Halo teman-teman kali ini saya akan coba mengulas sedikit tentang materi sejarah yaitu hasil kebudayaan zaman mesolitikum. Zaman Mesolitikum atau disebut juga dengan zaman batu tengah/madya yang berlangsung pada masa kala Holosen. Pada zaman Mesolitikum terdapat pengaruh kebudayaan dari wilayah daratan Asia, yaitu kebudayaan Bachson-Hoabinh. Alat-alat yang digunakan masih sama dengan zaman Paleolitikum. Terdapat beberapa ciri khusus yang terdapat pada zaman Mesolitikum seperti 1. Masyarakatnya sudah mampu membuat gerabah dari proses pembakaran tanah liat. 2. Adanya kjokkenmoddinger yang merupakan sampah-sampah dapur sisa makanan dari kulit kerang. Kjokkenmoddinger di Indonesia dapat ditemui di wilayah sepanjang pesisir Pantai Sumatra. 3. Adanya abris sous roche yang merupakan tempat tinggal manusia purba berupa gua-gua. Temuannya dapat dilihat di wilayah pedalaman Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Kebuduyaan mesolitikum menurut sebaran lokasinya dibedakan menjadi berikut. 1. Kebudayaan Kapak Sumatra (Pebble Culture) Penelitian mengenai kapak Sumatra diawali dari ekskavasi yang dilakukan oleh P.V. van Callenfels pada 1925 di sepanjang pesisir Pantai Sumatra Timur Laut antara Langsa (Aceh) dan Medan. Hasil penelitian menemukan adanya tumpukan kulit kerang yang telah menjadi fosil dan memiliki tinggi hingga mencapai tujuh meter kemudian dinamakan kjokkenmoddinger. Selain dari penemuan sampah dapur, hasil ekskavasi adalah penemuan peralatan manusia purba berupa kapak Sumatra, alu, lesung, pisau batu, dan batu penggiling. Dinamakan kapak Sumatra karena hanya ditemukan di Pulau Sumatra dan memiliki bentuk kapak yang berbeda dengan kapak genggam yang ditemukan di Pacitan. Selain kapak Sumatra, ditemukan kapak sejenis dengan ukuran lebih pendek yang disebut dengan hache courte atau kapak pendek. Proses pembuatan kapak pendek tersebut dengan cara memecahkan batu di dua sisi lengkungnya. Kebudayaan kapak Sumatra diperkirakan mendapat pengaruh dari kebudayaan Bachson-Hoabinhyang terpusat di Teluk Tongkin, Indocina (Vietnam, Kamboja, dan Laos) yang menyebar ke wilayah Indonesia melalui jalur darat. Manusia pendukung kapak Sumatra adalah golongan manusia dari ras Melanosoid yang dibuktikan dengan adanya penemuan fosil-fosil manusia Papua Melanosoid yang ditemukan di wilayah sebelah Timur Sumatra. Terdapat pula alat batuan lainnya berupa pipisan (batu penggiling berikut landasannya). Fungsi dari alat pipisan adalah untuk menghaluskan bahan cat berwarna merah yang biasa dipakai dalam sistem kepercayaan masyarakat Mesolitikum. Bahan cat yang sudah dihaluskan biasanya digunakan untuk dibalurkan pada tubuh yang diyakini dapat menambah kekuataan fisik. Gambar: disini
2. Kebudayaan Tulang Sampung (Bone Culture) Kebudayaan Tulang Sampung merupakan temuan alat-alat berasal dari tulang yang banyak ditemukan di daerah Sampung. Penemuan tersebut berdasarkan hasil penelitian dari van Stein Callenfels dari 1928 – 1931 di Gua Lawa, Sampung, Jawa Timur. Alat-alat tersebut berupa mata panah dan flake, batu-batu penggiling, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa. Selain ditemukan di daerah Sampung, terdapat pula fosil yang ditemukan di daerah Besuki. Manusia yang diduga menjadi pendukung dari kebudayaan Tulang Sampung adalah ras Papua Melanosoid. Hal tersebut didukung oleh penemuan fosil-fosil manusia jenis ras Papua Melanosoid di daerah ditemukannya kebudayaan Tulang Sampung 3. Kebudayaan Toala (Flake Culture) Kebudayaan Toala bercirikan alat-alat yang digunakan berupa alat serpih bergerigi. Istilah flake culture pertama kali disebutkan oleh seorang arkeolog bernama Alfred Buhler karena banyaknya temuan alat-alat serpih (flakes) di daerah tempat tinggal suku Toala, daerah Lumacong, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pada 1893 – 1896 dilakukan penelitian di daerah Lumacong oleh Fritz Sarasin dan Paul Sarasin yang menemukan alat-alat serpih, mata panah bergerigi, dan alat-alat yang terbuat dari tulang di sekitar gua-gua (abris sous roche) yang merupakan tempat tinggal suku bangsa Toala. Penelitian lainnya dilakukan oleh van Stein Callenfels pada 1933-1934 dan van Heekeren pada 1937 yang menyimpulkan kebudayaan suku Toala termasuk dalam kebudayaan zaman batu tengah yang berlangsung sekitar 3000-1000 tahun Sebelum Masehi. Terdapat pula penelitian di wilayah Maros, Bone, dan Bantaeng Sulawesi Selatan yang menghasilkan temuan berupa alat-alat serpih, batu penggiling, gerabah, dan kapak Sumatra. Flake bergerigi juga ditemukan di gua-gua yang