Jelaskan secara singkat posisi Khittah NU pada masa Reformasi tahun 1998 hingga sekarang ini

Lengsernya Soeharto yang menjadi lambang berakhirnya rezim Orde Baru betul-betul membuka jalan bagi lahir dan berkembangnya organisasi-organisasi sosial maupun politik di Indonesia. Ibarat saluran air, krannya telah dibuka lebar-lebar. Tidak ada lagi pengebirian ormas maupun orsospol, tidak ada istilah depolitisasi atau floating mass. Peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi mengidealkan masyarakat yang demokratis, egaliter dan terbuka yang jauh dari hegemoni negara maupun kekuasaan. Kondisi seperti ini semakin memberikan ruang gerak kepada NU yang dipimpin oleh Gus Dur untuk terus berkibar memainkan peranannya. Langkah politik Gus Dur semakin lempang karena tidak ada hambatan yang berarti dari campur tangan luar. Oleh sebab itu tidak heran jika kemudian dengan seenaknya Gus Dur terus membuat manuver di sana sini, termasuk mendirikan PKB yang dianggap bertentangan dengan khittah 1926 itu.

II

          Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan Gus Dur tidak diduga-duga memperoleh suara yang cukup besar menduduki urutan keempat dari enam besar  dari empat puluh delapan kontestan yang ikut dalam pemilu 1999 lalu. Jika dilihat dari kelahirannya yang relatif singkat, PKB termasuk memiliki posisi teratas. Meski berada di bawah Golkar --partai yang masih dianggap pro status quo-- PKB tetap memiliki posisi tawar. Bahkan kemenangan PDIP harus dianggap sebagai atas budi baik PKB. Gus Dur nampaknya merasa lebih baik bermesraan dengan Megawati ketimbang dengan Akbar Tanjung meski dengan Golkar Baru-nya. Kedekatan PKB-PDIP membuat Golkar dan partai-partai besar Islam (PPP, PAN dan PBB) merasa khawatir. Sehingga mereka mulai saling melirik untuk berkoalisi. Kekhawatiran partai Islam terhadap kemenangan PDIP dapat dimaklumi karena menyangkut soal ideologi yang berbeda, atau persoalan  Islam versus nasionalis. Itulah kenapa kemudian muncul poros tengah yang bersikeras  menggaet PKB dan mencalonkan Gus Dur sebagai  presiden. Dari pada presidennya  Megawati yang nasionalis lebih baik Gus Dur yang santri. Hal ini sebagaimana yang diakui oleh Yusril Ihza Mahendra. Oleh sebab itu issu yang dicuatkan adalah persoalan di seputar sah-tidaknya kepemimpinan wanita. Pergulatan di seputar suksesi ini kemudian memposisikan PKB sebagai partai yang diuntungkan. Ibarat gadis cantik yang menjadi incaran banyak orang. Tapi apakah NU hanya cukup bangga dan senang dengan posisi seperti ini? Yang selalu menjadi rebutan OPP pada saat pemilu? Setelah itu tidak dapat apa-apa?

          III

          NU, baik menjadi partai politik atau tidak menjadi partai politik (khittah) nasibnya selama ini tidak lebih sama. Tidak mendapat imbalan yang setara. Bahkan sering diibaratkan sebagai ”orang yang berdiri dipinggir jalan yang dimintai tolong mendorong mobil mogok, dan harus berbahagia hanya dengan ucapan terima kasih”. Itu artinya, selama ini NU kalah bermain politik dengan lawan atau teman-temannya. Masa besar, peran kecil dan posisi mengambang adalah julukan yang pantas diberikan kepada NU. Seperti kata Mahbub Junaidi (1990:184), NU tidak seharusnya dalam pemilu hanya wajib memberikan suaranya melulu tanpa bisa berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Jika demikian yang terjadi, maka posisi NU tidak lebih dari hostess. Sebab menurut Junaidi, dalam politik itu hanya ada dua kemungkinan: memerintah atau diperintah. Jika dilihat dalam perjalanan sejarahnya, NU punya potensi untuk menang dalam perolehan suara. Pada tahun 1971 ketika menjadi parpol, NU memperoleh 56 kursi, tetapi sesudah fusi pada tahun 1977 merosot menjadi 48 kursi dan kemudian merosot lagi pada tahun 1982. Sampai pada tahun 1999 ketika Gus Dur mendeklarasikan PKB maka NU kembali terangkat suaranya. Ini artinya, NU memang harus memiliki wadah sendiri dan tidak ikut dalam fusi. Di bawah rezim Orde Baru memang NU tidak banyak mendapat bagian jatah. Secara ideologis NU tidak lebih leluasa ruang geraknya dibanding di masa Orde Lama. Seperti kata Feillard (1994:12), reaksi NU terhadap Orde Baru menampilkan tikungan dengan banyak tanjakan: dari harapan ke kecewaan, banyak ketegangan yang dialami dengan pemerintah. Sampai sekarang, lantas apa yang masih tersisa dari organisasi NU ini? Bagaimana prospek ke depan? NU masih punya potensi politik. Seperti yang dikatakan oleh Dhakidae (1994:131), NU adalah organisasi yang paling siap dimobolisasi oleh para pemimpinnya. NU memiliki kemampuan memobilisasi masa yang besar. Golkar dianggap juga memiliki kemampuan memobilisasi masa yang besar, namun kemampuan Golkar lebih karena digerakkan dari luar, sementara kemampuan memobilisasi NU lebih karena digerakkan dari dalam yang disebut dengan mobilisasi religius yang masuk ke dalam pribadi terdalam seseorang. Hal ini bisa dibuktikan dalam kegiatan pawai akbar, istighasah kubra dst. Dengan potensi di atas, mampukah membawa NU ke pentas politik yang lebih menjanjikan? Jika pada era Orde Baru NU selalu berada dalam posisi marjinal, maka pada era Reformasi seharusnya berada dalam posisi penentu. Jika selama ini orang-orang NU tidak menempati posisi yang strategis dalam struktur kekuasaan, bukan berarti minimnya SDM, tetapi lebih karena persoalan “peluang” yang memang sengaja ditutupi oleh pihak tertentu. Dan apakah jika sekarang  peluang terbuka lebar NU mampu tampil? Persoalan ini kemudian menjadi pemikiran kita bersama, terutama generasi mudanya untuk  siap menerima tanggung jawab yang lebih besar yang harus diterima sebagai kenyataan. Ibarat pohon besar, NU memang perlu ranting dan cabang yang kuat.   ________ *Penulis adalah Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Umat GNOSIS di Malang  

