Ethical dilemma apa yang kemungkinan dihadapi oleh seorang akuntan perusahaan dan akuntan publik

Pertemuan 3 MENGIDENTIFIKASIKAN DILEMA-DILEMA ETIKA Matakuliah : F0692 / KODE ETIK AKUNTAN Tahun : Semester Genap 2004 / 2005 Versi : 0 / 0 Pertemuan 3 MENGIDENTIFIKASIKAN DILEMA-DILEMA ETIKA

Learning Outcomes Pada akhir pertemuan ini, diharapkan mahasiswa akan mampu memahami : Pandangan mengenai dilema etika Memecahkan dilema etika

Outline Materi Materi 1 : Pandangan mengenai dilema etika Materi 2 : Memecahkan dilema etika

Pandangan mengenai dilema etika Dilema pada pelaksanaan tugas sebagai akuntan publik, merupakan masalah sulit dimana pada kondisi tersebut mengharuskan akuntan publik menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan ; dalam hal ini berarti situasi tersebut sulit dan membingungkan.

Pandangan mengenai dilema etika Sebetulnya antara auditor, akuntan publik dan pebisnis, ketiga pihak ini saling merupakan partner kerja dan ada saling ketergantungan; disamping mereka banyak menghadapi dilema etika, baik dalam karir maupun bisnis. Bernegosiasi dengan klien yang mengancam akan mencari auditor baru, kalau hasil auditnya tidak memperoleh pendapat wajar tanpa pengeculian, jelas merupakan dilema bagi auditor karena pendapat itu tidak sesuai dengan integritasnya. Memutuskan apakah akan menegur supervisornya yang telah melakukan “lebih saji secara material” dari nilai pendapatan unit kerja akuntan independen untuk mendapatkan bonus yang lebih besar merupakan dilema yang sulit.

Pandangan mengenai dilema etika Dilema pada pelaksanaan tugas sebagai akuntan publik, merupakan masalah sulit dimana pada kondisi tersebut mengharuskan akuntan publik harus menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan ; dalam hal ini berarti situasi tersebut sulit dan membingungkan.

Pandangan mengenai dilema etika Dilema pada pelaksanaan tugas sebagai akuntan publik, merupakan masalah sulit dimana pada kondisi tersebut mengharuskan akuntan publik harus menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan ; dalam hal ini berarti situasi tersebut sulit dan membingungkan.

Memecahkan Dilema Etika Menurut Brooks, Leonard J. 10th ed.dalam bukunya Profesional Ethics for Accountans, ada beberapa alternatif dalam penyelesaian/ pemecahan etika. Namun eksekutif yang mengambil keputusan harus berhati-hati, agar supaya terhindar dari kesalahan cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.

Memecahkan Dilema Etika Metode rasionalisasi yang umumnya digunakan bagi perilaku tidak beretika, adalah : Orang melakukan hal yang sama : argumentasi yang mendukung penyalah-gunaan pelaporan pajak, menjual produk yang kadaluarsa pada kemasan tidak tertulis tanggalnya ; dan ada beberapa hal yang melakukan sama. Jika itu legal, maka hal tersebut dikatakan beretika : argumentasi bahwa semua perilaku legal, adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum yang berlaku dinegara tersebut. Dengan filosofi ini berarti tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan oleh seseorang. Manipulasi dan korupsi itu sendi di Indonesia, pelakunya sembunyi dinegara lain.

Memecahkan Dilema Etika Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya, filosofi ini tergantung pada evaluasi hasil temuan auditor. Klien (top manajemen) yang menggunakan laporan auditor dengan cermat akan memberikan konsekuensi (kalau perlu hukuman yang tegas) kepada karyawan yang diketahui melakukan kesalahan / fraud setelah pelaksanaan audit. Brooks menemukan dan telah mengembangkan kerangka formal untuk membantu top manajemen atau akuntan publik dalam memecahkan dilema etika.

CLOSING Menentukan masalah/dilema etika dan melakukan tindakan yang tepat untuk karyawan sesuai dengan Normanya dapat dilakukan dengan enam langkah : Dapatkan fakta-fakta yang relevan Identifikasi semua issue etika dari fakta tersebut Tentukan siapa/bagaimana karyawan atau stakeholders yang dipengaruhi oleh dilema tersebut Identifikasi alternatif yang tersedia bagi orang yang harus memecahkan dilema Identifikasi konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif yang dipilih Buatlah keputusan yang tepat

TUGAS PRIBADI Fadil, usia 33th, sudah 8th. bekerja di pabrik ban di Jawa Barat sebagai Akuntan. Saudaranya merencanakan membuka pabrik yang sama di Sumatera dan ingin menarik Fadil untuk jabatan Direktur Keuangan. Pabrik akan beroperasi ½ tahun lagi, ia ingin juga sempat mempersiapkan pabrik baru. Sesudah menerima tawaran ini, Fadil dengan sengaja mengurangi disiplin kerja sampai suatu tingkatan yang cukup mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang sebelum jam kerja selesai. Kadang-kadang samasekali tidak masuk kerja tanpa membertitahukan alasannya. Sudah beberapakali ia tidak mengikuti rapat antar bagian, juga tidak mnyelesai Laporan bulanan yang lalu. Ia mengharapkan akan dipecat, supaya mendapat pensangon yang cukup besar sementara menunggu Pabrik di Sumatera selesai dan ekonomi keluarganya tidak terbengkalai.

TUGAS PRIBADI Bagaimana hubungan antara disiplin kerja, tanggung jawab akuntan dan moral ? Jelaskan dalam ilmu lain yang juga membicarakan tingkah laku manusia ! Apa yang menjadi kekhususan dalam kecakapan profesional dan terbengkalainya kerja akuntansi yang merupakan tugas dan tanggung jawab Fadil? Apa yang mencolok, jika seorang akuntan memandang bahwa dalam family business akan ada masa depan yang lebih cerah daripada meniti karir di perusahaan lain? Jelaskan jawaban saudara dengan sudut pandang etika bisnis.

You're Reading a Free Preview
Page 2 is not shown in this preview.

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

36 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Akuntan merupakan profesi yang keberadaanya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi, seorang akuntan dalam menjalankan tuganta harus menjunjung tinggi etikanya. Etika akuntan telah menjadi isu yang menarik. Di Indoensia isu ini berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan internal, maupun akuntan pemerintah. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban pengurus IAI.

