Mengapa sunan bonang menggunakan kesenian rakyat dalam berdakwah

Dakwah Islam di Pulau Jawa tidak hanya melalui pengajian atau pesantren, tapi juga kesenian. Salah satu dari Wali Songo yang terkenal dengan metode ini adalah Sunan Bonang.

Sunan Bonang memiliki nama asli Syekh Maulana Makhdum Ibrahim putra keempat dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kakek dari Sunan Bonang, Syekh Ibrahim Asmaraqandi adalah ulama terkemuka keturunan Turki Persia.

Beberapa silsilah menunjukan, Sunan Bonang memiliki darah keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib, menantu nabi. Sementara ibunya bernama Dewi Candrawati atau disebut Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja, seorang Adipati Tuban semasa Kerajaan Majapahit berdiri.

Sunan Bonang lahir pada tahun 1448 M di Tuban, dan mempunyai 8 saudara, salah satunya Raden Qasim yang bergelar Sunan Drajat. Masa muda Sunan Bonang banyak dihabiskan untuk menimba ilmu dari ayahnya, Sunan Ampel.

Dirinya juga pernah menimba ilmu dengan Syekh Maulana Ishak, dari kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Sunan Bonang terkenal sebagai penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, usuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur dan ilmu kedigdayaan.

Selain terkenal dengan kecerdasaannya, Sunan Bonang juga ahli dalam ilmu bela diri. Kemampuan inilah yang nantinya berguna mengalahkan perampok bernama Raden Said.

Raden Said kemudian memilih untuk bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang. Kelak kemudian menyebarkan dakwah Islam dan terkenal dengan nama Sunan Kalijaga.

Jalan Dakwah Sunan Bonang

Sekembalinya dari perjalanan mencari ilmu, Sunan Ampel memerintahkan Sunan Bonang untuk melakukan dakwah di daerah Tuban, Pati, Madura bahkan hingga Pulau Bawean. Kemudian Ia mendirikan langgar atau musala di tepi Sungai Brantas, tepatnya di Desa Singkal.

Berbekal keilmuan Sunan Bonang yang cukup mumpuni serta kepandainnya dalam melantunkan ayat suci Alquran, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Fattah, Sunan Bonang juga pernah diangkat sebagai Imam Masjid agung Demak.

Dirinya juga berperan penting dalam proses pendirian Masjid utama Kesultanan Islam pertama di Jawa tersebut, yaitu dengan menyumbangkan salah satu sakaguru sebagai penyokong utama bangunan.

Mengutip buku Atlas Wali Songo, karya Agus Sunyoto, saat di Demak, ketika masih menjabat sebagai Imam, beliau tinggal di Desa Bonang yang letaknya tak jauh dari kota praja. Hal inilah yang mendasari Raden Makdum Ibrahim kemudian dipanggil dengan sebutan Sunan Bonang yang bermakna guru suci yang berkedudukan di Bonang.

Tidak lama menjabat Imam Masjid Agung Demak, Ia kemudian menetap di daerah Lasem yang masuk wilayah Rembang. Di Lasem, Ia membangun sebuah masjid di tengah hutan.

Masjid yang berada di Desa Bonang, Kecamatan Lasem ini salah satu bukti autentik peninggalan dari perjalanan dakwah yang dilakukan oleh Sunan Bonang didaerah Rembang dan sekitarnya. Lokasi masjid ini sekitar 50 meter di sebelah utara dari makam Sunan Bonang yang sekarang.

Kala itu Sunan Bonang termasuk orang yang dituakan, sehingga rakyat sangat tunduk dan menghormati akan kepribadian Kanjeng Sunan Bonang. Kesempatan yang baik itu beliau gunakan untuk bertabligh dan mengajarkan tentang maksud agama Islam.

Mulai saat itulah para santri-santri berdatangan, baik mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat untuk berguru dan menimba ilmu dari Sunan Bonang.

