Mengapa sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah multi partai

Sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah?

  1. Partai Tunggal
  2. Multi Partai
  3. Dwi Partai
  4. Partai Koalisi
  5. Partai Oposisi

Jawaban yang benar adalah: B. Multi Partai.

Dilansir dari Ensiklopedia, sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah Multi Partai.

[irp]

Pembahasan dan Penjelasan

Menurut saya jawaban A. Partai Tunggal adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali.

Menurut saya jawaban B. Multi Partai adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google.

[irp]

Menurut saya jawaban C. Dwi Partai adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain.

Menurut saya jawaban D. Partai Koalisi adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan.

[irp]

Menurut saya jawaban E. Partai Oposisi adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain.

Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah B. Multi Partai.

[irp]

Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah.

MERAJUT demokrasi di Indonesia dengan sistem kepartaian yang mendukung terciptanya stabilitas politik sekaligus menghasilkan kesejahteraan rakyat masih merupakan impian bagi Indonesia.

Daniel Dhakidae dalam buku suntingan William Liddle,Crafting Indonesian Democracy(Bandung: Mizan,2000), menyebutnya ibarat lagu The Beatles, The Long and Winding Road (Jalan Panjang yang Berliku), penuh kendala politik. Daniel menggambarkan secara singkat bagaimana pengalaman Indonesia dengan tiga bentuk demokrasi sebelumnya yang kesemuanya gagal. Demokrasi parlementer/ demokrasi liberal/demokrasi konstitusional antara 1950 1959 dengan sistem multipartai telah menyebabkan Konstituante gagal membuat konstitusi negara yang baru dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945. Persoalan pokoknya antara lain pada pertentangan mengenai ideologi negara yang akan dianut Indonesia, Pancasila atau Islam

Selain itu, seringnya terjadi mosi tidak percaya di parlemen juga menjadi penyebab sulitnya tercipta stabilitas politik saat itu. Ada dua pandangan mengenai gagal tidaknya demokrasi parlementer. Pertama,dianut kaum realis atau politisi yang mendasarkan pandangannya pada kekuatan (power) politik. Menurut pandangan mereka, demokrasi parlementer tidak gagal, melainkan dimatikan oleh permainan dua kekuatan politik yang menyatu, yaitu Presiden Soekarno dan TNI AD, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan DPR.

Kedua, kaum idealis saat itu memang mengakui bahwa demokrasi parlementer gagal karena tiga hal, yaitu kurangnya tingkat pendidikan rakyat, kurangnya budaya demokrasi yang dianut para elite politik walau mereka mendasari dirinya dengan konstitusi negara UUDS 1950, dan kurangnya basis ekonomi sebagai penunjang demokrasi. Hingga kini masih terdapat anggapan, jika demokrasi ingin berjalan baik, rakyat harus mendapatkan pendidikan yang memadai, kultur demokrasi juga harus terinternalisasi di hati dan pikiran para politikus, serta tingkat kesejahteraan rakyat sudah memungkinkan mereka tidak terombang- ambing oleh godaan uang atau rakyat sudah dapat bertanggung jawab dan dewasa dalam menentukan pilihan politiknya.

Demokrasi terpimpin (1959 1965) yang dijalankan Presiden Soekarno melalui pendekatan planned and systemic democracy(demokrasi yang terencana dan sistemik) atau guided democracy (demokrasi terpimpin) atau democracy with leadership (demokrasi dengan kepemimpinan), dengan mengurangi proses politik dan menekankan tujuan akhir pada masyarakat yang adil dan makmur, juga gagal menciptakan sistem politik yang stabil dan sistem ekonomi yang baik. Apa yang terjadi justru terjadi pengambilalihan kekuasaan pada dini hari 1 Oktober 1965 sebagai akibat dari perseteruan politik yang amat akut antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan TNI AD.

Bangunan segitiga hubungan kekuasaan antara Soekarno di puncak piramida,TNI AD di kanan bawah, dan PKI di kiri bawah hancur berantakan.Pada pertarungan kekuasaan itu Soekarno dan PKI runtuh, TNI AD memenangi pertarungan politik saat itu.Namun, satu hal yang patut dibanggakan saat itu,Presiden Soekarno sempat melakukan nation and character building dan menjaga agar sumber daya alam kita tidak dijarah habis oleh para penanam modal asing, khususnya dari Amerika Serikat. Demokrasi Pancasila yang awalnya diterapkan secara demokratis oleh Letjen Soeharto dengan tujuan membentuk tatanan politik baru (Orde Baru) menggantikan tatanan atau Orde Lama yang katanya busuk, korup, otoriter dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia,pada perjalanan berikutnya justru tidak berbeda dengan sistem politik demokrasi terpimpin.

