Lembaga negara yang dibentuk setelah amandemen uud 1945 adalah brainly

Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
  2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
  3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
  4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;

b. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;

c. Menetapkan calon hakim agung; dan

d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa: 

1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;

d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,

e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;

3. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.

4.Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan

    Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.

    UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPD,  namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

    Namun demikian, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.

    Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional.

    Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat (4) jo Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945.

    Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:

    1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;
    2. Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;
    3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan
    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Lembaga negara yang dibentuk setelah amandemen uud 1945 adalah brainly

04-11-2021

Wewenang Mahkamah Konstitusi kerap disamakan dengan Mahkamah Agung. Padahal, dari kemunculan, tugas, hingga tanggung jawab keduanya jelas jauh berbeda.

Oleh: Tim Hukum online

Dibanding Mahkamah Agung, keberadaan dan wewenang Mahkamah Konstitusi di tanah air masih bisa dibilang “baru”. Mahkamah Konstitusi lahir pada 13 Agustus 2003. Dinilai dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi di negaranya. Bahkan, Indonesia merupakan negara pertama yang membentuk lembaga ini di abad ke-21.

Kesamaan nama “Mahkamah” dalam Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seringkali membingungkan. Padahal, kedua lembaga ini memiliki banyak perbedaan, tidak hanya dari waktu pendirian, namun juga tugas dan kewenangan. Ulasan lengkap wewenang Mahkamah Konstitusi serta perbedaanya dengan Mahkamah Agung dapat disimak dalam uraian berikut.

Sejarah Mahkamah Konstitusi

Secara teoritis, konsep wewenang Mahkamah Konstitusi diperkenalkan pertama kali oleh seorang pakar hukum asal Austria bernama Hans Kelsen pada 1919. Kelsen dalam Teori Umum Tentang Hukum dan Negara menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat dilakukan secara efektif jika ada suatu organ selain badan legislatif. Organ ini diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum yang dihasilkan konstitusional atau tidak. Jika produk legislatif tersebut dinilai tidak konstitusional, organ tersebut berhak untuk tidak memberlakukannya.

Untuk kepentingan tersebut, Kelsen menilai bahwa perlu ada organ pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi” atau pengawasan “kekonstitusionalan” terhadap suatu undang-undang yang disebut judicial review yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa juga pengadilan tertinggi.

Lebih lanjut, Kelsen menyatakan bahwa konstitusi harus dilakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian. Diakuinya pula, ada ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian. Oleh karena alasan ini, dibuatlah rancangan mahkamah konstitusi khusus yang terpisah dari peradilan biasa dengan tugas mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dasar.

Jika ditinjau dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide tentang adanya pengujian undang-undang seperti halnya anggapan Kelsen, juga pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Yamin mengusulkan jika perlu adanya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) yang diberi kewenangan untuk membandingkan undang-undang atau judicial review.

Akan tetapi, usulan Yamin tersebut disanggah oleh Soepomo dengan beberapa alasan. Pertama, konsep yang dianut dalam UUD bukanlah konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, tugas dan wewenang hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan mengujinya. Ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga ide pengujian terhadap UUD yang diusulkan tidak digunakan dalam UUD 1945. 

Selanjutnya, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, hadirnya judicial review semakin dibutuhkan. Kebutuhan tersebut kemudian baru bisa dipenuhi setelah terjadi Reformasi yang membuahkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap.

Pada tahap ketiga atau perubahan ketiga UUD 1945, ketentuan tentang wewenang Mahkamah Konstitusi dirumuskan. Setelah itu, untuk merinci dan menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan, dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003, undang-undang tersebut disahkan. Pada hari yang sama, UU MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara.

Dasar Hukum Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi didirikan pada 17 Agustus 2003. Jika dilihat dari perjalanan historisnya, sebagaimana tertulis pada situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kehadiran wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia diadopsi dari adanya Constitutional Court dalam amandemen konstitusi MPR pada 2001. Dasar hukum Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam tiga pasal Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjabarkan sejumlah wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

  1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
  2. memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
  3. memutuskan pembubaran partai politik; dan
  4. memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Hal ini juga diterangkan dalam Pasal 7B UUD 1945, di mana fungsi Mahkamah Konstitusi bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.

Selanjutnya, Pasal 24C UUD 1945 juga mengatur sejumlah hal lain terkait Mahkamah Konstitusi.

  1. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
  2. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi.
  3. Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
  4. Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 disahkan pada 9 November 2001, dalam rangka menunggu pembentukan dan disahkannya Mahkamah Konstitusi, Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) menetapkan pelaksanaan tugas wewenang Mahkamah Konstitusi menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk sementara waktu. Peralihan tugas Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung untuk sementara ini tertuang pada Pasal III dalam Perubahan Keempat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pasal 1 UU Mahkamah Konstitusijo. Perpu 1/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kedudukan Mahkamah Konstitusi tertuang dalam Penjelasan Umum UU Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Adapun susunan Mahkamah Konstitusi tertuang dalam Pasal 4 UU Mahkamah Konstitusijo. UU 7/2020 yang menerangkan bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi. Dari sembilan anggota tersebut, satu orang merupakan ketua merangkap anggota, satu orang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh sisanya adalah anggota Hakim Konstitusi.

Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Sebagai sebuah lembaga negara, wewenang Mahkamah Konstitusi dan tugasnya diatur dalam perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana juga kewenangan Mahkamah Konstitusi, antara lain menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

Kemudian, dilanjutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden menurut UUD 1945. Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Perbedaan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Perlu diketahui bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi bukanlah Mahkamah Agung. Kehadiran Mahkamah Agung telah ada sejak 19 Agustus 1945.

Peran Mahkamah Agung dapat ditemukan pada Pasal 2 UU 14/1985 yang menerangkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Kemudian, dalam Penjelasan Umum UU 3/2009 diterangkan bahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain perbedaan tanggal pendirian, kedua lembaga ini memiliki beberapa perbedaan lainnya. Perbedaan pertama ada pada tugasnya. Tugas dan wewenang Mahkamah Agung yang mana dalam pembahasan berikut ini bukan merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa dan memutuskan beberapa hal, seperti permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Kedua, perbedaan pencalonan dan jumlah hakim. Sebagaimana yang diterangkan sebelumnya, wewenang Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan Hakim Konstitusi. Dari kesembilan hakim tersebut, tiga orang hakim diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh DPR, dan tiga orang lainnya diajukan presiden.

Sementara itu, Hakim Agung dalam Mahkamah Agung terdiri (paling banyak) atas 60 orang. Sebelum diangkat menjadi Hakim Agung, calon hakim akan diusulkan oleh Komisi Yudisial. Tugas Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 14 UU 22/2004 adalah melakukan pendaftaran calon Hakim Agung, melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung, menetapkan calon Hakim Agung, dan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Selanjutnya, DPR akan memberi persetujuan dan selanjutnya ditetapkan oleh presiden.

Ketiga, perbedaan cabang kekuasaan kehakiman. Wewenang Mahkamah Konstitusi tidak didistribusikan kepada lembaga lain, karena tidak memiliki cabang kekuasaan kehakiman. Hanya ada satu Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan di Jakarta. Sementara itu, Mahkamah Agung membawahi badan peradilan yang berada dalam beberapa lingkungan, antara lain peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Keempat, perbedaan sifat putusan. Putusan dari kasus yang menjadi ranah wewenang Mahkamah Konstitusi bersifat final atau langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dari putusan tersebut mencakup kekuatan hukum yang mengikat (final dan binding). Sama dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi, sifat putusan Mahkamah Agung juga bersifat final. Akan tetapi, dapat dilakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan grasi.