Berdakwah melalui kesenian

Sunan Bonang berhasil melakukan asimilasi kebudayaan antara agama Islam dan kebudayaan Jawa. Ia memberikan warna lokal pada acara keagamaan seperti Idulfitri, Maulid Nabi, serta Tahun Baru Islam.

Warisan budaya ciptaan Sunan Bonang yang tetap lestari sampai hari ini adalah Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid. Beberapa lakon wayang juga disesuaikan dengan kaidah Islam, misalnya Layang Kalimasada, Pandu Pragola, Mustakaweni, Petruk Dadi Ratu, dan Semar Mbarang Jantur.

Dikutip dari indonesiakaya.com, Sunan Bonang menciptakan musik gamelan menjadi orkestra yang meditatif bahkan kontemplatif. Ia bahkan memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab atau kempul Campa, bernama Bonang.

Bonang merupakan sejenis kuningan yang ditonjolkan bagian tengahnya. Bila benjolan dipukul dengan kayu lunak akan menimbulkan suara yang merdu di telinga pendengar bahkan dapat menggetarkan hati.

Salah satu kidung legendaris ciptaan Sunan Bonang yang dikenal luas oleh masyarakat dari zaman ke zaman adalah tembang Tombo Ati. Kidung ini tak lepas dari penguasaan literasi keIslaman Sunan Bonang yang luas.

Dari hasil kajian, Zainal Abidin bin Syamsuddin dalam bukunya Fakta Baru Walisongo menyimpulkan, bahwa lirik tembang Tombo Ati tersebut diambil Sunan Bonang dari salah satu ajaran ulama besar yang berasal dari Timur Tengah pada abad ke-3 Hijriah bernama Ibrahim bin Ahmad.

Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam (2013) yang dikutip dari Tirto, Hery Nugroho menuliskan bahwa dakwah Sunan Bonang yang lain adalah melalui penulisan karya sastra yang bertajuk Suluk Wujil.

Saat ini, naskah asli Suluk Wujil disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Suluk Wujil diakui sebagai salah satu karya sastra terbesar di Nusantara karena isinya yang indah serta kandungannya yang kaya dalam menafsirkan kehidupan beragama.

Sunan Bonang sangat fokus dalam menjalani perannya sebagai ulama dan seniman sehingga ia tidak sempat menikah hingga wafatnya pada 1525 M. Ia dimakamkan di rumah kediaman beliau di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura.

Baca juga:

Jakarta -

Wali Songo terkenal dengan metode dakwah yang khas dalam mengenalkan dan menyebarkan Islam. Salah satunya melalui kesenian yang dinikmati dan lekat denga kehidupan masyarakat.

Siapa Wali Songo yang aktif berdakwah melalui kesenian?

Wali Songo terdiri dari sembilan orang yang sangat dihormati dan dekat dengan warga sekitar. Selama berdakwah, Wali Songo anti melakukan kekerasan atau pemaksaan pada warga yang belum kenal Islam

Tiga orang anggota Wali Songo memilih kesenian sebagai metode penyebaran Islam. Hasil karya mereka masih bisa dinikmati hingga kini, berikut kisahnya

Nama asli Wali Songo ini adalah Raden Sahid yang merupakan anak Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta. Dikutip dari Kesenian Sebagai Media DAkwah Sunan Kalijaga karya Widhi Salikha, Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenangan warga pada seni.

Dia berdakwah lewat wayang kulit, tembang, gending, dan gamelan. Semua seni yang mengalir dalam tubuhnya diberi nafas Islam, menjadi sarana dakwah, dan banyak disukai semua kalangan masyarakat. Sang sunan juga dikenal sebagai pujangga yang berjiwa besar.

B. Sunan Bonang

Nama sang sunan identik dengan kesenian sehingga kerap disebut seniman yang berdakwah. Dikutip dari buku Sunan Bonang dari Rembang untuk Masyarakat karya Amirul Ulum, sang sunan menggunakan wayang dan gamelan sebagai media dakwah Islam.