Dalam hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengembanb profesi tersebut, yang biasa disebut sebagain kode etik. Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap profesional wajib menaati etika profesinya terkait dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :

1.      Menjelaskan penalaran moral

2.      Menjelaskan model pengambilan keputusan etis

3.      Menjelaskan riset perilaku etis akuntan

4.      Menjelaskan studi pengembangan etis

5.      Menjelaskan studi keputusan etis

6.      Menjelaskan implikasi bagi riset mendatang

Akuntan di dalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan karena auditor mewakili banyak konflik kepentingan yang melekat dalam proses audit (built in conflict of interest). Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik audit. Konflik dalam audit akan berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi yang oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dalam imbalan ekonomis yang mungkin dijanjikan di isi lainnya. Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sering kali diharapkan pada dilemma etika dalam pengambilan keputusannya.

Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik terdapat ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor, sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis.

Penalaran moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilemma berada pada konflik nilai. Akuntan pajak, misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang mencerminkan sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai mengambarkan perusahaan. Auditor harus memeprtimbangkan konsekuensi pengungkapan informasi yang berlawanan tentang klien yang membayar audit fee mereka. Akuntan yang dihadapkan dengan konflik etika tersebut harus memutuskan secara khusus kesinambungan dari keseimbangan titik temu antara niaya dan manfaat pada dirinya, orang lain dan masyarakat secara keseluiruhan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakinan dan nilai individual, maka penalaran moral memainkan peranan penting dalamn keputusan akhir seseorang.

Masalah etika dalam akuntansi bukanlah hal yang baru meskipun baru-baru ini masalah etika menjadi perhatian utama. Misalnya, terdapat seruan akan kebijkan-kebijkan etika perusahaan yang disertai dengan saksi yang lebih keras. Sejalan dengan inisiatif baru ini, minat terhadap perilaku etis akuntan profesional diperbarui. Misalnya saja, terdapat sejumlah studi akademis terbaru yang didedikasikan untuk penalaran moral dan pengembangan akuntansi profesional publik. Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigm riset ini karena alasan-alasan berikut:

1.      Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.

2.      Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan keputusan etika akuntan.

B.     Model Pengambilan Keputusan Etis

1.      Teori Penalaran Moral dari Kohlberg

Pengembangan psikologi moral dimulai dari karya psikolog Piaget. Berdasarkan pada karya Piaget, klien kemudian mengembangkan sebuah teori keputusan moral yang memasukkan serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibria) yang ada dalam diri seorang individu. Menurut teori ini, individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat atau tahap moral reasoning yangv lebih sebagai bagian dari proses pertambahan usia.

Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis hubungan yang berbeda antara diri, aturan, dan harapan masyarakat. Pada tingkat prakonvensiional, seorang individu terutama memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Pada tingkat ini karena aturan dan harapan social bersifat eksternal terhadap dirinya, maka keduanya tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Seorang individu pada tingkat ini umumnya mengikuti hukum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat karena hal tersebut menguntungkan. Seorang individu pada tingkat pascakonvensional mendefiniskan nilai pribadi dalam pengertian individual yang yang dipilih dari prinsip-prinsip dan membedakan dirinya dari aturan dan harapan orang lain. Individu tidak harus berada di atas hukum masyarakat dan sesuai dengan perhatian masyarakat. Pada masing-masing tingkatan terdapat dua tahap perkembangan, sehingga secara total terdapat enam jenis keseimbangan yang terpisah.

Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang integral dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest menyatakan bahwa ethical reasoning hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara keseluruhan untuk membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest selanjutnya mengidentifikasikan empat kompenen dalam menentukan perilaku moral, yaitu:

Ø  Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)

Ø  Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)

Ø  Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)

Ø  Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral)

Model rangkaian tahap dari Kolhberg tentang tingkat perkembangan moral individual berhubungan dengan komponen kedua dari model pengambilan keputusan etis. Kolhberg menyatakan bahwa individu pada tingkat moral reasoning yang lebih tinggi dapat melakukan tindakan moral yang benar. Hasil empiris adalam konteks akuntansi juga menghubungkan tingkat moral reasoning yang lebih rendah dengan pertanyaan mengenai independensi dari penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan, dan tidak terdapatnya pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui pengaduan (whistle blowing). Sebuah alternatif terhadap teori Kolhberg dikembangkan oleh Gilligan yang mematiskan bahwa model Kolhberg bias dalam hal gender dalam meneliti perspektif  moralitas perempuan. Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa perempuan mempunyai orientasi untuk ‘merawat’, yang merupakan suatu orientasi dari tahap pengembangan moral yang terpisah dan berbeda dari laki-laki. Meskipun perspektif alternatifnya telah didukung oleh bukti anekdot, masih belum ditemukan dukungan empiris. Selanjutnya, Kolhberg menyatakan bahwa karena wawancarnya dilakukan semata-mata dengan perempuan tidak berarti bahwa beberapa perbandingan dengan perspektif laki-laki tidak dibenarkan. Terlepas dari masalah ini, perspektif feminis seharusnya tidak diabaikan dalam aplikasi riset sekarang. Pertimbangan perspektif feminis penting terhadap asumsi pertanyaan yang terus menerus yang mendasari teori saat ini.

2.      Ukuran Moral Reasoning

Sebagai alternative dari MJI, Rest mengembangkan pengujian definsi masalah (definition of issue test-DIT), yang berupa kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan ukuran objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan berupa skor tunggal). DIT menampilkan subjek dengan enam scenario hipotesis, masing-masing berhubungan dengan dilema etika (misalnya mencuri informasi dari pihak yang berwenang, kebebasan berbicara, membantu tindakan bunuh diri, diskriminasi rasial, dan kebebasan untuk mengajukan protes).

Karena MJI terdiri dari wawancara verbal, DIT (sebuah instrument tertulis) lebih sederhana untuk dilaksanakan pada poin yang ditentukan untuk masing-masing respons. Skor DITP (prinsip) adalah jumlah respons yang berhubungan dengan tingkat moral reasoning tertinggi dan mengukur persentase respons tahap lima dan enam (misalnya mereka yang konsisten reasoning pascakonvensional dan norma masyarakat). Konsekuensinya, semakin tinggi skor P, maka semakin sedikit jumlah respons tahap satu sampai dengan empat. Skor DIT P telah terbukti menjadi ukuran objektif dengan skor validitas dan realibilitas statistik sangat tinggi. DIT telah digunakan secara luas dalam litelatur akuntansi, bukan saja dalam perbandingan antara akuntan univariate dengan kelompok lain dengan latar belakang sosioekonomi yang berbeda, tetapi juga covariate dalam studi perilaku (tidak) etis.

