Kelompokkan daerah-daerah yang termasuk dalam pembagian tingkat rawan bencana

From Bencanapedia.ID

Daerah Rawan Bencana adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Suatu kawasan disebut sebagai rawan bencana jika dalam jangka waktu tertentu mempunyai kondisi dan karakter geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang kurang mempunyai kemampuan untuk mencegah, meredam, dan mencapai kesiapan dalam menanggapi dampak buruk dari bahaya bencana.

Kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung, yakni kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan Rawan Bencana antara lain adalah kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir.

Penetapan Daerah Rawan Bencana

Badan yang bertugas untuk menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana adalah Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). Penentuan kawasan rawan bencana bisa dilihat dari berbagai aspek tergantung pada jenis ancaman. Kawasan rawan bencana gempa dapat dilihat dari data seismisitas, struktur geologi, percepatan tanah puncak, dan lain-lain. Sementara daerah rawan bencana longsor dan banjir dapat dilihat dari kemiringan curah hujan, lereng, jenis tanah, dan lain-lain.

Penetapan daerah rawan bencana merupakan bagian dari mitigasi bencana. Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan dengan penataan tata ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun moderen.

Dalam penentuan kawasan rawan bencana dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengidentifikasian sumber bencana, penggolongan kawasan-kawasan yang berpeluang terkena bencana berdasarkan jenis dan tingkat besar/kecilnya ancaman bencana serta dampak bencana yang ditimbulkan, serta penginformasian tingkat kerentanan wilayah terhadap masing-masing jenis ancaman bahaya. Dengan dilakukannya mitigasi seperti itu maka akan tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.

Di dalam mitigasi bencana juga perlu dilakukan sosialisasi demi meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat yang bermukim di daerah rawan dalam menghadapi bencana. Sehingga mereka mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana terjadi. Tidak kalah penting, mitigasi bencana harus meliputi pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana.

BOX - Peta Rawan Bencana

Kelompokkan daerah-daerah yang termasuk dalam pembagian tingkat rawan bencana

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Semeru (Sumber:BNPB)

Peta Rawan Bencana merupakan peta untuk menggambarkan lokasi atau tempat yang sering mengalami atau diperkirakan akan mengalami bencana seperti banjir, kekeringan, longsor, maupun bencana alam lainnya. berbeda dengan peta rupa bumi pada yang menyajikan informasi topografis dan batas administratif, Peta rawan bencana berupa peta yang menyajikan satu atau sejumlah informasi tematik.

Pembuatan peta rawan bencana merupakan salah satu aspek dari mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Fungsi peta rawan bencana di antaranya adalah untuk menentukanan perencanaan terhadap suatu wilayah yang berpotensi terkena dampak bencana.Selain itu peta rawan bencana akan menyediakan berbagai informasi tentang masalah kebencanaan pada satu wilayah sebagai dasar bagi pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Peta rawan bencana dibuat dengan mempertimbangkan sejumlah variabel seperti jumlah penduduk, tingkat kepadatan, dan frekuensi kejadian bencana.


Kelompokkan daerah-daerah yang termasuk dalam pembagian tingkat rawan bencana
Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Semeru (Sumber:Kompas/ESDM 2014)

Linimasa

  1. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Memuat pernyataan bahwa penataan ruang seharusnya berbasis mitigasi bencana
  2. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya selain menzebut definisi bencana secara lebih komprehensif, juga diatur pengelolaan dan kelembagaan di tingkat pusat hingga daerah, beserta pembagian tanggung jawabnya.
  3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21, 22, 23, dan 24 Tahun 2007. Memuat Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Bencana Longsor, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Banjir, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Tsunami

Sumber

Kelompokkan daerah-daerah yang termasuk dalam pembagian tingkat rawan bencana

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain :

Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera ? Jawa – Nusa Tenggara ? Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).

Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600-2000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk, 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600-2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut.

Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa daerah lainnya. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana.

Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.