Mengapa konsep manajemen koperasi tidak dapat disamakan dengan manajemen perusahaan konvensional

Mengapa konsep manajemen koperasi tidak dapat disamakan dengan manajemen perusahaan konvensional

Selama ini orang mengenal koperasi di tanah air semata sebagai entitas bisnis kecil-kecilan. Seperti simpan pinjam dalam skala mikro dan atau usaha warung kelontong. Pada akhirnya persepsi mengenai koperasi yang terbentuk sebagai urusan bisnis kecil-kecilan. Anak-anak muda menganggap bisnis koperasi bukan sebagai hal menarik dan bahkan terkesan kuno. Koperasi sebagai entitas bisnis modern dan sesungguhnya futuristik justru banyak ditinggalkan.

Orang lupa bahwa das sollen-nya koperasi itu sebetulnya sebagai bisnis berskala besar karena fungsinya mengintegrasi usaha-usaha kecil sebagaimana mustinya asas subsidiaritas koperasi diterapkan. Dimana apa-apa yang bisa dikerjakan sendiri dikerjakan individu dan apa-apa yang tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri dikerjakan bersama melalui koperasi. 

Konsep koperasi sebagai bussines provider, perusahaan masa depan yang demokratis tidak terlihat dalam praktek dan banyak orang pada akhirnya menyangsikan koperasi dapat menjadi perusahaan konglomerasi dan menjadi pemimpin pasar. Harapan koperasi dapat menjadi soko guru ekonomi menjadi jauh panggang dari api.

Padahal, praktek koperasi berskala besar saat ini sudah terlihat di berbagai negara. Sebut saja misalnya koperasi NTUC Fair Price di Singapura. Koperasi ini telah pangsa pasar hingga 59 persen dari total pasar ritel disana.  Kemudian EROSKI yang jadi market leader di Italia untuk bisnis ritel.  

JA Zen-noh yang jadi usaha pertanian terbesar di Jepang. Sunkist Co-operative Growers yang merupakan penghasil jus yang mendunia itu. Koperasi Susu Amul sebagai penghasil susu olahan terbesar di India.  Koperasi perlistrikan NRECA  yang kuasai hampir di seluruh listrik pedesaan di hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat, satu koperasi kredit (credit Union) Desjardin di Canada yang assetnya sebanyak 4200 tilyun rupiah melebihi total seluruh asset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita,  dan masih banyak lagi contoh koperasi kelas dunia lainya.         

Masalah Kepemilikkan dan Kontrol

Koperasi sebetulnya tidak ada bedanya dengan entitas bisnis lainya. Perbedaan yang mendasar adalah di dalam sistem kepemilikkan dan mekanisme kerjanya. Koperasi kemepilikkannya terbuka bagi setiap orang dan hak suara untuk mengambil kebijakan organisasi dan perusahaan dijamin satu orang satu suara. Koperasi bekerja dalam mekanisme demokrasi.

Dalam praktek paling nyata misalnya adalah praktek demokrasi di tempat kerja dari Koperasi Mondragon yang tercatat sebagai perusahaan terbesar di Basque, Spanyol dengan jumlah karyawan kurang lebih 80.000 orang. Karena koperasi ini dimiliki oleh seluruh pekerjanya dan juga jamin hak suara anggotanya, pengambilan keputusan gaji misalnya, batas rasio gaji manajemen tertinggi sampai dengan karyawan terendahnya dibatasi dalam kebijakan internal sebesar 1 : 6.  Kenapa bisa demikian? Karena setiap pekerja adalah pemilik dan pengendali dari perusahaan. Ini satu konsep beyond dari model kepemilikkan buruh perusahaan biasa seperti skema ESOP (employee share ownership plan). 

Beberapa koperasi di dunia saat ini bahkan sudah mengembangkan model kepemilikkan koperasi lebih mutakhir dengan model koperasi multipihak. Dimana satu koperasi itu bisa dimiliki oleh para produsennya, pekerjanya dan juga konsumennya sekaligus.  Koperasi ini memberikan perwakilan penuh dalam organisasi dengan sistem perwakilan sesuai dengan kelompok kepentingannya. Contoh praktek nyata dari koperasi ini adalah koperasi I COOP di Korea yang dikembangkan oleh para perempuan petani pembaharu.  Mereka saat ini bukan saja telah satukan kepentingan petani, pekerja dan konsumen dalam satu lembaga koperasi, tapi mereka telah berhasil perangi mafia pangan dan kembangkan konsep edukasi koperasi untuk berporduksi, bekerja dan berkonsumsi secara etis.