Dalam konteks domain spesifik (misalnya akuntansi), pengendalian DIT sebagai ukuran kapasitas etis menjadi semakin diperdebatkan. Sementara perilaku etis ditemukan berhubungan degan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi (seperti diukur oleh DIT), studi perbandingan telah menujukkan bahwa tingkat moral reasoning akuntansi profesional secara konsisten berada jauh di bawah temuan untuk tingkat moral reasoning akuntan yang buruk. Fogarty, misalnya menyerang penggunan DIT berdasarkan beberapa alasan, menyatakan bahwa sebagai aebuah kognitif, DIT mengabaikan motivasi dan karakteristik berbasis emosi lainnya. Ia juga mempertahankan bahwa akuntan seharusnya dianalisis pada tingkat kelompok ndan bukannya tingkat individual.

Sebuah asumsi implist dalam seluruh studi yang menggunakan DIT adalah bahwa semakin tingkat skor DIT semakin baik. Misalnya saja, Kolhberg menyatakan bahwa ketika seorang individu mengalami kemajuan melalui tahapan tersebut, mereka mengatasi gaya pemikiran lama dan memandang dirinya sebagai individu tidak memadai dan sederhana. Sementara, Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak di sepanjang tahap naik seperti anak tangga. Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang menjadi preferensi dari akuntan.

3.      Pendekatan Kognitif Lingkungan Terhadap Pengambilan Keputusan Etis

Ketika banyak riset yang berhubungan dengan perilaku etis individual menggunakan DIT untuk mengatur tingkat moral reasoning individual (misalnya urutan peringkat dari akternatif moral), telah berkembang pendekatan tambahan yang membahas komponen lain dari model Rest. Misalnya, mereka menyebutkan Skala Etis Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran moral, yang merupakan komponen pertama dari model Rest dan menghubungkan teori perencanaan perilaku dengan komponen tiga dan empat.

Reidenach mengembangkan SEM untuk fokus pada dinamika pengambilan keputusan yang melibatkan perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan Skala Likert yang bipolar dibagi ke dalam tiga dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme, dan kontraktualisme, yang dimasukkan dalam ukuran. Skenario etis digunakan dengan memasukkan deskripsi atas sutuasi tunggal sepanjang 100 kata. Flory et al menggunakan SEM untuk mengkaji response tis terhadap 300 akuntan manajemen yang bersertifikat (certified management accountant-CMA) terhadap empat skenario manajemen laba. Tujuan utama dari studi tersebut adalah memvalidasi penggunaan SEM dalam konteks akuntansi. Ketika tujuan ini dicapai, gambaran yang ditampilkan tidak mendukung variabilitas antar-subjek sehingga menghasilkan perhatian pada validitas eksternal. Cohen kemudian memperluas riset Reidebach dan Robin terhadap situasi multinasional. Hasil untuk sampel subjek di Negara-negara Amerika serikat dan lainnya menunjukkan munculnya konflik tambahan, yaitu utilitarianisme yang penting dalam pengambilan keputusan etis. Sementara SEM dikritik sebagai gagal untuk memasukkan bagaimana ukuran ini secara teoretis berbeda dari karya pengembangan moral Kolhberg dan Rest, serta bahwa ukuran ini mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk memahami proses moral reasoning akuntan. Cohen selanjutnya menunjukkan bahwa SEM adalah sebuah ukuran sensitivitas moral yang merupakan komponen pertama dari model Rest. Dengan cara yang sama, Shaub membuat model dari kemampuan auditor untuk mengenali konflik etika sebagai sebuah fungsi dari orientasi etika lainnya (idealism/relativisme), serta komitmen profesional dan organisasional mereka.

Teori tentang aksi penalaran sangat berhubungan dengan niat sebelumnya dari komitmen perilaku yang pada gilirannya diperediksi dari sikap pribadi individu terhadap perilaku dan norma subjektif, misalnya, persepsi individual mengenai sikap masyarakat terhadap perilaku. Alasannya bahwa teori tersebut telah dihubungkan dengan tiga komponen Rest (motivasi moral) dan empat karakter moral. Teori penalaran aksi telah memberikan landasan bagi banyak studi akuntansi, termasuk usaha untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku agresif auditor dalam hubungannya dengan klien dan kepatatuhan pembayar pajak.

4.      Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis

Di luar bidang psikologi social, Noreen (1998) memperluas teori agensi dengan membahas ekonomi etis dalam konteks kontrak. Didasarkan pada minat individual, dia menyatakan bahwa perilaku etis (tekanan perilaku opportunistis) mungkin sering menghasilkan aksi yang paling menguntungkan (daya tarik ekonomi). Contoh, kepatuhan akuntan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA membatasi seberapa besar inferensi ekternal. Pendekatan teori agensi dari Noreen bertentangan langsung dengan prinsip keunggulan pengguna, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, di mana keperntingan pengguna laporan keuangan menjadi perioritas.

Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen (pemahaman keuntungan, pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA. Dengan cara yang sama, Finn dan Lampe membuat dari keputusann berkaitan dengan penyampaian pengaduan auditor.

C.    Riset Perilaku Etis Akuntan

1)      Studi Pendidikan Etika

Studi pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral reasoning dari para praktisi dan mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari banyak studi umumnya telah menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan dengan pengaruh tingkat moral reasoning individual, temuan dalam ranah akuntansi telah menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya. Beberapa studi representative yang membahas masalah ini dibahas di bagian berikutnya.

Satu studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan riset perilaku dilakukan oleh M. Armstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan mahasiswa yang sudah dan belum lulus. Hal yang mengejutkan, skor DIT rata-rata CPA secara signifikan lebih rendah daripada kedua kelompok tersebut. M. Armstrong (1987) menyimpulkan bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya mencapai tingkat kematangan moral orang dewasa pada umumnya, hal ini merupakan kebalikan dari tingkat kematangan lulusan kampus. Dengan kata lain, pendidikan kampus mungkin tidak mendorong kelanjutan dari pertumbuhan moral. Pengarang menyampaikan bahwa pendidikan akuntansi memasukkan lebih banyak diskusi moral, sehingga akuntan dapat mencapai tingkat moral reasoning yang serupa dengan lulusan kampus lain.

Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993)

Poneman dan Glazer memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan dengan membandingkan mahasiswa dan alumni untuk dua lembaga pendidikan yang terletak di daerah timut Amerika Serikat. Lembaga yang pertama adalah suatu kampus seni liberal swasta yang menawarkan jurusan akuntansi. Sementara lembaga yang kedua, American Assembly of Colligiate School Business (AACSB) merupakan lembaga yang terpandang dalam mengadakan program akuntansi. Sampel dipilih dengan menggunakan perencanaan kelompok sampel (sampling cluster) multi tahap dan terdiri atas 46 mahasiswa baru, 54 mahasiswa senior dari fakultas akuntansi, dan 43 alumni (yang sekarang bekerja di kantor akuntan public). Hasilnya menunjukkan tiga temuan utama, yaitu 1) skor DIT dari senior dan alumni dari masing-masing sekolah secara rata-rata adalah lebih tinggi daripada mahasiswa baru dari masing-masing sekolah; 2) variasi skor DIT dalam strata alumni secara signifikan lebih rendah daripada variasi dalam peringkat mahasiswa untuk kedua lembaga; 3) siswa dan alumni dari sekolah yang menawarkan kurikulum seni liberal sedikit lebih maju dalam pemahaman mengenai ukuran DIT daripada siswa dan alumni lembaga dengan program akuntansi yang lebih tradisional. Konsisten dengan temuan dari M. Armstrong, hanya mahasiswa senior dan alumni dari kampus seni liberal menunjukkan skor DIT yang serupa dengan kampus lainnya.

Hasil yang berlawanan ditemukan oleh Jeffrey di universitas negeri besar di bagian barat tengah Amerika Serikat. Temuan menunjukkan bahwa perkembangan etika mahasiswa akuntansi lebih tinggi daripada perkembangan etika mahasiswa dalam divisi yang lebih rendah dengan mahasiswa akuntansi senior menampilkan tingkat tertinggi. Perbedaan hadil dari Ponemon dan Glazer dianggap disebabkan oleh perbedaan dalam atmosfir antara sekolah swasta dan sekolah publik, sebagaimana halnya bias seleksi karena perbedaan indivudial mengarahkan siswa pada seleksi jurusan mereka.

St. Pierre, Nelson dan Gabbin (1990)

St Pierre et al mengkaji hubungan tingkat moral reasoning. Sampel yang terdiri atas 479 mahasiswa senior dari seluruh disiplin ilmu yang terdiri atas jurusan bisnis dan non bisnis pada universitas ukuran menengah di bagian timur Amerika Serikat diminta untuk melengkapi DIT. Ukuran lain yang dikumpulkan berkaitan dengan subjek adalah jurusan, gender, dan paparan awaln terhadap etika dalam kurikulum formal. Temuan menunjukkan bahwa mahasiswa dalam tiga jurusan non-bisnis mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis. Selain itu, mahasiswa akuntansi bperempuan mempunyai skor yang lebih tinggi daripada mahasiswa akuntansi laki-laki. Mahasiswi akuntansi juga menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada senior dari jurusan lain. Paparan terhadap pendidikan etika tidak menunjukkan dampak yang signifikan. Terakhir tingkat moral reasonimg dari mahasiswa akuntansi yang diperoleh dari studi sekarang serupa dengan yang ditemukan oleh M. Armstrong.

Ponemon mengkaji pengaruh interensi etika terhadap perkembangan perilaku etis mahaiswa akuntansi. Intervensi etika tersebut didasarkan pada tinjauan dan diskusi kasus etika setelah kerangka kerja pendidikan sudah diketahui dalam sepuluh minggu pertama dari suatu semester. Mahasiswa yang menjadi subjek menyelesaikan DIT dan eksperimen pilihan ekonomi yang didasarkan pada Prisoners Dilemma. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi etika tidak menyebabkan tingkat ethical reasoning dari mahasiswa akuntansi meningkat dan tidak membatasi perilaku free riding siswa pada eksperimen pilihan ekonomi. Selanjutnya, ditemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat pra dan pascakonvensional dalam ethical reasoning paling mungkin untuk melakukan free riding.

Armstrong menampilkan hasil pra dan pascapengujian dari pengembangan moral untuk siswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme di universitas yang didukung oleh Negara bagian Amerika Serikat. Kursus profesional dan etis memasukkan pembahasan mengenai landasan teoretis, pedoman profesional, investigasi kongres, respons profesional, Komisi Perdagangan Federal, survey opini publik, dan studi kasus (terintegrasi pada seluruh kursus). Kelompok tersebut terdiri dari 21 siswa yang mengikuti mata kuliah profesionalisme dan etika, dan 33 siswa masuk dalam Akuntansi tingkat menengah yang menjadi kelompok control. Seluruh siswa menyelesaikan DIT pada hari pertama dan kedua masuk kelas. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalsme mengalami kenaikan skor DIT lebih tinggi pada semester tersebut dibandingkan dengan mereka yang ada dalam kelompokn control. Mahasiswa yang mengalami kenaikan terbesar adalah mereka yang sebelumnya menyelesaikan satu atau lebih mata kuliah etika. Penulis menganggap bahwa hasil tersebut menarik, berdasarkan pada panggilan kesadaran mahasiswa yang luas terhadap isu etika dan profesionalisme dengan menekankan kepada pemikiran kritis.

Lampe menyampaikan hasil dari studi akuntansi longitudinal tingkat mahasiswa sehubungan dengan moral reasoning di Universitas Southwestern, Amerika Serikat. Selama jangka waktu empat tahun, kasus etika dan muatan etis ditambah pada mata kuliah manajerial dan keuangan tingkat menengah, bersama-sama dengan prinsip-prinsip auditing dengan harapan bahwa mata kuliah ini akan meningkatkan perkembangan etika siswa. Mahasiswa akuntansi mengisi tiga formulir yang terpisah: 1) respons sikap tentang perilaku etika sesame mahasiswa akuntansi, 2) keputusan dan alasan terhadap empat dilemma etika dalam Vignette, 3) DIT. Total respons yang dapat digunakan 472 buah. Mahasiswa auditing tingkat senior mengisi formulir ini setiap tahunnya selama periode tahun 1990-1991 sampai dengan tahun 1993-1994. Mahasiswa junior menyelesaikan formulit DIT masing-masing selama periode tahun 1991-1992 sampai tahun 1992-1993. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran keputusan moral mahasiswa, penalaran dalam situasi dilemma etika, keputusan dan sikap terhadap perilaku etika tetap tidak berubah. Lampe menyampaikan bahwa mahasiswa akuntansi tetap berorientasi terhadap aturan yang diimplikasikan oleh kode etika untuk mata kuliah tersebut.

2)      Studi Pengembangan Etika

Diskusi mengenai hasil dari studi ini dan pengembangan etika lainnya dijelaskan di bawah ini.