Syair Islam ciptaan Sunan Bonang berisi pesan tauhid untuk menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukanya. Setiap Syair diselingi dengan ucapan dua kalimat syahadat. Selain itu, gamelan yang mengirinya berasal dari syahadatain kemudian dikenal sebagai sekaten.

C. Sunan Muria

Dikutip dari situs Bappeda Kudus, nama asli Sunan Muria adalah Raden Umar Syaid atau Raden Said. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto, yang merupakan putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Soejinah.

Sepanjang periodenya berdakwah, Wali Songo ini dikenal lebih suka bertugas di desa dan bergaul dekat dengan masyarakat. Dia menciptakan lagu-lagu Jawa antara lain Macopat, Kinanti, dan Sinom. Sunan menitikberatkan dakwah pada pembinaan mental masyarakat.

Tulisan ini semoga bisa menjawab Wali Songo yang aktif berdakwah melalui kesenian. Sunan yang tidak disebutkan memilih jalur lain, namun tetap menghindari kekerasan dan konfrontasi dengan semua kalangan masyarakat.

Simak Video "Alfie Alfandy, Pendiri Bikers Dakwah Mantan Artis Pecandu Narkoba"



(row/erd)

tirto.id - Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan salah satu ulama anggota Wali Songo sebagai penebar syiar Islam di Jawa pada abad ke-14 Masehi. Sunan Bonang juga dikenal sebagai seniman yang berdakwah dengan menggunakan sejumlah perangkat seni, termasuk gamelan, juga karya sastra.

Konon, Raden Makdum Ibrahim adalah penemu salah satu jenis gamelan dengan tonjolan di bagian tengahnya atau yang kerap disebut bonang. Dari situlah julukan Sunan Bonang disematkan kepada Raden Makdum Ibrahim.

Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2016) menuliskan bahwa Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan putra keempat Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila, putri Bupati Tuban, Arya Teja.

Sejarah Hidup Sunan Bonang

Raden Makdum Ibrahim lahir pada 1465 M di Surabaya dan tumbuh dalam asuhan keluarga ningrat yang agamis. Sunan Ampel adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ampeldenta.

Pendidikan Islam diperoleh Raden Makdum Ibrahim pertama kali dari ayahnya sendiri di pesantren Ampeldenta. Sejak kecil, Sunan Ampel sudah mempersiapkan putranya itu sebagai penerus untuk mensyiarkan ajaran Islam di bumi Nusantara.

Baca juga:

  • Sejarah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai
  • Sejarah Hidup Sunan Giri: Lahir, Nasab, & Ajaran Dakwah Wali Songo
  • Sejarah Kerajaan Samudera Pasai: Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan

Beranjak remaja, Raden Makdum Ibrahim pergi ke negeri Pasai, Aceh, untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak, ayahanda Sunan Giri. Sejak kecil, sudah tampak kecerdasan dan keuletan Raden Makdum Ibrahim dalam menuntut ilmu.

Selain dibimbing oleh Sunan Ampel dan Syekh Maulana Ishak, Raden Makdum Ibrahim juga berguru kepada banyak ulama lainnya. Hingga akhirnya, Raden Makdum Ibrahim diakui keilmuannya yang mumpuni dalam penguasaan fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan bela diri silat.

Kelak, keterampilan silat Sunan Bonang berguna ketika ia mengalahkan seorang perampok bernama Raden Said. Raden Said pun tunduk dan bertobat, kemudian ikut menyebarkan dakwah Islam dan menjadi anggota Wali Songo yang dikenal dengan nama Sunan Kalijaga.

Baca juga:

  • Sejarah Masjid Sunan Ampel: Pendiri, Kota Lokasi, & Gaya Arsitektur
  • Sejarah Hidup Sunan Kalijaga: Dakwah Mantan Bromocorah
  • Sejarah dan Profil Sunan Ampel: Wali Pendakwah di Jalur Politik

Asal Usul Nama Sunan Bonang

Dakwah Sunan Bonang dimulai dari Kediri, Jawa Timur. Ia mendirikan langgar atau musala di tepi Sungai Brantas, tepatnya di Desa Singkal. Diceritakan, Sunan Bonang sempat mengislamkan Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, dan putrinya.