Penting dipahami bahwa koperasi itu bukan hanya semata perusahaan. Benar koperasi gunakan instrumen perusahaan, namun perusahaan bagi koperasi hanya sebagai alatnya untuk capai tujuan dari nilai-nilai keadilan dan demokrasi.  Itu kenapa Mahkamah Konstitusi kita musti batalkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 yang definisikan koperasi sebagai semata badan hukum dan atau badan usaha. Ini adalah definisi yang secara epistemologi memang sudah salah. 

Koperasi Kita

Dari sejak jaman Indonesia merdeka, koperasi kita secara agregat tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, bahkan mengalami banyak kemunduran secara pradigmatik. Koperasi yang kita harapkan dapat menjadi soko guru ekonomi, ternyata masih jadi pemain pinggiran.

Sampai akhir tahun 2015, kontribusi koperasi kita hanya 1,7 % atau sekitar Rp. 187 trilyun dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita yang sebesar Rp. 10.377 Trilyun.  Koperasi kita ternyata kontribusinya lebih kecil dibandingkan pada saat awal Indonesia merdeka yang sudah 2,5 persen (Hatta, 1951).

Koperasi kita secara umum, walaupun sudah 69 tahun dideklarasikan sebagai gerakan nasional pada tanggal 12 Juli 1947 di Tasik Malaya, Jawa Barat,  dapat dikatakan kurang berhasil kalau tidak mau dibilang gagal dalam mengemban misinya. Jumlah koperasi berbadan hukum kita hingga akhir tahun 2015 berjumlah 209.355. Dimana berarti hampir rata-rata ada 3 koperasi formal di setiap desa yang diklaim beranggotakan lebih dari 36 juta orang.

Kita jadi pemilik koperasi terbanyak di dunia, tapi tidak dalam semangat perkoperasianya. Dalam percaturan bisnis, koperasi terlewat dari lintas bisnis modern dan hanya jadi bagian dari sub-ordinat bisnis jenis lainya. Koperasi berada dalam masalah yang fundamental, baik masalah paradigmatik, regulasi maupun kebijakan. 

Padahal di negara lain, koperasi dianggap sebagai titik terang dalam mengatasi masalah ekonomi dunia yang sampai saat ini kita rasakan. Koperasi telah diakui oleh banyak pihak sebagai solusi atas kondisi ekonomi stagnan, penurunan upah riil, meningkatnya ketidaksetaraan, penghematan biaya publik  yang berlebih lebihan dan kerusakan sosial dan lingkungan. Lebih dari satu miliar orang di dunia sekarang terlibat sebagai anggota koperasi, dimana produsen, konsumen dan berbagai pihak dalam berbagai kombinasi adalah pemilik dan penerima manfaat utama dari pembagian kue ekonomi. Sejak 2008, bahkan menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), keuangan koperasi dan perusahaan mutual lainya mengungguli bank-bank konvensional dalam hampir setiap ukuran (ILO, 2009).

Koperasi telah menunjukkan bahwa produksi dalam skala besar dan sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dapat diwujudkan. Hasilnya, sarana kerja tidak perlu dimonopoli sebagai sarana kelas atas, orang tidak perlu bekerja seperti budak di tempat-tempat kerja. Orang-orang mulai percaya bahwa cara koperasi dapat menjadi solusi bagi sistem kapitalisme yang ekploitatif dan selalu mengancam kehidupan orang-orang kecil dalam krisis konjungtural. 

Selama ini, secara paradigmatik cara berkoperasi kita dipahami secara salah.  Koperasi dianggap sebagai sebuah bisnis yang tidak ada bedanya dengan usaha lainya, yaitu sebagai asosiasi berbasis modal (capital-based association). Koperasi gagal dipahami sebagai organisasi berbasis orang(people-based association) yang tidak bebas nilai.

Dalam praktek, karena begitu dominannya usaha koperasi di sektor simpan pinjam, maka koperasi itu juga dipahami hanya sebagai usaha yang pantas digerakkan di sektor ini. Koperasi yang secara natural berfungsi untuk penuhi kebutuhan domestik pangan dan enerji justru tidak tampak.  Jenis koperasi pekerja (worker co-operative) yang harusnya menjadi inti dari pergerakan koperasi di sektor riel tidak berkembang sama sekali. Apalagi jenis koperasi baru yang berparadigma multipihak (multistakeholder) yang sekarang mulai banyak berkembang pesat di belahan negara lain.  