Ponemon menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan publik. Lima puluh dua praktisi CPA dari bermacam-macam posisi di perusahaan publik di daerah timur laut Amerika serikat berpartisipasi dalam studi. Subjek mengisi wawancara penilain moral atau MJI dan paradigm auditing. Dilemma auditing dikembangkan dari studi kasus dari kehidupan nyata yang melibatkan kantor akuntan publik dan dua klien audit besar. Dilemma tersebut digambarkan sebagai serangkaian kejadian yang terjadi dalam situasi krisis dengan kedua klien. Baik MJI dan dilemma auditing diskor secara serupa, sehingga memungkinkan untuk membandingkan secara langsung kedua skor tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa skor subjek tidak berbeda secara signifikan antara kedua dilemma. Investigasi selanjutnya atas respons verbal terhadap dilemma auditing menunjukkan bahwa subjek pada tingkat posisi yang berbeda dalam perusahaan menggunakan isu berbeda dengan frekuensi berbeda dalam resolusi kasus mereka. Tipe isu yang digunakan adalah konsisten dengan temuan bahwa tingkat posisi dalam perusahaan dan tingkat moral reasoning berhubungan secara terbalik.

Ponemon menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat ethical reasoning masinh-masing CPA. Studi dari sosialisasi perusahaan sebelumnya menunjukkan bahwa manajemen lebih bias mendorong individu yang mempunyai pandangan organisasi umum yang sama. Studi dalam profesi akuntansi telah menunjukkan bahwa individu yang tetap berada dalam profesinya mengasimilasikan budaya perusahaan. Untuk menyelidiki eksitensi sosialisasi etika dalam profesi akuntansi, Ponemon menggunakan sampel CPA dari bermacam-macam posisi dari perusahaan akuntansi di seluruh Amerika serikat. Konsisten dengan temuan sebelumnya, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa skor DIT auditor meningkat pada tingkat penyedia, tetapi kemudian menurun tajam pada tingkatan manajer dan partner. Selanjutnya, dalam eksprimen yang menuntut seorang manejer audit untuk memprediski potensi promosi bagi sekelompok auditor senior, ditemukan bahwa penilaian promosi dari manajer tersebut cenderung bias terhadap senior yang memilih tingkat ethical reasoning serupa dengannya, memberikan bukti lebih lanjut tentang eksitensi sosialisasi etika.

Shaub menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel yang terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan enam variabel demogratis. Hasilnya menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara signifikan berhubungan dengan tingkat moral reasoning kedua sampel. Tingkat moral reasoning yang lebih tinggi ditemukan untuk perempuan, individu dengan nilai rata-rata yang lebih tinggi dan individual yang mengambil mata kuliah etika. Selanjutntya, tingkat moral reasoning meningkat pada tingkat staf yang telah bekerja selama tiga tahun dan kemudian menurun mulai dari tingkat senior sampai tingkat partner. Temuan ini konsisten dengan temuan Ponemon.

Sweeney memperluas garis riset ini dengan menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor demografis dan organisasional (misalnya kepuasan kerja, posisi, gender, dan status sosio-ekonomi) dengan tingkat moral reasoning dari auditor. Sebuah kuesioner dan DIT dikirim kepada auditor dari delapan kantor akuntan publik di bagian barat tengah  Amerika serikat dan menghasilkan sampel akhir yang terdiri atas 314 subjek. Konsisten dengan hasil yang disampaikan oleh Ponemon, studi tersebut menunjukkan bahwa skor DIT menurun seiring dengan peningkatan tingkat posisi pada perusahaan sampel. Investigasi selanjutnya menunjukkan bahwa keahlian moral sangat berhubungan dengan orientasi politik auditor (liberal atau konservatif) dan gender.

Jeffrey dan Weatherholt (1996)

Jeffrey dan Weatherholt menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional, dan sikap terhadap aturan antara akuntan pada kantor akuntan publik yang termasuk kategori 6 besar (big 6) dan akuntan pada perusahaan yang termasuk dalam Fortune 500. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam tingkat pengembangan etika di kedua kelompok tersebut atau peringkat dalam kantor akuntan publik. Namun  demikian, terdapat perbedaan antara kantor akuntan publik dengan kantor akuntan perseorangan. Komitmen profesional partner lebih kuat daripada komitmen profesional senior, sementara sikap terhadap aturan tidak berbeda di antara kedua kelompok atau peringkat di kantor akuntan publik. Komitmen profesional dan kepatuhan pada aturan secara signifikan dan positif saling berhubungan. Komitmen profesional dan pengembangan etika berhubungan secara terbalik. Hasil ini menunjukkan bahwa proses tingkat sosialisasi mungkin berbeda sesuai dengan limgkungan kerjanya.

Kite, Louwer, dan Randtke (1996)

Kite, Louwer dan Randtke mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoning antara auditor lingkungan, auditor internal lain, dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan penugasan audit mereka. Lima puluh dua auditor praktik untuk audit lingkungan dan 26 auditor internal dari 21 perusahaan di Amerika serikat menyelesaikan dan mengembalikan survey lingkungan dan DIT lingkungan. Hasil dari studi ini tidak mendukung hipotesis bahwa auditor lingkungan mempunyai skor DIT yang rata-rata lebih tinggi daripada akuntan publik. Analisis tambahan menunjukkan bahwa auditor yang meminta posisi di bidang audit lingkungan secara signifikan mempunyai skor DIT lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh perusahaan mereka untuk posisi tersebut.

Studi keputusan etis berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran dan perilaku spesifik terhadap bidang akuntansi. Bagian berikut menelaah studi representative yang mengkaji:

Ponemon dan Gabhart (1990)

Ponemon dan Gabhart mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan tingkat moral reasoning. Sampel terdiri atas 119 partner audit dan manajer dari dua kantor akuntan publik nasional di kota Northeastern, Amerika serikat. Subjek menyelesaikan DIT dan studi kasus yang melibatkan dilema auditor dalam hal independensi. Instrumen studi kasus meminta subjek untuk membaca studi kasus hipotesis dan menilai strategi independensi yang benar untuk diikuti didasarkan pada lingkungan kasus tersebut. Dua manipulasi melibatkan diskusi dari atribut auditor-afiliasi dan penalty eksplisit jika auditor ditangkap. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor denga skor DIT rendah lebih mungkin untuk melanggar aturan independensi dan lebih sensitif terhadap persepsi penalty yang diakibatkan oleh perilaku yang salah. Skor DIT juga menjelaskan peringkat prioritas dalam atribut independensi, sementara faktor-faktor ekonomi, seperti profitabilitas klien dan litigasi adalah lebih penting bagi auditor dengan skor DIT rendah.

