Mengapa niat tidak perlu diucapkan brainly

RADARBANGSA.COM - Sebelum melaksanakan salat, kebanyakan umat Islam selalu melafalkan niat salat maupun dengan suara kecil ataupun hingga terdengar makmum ketika menjadi imam. Melafalkan niat, seperti pada salat magrib "Ushalli farda Maghribi tsa`lasa raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan salat fardu magrib tiga rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat waktu semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam salat magrib ataupun salat lainnya sebenarnya dihukumi sunah.

Mengutip NU Online, hukum melafalkan niat salat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunah, karena melafalkan niat sebelum takbir bermanfaat untuk membantu mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyuk dalam melaksanakan salat.

Kemudian, jika seseorang salah ketika melafalkan niat sehingga tidak sesuai seperti niat sebenarnya, seperti melafalkan niat salat Zuhur tetapi niatnya salat Asar, maka yang dianggap adalah niat sebenarnya bukan lafal niat yang diucapkan. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut bukanlah niat, hal tersebut hanya membantu mengingatkan hati. Selama niat dalam hati masih benar, salah pengucapan niat tidak mempengaruhi niat sebenarnya.

Sedangkan menurut pengikut mahzab Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Abu Hanifah (Hanafiyah), melafalkan niat salat sebelum takbiratul ihram tidak disyariatkan. Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat salat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum salat adalah sunah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bidah, namun bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu dalam niatnya senidir) dianggap baik (istihsan) melafalkan niat.

Niat memang tempatnya ada di dalam hati, namun terdapat empat hal syarat sah niat dalam ibadah yaitu, Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beritikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara salat Zuhur dan salat Asar.

Imam Ramli mengatakan:

وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

“Disunahkan melafalkan niat menjelang takbir (salat) agar mulut dapat membantu (kekhusyuan) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)

Fungsi melafalkan niat dalam salat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan salat sehingga dapat mendorong pada kekhusyuan. Karena melafalkan niat sebelum salat hukumnya sunah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Salah mengucapkan niat salat tidak berpengaruh dalam salat selama niat di dalam hati sudah benar.

Mengapa niat tidak perlu diucapkan brainly

Niat merupakan perbuatan yang sangat penting dalam Islam. Rasulullah saw. mengatakan bahwa amal ibadah harus dimulai dengan niat. Niat menjadi penentu keabsahan sebuah ibadah. Karena itulah para ulama yang telah meneliti petunjuk Rasulullah saw. selalu membahasnya dalam kitab-kitab mereka.

Pembahasannya terkait dengan tata cara berniat, tempat niat, pembatal niat dan lainnya. Para ulama ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Jika lisan mengatakan sesuatu tetapi hati tidak meniatkannya, maka sebuah amalan belum dianggap absah. Belum cukup. 

Kesepakatan lainnya, para ulama empat mazhab menyepakati bahwa melafalkan niat bukan syarat sah sebuah niat. Jadi, tanpa dilafalkan pun, niat dalam sebuah ibadah sudah sah. Tetapi mengenai hukum melafalkan niat dengan lisan, para ulama dari empat mazhab berbeda pendapat.

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah menyebutkan,

ثُمَّ إِنَّ الْفُقَهَاءَ اخْتَلَفُوا فِي الْحُكْمِ التَّكْلِيفِيِّ لِلتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ:  فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ

Kemudian para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum taklifi melafalkan niat. Pendapat yang kuat dalam mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah sunnah agar antara lisan dan hati terjadi kesesuaian. Sebagian ulama Hanafi dan Hanbali berpendapat, melafalkan niat hukumnya makruh. Mazhab Maliki berpendapat hukum mengucapkan niat adalah jawaz (boleh) dalam ibadah. Tetapi meninggalkannya leih utama kecuali untuk orang yang terkena waswas, sunnah baginya melafalkan niat untuk menghilangkan keraguan. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 42, hlm. 67)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa melafalkan niat merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya. Dari keempat mazhab, tidak ada yang menghukumi haram melafalkan niat. Hanya ada fatwa dari sebagian ulama Hanabilah yang menyatakan makruh dan ulama Malikiyah yang menghukumi khilaful aula. Tetapi semua sepakat, bagi orang yang mengalami waswas, disunnahkan melafalkan niat. Demikian penjelasan singkat tentang hukum melafalkan niat.  Semoga bermanfaat.

Para ulama sepakat bahwa, Niat dalam shalat adalah hukumnya wajib.

SERAMBINEWS.COM – Simak penjelasan Ustadz Abdul Somad ( UAS) tentang kapan niat shalat dilafazkan atau diucapkan.

