menerapkan sistem pendukung keputusan elektronik yang terpadu dalam suatu rekam medis elektronik untuk membantu dokter dalam membuat keputusan terapi secara lebih tepat sesuai pedoman klinis melalui peresepan elektronik.

Namun, belum lama ini kejadian efek samping pengguna layanan telekonsultasi kesehatan berbasis daring setelah minum obat yang direkomendasikan melalui aplikasi seluler tersebut sempat beredar di media sosial. Muncul pertanyaan sejauh mana regulator kesehatan mempersiapkan ekosistem industri 4.0 untuk melindungi konsumen kesehatan? Hal yang sempat diberitakan adalah rencana Kementerian Perindustrian untuk pengukuran kesiapan penerapan industri 4.0 bagi pelaku industri. Namun, menyiapkan pelaku industri saja, tanpa regulasi, berpotensi mengganggu ekosistem. Kejadian demo transportasi daring mungkin tidak akan menginspirasi fasilitas kesehatan mendemo layanan aplikasi seluler kesehatan. Lebih dari itu tanpa regulasi, publik akan mempertanyakan ketidakhadiran negara dalam melindungi konsumen maupun pelaku layanan e-Kesehatan. Tanpa regulasi, investor juga enggan terjun ke bisnis digital kesehatan. Padahal dengan masih tidak meratanya penyebaran tenaga dan fasilitas kesehatan, layanan ini berpotensi dapat mengikis ketidakadilan akses tersebut.

Pelaku bisnis e-Kesehatan memang diharuskan tercatat sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bagaimanapun secara teknis harus ada standar, pembinaan, dan pengawasan dari regulator kesehatan. Saat ini saja masyarakat bisa membeli obat aborsi di lapak e-Dagang. Demikian juga obat yang seharusnya hanya bisa dibeli berdasarkan resep dokter tersedia di situs e-Dagang ataupun direkomendasikan oleh layanan aplikasi seluler kesehatan. Untuk itu, pengawasan yang terus-menerus semestinya dilakukan, selain program edukasi berkelanjutan untuk melindungi masyarakat. Konsumen yang menggunakan layanan konsultasi kesehatan juga memerlukan jaminan bahwa mereka berkonsultasi dengan dokter berlisensi dan memiliki izin praktik. Demikian juga dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di layanan e-Kesehatan memerlukan pengakuan profesional. Hal lebih kompleks lagi, bagaimana jika respons terhadap konsultasi kesehatan melalui layanan daring ditangani mesin kecerdasan buatan, bukan tenaga kesehatan profesional? Adakah standar dan jaminan mutu bahwa solusi dari kecerdasan buatan akan bebas dari kesalahan dan tidak berdampak negatif terhadap keselamatan pasien?

Kompleksitas tersebut mungkin menjadi alasan lamban dan ragunya pemerintah dalam membuat regulasi e-kesehatan. Sebenarnya Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46/2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional. Layanan Telemedicine. Disebutkan secara eksplisit pada pasal 65 dalam Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. BPJS Kesehatan bisa memanfaatkan telemedicine sebagai kompensasi atau pemenuhan pelayanan pada daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan. Namun, aspek yang lebih teknis dan terinci belum tersedia. Ini mencakup keandalan model bisnis, standar layanan, alur kerja, keselamatan pasien, perlindungan data, jaminan mutu, pembinaan dan pengawasan aplikasi e-Kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan baru diperlukan untuk mempercepat regulasi e-Kesehatan. Pendekatan lama dalam merumuskan regulasi kesehatan sudah tidak memadai lagi untuk mengikuti lincahnya pergerakan inovasi e-Kesehatan yang disruptif.

