Diturunkannya aturan-aturan tentang pernikahan bagi manusia bertujuan untuk

Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)

PENDAHULUAN

Kembali jagad dunia maya digemparkan dengan pernikahan beda agama yang terjadi kota Semarang dua hari terakhir ini, Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia.

Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. 
Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, di mana soal iman seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup.

Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi, dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur, biang keladinya adalah lemahnya iman.

Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul 'Perkawinan Antar Agama'.

Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media.

Hal inilah yang kemudian dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan  sekalipun jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan biasa dianggap baik.

Ketika muncul lagi kasus-kasus baru pernikahan beda agama ini, banyak orang atau sebagian orang masih memperdebatkan soal pernikahan beda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut Al-Qur’an dan aturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia?

PEMBAHASAN ⦁ Landasan Berkeluarga dalam Islam

Dalam  pandangan umum keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang minimal terdiri dari suami dan istri. Pada ayat 221 al-Qur’an Surat al-Baqarah diatas, Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga.

Pemilihan pasangan, suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk rumah tangga, karena kekuatan  bangunan  rumah tangga itu sangat tergantung pada suami dan istri sebagai pilar utamanya.

Pilar ini harus kuat agar bangunan rumah tangga tetap berdiri dengan kokoh dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kekuatan itu, tidak terletak pada kecantikan dan ketampanan, karena keduanya akan pudar dimakan waktu dan juga bersifat relatif, bukan pula pada harta kekayaan, karena harta kekayaaan itu sangat mudah datang dan pergi, dan bukan pula karena kedudukan dan status sosial, karena ini juga akan berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kekuatan pilar utama itu akan ditemukan pada kekuatan iman dan ketaatan dalam menjalankan tuntunan Allah. Oleh karena itu, tuntunan pertama dan utama yang  diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mendirikan rumah tangga adalah keimanan.   Rasulullah SAW mengingatkan agar seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal yang bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya. 

Ibnu Majah meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr, : “Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang malapetaka. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta bendanya akan membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh budak hitam yang beragama itu lebih baik (Ibnu Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Azhīm,hlm. 560).

Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka.

Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama.

Sebenarnya, Allah SWT dalam firman-firman-Nya yang tercantum di Al-Qur'an telah menjelaskan hukum pernikahan seorang muslim dengan non-muslim, atau singkatnya disebut sebagai pernikahan beda agama.

Semua Ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, mengapa? Setidaknya  karena ada tiga alasan:

1. Melanggar Hukum Agama
Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ - ٢٢١

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS.Al-Baqarah:221).

Adapun  sebab  turun ayat 221 ini, menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anāq, seorang  wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah  menurunkan ayat ini. (Ali Ibnu Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th.1388H/ 1968M), hlm. 39)

Kata al-musyrikāt (الْمُشْرِكَاتُ) yang berarti perempuan-perempuan musyrik dan kata al-musyrikīn (الْمُشْرِكِيْنَ) yang berarti laki-laki musyrik, merupakan bentuk jamak dari al-musyrik (الْمُشْرِكُ) yang berarti orang yang menyekutukan Allah SWT dengan selain-Nya atau orang yang melakukan suatu kegiatan dengan tujuan utama ganda, kepada Allah dan kepada selain-Nya, misalnya  Ahlul Kitab.

Dalam  Q.S. Al-Taubah (9): 29-30 dijelaskan bahwa di antara  kelompok  Ahlul Kitab adalah  penganut  Yahudi  dan Nasrani.

Orang-orang Yahudi  mempercayai bahwa Uzair adalah anak Allah, demikian juga orang-orang Nasrani yang mempercayai Isa al-Masih adalah anak Allah juga.

Inilah yang menjadi  dasar  bagi  segolongan ulama untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  الْمُشْرِكَاتُ dan الْمُشْرِكِيْنَ dalam  ayat  ini mencakup Ahlul Kitab.

Di  antara  alasan  para ulama yang mengelompokkan Yahudi dan Nasrani  sebagai  ahlul kitab yang melakukan perbuatan syirik adalah firman Allah dalam Q.S.al-Taubah (9):31, yang berbunyi سُبْحَانَهُ عَمَّا ُيُشْرِكُوْنَ yang berarti  “Maha  Suci  Dia  (Allah) dari apa yang mereka persekutukan” dan Q.S.al-Nisa’ (4):48, yang berbunyiإِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ yang berarti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia  kehendaki”.

Menurut  pendapat ini, kalau mereka bukan termasuk  orang  musyrik  tentulah Allah akan mengampuni mereka. (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349).

Namun demikian, sebagian  besar mufassir  mempunyai  pandangan lain. Menurut  mereka yang dimaksud dengan musyrikat  dan musyrikin  adalah musyrikat Arab yang tidak mempunyai kitab, dan mereka adalah para penyembah berhala, karena inilah makna yang biasa dipakai oleh al-Qur’an untuk  pengertian musyrik.

Dengan demikian, orang Yahudi yang mengatakan Uzair anak  Allah atau orang Nasrani yang mengatakan Isa  al-Masih anak Allah dan mempercayai trinitas, yang oleh Islam dinilai telah  mempersekutukan Allah, namun al-Qur’an  tidak menyebut mereka sebagai orang musyrik, tetapi menyebut mereka sebagai ahlul kitab sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Q.S.al-Baqarah (2):105:

مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Artinya: ”Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan dari Tuhanmu”. dan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98):1,

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ.