Niat merupakan keinginan dalam hati untuk melakukan suatu ibadah yang ditujukan hanya kepada Allah SWT.

Niat juga sebagai pembeda suatu amal ibadah dengan amal ibadah yang lain, apakah orang tersebut bertujuan untuk beribadah atau beramal.

Niat hakikatnya adalah keikhlasan hati seseorang dalam melakukan suatu amal ibadah.

Niat dapat terpenuhi walaupun tidak diucapkan (dilafazkan). Oleh karena itu, niat tidak harus dilafazkan.

Baca juga: Berdoa Pakai Bahasa Indonesia Dalam Sujud Terakhir Shalat, Bolehkah? Ini Jawaban dan Penjelasan UAS

Baca juga: Bolehkah Memejam Mata Saat Shalat Agar Lebih Khusyuk? Ini Penjelasan Buya Yahya

Para ulama sepakat bahwa, Niat dalam shalat adalah hukumnya wajib.

Allah berfirman dalam Qur’an Surah Al-Bayyinah ayat 5, yang artinya;

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

Keikhlasan dalam beribadah dengan memurnikan niat demi mencari rida Allah dan menjauhkan diri dari kemusyrikan adalah salah satu syarat diterimanya ibadah.

Sementara itu, dalam Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim;

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: "Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya."

Baca juga: Harus atau tidak Mengusap Wajah setelah Salam saat Shalat? Ini Penjelasan Hukumnya Menurut UAS

Baca juga: Sholat Dhuha 2 Rakaat, Berikut Tata Cara Mulai Niat, Doa Khususnya, Ini Keutamaan Jika Mengerjakan

Lantas, kapan niat shalat dilafazkan?

Menurut Ustadz Abdul Somad ( UAS) dalam ceramah “Kupas Tuntas Buku 99 Tanya Jawab Seputar Shalat”, ada tiga mahzab yang menyebut bahwa niat dilazafkan sebelum Takbiratul Ihram.

“Menurut (Mahzab) Maliki, Hanafi dan Hambali, berniat itu sebelum Takbiratul Ihram,” terang UAS.

Sedangkan menurut Mahzab Imam Syafi’i, kata UAS, niat dilazafkan saat atau dalam Takbiratul Ihram.

“Allahu Akbar, di situ niat, ‘Saya Salat Magrib tiga rakaat mengikut imam karena Allah Ta’ala’. Niatnya di dalam takbir ” jelas UAS.

Oleh karena itu, UAS mengatakan bahwa untuk orang yang bermahzab Syafi’i agar tidak heran terhadap imam-imam seperti di Arab Saudi yang Takbiratul Ihram-nya pendek.

“Saya tak tahu bapak/ibu pakai mahzab apa selama ini. Jadi kalau ada yang berniat sebelum Takbiratul Ihram, berarti selama dia mengikut Maliki, Hanafi dan Hambali,” ujar UAS.

Baca juga: Haruskah Memperpanjang Bacaan Setelah Al-Fatihah di Rakaat Ketiga atau Keempat? Simak Penjelasannya

Baca juga: Keutamaan Al Fatihah yang Jarang Diketahui, Surat Paling Agung di Dalam Al Quran

Namun, kata UAS, kalau orang tersebut berniat dalam Takbiratul Ihram, berarti mengikuti mahzab Syafi’i.

“Saya dari kecil mengikut mahzab Syafi’i. Niat saya di dalam Takbiratul Ihram itu,” jelas UAS.

Menurutnya, niat yang dilafazkan saat Takbiratul Ihram disebut Muqaranah, yaitu serempak atau selaras antara lazaf takbir dan niat.

“Yang tidak boleh itu sesudah Takbiratul Ihram baru berniat. Karena niat itu dua, sebelum atau di dalam Takbiratul Ihram,” jelas UAS.

Penjelasan UAS tersebut diambil dalam tayangan Youtube FSRMM TV. ( Serambinews.com/Agus Ramadhan)

KAJIAN ISLAM

AKSES DAN BACA BERITA DI GOOGLE NEWS 

Baca juga lainnya:

Baca juga: Hukum Mengonsumsi Ikan yang diasinkan Tak dibuang Kotoran, Simak Penjelasan UAS

Baca juga: Haruskah Berwudhu Saat Membuka Alquran Digital di HP? Ini Penjelasan Abi Mudi

Baca juga: Wanita yang Sedang Haid Dilarang Masuk Masjid, Bagaimana Kalau Masuk Musholla? Ini Penjelasan UAS