Windor dan Ashkanasy (1995)

Windsor dan Ashkanasy mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasional, pengembangan moral reasoning, dan kepercayaan dalam dunia memengaruhi independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan (otonom, akomodasi, pragmatis). Dalam studi mereka, auditor berpengalaman diminta untuk menyelesaikan skala kepercayaan dalam keadilan, DIT tiga cerita dan skala budaya organisasional. Hasilnya menunjukkan bahwa budaya organisasional berhubungan dengan pengembangan moral reasoning auditor dan kepercayaan pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya pengambilan keputusan.

Schatzberg, Sevcik, dan Shapiro (1996)

Dengan menggunakan metodologi ekonomi eksperimental, Schatzberg et al., menguji validitas dari tiga kondisi ekonomi umum yang dianggap penting terhadap kerusakan independensi. Kondisi tersebut adalah: 1) perhatian klien terhadap isu pelaporan, di mana variasi pelaporan lintas bagian harus ada pada auditor yang bertahan dalam periode tersebut; 2) quasi rent harus sesuai dengan yang ada untuk periode selanjutnya; 3) jika kedua kondisi pertama ada, biaya manfaat ekonomi gabungan dalam situasi multiperiode seharusnya juga menghasilkan manfaat ekonomi bersih bagi auditor dari kerusakan independensi.

Shaub dan Lawrence (1996)

Shaub dan Lawrence menyelidiki latihan skeptisme profesional auditor sebagaib sebuah alat untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mendefinisikan skeptisme sebagai fungsi dari 1) disposisi etis, 2) pengalaman, 3) faktor-faktor situasional. Auditor di posisi yang lebih tinggi dan staf dari 56 kantor akuntan publik yang berbeda, namun semuanya termasuk dalam kategori 6 besar, diminta untuk menyelesaikan Sembilan scenario pendek, DIT tiga cerita, dan kuesioner berorintasi etika. Temuan menunjukkan bahwa auditor yang menguasai situasi etis tidak terlalu skeptis dan tidak terlalu memperhatikan isu etis profesional.

Pelanggaran Lain Kode dan Perilaku Profesional AICPA

Guna semakin memahami situasi di mana dianggap melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model atas proses keputusan etis auditor dengan mengembangkan model lima elemen (mendapatkan pemahaman, mengakui dampak, mempertimbangkan keputusan alternatif, menilai mengunakan nilai lain, mengambil keputusan final) untuk dibandingkan dengan model berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA. Seratus dua puluh Sembilan mahasiswa auditing senior, 106 staf auditor dengan pengalaman satu sampai dua tahun, dan 123 manajer audit dengan enam tahun pengalaman atau lebih menyelesaikan DIT, menyampaikan keputusan ya atau tidak pada tujuh vignette dilemma auditor, dan alasan pemberian peringkat untuk masing-masing keputusan vignette. Hasilnya menunjukkan bahwa model lima elemen lebih baik dalam mencerminkan keputusan-keputusan yang dibuat dan lebih baik dalam mengenali alasan terhadap keputusan-keputusan tersebut dibandingkan dengan model implikasi kode. Selanjutnya model lima elemen ini memberikan pengukuran atas sejauh mana faktor-faktor non-kode lainnya, seperti kepentingan diri dan perhatian terhadap pengaruh pengambilan keputusan etika auditor lainnya terlihat. Terakhir, terdapat bukti bahwa proses sosialisasi terjadi segera setelah masuk ke dalam profesi auditing.

Shaub, Finn, dan Munter (1993)

Shaub et al., mengkaji orientasi etika, komitmen, dan sensitivitas etika auditor yang bekerja di kantor akuntan 6 Besar. Subjek diminta untuk menyelesaikan empat skala validasi yang mengukur komitmen profesional, komitmen organisasional, idealisme, dan relativisme. Subjek juga merespons terhadap scenario auditing yang mengukur sensitivitas etika yang ada dalam masalah pribadi atau profesional, serta tiga isu etis yang melekat. Subjek diminta untuk mengidentifikasikanb dan memeringkat masalah yang dianggap penting dalam scenario tersebut. Hasilnya menujukkan bahwa sensitivitas etika auditor sebagaimana halnya dengan komitmen profesional mereka, dipengaruhi oleh orientasi etis mereka. Ditemukan bahwa pengurangan dari tingkat sensitivitas etika dan peningkatan dari tingkat komitmen profesional berhubungan dengan idealisme. Meskipun demikian, peningkatan tingkat komitmen profesional ini tidak menghasilkan auditor yang lebih sensitif terhadap etika.

Dreike dan Moeckel (1995)

Dreike dan Moeckel menganalisis keputusan-keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan kemungkinan dimensi etika. Auditor diminta untuk menunjukkan pola fakta yang terlibat dalam isu etika dan kemudian memeringkat urutan isu etis berdasarkan signifikansi. Selain itu, mereka diminta untuk mengidentifikasi situasi mana yang mereka hadapi, serta memilih faktor-faktor (dari daftar yang disediakan) yang memotivasi pengambilan keputusan etis mereka sendiri.

Mendeteksi dan Mengomunikasikan Kecurangan

Arnold dan Ponemon (1991)

Arnold dan Ponemon mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam konteks tingkat moral reasoning mereka. Total sebanyak 106 auditor internal dari sektor publik dan swasta di bagian timur laut Amerika serikat berpartisipasi dalam eksperimen tersebut. Masing-masing subjek diminta untuk menyelesaikan instrumen eksperimen yang didasarkan pada scenario whistle-blowing dan DIT. Tugas whistle-blowing meliputi dua kondisi yang berhubungan dengan posisi dari orang-orang yang menemukan kecurangan dan sifat dari balas dendam yang dihadapi oleh whistle-blowing (pengadu). Hasilnya menunjukkan bahwa auditor internal dan skor DIT lebih tinggi lebih mungkin mengungkapkan temuan audit sensitif, bahkan ketika tindakan balas dendam oleh manajemen terjadi. Selanjutnya, auditor dengan skor DIT yang rendah kemungkinan tidak menyampaikan pengaduan ketika terdapat kemungkinan balas dendam seperti pemberhentian.