Meski sembilan partai politik dan satu Golongan Karya (Golkar) kemudian diperas menjadi dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan serta Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar, ternyata hal itu hanya menciptakan stabilitas politik yang semu karena segalanya dihasilkan melalui politik represif yang dijalankan ABRI dan bukan melalui proses politik yang demokratis. Gaya pemerintahan Presiden Soeharto bahkan lebih menekankan kepemimpinan ketimbang demokrasi.

ABRI sebagai penopang rezim saat itu dibalut dengan kemasan sebagai stabilisator dan dinamisator politik Indonesia, juga tidak mencapai tujuan politiknya, yaitu menyejahterakan rakyat.Tiga bentuk legitimasi politik yang dibangun stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hancur luluh lantak setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada 1997 1998, disusul dengan demonstrasi mahasiswa, rapuhnya koalisi rezim yang berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Ke mana Arah Politik Kita

Kini, 12 tahun sudah kita mengenyam era Reformasi dengan kebebasan politik yang begitu terjamin. Upaya kita untuk menciptakan sistem kepartaian yang memungkinkan terciptanya stabilitas pemerintahan serta mencapai masyarakat yang adil dan makmur, belum sampai pada saat yang menggembirakan. Upaya kita untuk menyederhanakan sistem kepartaian secara alamiah,bukan fusi partai paksaan seperti pada 1973,dengan menerapkan electoral treshold dan parliamentary treshold, belum juga dicapai hasil karena pada setiap pemilihan umum,selalu ada saja ada partai baru atau partai lama yang berganti nama demi bisa ikut pemilu.

Penulis ingat ajaran guru saya, Arbi Sanit,bahwa sistem multipartai mungkin saja lebih demokratis karena rakyat dapat terwakili aspirasi politiknya melalui partaipartai itu.Namun,pada saat bersamaan, sistem multipartai sederhana seperti yang kita anut sekarang, sulit mencapai konsensus politik, termasuk di dalam pemerintahan koalisinya sendiri. Sebaliknya, sistem dua atau tiga partai dominan bukan berarti tidak demokratis, karena di dalam sistem itu rakyat juga dapat terwakili. Konsensus politik juga mudah dicapai. Persoalannya,kalau kita menganut sistem dua atau tiga partai,secara sosiologis, dari pengalaman sejarah, juga sulit.

Apakah kita akan membagi partai-partai politik atas dasar partai nasionalis sekuler dan partai nasionalis agama Persoalan lain yang kita alami, tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia partai-partai nasionalis hanya akan berkoalisi politik dengan partai yang memiliki ideologi yang mirip atau partai Islam hanya berkoalisi dengan partai Islam saja. Lihat betapa Masyumi pecah menjelang Pemilu 1955. Lihat betapa sulitnya partai yang beraliran Islam modernis bergabung dengan Islam tradisionalis. Bahkan kini, PPP sebagai representasi partai Islam di era Orde Baru, pecah berantakan dan kini bahkan sedang menghadapi persoalan akan keluarnya Parmusi dari PPP.

Mungkinkah pula antara partaipartai nasionalis tengah berkoalisi dengan partai Islam kanan secara permanen, sementara koalisi satunya juga merupakan koalisi permanen antara partai nasionalis kanan dengan partai Islam tengah Gagasan semacam ini pun sulit diejawantahkan karena koalisi pemerintahan lebih didasari kepentingan politik sesaat (ad hoc) untuk tokoh politik yang maju menjadi calon presiden, ketimbang didasari kepentingan politik permanen untuk meraih, menjalankan, mempertahankan kekuasaan demi menciptakan masyarakat adil dan makmur.()

Ikrar Nusa Bhakti (LIPI) Seputar Indonesia, 29 Juni 2010

Sivitas Terkait : Ikrar Nusa Bhakti

Mengapa sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah multi partai

Mengapa sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah multi partai
Lihat Foto

KOMPAS.com/pemkot semarang

Pasangan petahana Hendrar Prihadi dan Hevearita Gunaryanti Rahayu saat deklarasi dukungan seluruh partai di Hotel Santika Semarang, Selasa (1/9/2020)

KOMPAS.com - Partai politik dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Secara umum, partai politik terbagi ke dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai politik yang ada kemudian membangun sistem kepartaian yang dianut sebuah negara. 