Dalam pendekatan lama, regulator biasanya akan menyusun naskah akademik, menyelenggarakan diskusi melibatkan ahli, konsumen dan pihak terkait lainnya, penyusunan naskah regulasi baru, serta kemudian mengesahkannya. Kelemahannya adalah terputusnya koneksi antara kenyataan teknis dalam implementasi terinci dengan muatan naskah regulasi. Selain itu, produk regulasi model lama sering kali tidak mampu mengejar cepatnya teknologi yang menghasilkan produk dan model bisnis baru. Pendekatan baru yang diusulkan adalah memberi kesempatan regulator dan pelaku pasar untuk mengeksplorasi bersama-sama model bisnis industri inovatif, menganalisis risiko terhadap konsumen dan sekaligus menyusun muatan regulasinya. Dalam hal ini ada pengawasan regulator dan perusahaan tetap bisa memberikan layanan kepada konsumen. Saat ini Kementerian Kesehatan memiliki rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Telemedicine yang disusun berdasarkan pengalaman uji coba aplikasi Telemedicine Indonesia (Temenin) untuk layanan teleradiologi, tele-EKG, dan tele-USG antarfasilitas kesehatan.

Di sisi lain, beragam aplikasi kesehatan dari sejumlah perusahaan memiliki model bisnis, standar layanan, dan risiko yang sangat berbeda dengan program Temenin pemerintah. Kementerian Kesehatan juga mengembangkan aplikasi kesehatan yang menjembatani konsumen berkonsultasi dengan rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan yaitu Sehatpedia, tentu dengan model bisnis dan tujuan layanan berbeda. Saatnya kini opsi kebijakan ada di tangan Kementerian Kesehatan. Apakah membuat regulasi yang hanya mengatur inovasi dilahirkan oleh pemerintah sendiri atau menggunakan model baru yang terbuka bagi para pelaku industri e-Kesehatan di luar pemerintah? Pertanyaan yang harus dijawab.

Sumber berita: Kumparan.com

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Kelompok Informasi Masyarakat ( KIM) memiliki banyak cara untuk mendekati masyarakat agar informasi tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Anggota Komisi I DPR RI Toriq Hidayat mengapresiasi berbagai langkah yang telah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemko Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menyediakan pelatihan bagi para penyandang disabilitas untuk mendorong keterlibatan m Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI Johnny G. Plate mengatakan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI) juga memil Selengkapnya


Jakarta Pusat, Kominfo - Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia memaksa semua pihak dapat memanfaatkan digitalisasi dengan optimal, tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga dalam melakukan berbagai aktivitas seperti bisnis, ekonomi, promosi, pengembangan usaha, dan pendidikan.

Guna mendukung aktivitas produktif masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus menerus melakukan berbagai pembangunan infrastruktur teknologi informasi komunikasi (TIK) di seluruh wilayah Indonesia.

"Percepatan pembangunan infrastruktur ini menjadi program prioritas dari pemerintah, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan dengan sangat serius untuk percepatan transformasi digital," jelas Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Transformasi Digital dan Hubungan Antar Lembaga, Rosarita Niken Widiastuti dalam Webinar Pemanfaatan Teknologi Digital Sebagai Media Edukasi dan Bisnis dari Jakarta, Sabtu (26/3/2022).

Percepatan transformasi digital yang diharapkan Presiden diantaranya adalah percepatan akses internet, khususnya pembangunan infrastruktur di wilayah 3T. Kemudian membangun grand desain atau peta jalan digital Indonesia, yakni digitalisasi untuk berbagai kepentingan tidak hanya untuk komunikasi, tetapi juga untuk ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan nasional.

Selanjutnya yang juga diamanahkan adalah percepatan membangunan pusat data nasional, serta peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) generasi milenial Indonesia agar mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam bidang digitalisasi. Serta juga pembuatan regulasi terkait digitalisasi.

"Terkait hal itu, Kominfo melalui proyek Palapa Ring pada 2020 sudah membangun infrastruktur backbone dan akses internet baik di Indonesia Barat, Tengah, maupun Timur. Selain itu, Kominfo juga membangun Satelit Satria yang saat ini masih dalam proses pengerjaan, dan diharapkan pada 2023 nanti sudah dapat diluncurkan. Dengan Satelit Satria diharapkan dapat menutup daerah-daerah blank spot atau wilayah yang tidak bisa menangkap atau tidak ada sinyal internetnya. Sehingga diharapkan pada 2023 sebagian wilayah Indonesia bisa terakses internet, dan yang sudah terakses internet bisa meningkatkan dengan kecepatan yang lebih tinggi," urai Niken.

