Masjid Tiban merupakan bukti sejarah yang menunjukkan penyebaran agama Islam ke pulau

Jakarta -

Sebuah makam menjadi bukti awal masuknya Islam di Jawa. Makan tersebut ditemukan atas nama Maimun pada tahun 1082 M. Lokasi makam adalah di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik.

Nama Leran atau Liran tersebut adalah nama sebuah tempat di Persia. Melansir dari buku Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Era Klasik Sampai Kontemporer karya Adi Sudirman, sebab itulah makam Fatimah binti Maimum kemudian dikenal dengan nama Batu Leran dan memiliki batu nisan yang bertuliskan huruf Arab.

Bila ditelisik dari namanya, Fatimah binti Maimun diperkirakan adalah seorang keturunan raja Hibatullah atau salah satu dinasti yang berkuasa di Liran, Persia. Bukti-bukti ini merujuk pada kesimpulan bahwa di Gresik sudah ada kelompok muslim pada tahun 1082.

"Fatimah binti Maimun bin Hibatullah itu merupakan cucu penguasa atau raja di Liran, Persia. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa pada tahun 1082 M, di Gresik sudah terdapat kelompok muslim," tulis Adi Sudirman yang dikutip Selasa (28/9/2021).

Selain makam Fatimah, makam lain yang ditemukan di Gresik adalah makam Malik Ibrahim dari Kasyan, Persia. Ia meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Kemudian, masuk lagi ke wilayah agak pedalaman, ditemukan pula ratusan kubur Islam kuno di Mojokerto.

Makam-makam itu disebut berasal dari tahun 1374 M. Bahkan diperkirakan berasal dari makam keluarga istana Majapahit. Dari pesisir utara Jawa, Islam masuk ke Jawa Barat dimulai pada masa pemerintahan Prabu Mundingsari, tepatnya tahun 1190. Saat itu, agama Islam disiarkan oleh Haji Purba.

Melansir dari Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII karya H. Abu Achmadi dan Sungarso, ada salah satu alasan agama Islam bisa berkembang dengan pesat di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh mulai runtuhnya Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu.

Sebenarnya proses masuknya agama Islam ke Indonesia masih menimbulkan banyak teori. Namun, para ahli sejarah cenderung meyakini bahwa masuknya Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke-7 M berdasarkan Berita Cina pada masa Dinasti Tang, seperti yang dikutip dari Sejarah Indonesia Periode Islam karya Ricu Sidiq, Najuah Najuah, dan Pristi Suhendro Lukitoyo.

"Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat pemukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatera Utara," tulis Ricu Sidiq, dkk.

Teori lainnya yang mendukung pernyataan tersebut adalah teori Mekah. Teori menyatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia dibawa langsung dari Mekah atau Arab pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang mengenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA).

Dikutip dari Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Era Klasik Sampai Kontemporer karya Adi Sudirman, HAMKA berpendapat motivasi awal kedatangan orang Arab ke Indonesia adalah dakwah Islam bukan ekonomi. Jalur perdagangan Indonesia dan Arab telah ada jauh sebelum tarikh Masehi.

Demikian gambaran singkat mengenai penyebaran Islam di Jawa yang dibuktikan dalam sebuah makam, hingga seluruh Indonesia. Semoga mudah dipahami ya, detikers!

Simak Video "Mengenal Lebih Dekat Seni Batu Suseki dan Biseki di Kebumen"



(rah/row)

Masjid Tiban merupakan bukti sejarah yang menunjukkan penyebaran agama Islam ke pulau