Bisnis koperasi di negeri kita dianggap sebagai bisnis kecil-kecilan dan hidupnya tergantung dari program pembinaan pemerintah. Koperasi bahkan tidak lagi dianggap penting sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang perlu diajarkan. Faktanya koperasi sebagai mata pelajaran di sekolah dan perkuliahan di kampus telah banyak dihapus.  Koperasi citranya juga terus dibiarkan dirusak di lapangan oleh praktek rentenir berbaju koperasi. Hingga pada akhirnya, masyarakat sebagianya mengenal koperasi itu sebagai kegiatan yang tak ada bedanya dengan rentenir dan bahkan secara serampangan sering dibilang usaha yang berbau riba. 

Dalam tata regulasi, koperasi terus disingkirkan dengan berbagai  cara.  Disubordinasi, didiskriminasi, dan bahkan dieliminasi dari perundang-undangan tentang ekonomi dan kemasyarakatan.  Dalam kebijakan, secara sistemik koperasi dikerdilkan dengan dijadikan sebagai tempat untuk menerima belas kasihan dalam program pemerintah maupun perusahaan swasta konvensional.  

Dalam undang-undang dan berbagai produk kebijakan, koperasi sengaja disub-ordinasi dengan selalu disebut sebagai bagian dari badan hukum yang selalu musti dibina dan dijadikan sebagai alat penyaluran program pemerintah. Diantara undang-undang yang secara terang-terangan lakukan diskriminasi dan mensub-ordinasi terhadap koperasi misalnya undang-undang (UU) penanaman modal yang hanya bolehkan investasi asing dalam bentuk perseroan, penggunaan badan hukum yang hanya boleh perseroan dalam UU Penanaman Modal untuk Investasi Asing, UU Rumah Sakit, Media, serta BUMN dan lain sebagainya. 

Sampai hari ini kita juga masih diatur oleh undang-undang koperasi tersendiri yang kualitasnya jauh dari jatidiri koperasi. Sementara rancangan undang-undang perkoperasian baru paska dibatalkan undang-undang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi banyak yang masih gambarkan pasal titipan kepentingan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan untuk membangun kehidupan perkoperasian yang lebih baik di masa mendatang. 

Kita saat ini butuh langkah reformasi, dan langkah refomasi tersebut diperlukan sarana hukum baru untuk meningkatkan peranan koperasi kini dan di masa mendatang.  Konsekwensinya,penomenklaturan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) musti diganti, koperasi tidak perlu disamakan dengan usaha kecil.

Organisasi koperasi modern pertama di Dunia, Pioner of Rochdale yang dideklarasikan pada tanggal 22 Desember 1844 memang memiliki satu kekhasan organisasi, walaupun seluruhnya dimotori oleh para aktivis buruh, namun mereka dari awal sudah menegaskan diri bahwa organisasi mereka itu keanggotaannya sukarela dan terbuka bagi semua orang tanpa beda-bedakan suku, agama, ras, golongan, maupun status sosial.  Ini artinya koperasi sudah merupakan perusahaan go public yang jauh lebih futuris karena salah satu tujuanya ingin tetap jamin adanya demokrasi di tempat kerja.   

Koperasi sebagai organisasi ekonomi solidaritas memampukan bagi semua orang untuk tergabung didalamnya secara mudah dan bermanfaat secara ekonomi, sosial maupun budaya. Koperasi sebagai satu sistem bisnis inklusif musti didorong agar semua orang dapat terlibat masuk dalam gerakan ini. Tua dan muda, miskin dan kaya dapat bergabung bersama dan bekerjasama dalam organisasi koperasi karena motif manfaatnya. Untuk masa depan yang berkelanjutan dan dunia yang penuh perdamaian bagi semua.

Tantangannya saat ini, maukah kita secara berani merombak seluruh paradigma yang salah itu? Atau kita biarkan koperasi di tanah air ditelan oleh arus sistem kapitalisme yang semakin tak terkendali saat ini.

Suroto, Ketua Umum Koperasi Trisakti (KOSAKTI), Ketua Umum AKSES, tinggal di Jakarta