Mengapa dalam mempelajari sejarah kita harus mempergunakan cara berpikir diakronik?

Mengapa dalam mempelajari sejarah kita harus mempergunakan cara berpikir diakronik?

Mengapa dalam mempelajari sejarah kita harus mempergunakan cara berpikir diakronik?
Lihat Foto

Kemendikbud RI

Dekrit Presiden 1959.

KOMPAS.com - Ilmu sejarah terbagi menjadi dua arti, sebagai peristiwa dan kisah. Sejarah sebagai peristiwa merupakan kejadian masa lampau yang menyangkut kehidupan manusia. Sedangkan sejarah sebagai kisah adalah peristiwa sejarah yang dikisahkan atau dituliskan.

Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari peristiwa kehidupan manusia pada masa lampau. Dalam buku Historiografi Barat (2014) oleh Wahyu Iryana, sejarah memiliki beberapa manfaat di antaranya sebagai sarana berpikir, sumber lisan, dokumen visual, dan untuk membayangkan masa lalu dengan ilustrasi peristiwa. 

Konsep berpikir diakronis

Sejarah dengan konsep berpikir diakronis adalah berpikir kronologis (urutan) dalam menganalisis sebuah peristiwa. Kronologis di sini artinya catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu kejadiannya. 

Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat. Selain itu membantu membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat yang berbeda namun saling berkaitan.

Diakronis berasal dari kata diakronik atau "diachronich". Terdiri dari dua kata, "dia" dalam bahasa latin artinya melalui atau melampau dan "chronicus" yang artinya waktu. Sesuatu yang melintas melalui atau melampaui batas waktu merupakan pengertian dari diakronis. 

Baca juga: Apa Itu Sejarah? Definisi dan Syarat Sejarah

Konsep diakronis mementingkan proses. Sejarah akan membicarakan peristiwa tertentu yang terjadi pada suatu tempat tertentu sesuai dengan urutan waktu terjadinya.

Melalui diakronis, sejarah berupaya menganalisis sesuatu dari waktu ke waktu yang memungkinkan seseorang untuk menilai bahwa perubahan itu terjadi sepanjang masa.

Taukah kamu mengapa dalam melihat sejarah harus menggunakan cara berpikir diakronis?

Sejarawan akan menggunakan pendekatan diakronis untuk menganalisis dampak perubahan variabel sesuatu, sehingga memungkinkan sejarawan untuk mengetahui mengapa keadaan tertentu lahir dari keadaan sebelumnya.

Cara berpikir diakronis sangat mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa. Tujuan berpikir diakronis adalah untuk mengajarkan cara berpikir secara kronologis yang teratur dan berurutan.

Baca juga: Konsep Berpikir Diakronik dan Sinkronik dalam Belajar Sejarah

Mengapa dalam mempelajari sejarah kita harus mempergunakan cara berpikir diakronik?

Mengapa dalam mempelajari sejarah kita harus mempergunakan cara berpikir diakronik?
Lihat Foto

Arsip Kompas

Bung Karno saat menghadiri rapat raksasa menyambut Proklamasi Kemerdekaan R.I di Lapangan Ikada Jakarta (Lapangan Monas), 19 September 1945

KOMPAS.com - Dalam belajar sejarah tidak hanya sebatas informasi tentang masa lalu. Tapi dilakukan dalam proses rekontruksi peristiwa sejarah secara obyektif.

Pengungkapan peristiwa sejarah tidak akan lepas dari ruang dan waktu. Sehingga dibutuhkan kemampuan berpikir diakronik dan sinkronik.

Arti Diakronik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diakronis adalah berkenaan dengan pendekatan bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu atau bersifat historis.

Diakronik berasal dari bahasa latin yakni "Dia" yang artinya melalui atau melampaui dan "Chronicus" yang berati waktu.

Dikutip buku Historiografi Barat (2014) karya Wahyu Iryana, diakronik adalah memanjang dalam waktu tetap menyempit dalam ruang.

Berpikir diakronik merupakan berpikir kronologis atau urutan. Kronologis adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan kejadian.

Baca juga: G20: Sejarah, Tujuan, dan Peran Indonesia

Kronologis dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekontruksis kembali suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat.

Dapat membantu juga untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda yang terkait peristiwa.

Sejarah merupakan ilmu diakronik yang mementingkan proses. Sejarawan atau ahli sejarah akan menggunakan pendekatan diakronik saat berbicara sejarah.

Karena melalui pendekatan itu, sejarah berupaya mengalisis evolusi atau perubahan sesuatu dari waktu ke waktu.

tirto.id - Selama ini, sejarah kerap kali dipersepsikan sebagai ilmu hapalan, mulai dari menghapal nama, tanggal, tahun, atau suatu kejadian tertentu.

Aktivitas menghapal pelajaran sejarah ini sering dianggap membosankan. Dalam tahap ekstrem, sejarah bahkan dipandang sebagai topik yang tak penting dikaji atau dipelajari.

Anggapan bahwa sejarah merupakan topik remeh dan tak relevan ini sempat mencuat pertengahan tahun lalu.

Draft bertanda Kemendikbud tertanggal 25 Agustus 2020 bertajuk “Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional" menuliskan bahwa sejarah bukan lagi menjadi mata pelajaran wajib bagi semua siswa.

Hal ini memancing protes besar-besaran dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang merilis sikap agar pemerintah mempertahankan sejarah sebagai pelajaran wajib di sekolah menengah.

Peter Carey, sejarawan Inggris spesialisasi sejarah modern Indonesia menyatakan urgensi mempelajari sejarah. Tanpa mengetahui sejarah bangsa sendiri, Indonesia tidak akan pernah bisa jadi bangsa berdaulat.