Pacitan - Masjid tiban di Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan merupakan salah satu bukti perkembangan Islam di Tanah 1001 Goa. Meski tidak ada catatan sejarah sebagai rujukan, namun berdasar cerita turun temurun, masjid yang kini bernama Nurul Huda merupakan peninggalan Sunan Geseng.Tidak ada yang tahu pasti kapan persisnya ulama Kerajaan Mataram itu berdakwah di Ngadirojo dan membangun masjid. Namun, ditemukannya masjid tiban tidak lepas dari peran sesepuh setempat bernama Mbah Bandung. Tokoh itulah yang secara tiba-tiba menemukan masjid di tengah rawa lalu menyebutnya masjid tiban."Ada seorang ahli, namanya Ki Ageng Bandung mencari ternyata ditemukan sebuah masjid," tutur Ratno, Ketua Takmir kepada detiksurabaya.com, Minggu (5/8/2012). Memang, jika dilihat dari luar tampilan masjid tiban Ngadirojo tak ubahnya masjid lain. Bangunan dengan panjang 20 meter dan lebar 8 meter itu sepenuhnya borcorak modern. Baik lantai, tembok maupun atapnya semua menampilkan citra masa kini. Pasalnya, masjid yang berada di tengah pemukiman tersebut sudah melewati 3 kali renovasi. Masing-masing tahun 1976, 1986 dan 1998.Satu bagian yang tak pernah berubah adalah sisi tengah masjid. Bangunan utama berbentuk joglo yang ditopang 4 pilar itu hingga saat ini dibiarkan seperti sedia kala. Tiang kayu yang menyisakan bekas tatahan kasar tetap berdiri tegak tanpa dihaluskan.Demikian pula dengan kayu berukir melintang yang melintang diatasnya. Keduanya hanya dipoles cat warna coklat.Di dalam cungkup itulah, lanjut Ratno, tersimpan pakaian yang pernah dikenakan Sunan Geseng lengkap dengan seperangkat alat pertukangan yang digunakan membangun masjid. Benda wasiat yang tersimpan di dalam kotak itu diyakini memiliki kekuatan magis.Lantaran takut terkena kutukan, tak satupun berani memindahkan atau merubah bangunannya. Diluar itu masih ada selaksa mitos lain yang begitu lekat di masyarakat."Saya pernah melihat bayangan orang dengan pakaian jubah serba hitam. Belum lagi suara-suara aneh yang sering muncul malam hari," ujar Nur Chalim, generasi ke-5 pemangku masjid.Dibalik balutan kisah mistis yang menyertai keberadaan masjid tiban, tempat ibadah kuno itu tetap menjadi salah satu pilihan untuk mendekatkan diri dengan Sang Khalik, terutama di Bulan Suci Ramadan.Tidak sedikit yang menyempatkan datang untuk beri'tikaf. Sebagian besar justru berasal dari sejumlah kota di luar provinsi maupun dari luar Jawa. Mereka biasanya berdatangan saat malam Jumat.Seiring perkembangan zaman, masjid tiban bukan lagi sebatas sarana ibadah. Tempat itu sekaligus menjadi pusat kegiatan Islam bagi masyarakat sekitar. Tiap waktu shalat selalu dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula waktu senggang selepas shalat wajib diisi dengan kegiatan majelis taklim."Jangan sampai pemahaman terhadap kesakralan masjid tiban menggiring umat menuju kemusyrikan. Sebaliknya, upaya menghormati para pendahulu semestinya dilakukan dengan memakmurkan masjid melalui kegiatan amar ma’ruf nahi munkar," kata Ihsanuddinm ulama setempat ditemui detiksurabaya.com di teras masjid.Keberadaan masjid tiban seolah menjadi simbol pemersatu diantara keragaman umat Islam yang beribadah di dalamnya. Semua diikat dalam satu nilai ketauhidan untuk mengagungkan kekuasaan Allah Subhanahu Wata'ala.

(bdh/bdh)

Pacitanku.com, NGADIROJOSejarah Pacitan tak pernah lepas dari sejarah perkembangan Islam. Berbagai macam bukti yang menunjukkan betapa hubungan Islam dan Pacitan dalam konteks sejarah begitu erat. Banyak bangunan peninggalan sejarah penyebaran agama Islam di negeri ini yang dipercaya keramat.

Salah satu bukti itu adalah adanya sebuah Masjid di Ngadirojo. Namanya adalah Masjid Tiban. Letak masjid ini di Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan, adalah bukti perkembangan Islam di tanah 1001 goa. Meski tidak ada catatan sejarah sebagai rujukan, namun berdasar cerita turun temurun masjid yang kini bernama Nurul Huda tersebut merupakan peninggalan Sunan Geseng.

proses ditemukannya Masjid Tiban ini tidak lepas dari peran sesepuh setempat bernama Mbah Bandung. Tokoh tersebut yang menemukan masjid di tengah rawa, lalu menyebutnya dengan Masjid Tiban. Tampilan Masjid Tiban dari luar tak ubahnya seperti masjid lain. Bangunan dengan panjang 20 meter dan lebar delapan meter itu sepenuhnya bercorak modern. Baik lantai, tembok maupun atapnya semua menampilkan citra masa kini. Masjid yang berada di tengah pemukiman tersebut sudah tiga kali direnovasi, yaitu pada 1976, 1986 dan 1998.