Sistem kepartaian yang dianut sebuah negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multipartai.

Sistem Partai Tunggal

Sistem partai tunggal digunakan untuk partai yang benar-benar menjadi satu-satunya partai dalam sebuah negara.

Negara yang menerapkan sistem partai tunggal hanya memiliki satu partai yang memegang kekuasaan atas militer, pemerintahan, serta menguasai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya.

Partai tunggal biasanya berlaku di negara-negara komunis dan fasis. Partai tunggal yang menjadi satu-satunya partai besar digunakan sebagai alat pemerintah untuk menguasai masyarakat dan melanggengkan kekuasaan pemerintah.

Sistem partai tunggal dalam sistem politik hanya memberi ruang bagi satu partai politik untuk menjadi lembaga artikulasi kepentingan politik warga negara.

Baca juga: Sistem Kepartaian masa Orde Baru

Sistem partai tunggal terdapat di beberapa negara Afrika yaitu Ghana di masa Kwame Nkrumah, Guinea, dan Mali. Selain itu juga di Eropa Timur dan Republik Rakyat Tiongkok.

Kecenderungan negara-negara yang menggunakan sistem partai tunggal adalah karena di negara-negara baru, pemimpin sering berhadapan dengan masalah integrasi berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda .

Apabila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan.

Sistem Dwi Partai

Sistem dwi partai berarti adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai dalam sebuah negara.

Dewasa ini, hanya sedikit negara yang menggunakan sistem dwi partai. Diantaranya adalah Inggris, Amerika Serikat, dan Filipina.

Dalam sistem dwi partai, dengan jelas partai terbagi menjadi partai penguasa karena menang dalam pemilihan umum dan partai oposisi karena kalah dalam pemilihan umum.

Pembagian tugas di antara kedua partai yaitu partai pemenang pemilu akan memerintah dan partai yang kalah dalam pemilu menjadi partai oposisi yang loyal.

Oposisi loyal bukan hanya melakukan kritik terhadap pemerintah berkuasa tetapi juga membedakan dukungan atas kebijakan dan keputusan pemerintahan yang memang berkiblat pada kepentingan publik.

Ketika pemerintah membuat kebijakan publik yang tidak berorientasi pada kebutuhan mayoritas publik, maka oposisi akan melakukan peran dan fungsinya sebagai antitesis atas kebijakan tersebut.

Salah satu contoh pembagian tugas ini adalah satu partai yang memenangkan posisi presiden, partai lain akan menguasai badan perwakilan rakyat. Contoh yang mempraktikkan sistem ini adalah Amerika Serikat. Misalnya ketika Partai Republik mendapatkan kursi kepresidenan, maka Partai Demokrat akan menguasai kongres.

Baca juga: Perludem: Ambang Batas Parlemen Gagal Sederhanakan Sistem Kepartaian

Sistem Multipartai

Sistem multipartai pada umumnya berkembang di negara yang memiliki keanekaragaman dalam masyarakat. Di mana perbedaan ras, agama, dan suku bangsa sangatlah kuat.

Sistem multipartai lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada sistem dwi partai. Negara yang menggunakan sistem multipartai adalah Indonesia, Malaysia, Belanda, Perancis, Swedia, dan lain-lain.

Sistem multipartai tidak memiliki satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai lain. Oleh karena itu, sistem multipartai mencerminkan adanya lebih dari dua partai yang dominan.

Sistem kabinet yang diterapkan umumnya berupa sistem kabinet parlementer. Parlemen cenderung memiliki posisi lebih kuat dibanding lembaga eksekutif karena parlemen dapat menjatuhkan kabinet dengan mosi tidak percaya.

Oleh karena itu, sistem multipartai cenderung melahirkan pemerintahan yang tidak stabil.

Referensi

  • Andriyan, Dody Nur. 2016. Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan Multipartai di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish
  • Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.