TRIBUN-VIDEO.COM - Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan bentuk perlawanan rakyat Manado dalam memerangi penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Pada Juli tahun 1944, Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu yang kemudian juga melatarbelakangi terjadinya peristiwa ini. Jepang mundur dan mulai memperkuat militer mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara. Ketika kemerdekaan Indonesia telah terproklamasikan, Sam Ratulangi, seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Indonesia mengutus pemuda-pemuda untuk memberikan kabar ke Manado. Utusan-utusan tersebut adalah Mantik Pakasi, Freddy Lumanauw, Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh. Ketika sedang menuju Manado, ternyata kota Manado dibumi hanguskan oleh pesawat perang milik Angkatan Udara Sekutu. Berpuluh-puluh bom dijatuhkan hingga membuat bangunan rata dengan tangan dan menewaskan banyak korban jiwa. Karena kejadian itu, Jepang mencurigai adanya mata-mata Sekutu yang bersembunyi di antara tokoh-tokoh nasionalis. Para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati. Pada September 1944, beberapa pos Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil direbut oleh Jenderal Mac Arthur. Beberapa hal lain juga turut menjadi faktor penyebab terjadinya peristiwa Merah Putih di Manado. Pada September 1945, Pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Saat itu NICA-Belanda kembali menduduki Indonesia Timur dan membentuk LOI (organisasi pusat ketentaraan) yang terdiri dari tentara KNIL. Sam Ratulangi memerintahan BPNI untuk menyusup pasukan NICA tersebut yang dinamai Pasukan Tubruk. Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan Manado dan tugas Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL di bawah pimpinan Tentara Inggris yang berpusat di Makassar. Belanda mulai mencurigai penyusupan dalam pasukan KNIL dan menahan Lumanauw dan Pakasi. John Rahasia dan Wim Pangalila yang merencanakan pemberontakan juga diketahui, namun kemudian dilepaskan setelah dua minggu mengalami masa penahanan karena belum ada bukti hukum. KNIL yang awalnya bertindak atas kepentingan Belanda sudah menyadari dan berpihak pada tanah air mereka untuk melawan penjajah. (2)
Rencana pemberontakan pun rampung pada 7 Februari 1946. Segala tindakan-tindakan darutat serta pengamanan apabila terjadi sesuatu kemacetan juga telah dirundingkan. Rencana ini telah pula diberitahukan kepada BW Lapian, PM Tangkilisan, No Ticoalu dan dr Tumbelaka. Situasi Markas Besar KNIL di Tomohon senantiasa diberitahukan oleh AS Rombot melalui FW Sumanti yang bertindak sebagai ordonans umum. Pembagian tugas yang ditetapkan oleh Ch Taulu dan SD Wuisan adalah sebagai berikut:
Namun para tahanan nasionalis Manado telah diberitahu tentang saat dan awal aksi ini sebelumnya melalui titipan surat yang disembunyikan dalam makanan. Mereka dibebaskan oleh Frans Lantu dan Yus Kotambunan beserta pasukan. Kaum nasionalis yang selama ini meringkuk dalam tahanan semuanya dibebaskan. Tokoh-tokoh perintis nasional seperti GE Dauhan, A Manoppo, OH Pantouw, Max Tumbel, Dr Sabu, FH Kumontoy, CP Harmanses, HC Mantiri, NP Somba dan juga pemimpin-pemimpin pemuda BPNI, John Rahasia dan Mat Canon. Pada subuh hari semua tentara Belanda dimasukkan dalam tahanan di Teling dan selebihnya dibawa ke penjara untuk menggantikan para tahanan nasionalis yang telah dibebaskan. Pukul 3 dini hari, secara hikmat bendera Merah Putih digerek oleh Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar pada saat fajar menyingsing di bumi Sulut. Menjelang pukul lima, Frans Bisman dan Freddy Lumanauw ditugaskan dengan dua peleton berangkat ke Tomohon. Komandan Polisi Samsuri yang menjadi penghubung antara Pasukan Bisman dan Komandan KNIL De Vries, membawa ultimatum dari Bisman agar De Vries dengan seluruh pasukan-pasukannya di Tomohon ialah Kompi-142 dan satu kompi stafnya menyerahkan diri. Samsuri mengancam bahwa Tomohon akan diserbu pasukan yang datang dari berbagai wilayah. De Vries memutuskan dan menyampaikan kepada Samsuri bahwa ia akan menyerahkan diri bersama pasukan-pasukan di Tomohon. Dalam upacara penyerahan, bendera merah-putih-biru disobek helai birunya. Bendera Merah Putih kemudian dinaikkan pada tiang. Beberapa penguasa-penguasa Belanda tertawan dan rakyat Manado berpawai sepanjang jalan dengan sorak-sorakan ‘’Hidup Merah Putih’’. Kapten Blom, pemimpin Garnisun Manado ditangkap sekitar pukul 03.00, setelah lebih dulu menahan Letnan Verwaayen, pimpinan tangsi militer Teling. Siangnya, pasukan pejuang republik menangkap Komandan KNIL Sulawesi Utara Letkol de Vries dan Residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA. Sehari kemudian, para pejuang menaklukkan kamp tahanan Jepang yang berkekuatan 8.000 serdadu. Dampak Presiden Soekarno mengabadikan peristiwa ini dalam peringatannya 10 Maret 1965 di Istana bahwa Hari 14 Februari adalah hari Sulawesi Utara. Peristiwa ini diberitakan berulang-ulang melalui siaran radio dan telegrafi oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, ditangkap dan diteruskan oleh kapal perang Australia SS "Luna" ke Allied Head Quarters di Brisbane. Radio Australia juga menjadikan peristiwa ini sebagai berita utama dan kemudian disebar-luaskan oleh BBC-London dan Radio San Fransisco Amerika Serikat. Dampak peristiwa ini ternyata cukup besar berpengaruh terhadap tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda) yang juga harus mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang di Girian. Pemerintah Indonesia juga mengangkat Dr Sam Ratulangi sebagai gubernur wilayah Sulawesi. Setelah peristiwa itu, Belanda memperbanyak pasukan untuk melakukan penyerangan balik. Pada 16 Februari 1946, banyak korban berjatuhan dalam insiden tersebut. Petinggi KNIL serta Dr Sam Ratulangi juga tertangkap dan akhirnya rakyat Manado menyerah kalah. (TribunnewsWiki/Indah) Artikel ini telah tayang di tribunnewswiki.com dengan judul : 17 AGUSTUS - Seri Sejarah Nasional: Peristiwa Merah Putih (14 Februari 1946) ARTIKEL POPULER: Baca: Malang Bumi Hangus (31 Juli 1947), Pembakaran Bangunan-bangunan Belanda di Malang Baca: Pertempuran Medan Area, Pertempuran 9 Oktober 1945 hingga 15 Februari 1947 di Medan, Sumatera Utara Baca: Serangan Umum Surakarta, Serangan Perpisahan Slamet Riyadi TONTON JUGA: <iframe src="https://www.youtube.com/embed/MufrWS-X7yo" width="520" height="292" scrolling="no" frameborder="0"></iframe>Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[1][2] Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945.[3] Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4] Ch.Ch. Taulu dan S.D. Wuisan, Dua Tokoh Pelaku Utama Pemimpin Pergerakan Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946. Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan.[5] Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7] kapal perang Belanda Piet Hein sebagai tempat perundingan antara perwakilan dari Manado dengan tentara Belanda. Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.[8]
|