Nahdlatul Ulama dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia

Jelaskan secara singkat posisi Khittah NU pada masa Reformasi tahun 1998 hingga sekarang ini

Keterangan gambar,

Masjid Jombang merupakan tempat berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi sosial yang berperan dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia, sejak masa pra kemerdekaan hingga saat ini.

Dalam perjalanannya, NU, sempat menghadapi dilema untuk bergerak sepenuhnya di bidang sosial atau ikut dalam kehidupan politik.

Sempat menyatakan kembali ke Khittah NU dan tidak terjun ke persaingan politik, Nahdlatul Ulama kemudian diwakili beberapa partai setelah kebijakan Asas Tunggal di bawah pemerintah Suharto dilupakan.

Sejalan dengan Muktamar NU yang ke 32 di Makassar tanggal 22-27 Maret 2010, BBC Indonesia menurunkan laporan khusus tentang organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia ini.

Dalam bagian ini anda bisa melihat tonggak-tonggak penting dalam perjalanan NU sejauh ini.

Masa awal

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, sebagian kalangan pesantren, yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab.

Karena sikap yang berbeda itu, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925 dan tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Raja Ibnu Saud belakangan mengurungkan niatnya dan di Mekah -hingga kini- bebas dilaksanakan ibadah yang sesuai dengan mazhab masing-masing.

Itulah peran kalangan pesantren internasional yang pertama -seperti ditulis dalam situs Nahdlatul Ulama.

Dan keberhasilan memperjuangkan kebebasan bermazhab itu kemudian mendorong kesepakatan membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama -yang artinya Kebangkitan Ulama- pada taggal 31 Januari 1926 dengan dua tokoh utamanya: Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah.

Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar dengan Khittah NU sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Kebangsaan dan Kemasyarakatan

Pada masa penjajahan, NU bersama dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam lainnya -sepeti Serikat Dagang Islam dan Muhammadiyah- secara terbuka menentang kolonialisme.

NU antara lain mengeluarkan pernyataan yang menolak kerja rodi maupun milisi.

Cikal bakal NU -yang disusun oleh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah- memang berupa organisasi pergerakan seperti Nahdlatul Wathan, yang artinya Kebangkitan Tanah Air pada 1916.

Kemudian dua organisasi lain berdiri, yaitu Nahdlatul Tujjar dan sekolah Taswirul Afkar sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri.

"Ketiganya menjadi latar belakang sebelum NU berdiri. Nilai-nilai ketiga lembaga itu yang menjadi sebuah dasar untuk NU ke depan," kata Profesor Abdul A'la dari IAIN Sunan Ampel kepada BBC Indonesia.

Keterangan gambar,

Kiai Hasyim Asy'ari memimpin NU ketika didirikan tahun 1926

Dengan nilai-nilai tersebut, maka politik kebangsaan dan kerakyatan di Nahdlatul Ulama tidak bisa ditawar-tawar lagi.

"NKRI setelah merdeka sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Kemudian politik kerakyatan, bagaimana memberdayakan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat madani yang kokoh."

"Dua hal itu merupakan benang merah yang sama sekali tidak bisa diabaikan kalau berbicara tentang NU. Di atas kertas, itu merupakan komitmen," kata Profesor Abdul A'la.

