Kegagalan konstituante dalam menyusun UUD yang baru disebabkan oleh kecuali

Usaha pemerintah untuk memecahkan persoalan politik yang cocok untuk diterapkan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil.Konstituente sebagai badan pembuat Undan-undang Dasar yang telah bersidang sejak 10 November 1956 di Bandung samapi dengan akhir tahun 1958 tidak menghasilkan putusan. Berikut ini sebab-sebab kegagalan penyusunan Undang-undang Dasar oleh Konstituante.

1. Berkaitan dengan dasar negara diantara anggota-anggota Konstituante terjadi tarik ulur antara partai-partai Islam yang menghendaki agar islam dijadikan sebagai dasar negara, berhadapan dengan partai-partai non-Islam yang lebih menghendaki agar yang menjadi dasar negara adalah Pancasila.

Golongan pendukung Pancasila mempunyai suara lebih besar daripada golongan islam tetapi belum mencapai mayoritas berdasar pada Pasal 137 UUDS 1950 untuk mengesahkan suatu keputusan tentang dasar negara.

2. Bentuk demokrasi yang akan dipraktikan di Indonesia, lebih-lebih setelah adanya Konsepsi Presiden dan dikemukakannya gagasan demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.

3. Persoalan baru yang ikut menentukan perkembangan politik di indonesia adalah dwi fungsi ABRI. Sepanjang sejarah ABRI selalu menunjukan sumbangan dan peranannya dalam persoalan-persoalan nonmiliter. Dalam masa revolusi, ABRI telah mengendalikan pemerintahan gerilya. Disamping itu, di kalangan perwira-perwira terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan atau bakat di bidang nonmiliter yang bisa disumbangkan demi pembangunan. Pimpinan ABRI terutama Nasution, menyadari prestise yang menanjak sehingga memandang waktunya tepat untuk mendesak kepada pemerintah agar dalam kegiatan-kegiatan nonmiliter, para perwira diberi kesempatan juga. ABRI menghendaki ikut serta dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga nonmiliter. Partai-partai politik banyak yang tidak setuju dengan upaya ABRI untuk terlibat dalam urusan nonmiliter dan menjadi salah satu anggota golongan fungsional. Pertentangan itu menjadi salah satu penyebab kegagalan konstituente dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru.
4. Masing-masing anggota Konstituante lebih loyal kepada kelompoknya daripada memikirkan gagasan-gagasan yang konstruktif dalam rangka memecahkan persoalan negara yang makin pelik. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perpecahan diantara anggota Konstituante.

Kegagalan konstituante dalam menyusun UUD yang baru disebabkan oleh kecuali

Kegagalan konstituante dalam menyusun UUD yang baru disebabkan oleh kecuali
Lihat Foto

Kementerian Penerangan

Presiden Soekarno membacakan Dekrit 5 Juli 1959

KOMPAS.com - Konstituante Republik Indonesia merupakan dewan perwakilan yang bertugas membentuk konstitusi baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Konstituante dipilih dalam pemilihan umum bulan Desember 1955 di Bandung. 

Setelah terpilih, konstituante justru terus mengalami kegagalan dalam menetapkan Undang-Undang Dasar baru. 

Akibatnya, konstituante dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Baca juga: Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Latar Belakang

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia digelorakan pada 17 Agustus 1945. 

Esoknya, 18 Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia.

Selain itu, rapat PPKI juga mengesahkan rancangan undang-undang dasar. 

Presiden Soekarno menyatakan bahwa UUD 1945 adalah konstitusi sementara dan menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus membentuk konstitusi baru yang lebih lengkap dan sempurna.

UUD 1945 berlaku sampai Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk 27 Desember 1949, sesuai dengan kesepakatan yang terjadi di Konferensi Meja Bundar di Den Haag. 

Konstitusi yang saat itu berlaku adalah Konstitusi RIS yang mengamanatkan sebuah Republik Federal bersistem parlementer. 

Namun, tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan. 

Sejak Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah UUDS 1950.

Baca juga: Sejarah Perumusan UUD 1945

Pembentukan

Dasar hukum pembentukan Konstituante adalah Pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, "Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950."

Kegagalan konstituante dalam menyusun UUD yang baru disebabkan oleh kecuali

Kegagalan konstituante dalam menyusun UUD yang baru disebabkan oleh kecuali
Lihat Foto

Wikisource/Magnus Manske

UUDS 1950

Selanjutnya, pasal 135 mengatur bahwa Konstituante terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia.