Usai dari Kediri, Sunan Bonang bertolak ke Demak, Jawa Tengah. Oleh Raden Patah, pendiri sekaligus pemimpin pertama Kesultanan Demak, Sunan Bonang diminta untuk menjadi imam Masjid Demak.

Ada satu lagi versi berbeda terkait penamaan Sunan Bonang yang disematkan kepada Raden Makdum Ibrahim selain dari kisah bahwa ia adalah penemu gamelan jenis bonang.

Selama menjadi imam Masjid Demak, Raden Makdum Ibrahim tinggal di Desa Bonang. Versi kedua menyebut julukan Sunan Bonang disematkan berdasarkan lokasi tempat tinggalnya tersebut.

Baca juga:

  • Sejarah Masjid Agung Demak: Pendiri, Ciri Arsitektur, & Keunikan
  • Sejarah Raden Patah: Putra Majapahit Pendiri Kerajaan Islam Demak
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Berdakwah Lewat Seni dan Sastra

Sebagaimana Wali Songo lainnya, Raden Makdum Ibrahim menyebarkan Islam melalui media seni dan budaya. Ia menggunakan alat musik gamelan untuk menarik simpati rakyat.

Konon, Raden Makdum Ibrahim sering memainkan gamelan berjenis bonang, yaitu perangkat musik ketuk berbentuk bundar dengan lingkaran menonjol di tengahnya.

Jika tonjolan tersebut diketuk atau dipukul dengan kayu, maka akan muncul bunyi merdu. Raden Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang membunyikan alat musik ini yang membuat penduduk setempat penasaran dan tertarik.

Warga berbondong-bondong ingin mendengarkan alunan tembang dari gamelan yang dimainkan Sunan Bonang. Ia menggubah sejumlah tembang tengahan macapat, seperti Kidung Bonang, dan sebagainya. Hingga akhirnya, banyak orang yang bersedia memeluk agama Islam tanpa paksaan.

Baca juga:

  • Sejarah Hidup Sunan Muria: Wali Songo Termuda, Putra Kalijaga
  • Sejarah Hidup Sunan Drajat dan 7 Dasar Ajaran Dakwah Islam
  • Sejarah Hidup Sunan Gunung Jati: Ulama Wali Songo & Sultan Cirebon

Sunan Bonang juga mahir memainkan wayang serta menguasai seni dan sastra Jawa. Dalam pertunjukan wayang, Sunan Bonang menambahkan ricikan, yaitu kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang, dan rampogani untuk memperkaya pertunjukannya.

Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam (2013), Hery Nugroho menuliskan bahwa dakwah Sunan Bonang yang lain adalah melalui penulisan karya sastra yang bertajuk Suluk Wujil.

Saat ini, naskah asli Suluk Wujil disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Suluk Wujil diakui sebagai salah satu karya sastra terbesar di Nusantara karena isinya yang indah serta kandungannya yang kaya dalam menafsirkan kehidupan beragama.

Sunan Bonang sangat fokus dalam menjalani perannya sebagai ulama dan seniman sehingga ia tidak sempat menikah hingga wafatnya pada 1525 M.

Makam Sunan Bonang terletak di kompleks pemakaman Desa Kutorejo, Tuban, Jawa Timur, atau berada di barat alun-alun dekat Masjid Agung Tuban.

Baca juga:

  • Sejarah Kabupaten Tuban Bermula dari Ronggolawe vs Majapahit
  • Sejarah Masjid Mantingan Jepara: Arsitektur Khas Ratu Kalinyamat
  • Masjid Sultan Suriansyah: Sejarah, Interior, & Arsitektur Bangunan

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/isw)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates