Golongan syiah adalah golongan yang tetap dan setia mendukung kekhalifahan

Analisis Kotak Suara. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, ”pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau. Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah, kezhaliman, dan pemberontakan setelah itu umat islam pun berpecah-belah dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah. Pendapat yang paling popular adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah bin Abu sufyan di siffin yang lazim di sebut at-Tahkim (arbitrasi).Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini di sebut sebagai golongan kwawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib).Sebagian besar yang tetap setia kepada khalifah di sebut syi’ah Ali (pengikut Ali).

       Istilah syi’ah pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syi’ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, bisa disebut sebagai pengikut khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Mu’awiyah dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak aqidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia Syi’ah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rosullah dan sebagian besar tabi’in tidak berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rosul dari pada Abu Bakar dan Umar. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, saat menjadi khalifah, menagaskan dari atas mimbar masjid kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baiknya umat Islam setelah nabi Muhammad SAW adalah Abu bakar dan Umar. Demikian pula jawaban beliau setelah ditanya oleh putranya yaitu Muhammad ibn Al-Hanafiah seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya (hadits no 3671).  

        Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima kelompok yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah rafidhah, Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima kelompok tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang kelompok lainnya. Dari lima kelompok tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah kelompok imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara. Kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

       Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar. Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86).

        Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟ “Kalian tinggalkan aku” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.

       Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi'ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi.

       Telah di jelaskan bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus, bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak merendahkan ke utamaan para sahabat Rosulullah SAW. Syi’ah Ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi sarang para musuh, dan para pendengki Islam yang hendak berbuat makar  terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena itulah para ulama menyebut orang-orang yang menjelek-jelekkan dan menolak keimamahan As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab) sebagai Rafidhah.

       Secara umum, Rafidhah adalah sekelompok syi’ah yang berdusta salah mempersepsikannya, dengan menolak Abu Bakar dan Umar dan sebagian besar sahabat Nabi, disertai sertai sikap mengkafirkan dan mencaci mereka karena diklaim bahwa para sahabat telah mengingkari dan menentang Nash wasiat penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Rosulullah SAW.

       Rafidhah sudah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar.

Disusun dari berbagai sumber, di antaranya :

(D.R khairan Muhammad Arif, M.A. Menyelisik Penyimpangan Syi’ah Pro-U Media, Yogyakarta, 2016, 200 hlm. ISBN : 978-602-7820-58-6).


Page 2

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, ”pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau. Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah, kezhaliman, dan pemberontakan setelah itu umat islam pun berpecah-belah dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah. Pendapat yang paling popular adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah bin Abu sufyan di siffin yang lazim di sebut at-Tahkim (arbitrasi).Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini di sebut sebagai golongan kwawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib).Sebagian besar yang tetap setia kepada khalifah di sebut syi’ah Ali (pengikut Ali).

       Istilah syi’ah pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syi’ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, bisa disebut sebagai pengikut khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Mu’awiyah dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak aqidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia Syi’ah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rosullah dan sebagian besar tabi’in tidak berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rosul dari pada Abu Bakar dan Umar. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, saat menjadi khalifah, menagaskan dari atas mimbar masjid kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baiknya umat Islam setelah nabi Muhammad SAW adalah Abu bakar dan Umar. Demikian pula jawaban beliau setelah ditanya oleh putranya yaitu Muhammad ibn Al-Hanafiah seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya (hadits no 3671).  

        Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima kelompok yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah rafidhah, Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima kelompok tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang kelompok lainnya. Dari lima kelompok tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah kelompok imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara. Kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

       Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar. Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86).

        Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟ “Kalian tinggalkan aku” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.

       Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi'ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi.

       Telah di jelaskan bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus, bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak merendahkan ke utamaan para sahabat Rosulullah SAW. Syi’ah Ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi sarang para musuh, dan para pendengki Islam yang hendak berbuat makar  terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena itulah para ulama menyebut orang-orang yang menjelek-jelekkan dan menolak keimamahan As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab) sebagai Rafidhah.

       Secara umum, Rafidhah adalah sekelompok syi’ah yang berdusta salah mempersepsikannya, dengan menolak Abu Bakar dan Umar dan sebagian besar sahabat Nabi, disertai sertai sikap mengkafirkan dan mencaci mereka karena diklaim bahwa para sahabat telah mengingkari dan menentang Nash wasiat penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Rosulullah SAW.

       Rafidhah sudah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar.

Disusun dari berbagai sumber, di antaranya :

(D.R khairan Muhammad Arif, M.A. Menyelisik Penyimpangan Syi’ah Pro-U Media, Yogyakarta, 2016, 200 hlm. ISBN : 978-602-7820-58-6).


Golongan syiah adalah golongan yang tetap dan setia mendukung kekhalifahan

Lihat Analisis Selengkapnya


Page 3

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, ”pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau. Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah, kezhaliman, dan pemberontakan setelah itu umat islam pun berpecah-belah dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah. Pendapat yang paling popular adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah bin Abu sufyan di siffin yang lazim di sebut at-Tahkim (arbitrasi).Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini di sebut sebagai golongan kwawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib).Sebagian besar yang tetap setia kepada khalifah di sebut syi’ah Ali (pengikut Ali).

       Istilah syi’ah pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syi’ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, bisa disebut sebagai pengikut khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Mu’awiyah dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak aqidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia Syi’ah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rosullah dan sebagian besar tabi’in tidak berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rosul dari pada Abu Bakar dan Umar. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, saat menjadi khalifah, menagaskan dari atas mimbar masjid kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baiknya umat Islam setelah nabi Muhammad SAW adalah Abu bakar dan Umar. Demikian pula jawaban beliau setelah ditanya oleh putranya yaitu Muhammad ibn Al-Hanafiah seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya (hadits no 3671).  

        Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima kelompok yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah rafidhah, Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima kelompok tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang kelompok lainnya. Dari lima kelompok tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah kelompok imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara. Kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

       Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar. Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86).

        Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟ “Kalian tinggalkan aku” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.

       Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi'ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi.

       Telah di jelaskan bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus, bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak merendahkan ke utamaan para sahabat Rosulullah SAW. Syi’ah Ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi sarang para musuh, dan para pendengki Islam yang hendak berbuat makar  terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena itulah para ulama menyebut orang-orang yang menjelek-jelekkan dan menolak keimamahan As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab) sebagai Rafidhah.

       Secara umum, Rafidhah adalah sekelompok syi’ah yang berdusta salah mempersepsikannya, dengan menolak Abu Bakar dan Umar dan sebagian besar sahabat Nabi, disertai sertai sikap mengkafirkan dan mencaci mereka karena diklaim bahwa para sahabat telah mengingkari dan menentang Nash wasiat penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Rosulullah SAW.

       Rafidhah sudah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar.

Disusun dari berbagai sumber, di antaranya :

(D.R khairan Muhammad Arif, M.A. Menyelisik Penyimpangan Syi’ah Pro-U Media, Yogyakarta, 2016, 200 hlm. ISBN : 978-602-7820-58-6).


Golongan syiah adalah golongan yang tetap dan setia mendukung kekhalifahan

Lihat Analisis Selengkapnya


Page 4

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, ”pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau. Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahan, muncullah kelompok pembuat fitnah, kezhaliman, dan pemberontakan setelah itu umat islam pun berpecah-belah dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah. Pendapat yang paling popular adalah bahwa syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah bin Abu sufyan di siffin yang lazim di sebut at-Tahkim (arbitrasi).Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abi Thalib menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini di sebut sebagai golongan kwawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib).Sebagian besar yang tetap setia kepada khalifah di sebut syi’ah Ali (pengikut Ali).

       Istilah syi’ah pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hanyalah bermakna pembelaan dan dukungan politik. Syi’ah Ali yang muncul pertama kali pada era kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, bisa disebut sebagai pengikut khalifah yang sah pada saat itu melawan pihak Mu’awiyah dan hanya bersifat kultural, bukan bercorak aqidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sebab kelompok setia Syi’ah Ali yang terdiri dari sebagian sahabat Rosullah dan sebagian besar tabi’in tidak berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rosul dari pada Abu Bakar dan Umar. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri, saat menjadi khalifah, menagaskan dari atas mimbar masjid kufah ketika berkhutbah bahwa, “sebaik-baiknya umat Islam setelah nabi Muhammad SAW adalah Abu bakar dan Umar. Demikian pula jawaban beliau setelah ditanya oleh putranya yaitu Muhammad ibn Al-Hanafiah seperti yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya (hadits no 3671).  

        Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima kelompok yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah rafidhah, Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima kelompok tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang kelompok lainnya. Dari lima kelompok tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah kelompok imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara. Kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.

       Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar. Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86).

        Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟ “Kalian tinggalkan aku” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.

       Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka). Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri. Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi'ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi.

       Telah di jelaskan bahwa Syi’ah Ali generasi awal adalah kaum muslimin yang lurus, bersih dan selamat karena berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak merendahkan ke utamaan para sahabat Rosulullah SAW. Syi’ah Ali yang murni ini tidak bertahan lama dan pada abad berikutnya menjadi sarang para musuh, dan para pendengki Islam yang hendak berbuat makar  terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena itulah para ulama menyebut orang-orang yang menjelek-jelekkan dan menolak keimamahan As-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab) sebagai Rafidhah.

       Secara umum, Rafidhah adalah sekelompok syi’ah yang berdusta salah mempersepsikannya, dengan menolak Abu Bakar dan Umar dan sebagian besar sahabat Nabi, disertai sertai sikap mengkafirkan dan mencaci mereka karena diklaim bahwa para sahabat telah mengingkari dan menentang Nash wasiat penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Rosulullah SAW.

       Rafidhah sudah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar.

Disusun dari berbagai sumber, di antaranya :

(D.R khairan Muhammad Arif, M.A. Menyelisik Penyimpangan Syi’ah Pro-U Media, Yogyakarta, 2016, 200 hlm. ISBN : 978-602-7820-58-6).


Golongan syiah adalah golongan yang tetap dan setia mendukung kekhalifahan

Lihat Analisis Selengkapnya