berada di Pulau Timur, Flores, Roti di Nusa Tenggara Timur. Sementara flake yang ditemukan di daerah Bandung terbuat dari batu hitam (obsidian). Baca juga: Kunci OSK Geografi Jakarta - Zaman Mesolitikum dikenal juga dengan nama zaman Batu Pertengahan atau zaman Batu Madya. Zaman ini berlangsung antara tahun 10.000 - 5.000 sebelum Masehi (SM). Zaman Meoslitikum di Asia Tenggara juga dikenal dengan nama zaman Haobinhian. Zaman Mesolitikum ditandai dengan kecenderungan manusia purba untuk tinggal di tepi sungai dan laut. Sebab, persediaan air dan makanan laut memungkinkan manusia untuk bermukim di sana, seperti dikutip dari buku Sejarah 1 untuk SMA Kelas X oleh Drs. Sardiman A.M., M.Pd. Zaman MesolitikumKarakteristik Zaman MesolitikumKarakteristik zaman Mesolitikum di antaranya yaitu kebiasaan manusia purba tinggal di tepi sungai atau laut, jika dibandingkan dengan manusia purba di zaman Paleolitikum. Di sisi lain, manusia purba zaman Mesolitikum juga banyak yang tinggal di gua. Kebudayaan zaman Mesolitikum meninggalkan jejak di Sumatra, Jawa, Kalimanta, Sulawesi, dan Flores. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan Mesolitikum meluas ke berbagai tempat di Indonesia. Pendukung kebudayaan zaman batu tengah adalah Homo sapiens. Peninggalan zaman Mesolitikum yang sangat terkenal adalah adanya kebudayaan kjokkenmoddinger dan berkembangnya abris sous roche. Kjokkenmoddinger berasal dari kata bahasa Denmark kjokken yang artinya dapur dan modding yang artinya sampah. Dengan kata lain, kjokkenmoddinger adalah sampah dapur atau sampah makanan dari manusia purba di zaman Mesolitikum. Kjokkenmoddinger merupakan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung. Manusia purba zaman Mesolitikum saat itu tinggal di tepi pantai dengan rumah-rumah bertonggak. Manusia purba saat itu hidup dari makan siput dan kerang. Setelah isinya diambil untuk dimakan, kulitnya dibuang begitu saja, sehingga dalam waktu lama menjadi bukit kulit kerang. Kjokkenmoddinger ditemukan di depan Pantai Sumatra Timur Laut, di antara Langsa di Aceh dan Medan di Sumatra Utara. Pebble atau Kapak Sumatra ditemukan dari penelitian ahli arkeologi Pieter Vincent van Stein Callenfels pada tahun 1925. Saat itu, Callenfels menemukan kapak yang berbeda dengan chopper, yaitu kapak genggam dari zaman Paleolitikum. Pebble culture banyak ditemukan di Sumatra Utara Batu pipisan adalah batu bata penggiling beserta landasannya yang di zaman kini akan berfungsi mirip cobek. Batu pipisan berguna untuk menggiling makanan dan menghaluskan pewarna atau cat merah. Cat tersebut diduga digunakan untuk kegiatan yang terkait kepercayaan. Pipisan ditemukan di Sumatra Utara, Sampung di Ponorogo, Gua Prajekan Besuki di Jawa Timur, dan Bukit Remis Aceh. Kebudayaan abris sous roche adalah kebudayaan manusia purba yang tinggal di gua-gua. Manusia purba zaman Mesolitikum juga tinggal di gua yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Karena dijadikan tempat tinggal, gua seolah-olah menjadi perkampungan manusia purba yang meninggalkan jejak-jejak kebudayaan. Kebudayaan manusia purba zaman Mesolitikum yang tinggal di gua-gua menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru, yaitu kebudayaan tulang atau bone culture dan kebudayaan Toala. Bone culture adalah budaya manusia purba zaman Mesolitikum yang hidup di gua-gua untuk menggunakan alat-alat sehari-hari dari tulang. Nama Sampung bone culture berasal dari penemuan Callenfels di Gua Lawa di Jawa Timur yang sebagian besar merupakan peralatan dari tulang. Von Stein Callenfels merupakan peneliti pertama di Gua Lawa, dekat Sampung, Ponorogo, Jawa Timur pada 1928-1931. Ia saat itu menemukan alat-alat dari batu, seperti ujung panang dan flake, batu-batu penggolingan, kapak yang sudah diasah, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa Kebudayaan Tala adalah kebudayaan suku bangsa Toala yang mendiami gua-gua di Lamoncong, Sulawesi Selatan hingga akhir abad ke-19. Kebudayaan Toala meninggalkan flake, alat-alat dari tulang, dan serpih bilah. Ujung serpih yang runcing dapat menjadi alat penusuk untuk melubangi benda, seperti kulit. Salah satu ciri khas kebudayaaan Toala adalah lukisan-lukisan di gua-gua tempat tinggal warga suku Toala, seperti cap tangan dan lukisan babi hutan yang dicat. Peninggalan lukisan kebudayaan Toala masih dapat dilihat di Maros, Sulawesi Selatan. Itu dia peninggalan zaman Mesolitikum beserta budayanya. Selamat belajar ya, detikers! Simak Video "Studi: Hanya 7% Populasi Dunia yang Punya DNA Unik 'Manusia Modern'" (twu/nwy) |