Anggota-anggota Konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU.

Praktiknya, pemilihan anggota Konstituante diselenggarakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilu 1955. 

Baca juga: UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara

Susunan Organisasi

  1. Ketua: Wilopo (Partai Nasional Indonesia)
  2. Wakil Ketua: Prawoto Mankusasmito (Partai Masyumi)
  3. Wakil Ketua: Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia/Parkindo)
  4. Wakil Ketua: Fathurrahman Kafrawi (NU)
  5. Wakil Ketua: Sakirman (PKI)
  6. Wakil Ketua: Ratu Aminah Hidayat (IPKI)

Ada tiga blok utama dari partai-partai dan golongan yang memiliki perwakilan di Konstituante. 

  • Blok Pancasila sebanyak 274 kursi atau 53,3 persen
  • Blok Islam sebanyak 230 kursi atau 44,8 persen
  • Blok Sosio-Ekonomi sebanyak 10 kursi atau 2 persen

Baca juga: 4 Teori Asal Mula Pancasila beserta Penjelasannya

Kegagalan

Setelah terpilih pada 1955, anggota Konstituante mulai bersidang untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. 

Namun, hingga 1958, Konstituante masih belum juga merumuskan UUD seperti yang diharapkan. 

Akhirnya pada 22 April 1959, di Sidang Konstituante, Presiden Soekarno mengamanatkan untuk kembali ke UUD 1945. 

Tanggal 30 Mei 1959, Konstituante melakukan pemungutan suara. 

Sebanyak 269 suara menyatakan setuju terhadap UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju.

Kendati demikian, pemungutan suara harus dilakukan ulang karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum (jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat atau sidang). 

Pemungutan suara kedua dilakukan tanggal 1 dan 2 Juni 1959 yang kembali berujung pada kegagalan.

Karena Konstituante gagal dalam melaksanakan tugasnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penetapan UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.

Referensi: 

  • Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1975). 30 Tahun Indonesia Merdeka: Jilid 2. Vol. 2. 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya penyusunan Undang-Undang Baru disusun. Berbagai permasalahan negara pada saat ikut berkontribusi juga terhadap penyusunan Undang-Undang tersebut. Berikut adalah faktor-faktor penyebab kegagalan penyusunan Undang-undang baru.

Ketika itu situasi di dalam negeri goncang karena adanya pergolakan di daerah-daerah yang memuncak menjadi pemberontakan PRRI & Permesta.

Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer.

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti

  1. Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956.
  1. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
  1. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.

Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.

Presiden mengajukan gagasan yang dikenal “konsepsi presiden”, karena sampai tahun 1957 konstituante belum berhasil melakukan tugasnya. Badan Konstituante yang terbentuk hasil pemilu 1955 bertugas merumuskan konstitusi/UUD yang tetap sebagai pengganti UUD Asementara tahun 1950 bersidang pada tanggal 20 Nopember 1956. Ternyata dalam sidangt tersebut diwarnai dengan perdebatan sengit, para anggota Badan Konstituante lebih banyak mementingkan urusan partainya sendiri daripada kepentingan rakyat. Untuk itulah maka pada 21 Pebruari 1957 mengajukan gagasan yang disebut Konsepsi Presiden yang berisi :

  1. Demokrasi terpimpin
  2. Kabinet Gotong Royong yang beranggotakan semua wakil parpol
  3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan semua wakil partai politik

Konsepsi ini ditolak oleh beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik dan PRI karena lebih banyak didominasi oleh PKI. Pada tanggal 22 April 1959 dihadapan sidang Badan Konstitante presiden mengumumkan kembali ke UUD 1945 namun jumlah pendukung tidak mencapai KUORUM sehingga situasi tetap tidak menentu. Untuk itulah maka presiden mengeluarkan dekritnya pada tanggal 5 Juli 1959.

Pemungutan suara dilakukan terhadap usul presiden untuk kembali ke UUD 1945. Hasilnya 269 mendukung menerima UUD 1945, 199 menolak.

Badan Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dipersiapkan untuk merumuskan undang-undang dasar konstitusi yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal 20 November 1956 Dewan Konstituante memulai persidangannya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anogota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kedaulatan. Sampai tahun 1959, Konstituante tidak pemah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru.