Mengapa nilai-nilai gotong royong di perkotaan mulai luntur

Gotong royong merupakan istilah yang akrab bagi bangsa Indonesia. 74 tahun silam, bahkan istilah tersebut telah dicetuskan untuk pertama kali oleh Ir. Soekarno saat menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI,

“Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

Gotong Royong di Daerah di Indonesia

Secara harafiah, Gotong Royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu bersama-sama. Sedangkan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, gotong royong memiliki pengertian bekerja bersama-sama, tolong menolong, bantu membantu.

Menariknya, di setiap daerah gotong royong memiliki termonologi yang berbeda. Sebagaimana dikutip oleh kumparan, terdapat lebih dari seratus terminologi gotong royong dari seluruh penjuru nusantara. Penyebutan gotong royong disesuaikan menurut bahasa masing-masing daerah. Daerah Bengkulu terdapat istilah Ngacau Gelamai yang sama artinya dengan gotong royong.

Ngacau Gelamai diartikan sebagai tradisi gotong royong warga Bengkulu untuk membuat kudapan atau aktivitas mengaduk adonan bernama gelamai. Sementara warga daerah Gunung Kidul, Yogyakarta menyebut gotong royong dengan istilah sambatan. Sambatan berasal dari kata sambat atau mengeluh. Dalam arti luas, sambatan dilakukan dalam rangka membantu sesama warga yang sedang terkena musibah.

Banyaknya istilah yang digunakan di berbagai daerah baik yang digolongkan sebagai nilai maupun sebagai perilaku, tentu gotong royong bermuara pada satu kegiatan yang pada dasarnya tidak dapat dilakukan secara individual, melainkan kolektif atau lebih dari satu orang.

Gotong Royong dalam Sejarah Perkembangan Masyarakat

Berkaca pada sejarah perkembangan masyarakat, gotong royong telah diwujudkan dalam bentuk kegiatan bercocok tanam seperti mengolah hasil panen secara bergiliran pada masing-masing pemilik sawah. Hal tersebut sudah menjadi cerminan perilaku bangsa Indonesia sejak dulu sebagai bentuk solidaritas dalam kehidupan kelompok masyarakat. Namun, belakangan ini interaksi sosial masyarakat Indonesia dapat digambarkan sedang mengalami situasi yang kurang baik, khususnya pada sruktur masyarakat di perkotaan.  

Situasi sosial ini mirip dengan konsep anomie yang dikemukaan oleh Durkheim, di mana untuk menggambarkan kondisi relasi masyakarat atau individu di mana konsensus melemah, nilai-nilai dan tujuan (goal) bersama meluntur, kehilangan pegangan nilai-nilai norma dan kerangka moral, baik secara kolektif maupun individu.

Lunturnya nilai gotong royong juga tidak lepas dari faktor arus globalisasi yang kian menguat. Ditandai dengan masuknya berbagai akses informasi budaya barat yang tanpa sekat. Kondisi yang demikian tentunya menjadi pukulan telak bagi bangsa Indonesia apabila nilai-nilai kegotong-royongan yang telah terbangun sejak lama hilang akibat tidak adanya filterisasi budaya-budaya modern yang masuk dengan menggerus nilai-nilai yang sudah ada.

Wabah Covid dan Fenomena Gerakan Akar Rumput

Memasuki awal tahun 2020, datangnya pandemi covid-19 selayaknya arus globalisasi yang tak terbendung. Berdasarkan data yang dilansir dari kawalcovid19.com, sampai pada 29 Mei 2020 terhitung 25.216 kasus positif dan 1.520 meninggal dunia. Angka tersebut akan terus bertambah jika tidak ditangani sesuai dengan protokol kesehatan yang baik.

Situasi demikian menuntut mansyarakat untuk berdiam diri di rumah masing-masing dalam rangka memutus rantai penyebaran covid-19 dan sebagian besar harus berhenti untuk bekerja, Artinya selain tidak dapat beraktifitas secara normal diluar rumah juga tidak ada pemasukan pendapatan untuk keberlanjutan hidup.

Selain itu, dampak lain yang ditimbulkan dari pandemi ini yakni nilai daya beli dan daya jual yang menurun drastis. Akibatnya, banyak karyawan yang dirumahkan karena banyak pabrik yang telah menutup usahanya.

Pada kondisi krisis semacam ini menurut hemat penulis budaya gotong royong di Indonesia yang sempat mengalami penurunan rupanya masih menyisakan akarnya, dibuktikan dengan adanya gerakan sosial yang saling bahu membahu membantu masyarakat terdampak covid-19.

Presiden Jokowi juga mengimbau bahwa di tengah pandemi virus covid-19, masyarakat Indonesia dapat terus menggaungkan semangat gotong royong, ia menyampaikan bahwa masyarakat tidak hanya peduli dengan bagaimana mengatasi pandemi, namun juga kepedulian agar roda ekonomi masyarakat tetap bergerak dan berputar serta adanya berbagai uluran tangan bantuan kemanusiaan.

Namun, jauh sebelum presiden menyampaikan imbauan tersebut, gerakan akar rumput masyarakat bahkan telah dimulai di awal pandemi atas inisiatif dari banyak aktor dari berbagai sektor. Sebut saja fenomena lockdown kampung yang terjadi di daerah Yogyakarta, dibentuknya komunitas Solidaritas Pangan Yogyakarta (SPJ), dan gerakan sosial masyarakat lainnya.

Semua hal itu murni berangkat dari jiwa kepedulian terhadap sesama dan secara tidak langsung dampak dari kegiatan tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat tanpa ada birokrasi yang berbelit. Kegiatan semacam ini juga dilakukan oleh kalangan influencer dalam negeri, mereka berbondong-bondong melakukan kampanye pencegahan serta menghimpun donasi melalui platform pengumpulan donasi yang tersedia.

Fenomena ini jarang kita temukan di negara-negara lain di mana masyarakat dapat bergerak bersama atas inisiatif pribadi dalam mengatasi permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Melalui aksi solidaritas dalam menghadapi wabah covid, masyarakat telah berhasil merekonstruksi nilai gotong royong yang sempat luntur.

Pada momen ini, budaya gotong royong hadir kembali dalam bentuknya yang baru dengan nilai yang masih sama, yaitu kepedulian terhadap sesama, Menurut hemat penulis, keberhasilan semacam ini merupakan sebuah penanda besar dari adanya era baru dalam kehidupan masyarakat setelah menghadapi bencana wabah covid-19.   

New Normal

Dewasa ini, pemerintah berencana menerapkan kebijakan New Normal, yang mengajak masyarakat untuk dapat hidup berdamai dengan Covid-19. New Normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Selama pandemi ini, perekonomian, pendidikan, hingga kegiatan keagamaan yang dibatasi berdampak produktifitas masyarakat. Disisi lain, negara tidak mempunyai jaring sosial untuk menjamin kebutuhan hidup setiap warga negaranya. Penerapan New Normal menjadi satu-satunya keputusan pemerintah dalam menanggulangi covid-19 dan situasi perekonomian negara.

Keseriusan pemerintah dalam memberlakukan New Normal juga di perlihatkan melalui penerbitan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Pola perubahan semangat gotong royong yang terjadi pada masa pandemi ini menjadi harapan baru sebagai bagian yang wajib ada dalam penerapan new normal. Menurut hemat penulis, new normal perlu dimaknai sebagai momen untuk terus membangun nilai gotong royong di struktur masyarakat perkotaan.

Terlepas dari segala risiko yang ditimbulkan dengan diberlakukannya New Normal, seperti kurva kenaikan kasus yang akan semakin bertambah, Pemerintah perlu untuk memformulasikan protokol kesehatan yang ketat. Disamping itu, budaya baru gotong royong yang terbangun selama pandemi ini dapat terus terjaga dengan baik sebagai bentuk jaring sosial masyarakat.

Pada postingan sebelumya sudah saya tuliskan mengenai budaya gotong royong yang mulai luntur atau hilang di masyarakat, bisa baca disini: Semangat/ Budaya Gotong Royong Yang Mulai Hilang. Dalam tulisan tersebut sedikit saya singgung mengenai budaya warisan leluhur berupa gotong royong yang dalam perkembangannya sekarang mengalami kendala dalam hal partisipasi masyarakat. Arus perkembangan jaman juga turut mempengaruhi eksistensi budaya yang mengutamakan kebersamaan dan kerukunan tersebut.

Mengapa nilai-nilai gotong royong di perkotaan mulai luntur

Tentu saja surutnya semangat gotong royong tanpa alasan. Berikut ini akan saya uraikan mengenai 5 alasan atau penyebab kenapa gotong royong mulai ditinggalkan, yaitu:

Alasan ini merupakan alasan klasik, namun alasan inilah yang sering muncul di masyarakat. Rasa malas adalah perasaan yang dimiliki oleh hampir semua orang, oleh sebab itu saat orang merasa malas maka apapun kegiatannya dia merasa enggan untuk berperan aktif, tak terkecuali saat ada kegiatan gotong royong.

Tak sedikit orang yang disibukkan dengan pekerjaan mereka, sehingga hampir tak ada waktu untuk kegiatan-kegitan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Bahkan, ada orang yang rela mengeluarkan uang untuk membayar orang lain untuk mewakili mereka saat ada gotong royong.

Sering adanya bantuan langsung dari pemerintah membuat permasalahan tersendiri di masyarakat, hal ini tak lepas dari pembagian bantuan yang terkadang tidak tepat sasaran. Bahkan, berkembang asumsi di masyarakat terkait bantuan yang seharusnya dibagi rata. Nah, kecemburuan dan rasa iri inilah yang terkadang membuat orang jadi enggan untuk melakukan kegiatan seperti gotong royong.

Bantuan untuk pembangunan dari pemerintah membuat orang terkadang keliru dalam memahami, banyak asumsi bahwa tak perlu ada gotong royong bila sudah ada bantuan dari pemerintah, karena tenaga kerja sudah di bayar dengan dana bantuan. Memang tak sepenuhnya keliru, namun ada kalanya bantuan juga butuh swadaya dari masyarakat, karena ada juga bantuan yang sifatnya stimulan dan butuh partisipasi dari masyarakat. Dengan banyaknya bantuan yang turun di masyarakat sehingga tak sedikit masyarakat yang akhirnya "ketergantungan" pada bantuan.

Ego orang yang besar terkadang membuat orang menjadi kurang bersosialisasi, enggan berbaur dan acuh tak acuh terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. 

Baca juga: Sampah dan Faktor Permasalahan Lingkungan

Demikian tadi lima alasan atau penyebab budaya gotong royong semakin hilang. Mungkin saja tak sepenuhnya benar, tapi paling tidak dari kelima alasan tersebut berdasarkan pengalaman saya selama bermasyarakat. Bahkan masih ada alasan-alasan lain yang muncul, apalagi sekarang era globalisasi yang membuat orang terkadang berfikir praktis. Kurangnya kepedulian terhadap lingkungan membuat orang menjadi tidak mau atau malas-malasan untuk bergotong royong, kalau sudah begitu, budaya warisan leluhur tersebut lambat laun akan mengilang.