Partai politik

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Pada tahun 1952, Nahdlatul Ulama meninggalkan Masyumi dan setelah melalui perdebatan internal yang hangat, NU memproklamasikan diri sebagai partai politik pada tahun 1954.

"Tarik menarik kondisi sosial politik saat itu memang membuat NU terjebak dalam pusaran politik praktis dengan segala untung ruginya," kata Profesor Abdul A'la.

Setahun kemudian, dalam pemilu 1955, Partai Nahdlatul Ulama berhasil meraih suara terbesar ketiga dari 29 peserta pemilu: di bawah PNI dan Masyumi namun di atas PKI serta PSI.

Dalam pemilu 1971, NU bahkan berhasil berada di urutan ke dua, di bawah Golkar yang menikmati sejumlah fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.

Namun menurut Profesor Abdul A'la, terjunnya NU ke partai politik kemudian menimbulkan sejumlah masalah.

"Realitas menunjukkan ketika terjun menjadi partai politik resmi, banyak lembaga-lembaga di NU, misanya tendang dakwah dan yang lainnya menjadi terbengkalai," tambahnya.

Oleh karena itu di kalangan NU, menurut Prof Abdul A'la, ada semacam komitmen bahwa terlibat dalam politik praktis kurang bermanfaat untuk pengembangan visi kebangsaan dan kerakyatan NU.

Kembali ke khittah

Gagasan NU untuk kembali ke khittah 1926 sebenarnya sudah mulai muncul pada Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun 1979, setelah pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1975 menetapkan asas tunggal dalam partai politik dengan menyederhanakan peserta pemilu menjadi Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia.

NU sempat masuk ke dalam PPP, dengan 56 anggota NU dari total 99 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, dan sudah muncul keinginan untuk keluar dari partai politik berlambang khabah tersebut.

Dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 dan keluar dari area politik praktis.

"Para elite NU dan mendapat dukungan dari masayarkat penuh, kemudian kembali ke khittah 1926, ke awal berdirinya NU," kenang Abdu' A'la.

Sejalan dengan reformasi politik pasca jatuhnya Presiden Suharto, muncul Partai Kebangkitan Bangsa, PKB, yang merupakan saluran politik dari orang-orang dengan latar belakang NU.

"Menurut saya, seharusnya NU sebagai jamaah jangan terlalu masuk ke dalam politik praktis lagi," katanya.

"Okelah PKB didirikan oleh NU bagi orang yang mendirikan NU ke politik praktis. Tapi NU sebagai jamaah jangan mendukung total PKB karena itu hanya bagian kecil dari NU."

Profesor Abdul A'la mengatakan semestinya NU mendukung semua orang dengan berbagai latar belakang NU yang berada di partai manapun.

"Jangan PKB justru kemudian mengangkangi NU. Itu dulu yang sempat terjadi."

Tokoh sentral

Keterangan gambar,

Gus Dur bukan lagi sekedar pemimpin NU tapi menjadi tokoh nasional

Tahun 1984, NU memilih Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Kepemimpinan Gus Dur di NU juga mengantarkan dia sebagai tokoh nasional dengan gagasan toleransi kebangsaaan yang menjalin hubungan antar umat beragama.

Gus Dur bahkan kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1999, sebelum dijatuhkan oleh MPR pada tahun 2001.

Tapi apakah sosok Gus Dur sebagai pemimpin nasional tidak membuat perannya menjadi amat sentral di NU?

Profesor Abdul A'la mengakui kharisma Gus Dur mempunyai kelebihan dan kelemahannya bagi NU.

"Di satu sisi, kehadiran Gus Dur di pentas nasional membuat orang tidak malu-malu mengaku sebagai orang NU. Menjadi semacam semangat bagi anak-anak muda NU untuk tidak malu lagi untuk mengaku sebagai NU."

"Kelemahannya, karena terlalu besar kadang-kadang apa yang disampaikan Gus dipatuhi secara tanpa tawar menawar lagi. Padahal Gus Dur maunya tidak seperti itu."

"Tapi karena terlalu kuat dan karena tidak ada yang menandingi, maka yang terjadi justru bertentangan dengan kehendak Gus Dur sendiri yang ingin NU menjadi masyarakat madani yang kritis tapi tetap apresiatif."

Ketika Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada 30 Desember 2009, bukan hanya warga NU atau umat Islam saja yang ikut berduka tapi seluruh warga negara Indonesia dari berbagai suku, agama, maupun lapisan sosial ekonomi.

Delapan puluh tiga tahun sejak berdiri, seluruh rakyat Indonesia berduka atas tokoh NU yang membuktikan tegaknya prinsip kebangsaan dan kerakyatan sesuai khittah 1926.

Beban kebangsaan dan kerakyatan itu agaknya ikut membayang-bayangi Muktamar ke-30 di Makassar.