Namun, satu bagian yang tak pernah berubah adalah sisi tengah masjid. Bangunan utama berbentuk joglo yang ditopang empat pilar itu hingga saat ini dibiarkan seperti sedia kala. Tiang kayu yang menyisakan bekas tatahan kasar, tetap berdiri tegak tanpa dihaluskan. Demikian pula dengan kayu berukir yang melintang diatasnya, keduanya hanya dipoles cat warna coklat.

Masjid ini dipercaya sebagai masjid “tiban”. “Tiban” berarti jatuh atau ada secara tiba-tiba dan diyakini keramat. Nur Halim, pemangku masjid setempat, menceritakan asal-usul masjid ini cukup misterius.  Adalah Ki Ageng Bandung, orang kepercayaan Adipati Ponorogo, yang pertama kali menemukan bangunan cikal bakal masjid tersebut. Ki Ageng Bandung merupakan salah satu orang kepercayaan kerajaan yang membabat wilayah setempat yang waktu itu masih berupa hutan pada 1700-an hingga 1800-an.

Suatu hari Ki Ageng Bandung menjelajahi hutan di dekat Dusun Bandung. Baru sekitar tiga langkah berjalan, ia mendengar suara burung. Karena penasaran, dia mengikuti asal suara burung tersebut dengan menggunakan gethek atau alat untuk menyeberang yang terbuat dari bambu dengan menyusuri rawa hutan.

Akhirnya burung tersebut terlihat bertengger di dahan pohon tanjung kembar. Tepat di sebelah pohon tanjung kembar itu terdapat dua bangunan. Satu bangunan berbentuk rumah joglo dan satu bangunan lain adalah sebuah masjid kecil yang terbuat dari batu bata beratap ilalang.

Setelah masuk ke bangunan masjid yang sudah lama tidak terawat itu, dia menemukan selembar surat berbahasa Jawa kuno. Setelah dibaca, surat tersebut ditulis seseorang yang menamakan diri Sunan Geseng.

Isi surat berbunyi “Manawa alas iki wis babad sarta wis dadi desa reja, pandhapa iki dak cadangkake sapa kang dadi lurah. Lan masjid ing sakidul kulone iki dienggo panggonan mulang santri. Dene kang agawe pandhapa lan masjid iki aku, Sunan Geseng”.

Jika diartikan, surat tersebut menjelaskan bahwa “Apabila hutan ini sudah dibabat dan menjadi desa yang makmur, pendapa ini aku ujukan untuk siapa yang akan menjadi kepala desa. Masjid di sebelah tenggara nanti digunakan untuk tempat belajar para santri. Yang membangun pendapa dan masjid aku, Sunan Geseng”.

Di bangunan itu juga ditemukan sebuah kepek atau sejenis bungkusan kantong kecil dari kain yang tergantung. Setelah dibuka di dalamnya didapati jubah bergaris poleng beserta surban dan baju lengan panjang seperti baju koko untuk salat berwarna putih berbahan kain tenunan Jawa.

Sampai sekarang kepek dan peralatan lainnya masih tersimpan dalam kotak kayu yang dibungkus kain putih. Secara berkala, kain pembungkus itu diganti. “Saya tidak tahu apa isi kotak tersebut. Saya tidak berani membukanya,” ungkap pria yang akrab disapa Gus Nur ini.

Ki Ageng Bandung sendiri sebenarnya bangsawan dari Padjajaran, Jawa Barat. Konon, kepergiannya dari tanah Priangan itu setelah kalah berebut kekuasaan menjadi adipati dengan sang adik. Setelah kalah dalam perang saudara, ia hijrah ke wilayah Kerajaan Pajang, Jawa Tengah dan sampai ke wilayah Ngadirojo, Pacitan bersama salah satu muridnya, Panji Sanjayarangin. Sebelumnya, dia mengabdi di Adipati Ponorogo.

Sepintas tak ada yang menonjol dari bangunan masjid yang dekat dengan perbatasan Kabupaten Pacitan dan Trenggalek. Pun demikian saat memasuki pelataran masjid. Tidak ada tanda kapan masjid itu dibangun. Diperkirakan masjid itu sudah dibangun ratusan tahun yang lalu.