siapa yang follow aku aku follow balik ya teks:sahabatku yang pertama bernama Alya. Orangnya tinggi, lumayan putih, tahi lalat di pipi menambah manis penampilannya. Dahinya berkerut kening man … Deskripsi bagian belalang anggrek?Deskripsi Manfaat belalang anggrek? jawan lah cuma ada 15 juga quissbuku yang ada di perpustakaan_ _ _ _ Sselain buku Atlas Apakah teori dari permen kapas gantilah pada kata lembut di bawah ini yang bermakna sama. pasir putih nan lembut berpadu dengan batas air tumbuhan memiliki banyak manfaat bagi mahluk hidup disekitarnya. tumbuhan mampu menghasilkan makanan sendiri melalui proves fotosintesis. bahan makana … tolong di analisis yyy 1. Buatlah peta pikiran sesuai dengan teks di atas!
-- Damhuri Muhammad* SEJAK akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2004 silam, sejumlah koran riuh oleh polemik menyoal diluncurkannya buku kumpulan puisi Kuda Ranjang, karya Binhad Nurrohmat. Tak kurang dari 15 esai telah menimbang buku itu. Banyak yang memuji kepiawaian Binhad mengurai tubuh perempuan dalam bait sajak, banyak pula yang menghujat, bahkan ada yang terang-terangan menyeringai: "Menjijikkan membaca puisimu." Tapi, Binhad tak kunjung jera menuai cela, penyair itu baru saja melepas antologi puisi terbaru, Bau Betina (2007). Setali tiga uang dengan Kuda Ranjang, lewat Bau Betina ia masih latah bergunjing perihal “dunia basah”, “dunia tengah”, (tapi diburu banyak watak).Bukan berarti ia sedang mengutukinya sebagaimana para ustaz berwejang di mimbar-mimbar khotbah, Binhad justru mendekonstruksi seks sebagai dunia yang tak perlu “diaibkan”. Nalar puitiknya bernujum bahwa peristiwa seksual seamsal peristiwa buang hajat. Bukankah buang hajat adalah gejala alamiah yang niscaya? Jadi, tak perlu malu berbincang soal buang hajat, sebagaimana tak harus tabu bersijujur bahwa kita mendambakan kenikmatan seksual. Berak memang kotor, sebagaimana persetubuhan liar juga keji, tapi kenapa malu mengakui bahwa kita memang “doyan” pada yang kotor dan keji itu. Hubungan antara peristiwa seks dan peristiwa buang hajat dipetakan Binhad dengan permisalan baru; Kota Tanpa Bordil adalah Rumah Tanpa Kakus.Bagi Binhad, seks dipotret sebagai realitas yang kacau, karut-marut, beringas. Seks identik dengan kata menggigit, mencekik, menghujah, bukan menyentuh, mengelus atau membelai. Persebadanan tak lagi berarti bersekutunya dua tubuh dalam bingkai “suka sama suka”, tapi pertarungan satu lawan satu yang berhasrat saling mengalahkan. Gejala ini jelas pada "Ajal Begundal" : Setelah empatpuluh hari kematian/seluruh kota bernapas lega/tak ingat lagi coretan dinding penuh ancaman/atau erang perkosaan di belakang bioskop murahan/. Pejantan yang sebelumnya disimbolisasikan dengan Kuda (dalam Kuda Ranjang) dan Singa (dalam Bau Betina) rupanya tidak melulu “menaklukkan”, tapi kerap pula “ditaklukkan”. Sebagai pejantan yang diburu banyak betina, ringkik dan aumnya hanya terdengar bila sedang di ranjang, setelah itu bakal menelentang sebagai pecundang. Kepenyairan Binhad yang menjalankan laku “tarekat tubuh” seperti termaktub dalam sajak “Hidung Belang”, “Sex After Lunch”, “Pengakuan Sepasang Girang”, “Ulang Tahun Tubuhmu”, “Malam Janda”, “Homo Eroticus”, “Tak Sedalam Tubuhmu”, memang bukan tanpa risiko. Antologi puisi Kuda Ranjang yang semula sudah terpajang di rak sastra toko-toko buku, tiba-tiba raib, ditarik dari peredaran. Seperti dilaporkan Anton Kurnia (mailing list ), sejak 3 Agustus 2004 lalu, toko buku Gramedia telah menarik peredaran buku itu dari toko-tokonya di seluruh Jakarta. Dalam salah satu seminar sastra, seorang penyair senior mengukuhkan nama Binhad sebagai penyair perusak moral bangsa. Bakal seperti apakah nasib Bau Betina? Wallahualam. ** Kuda Ranjang dan Bau Betina adalah buah dari eksplorasi estetik selama ia tinggal di Jakarta. Tapi, bukan berarti ia telah “membelakang bulat” dari etos santri yang membesarkannya. Justru latar belakang pesantren yang mewarnai kepenyairan Binhad. Hipotesis ini terdengar ganjil. Mestinya, Binhad menulis puisi sufistik sebagaimana Ahmadun Y. Herfanda menulis Sembahyang Rumputan (1996) atau mengikuti jejak kepenyairan Jamal D. Rahman, Radhar Panca Dahana dan Ahmad Nurullah, bukan menulis sajak-sajak yang tidak mencerminkan budaya santri. Tapi, kitab-kitab kuning sangat akrab dengan wacana seks. Bukalah kitab Qurrat al-Uyun yang detail mengurai tipe-tipe perempuan berdasarkan perspektif seks, juga membahas tahapan-tahapan dalam hubungan suami istri serta seluk beluk masalah seks lainnya. Begitupun Kitabun Nikah, Uqudullijain, dan Ushfuriyah yang tak asing lagi bagi para santri. Berkat pembacaan terhadap kitab-kitab itu, seks bukan sesuatu yang terlarang dibicarakan. Mata pelajaran tentang seks di pesantren, tak ada bedanya dengan tarikh, tasawuf, nahwu, syaraf, dan balaghah. Mungkin, wacana seks sudah menjadi air berkumur Binhad setiap pagi. Maka, penghakiman terhadap kepenyairan Binhad hanya akan dihadang dengan jurus anjing menggonggong kafilah berlalu. Bukankah Moammar Emka (Jakarta Undercover, 2003) yang sempat menghebohkan jagat perbukuan Indonesia itu juga lahir dari tradisi pesantren? Jika Inul Daratista menujumkan sasmita tentang kemunafikan massal dengan bahasa bokong, jalan yang ditempuh Binhad lebih santun, menorehkan kata pantat, selangkang, dan cupang dalam sajak. Ketika mulut-mulut para ustaz tak mempan lagi menyeru kesadaran umat dari ketersesatan, Binhad berwejang dengan sajak-sajak telanjang….*** * Damhuri Muhammad, Cerpenis, bermukim di Jakarta Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Juni 2007 Page 2
|