Selain itu, jika dipelajari dengan benar, pelajaran sejarah merupakan topik yang menarik dan jauh dari kata membosankan.

Seyogyanya, pelajaran sejarah mengajak siswa atau pembacanya merasakan pengalaman nyata dari peristiwa atau pelaku sejarah dalam kejadian tersebut.

Secara ilmiah, mempelajari atau mengkaji sejarah harus tunduk pada suatu konsep atau cara berpikir metodik.

Dua konsep berpikir yang kerap digunakan dalam mengkaji sejarah adalah cara berpikir diakronik dan sinkronik.

Kedua konsep itu saling melengkapi untuk memahami suatu peristiwa sejarah secara komprehensif.

Berikut ini penjelasan mengenai cara berpikir diakronik dan sinkronik, sebagaimana dikutip dari Modul Sejarah (2020) yang ditulis Yuliani.

Konsep Berpikir Diakronik

Sederhananya, konsep diakronik adalah adalah pembabakan sejarah berdasarkan urutan peristiwa dan urutan waktu.

Dari sisi bahasa, diakronik berasal dari bahasa Yunani, yaitu "dia" dan "khronos". "Dia" artinya melintas atau melewati. Sementara itu, "khronos" adalah perjalanan waktu.

Dalam pengertian itu, konsep diakronik merupakan landasan berpikir bahwa peristiwa dalam sejarah melintas dalam perjalanan waktu yang teratur. Peristiwanya dinamis, serta melalui proses kausalitas sebab-akibat dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Cara berpikir diakronik dalam mengkaji sejarah ini memiliki dua unsur, yaitu unsur periodisasi dan unsur kronologis.

Pertama, unsur periodisasi memandang bahwa peristiwa sejarah berlangsung dalam urutan kejadian-kejadian tertentu di masa silam.

Contoh sejarah yang dipandang berdasarkan periode perkembangan kebudayaan adalah sebagai berikut:

  • Periode zaman praaksara atau zaman prasejarah. Kajian diakronik periode ini membahas peristiwa sejak manusia belum mengenal tulisan hingga ditemukannya aksara.
  • Periode zaman aksara atau zaman sejarah. Kajian diakronik periode ini membahas peristiwa ketika manusia sudah mengenal tulisan hingga sekarang.
    Kedua, unsur kronologis yang memandang bahwa peristiwa sejarah berlangsung dalam urutan waktu yang teratur. Contohnya adalah sebagai berikut.

    • Masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk berlangsung pada 1350-1389
    • Perang Diponegoro (Perang Jawa) berlangsung pada 1825-1945
    • Kolonialisme Jepang di Indonesia yang terjadi pada 1942-1945
      Konsep Sinkronik dalam Mempelajari Sejarah

      Berbeda dari konsep diakronik yang memandang sejarah dalam pembabakan umum, baik itu dari periode atau kronologi peristiwa. Cara berpikir sinkronik adalah pembahasan sejarah pada suatu peristiwa secara spesifik dan mendalam.

      Secara bahasa, sinkronik juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu "syn" yang artinya dengan dan "chronos" yang berarti waktu. Singkatnya, konsep sinkronik berhubungan dengan suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada suatu masa dalam sejarah.

      Ciri-ciri konsep berpikir sinkronik dalam mengkaji sejarah terdiri dari poin-poin berikut ini.

      • Membahas peristiwa sejarah yang terjadi pada masa tertentu, biasanya dalam rentang waktu pendek.
      • Fokus dalam kajian peristiwa berdasarkan pola-pola, gejala, dan karakter kejadian tersebut.
      • Bersifat horizontal.
      • Tidak ada konsep perbandingan dengan kejadian lain.
      • Cakupan kajian lebih sempit dari konsep diakronik.
      • Kajiannya bersifat mendalam dan sistematis.
      Contoh pembahasan konsep sejarah sinkronik adalah kajian Denys Lombard mengenai karya sastra di Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda dari rentang 1607-1636. Kajian sinkronik itu tertuang dalam buku Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1991) terbitan Balai Pustaka.

      Dalam satu bab bukunya, Denys Lombard hanya membahas mengenai karya-karya sastra, karakter karya tersebut, serta tidak membandingkannya dengan karya sastra di masa yang lain. Kajiannya mendalam dan sistematis dalam rentang waktu pendek, yaitu di masa Sultan Iskandar Muda saja.

      Perbedaan konsep sinkronik dari konsep diakronik adalah kedalaman bahasannya. Cara berpikir sinkronik mengkaji suatu peristiwa dari berbagai aspek secara spesifik, sementara itu konsep diakronik hanya memandang banyak kejadian secara luas.

      Kelemahan dari konsep sinkronik adalah kajiannya dilakukan hanya pada peristiwa spesifik dalam rentang waktu terbatas.

      Sedangkan kelemahan konsep diakronik adalah kedangkalannya memandang banyak peristiwa, tanpa mengkaji kejadian-kejadian sejarah itu secara mendalam.

      Baca juga:

      • Nadiem: Tak Ada Rencana Pelajaran Sejarah Dihapus dari Kurikulum
      • Kemdikbud Batasi Pelajaran Sejarah, Asosiasi Guru: Kebijakan Keliru
      • Pelajaran Sejarah Toleransi dalam Pidato Ketua MPR
      • Mengapa Pelajaran Sejarah Tak Disukai

      Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
      (tirto.id - hdi/adi)


      Penulis: Abdul Hadi
      Editor: Aditya Widya Putri
      Kontributor: Abdul Hadi

      Subscribe for updates Unsubscribe from updates