Terkait pemanfaatan digitalisasi di era 4.0 ini, Kominfo juga telah meluncurkan program UMKM go online, yang mana program ini telah ada sebelum pandemi. Melalui UMKM go online, Kominfo mengajak masyarakat pelaku usaha untuk bisa memperluas akses dan pangsa pasarnya.

"Kominfo juga mempunyai program 1000 start up, dimana program ini meningkatkan motivasi kewirausahaan. Harapan kami dapat tercetak 1000 start up. Sasarannya adalah pengembangan kapasitas SDM seperti yang diharapkan oleh Bapak Presiden, Indonesia harus menjadi digital energi dari Asia. Selain itu, Kominfo juga memberikan dukungan dalam bentuk beasiswa digital (digital talent scholarship) yang diberikan setiap tahunnya, imbuh Niken.

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo bekerja sama dengan Komisi I DPR RI, itu hadir Dosen Unisadhuguna International College yang juga merupakan Praktisi IT, Binandari yang juga menjadi pembicara dari dunia pendidikan menambahkan, masyarakat telah berevolusi sesuai perkembangan zaman.

"Jika melihat perkembangannya, manusia dahulu kala memulainya dengan masyarakat pemburu, dilanjutkan dengan masyarakat agraris industri, kemudian sekarang telah sampai pada masa masyarakat informasi atau identik dengan 4.0, dan tibalah waktunya menuju masyarakat yang super cerdas 5.0. Mungkin butuh 10 tahun kedepan untuk masuk ke tahap itu. Sehingga dunia pendidikan dan bisnis sudah harus bertransformasi. Contohnya, adanya pembelajaran online dan belanja online yang memungkinkan dilakukan dimana saja dan kapan saja," jelasnya.

Adapun syarat untuk masuk di era masyarakat super cerdas, lanjut Binandari, adalah mau menerima perubahan, dan hal ini merupakan proses berkelanjutan sekalipun nanti pandemi telah usai.

Sementara Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Demokrat, Sjarifuddin Hasan menambahkan, bahwasannya Pemerintah Indonesia telah memberikan dukungan penuhnya terhadap kemajuan bangsa, mulai dari akses sarana prasarana, fasilitas permodalan, pendidikan dan pelatihan, serta pemasaran dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Hal tersebut tidak lepas berkat dari pembangunan infrastruktur yang dilakukan Kominfo.

"Kini Indonesia bisa dipersatukan dalam program Palapa Ring, dan setiap warga negara Indonesia saat ini bisa menikmati fasilitas internet yang dibutuhkan sehingga semuanya kini bisa mengakses teknologi dimana hal ini merupakan peluang bagi rakyat Indonesia khususnya generasi muda untuk melakukan aktivitas dan meningkatkan ekonominya," ujar Sjarifuddin Hasan.

Dia berharap, agar pembangunan yang dilakukan pemerintah pada 2022 bisa menyentuh ke semua sektor, khususnya pendidikan. Sehingga diharapkan kelak generasi muda Indonesia dapat beralih dari mencari pekerjaan menjadi membuka peluang usaha. "Tentunya dengan segala fasilitas dan infrastruktur yang sudah disediakan negara. Kini tinggal bagaimana generasi muda menciptakan keratifitasnya, untuk itu kita mendorong generasi muda saat ini untuk memanfaatkan fasilitas infrastruktur yang ada," tutup Sjarifuddin Hasan.

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Keterbukaan informasi adalah amanat UU, sehingga harus mendapat jaminan, meskipun 13 tahun setelah diundangkan, UU KIP tidak berjalan dengan Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Pameran itu diharapkan dapat menjadi platform untuk memfasilitasi negara anggota G20 dan ITF-DEWG untuk berinteraksi, berjejaring, serta mem Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Menurut Dirjen Teuku Faizasyah, pokok materi berupa ringkasan and implementasi e-government dan Digital Public Relations bertujuan untuk mem Selengkapnya

Mengapa tidak semua orang dapat mengakses fasilitas teknologi digital?

Kementerian Komunikasi dan Informatika melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menyukseskan program ASO. Selengkapnya