Finn dan Lampe berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor. Sebagai tambahan variabel intensitas moral, variabel situasi-kontijen dan individual juga dimasukkan dalm model. DIT digunakan untuk mengukur tingkat moral reasoning auditor, sementara konteks pekerjaan, karakteristik pekerjaan, dan budaya organisasional digunakan sebagai variabel situasi-kontinjen. Sebuah sampel yang terdiri atas 106 staf auditor dengan satu sampai dengan dua tahun pengalaman, 123 auditor tingkat manajemen dengan pengalaman enam tahun atau lebih, dan 129 mahasiswa yang lulus mata kuliah auditing tingkat lanjutan menyelesaikan empat vignette dilemma etis dan DIT tentang whistle-blowing auditor. Hasilnya menunjukkan bahwa keputusan etis auditor dan keputusan-keputusan whistle-blowing mereka berhubungan secara signifikan. Selanjutnya, jumlah pengalaman audit lebih berhubungan dengan keputusan etis yang lebih homogen. Selain itu, meskipun mayoritas auditor setuju bahwa tindakan tertentu adalah tidak etis, mereka sangat segan untuk menyampaikan pengaduan pada orang lain yang tidak mempunyai keyakinan yang sama.

Ponemon memperluas riset sebelumnya tentang tingkat moral reasoning auditor dengan menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai determinan penilaian auditor terhadap karakteristik etis dari manajemen klien. Sampel terdiri atas 61 manajer audit dari satu kantor akuntan internasional. Subjek diminta untuk menyelesaikan DIT, survei dengan mana mereka menilai kompetensi dan integritas personel penting klien untuk klien audit actual di perusahaan, dan instrumen eksperimen dengan mana mereka menilai kemungkinan untuk mendeteksi kesalahan akuntansi yang material melalui empat penanganan berkaitan dengan kompetensi dan integritas manajemen. Hasilnya menunjukkan bahwa ethical reasoning auditor dipengaruhi oleh penilaian risiko audit dan prediksi mereka berkaitan dengan pendeteksian kesalahan akuntansi yang manajerial. Hasil ini serupa dengan temuan Bernadi yang menujukkan bahwa auditor dengan skor DIT yang lebih tinggi secara subtansial lebih baik dalam mendeteksi penipuan daripada auditor dengan skor DIT yang rendah.

Hooks, Kaplan, dan Schultz (1994)

Hooks et al., menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan dalam pengambilan keputusan. Seperti dijelaskan oleh Komisi Treadway, komunikasi adalah dimensi kontrol lingkungan yang penting. Didasarkan pada riset sebelumya tentang fenomena whistle-blowing, tim ini juga mengidentifikasi area perbaikan yang berbeda dalam sistem komunikasi.

Bernadi meneliti hubungan antara ethical reasoning dengan kemapuan auditor untuk mendeteksi penipuan informasi dalam laporan keuangan. Dalam studi eksperimental ini, 494 auditor berpengalaman di bagian timur laut Amerika serikat menelaah sekumpulan isyarat keuangan dan kontekstual kompleks yang berkaitan dengan kualitas informasi laporan keuangan untuk perusahaan klien hipotetis. Selain itu, bibit kesalahan samar mengindikasikan eksiotensi kesalahan material dan kemungkinan penipuan rill dimasukkan  dalam satu isyarat yang diterima oleh auditor. Hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman, ethical reasoning, dan konfigurasi pengalaman memengaruhi kemampuan auditor untuk mendeteksi dan membuat kerangka akuntansi yang dipertanyakan. Secara khusus, auditor dengan tingkat DIT yang tinggi dan pengalaman di bidangnya yang relatif tinggi secara substantial lebih baik dalam mendeteksi penipuan daripada auditor dengan DIT yang rendah.

Ketidakpatuhan Pembayar Pajak

Ghosh dan Crain berusaha mengidentifikasikan faktor-faktor individual dan situasional yang memengaruhi ketidakpastian terhadap pahak. Mahasiswa jurusan bisnis diminta untuk menyelesaikan tugas eksperimental yang berhubungan dengan pergerakan biaya. Ketidakpatuhan yang disengaja dari subjek diajukan sebagai sebuha fungsi probalita audit dan standar etika individual yang dirasakan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor individual dan situasional secara psikologis merupakan aspek yang menonjol dari keputusan-keputusan dalam ketidakpatuhan pajak.

Hanno dan Violette (1996)

Hanno dan Violette menyelidiki pengaruh social dan moral yang mendasari pembayar pajak dalam usaha mengembangkan model integrative perilaku kepatuhan pajak. Teori penalaran aksi digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan menonjol yang berhubungan dengan keputusan-keputusan kepatuhan pajak. Mahasiswa tingkat lanjytan mengevaluasi sepuluh  kemungkinan konsekuensi dari kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap hukum pajak federal guna mengukur norma subjektif (perusahaan, keluarga, dan teman). Hasilnya menunjukkan bahwa niat untukn patuh berhubungan dengan laporan diri dan perilaku keputusan hipotesis.

Perilaku Disfungsional Lain

Ponemon mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis ligitasi dan saksi ahli dalam kasus hukum. Sampel terdiri atas 101 spesialis pendukungan litigasi dan 106 auditor tanpa latar belakang atau pengalaman dalam bidang layanan litigasi dengan jabatan mulai dari staf sampai tingkat partner di dua kantor akuntan publik di bagian barat laut Amerika serikat. Subjek diminta untuk menyelesaikan DIT dan tugas eksperimental didasarkan pada perhitungan persediaan fisik yang rusak dalam kebakaran gudang dengan menggunakan metode laba kotor. Hasil ini menunjukkan bahwa auditor tidak mampu menghubungkan pengalaman mereka secara eksperimen yang didasarkan pada situasi litigasi atau perilaku etis, seperti objektivitas dan idependensi yang merupakan peranan yang sudah ditemukan.

4)      Studi Etis Lintas Budaya

Ponemon dan Gabhart (1993), Etherington dan Schulting (1995)

Ponemon dan Gabhart meneliti profesi auditing dari dua kantor akuntan besar dengan praktik di Amerika Serikat dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen eksperimental lainnya. Sasaran utama dari studi ini adalah menilai dampak dari perbedaan dari lintas Negara terhadap keputusan etika dari individu praktisi auditing. Hasilnya membuktikan dengan jelas semacam-macam perbedaan antara profesi akuntansi Kanada dan Amerika serikat dalam hal skkor rata-rata DIT. Auditor di Kanada dan Amerikan serikat dalam hal skor rata-rata DIT yang lebih tingi dibandingkan dengan auditor Amerika serikat. Dengan kata lain, proses seleksi-sosialisasi yang dianggap penting oleh profesi akuntan di Amerika serikat mungkin terdapat di perusahaan-perusahaan besar Kanada.

Schultz, Johnson, Morris, dan Dyrnes (1993)

Schultz et al., meneliti kecenderungan manajer perusahaan dan profesional untuk melaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan dalam konteks internasional dan domestic. Tindakan yang dipertanyakan didefiniskan sebagai tindakan yang melanggar standar keadilan, kejujuran atau ekonomi. Definisi ini konsisten dengan konsepsi literatur audit eksternal yang melibatkan kesalahan dalam laporan keuangan, tindakan illegal, dan pelanggaran terhadap pengendalian internal. Variabel independen adalah kemakmuran organisasi dan Negara, serta sifat dari situasi yang mendasari tindakan yang dipertanyakan. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi yang terletak di Negara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan sistem pengendalian yang berbeda untuk mencapai tingkat reliabilitas yang serupa.

Cohen, Pant, dan Sharp (1995a)

Cohen et al., menyajikan pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan publik multinasional seharusnya secara jati-hati memperhatikan dampak keragaman budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan pengambilan keputusan. Studi ini memasukkan subjek dari Amerika serikat, Jepang, dan Amerika latin yang menyelesaikan MES. MES memasukkan lima konstruksi moral yaitu dimensi keadilan, relativisme, egoime, utilitarisme, dan deontologis. Delapan vignette etika yang berhubungan dengan auditing menggambarkan tentang generasi, penahanan, dan tagihan klien. Seluruh subjek adalah profesional audit dari satu kantor akuntan publik multinasional, dengan 38 subjek dari Jepang, 38 dari Amerika latin, dan 62 dari Amerika serikat. Hasilnya mununjukkan bahwa subjek Amerika serikat pada umumnya melihat tindakan yang dijelaskan dalam vignette sebagai tindakan yang lebih etis dibandingkan dengan subjek Jepang atau Amerika latin.

D.    Implikasi bagi Riset Mendatang

Salah satu masalah yang menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam menyelidiki dimensi etika profesi akuntansi berhubungan dengan keputusan apakah akan terus memperluas dan menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan keputusan etika empat komponen dari Rest.

Dengan cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang etika untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa keputusan-keputusan akuntan telah menjadi subjek dari bermacam-macam kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang membayar pelayanan mereka, kantor akuntan profesional di mana karyawan menjadi anggota akuntan, profesi akuntan itu sendiri, dan publik umum. Tanggung jawab yang beragam ini menujukkan bahwa proses resolusi konflik etika akuntan mungkin tidak cukup sesuai dengan model pengambilan keputusan yang lebih umum dari Rest.

Berdasarkan fakta bahwa mayoritas riset perilaku etis akuntan didasarkan pada teori moral reasoning dari Kohlberg (dan DIT yang berhubungan), maka adalah logis untuk memulai diskusi mengenai pertanyan etis tidak terpecahkan yang memengaruhi profesi akuntan dari titik ini. Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak disepanjang tahap seperti anak tangga, apakah hal ini mengimplementasikan bahwa bagi akuntan, tahap yang lebih tinggi merupakan tahap yang lebih disukai.

Cohen et al., menyampaikan bahwa DIT berhubungan dengan keputusan moral yang merupakan komponen kedua dari model Rest (1986), dan bahwa MES berhubungan dengan sensitivitas moral, yang merupakan komponen pertama. Selanjutnya, mereka menyampaikan hipotesis dari hubungan antara teori Atzen dan Fishbein tentang perencanaan perilaku dan tiga komponen (motivasi moral) serta empat komponen (karakter moral). Identifikasi ukuran motivasi dan karakter moral akan menyediakan alat-alat pengukuran terhadap perilaku etisyang lebih kompresensif.

Salah satu kritik Fogarty terhadap DIT adalah bahwa DIT hanya mengukur tingkat moral reasoning individu. Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa fokus seharusnya diarahkan pada profesi secara keseluruhan. Argument ini bermanfaat karena sebagian besar bisnis (khususnya kantor akuntan publik) cenderung bersifat hierarki.

Salah satu penyelasan yang mungkin, namun relatif belum diselidiki oleh riset yang mengkaji perilaku etis akuntan adalah bahwa peranan yang dimainkan oleh variabel-variabel moderasi dalam menekan perilaku etis disfungsional. Contoh, profesi akuntansi unik di mana anggotanya sering kali bertanggung jawab kepada bermacam-macam kelompok konstituen. Beberapa pihak internal dan eksternal serta lembaga perudang-undangan dengan mana akuntan berinteraksi untuk mengurangi perilaku yang tidak etis. Selain itu dengan pengecualian Lampe dan Finn, hubungan antara kepatuhan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA serta keputusan-keputusan etika akuntan tetap masih belum diselidiki.

Ringkasnya, banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan etika yang dihadapi oleh akuntan. Meskipun demikian, masih lebih banyak lagi yang masih perlu diteliti. Peneliti akuntansi keperilakuan beruntung menjadi bagian dari profesi yang kaya dalam masalah subjek dan ragam subjek. Identifikasi yang kontinu dan eksplorasi terhadap masalah etika yang unik dalam profesi akuntansi dapat memberikan pedoman bukan saja untuk mengambarkan model bidang yang spesifik, melainkan juga permahaman tentang pengambilan keputusan etis pada umumnya.  

Riset sebelumnya tentang perilaku etis dan penalaran akuntan telah menyorot beberapa bidang perhatian bagi profesi akuntansi. Misalnya, temuan dari studi pendidikan etis telah menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat moral reasoning sama seperti lulusan kampus lain. Selanjutnya, dalam profesi akuntansi, studi pengembangan etis yang mengkaji korelasi dari tingkat moral reasoning tampaknya berhubungan secara terbalik. Secara khusus, Ponemon menemukan bahwa penilaian manajer audit dalam rangka promosi atas anggota suatu kelompok staf audit cenderung bias karena didasarkan pada tingkat moral reasoning yang serupa dengan dirinya. Hasil ini konsisten dengan hipotesis bahwa sosialisasi kantor akuntan mungkin menekan perkembangan moral auditor individual.

Konsep sosialisasi etis dalam profesi akuntansi secara khusus menjadi relevan. Berdasarkan studi keputusan etis, ditemukan bahwa akuntan dan auditor dengan tingkat moral reasoning lebih rendah lebih mungkin untuk melakukan perilaku yang disfungsional.

Budaya mungkin berperan mengurangi perilaku pengambilan keputusan etis akuntan. Studi etis lintas budaya telah menunjukkan bahwa akuntan di Negara-negara lain mempunyai tingkat moral reasoning berbeda dengan akuntan di Amerika serikat. Berdasarkan perbedaan ini, tidaklah mengherankan bahwa juga terdapat persepsi yang berbeda mengenai tindakan yang dipertanyakan yang digambarkan dalam vignette kepada subjek dari Negara yang berbeda.

Lubis, Arfan Ikhsan. Akuntansi Keperilakuan. Edisi 2: Salemba empat.