Artinya: ”Orang-orang kafir dari golongan ahlul kitab  dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

Dalam  kitab  Tafsīr  Ibnu Katsīr tercantum hadis yang menjelaskan sebab  turunnya ayat 221 tersebut  (Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm,(Kairo: Dār al-Hadīs, th.1426H/2005M), jilid I, hlm.560).

Ayat tersebut turun  berkenaan  dengan  Abdullah Bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba  sahaya wanita yang hitam.

Pada suatu waktu Abdullah bin Rawahah marah  kepadanya, sampai  menamparnya.  Kemudian  ia  menyesali perbuatannya itu, lalu menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan hal itu.

Kemudian  terjadilah  dialog antara Rasulullah SAW dan Abdullah Bin Rawahah sebagai berikut:

قال النبي صلى الله عليه و سلم له : ما هي يا عبد الله قال : تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلآ الله وأنك رسول الله فقال : يا عبد الله هذه مؤمنة فقال عبد الله : فوالذي بعثك بالحق لأعتقنها ولأتزوجنها ففعل فطعن عليه ناس من المسلمين

Artinya: “Rasulullah berkata kepada Abdullah,“Perempuan seperti apa dia?” Abdullah menjawab,“Ia berpuasa, shalat, wudhunya bagus, Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain  Allah  dan engkau utusan Allah.” Nabi bersabda,“Hai Abdullah, ini adalah perempuan mukmin.” Abdullah menjawab,“Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, saya akan memerdekakannya dan akan mengawininya.” Kemudian  iapun  menikahinya.  Pada  waktu itu sebagian orang-orang  muslim mencela tindakannya itu.

Hadis di atas menegaskan bahwa mengawini wanita budak, yang status sosialnya  lebih  rendah  dan tidak cantik, tetapi beriman lebih baik dari mengawini wanita musyrik, walaupun cantik, dari keturunan terhormat dan menarik hati.

Di sini  ditegaskan  bahwa  dalam  menentukan  pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman. Karena dengan iman, seorang akan mencapai kesempurnaan agama dan dunia sekaligus, sedangkan dengan kecantikan, status sosial dan harta kekayaan, orang hanya akan memperoleh kesempurnaan dunia.

Kebahagiaan rumah tangga tidak bisa dicapai hanya dengan kesempurnaan dunia semata, karena itu, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh  al-Bukhari  dan  Muslim  dari Abu Hurairah Ra dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dahulukanlah karena agamanya, anda akan bahagia”. 

Selain QS.Al-Baqarah:221 di atas, salah satu ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah QS. Al-Maidah ayat 5:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ - ٥

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5).

Ayat di atas menyiratkan bahwa Allah SWT menghalalkan atau mengizinkan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim yang termasuk dalam golongan Kitabiyyah (ahli kitab) asli. Perempuan Kitabiyyah ialah perempuan Yahudi dan Nasrani.

Terhadap ayat tersebut, al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’I, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab.

Sementara menurut tiga madzhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh (al-Nawawi, tafsir Munir Juz I : 192).

Antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan)  yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir  (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, hlm. 349).

Pendapat  yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab yang berbunyi:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ

Artinya: “(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga  kehormatan  di antara orang-orang yang diberi  al-Kitab  sebelum kamu, bila kamu  telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.

Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT juga menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ - ١٠

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Kutipan ayat di atas berisi sebuah kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW yaitu perempuan-perempuan kafir yang lari dari suaminya, kemudian memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian perempuan-perempuan yang telah memeluk Islam tersebut menjadi haram untuk kembali ke suami-suaminya yang kafir.

Demikian pula suami-suaminya yang kafir tersebut menjadi haram bagi perempuan-perempuan muslim tersebut. Ayat di atas sering dijadikan landasan untuk menerangkan hukum Islam yang melarang seorang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim.

Muhammadiyah telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslim atau ahlul kitab di atas dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

- Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. - Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani). - Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.

- Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.

Sementara itu MUI mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan beda agama ini nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan: 

- Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
- Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

2. Melanggar Undang-Undang  Perkawinan Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-Undang Pekawinan. Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. 

Undang-Undang Pekawinan hanya mengatur tentang perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 yang ditandatangani Presiden pada tanggal 10 Juni 1991 dan tanggal 22 Juli 1991 diperkuat oleh KMA No.154 Tahun 199l tentang pelaksanan Inpres tersebut.

Bahkan KMA tersebut lebih tegas lagi dengan mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama ke dalam bab larangan perkawinan yang termaktub dalam Pasal 40 (c), Pasal 44, Bab X Pencegahan Perkawinan Pasal 61 KHI. Pasal 40 (c) berbunyi:

“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi:”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”, dan Pasal 61 KHI : " Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien".

Jadi kalau Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomani bagi umat Islam Indonesia.

Walhasil, Perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk halangan perkawinan dan wajib dicegah pelaksanaannya.

Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.

Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia. 
Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh perseorangan maupun lembaga apapun.

Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri masih berbeda agama.  Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.   

Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri.

Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI).

Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri.

Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama.

Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing.

Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.

Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan.  Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama. 

Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan.

3. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah sakinah. 

Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.

Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan. 

Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: Fazfar bidzatiddin.

Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. 
Rasulullah SAW dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama?.

Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu. Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi'nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.  

الابذكرالله تطمئن القلوب 

Ketahuilah hanya dengan zikir (dekat) kepada Allah hati bisa tenang. QS.Al Ra'ad : 28)

Pertanyaannya, “Apakah ada orang yang dapat mengekspresikan ketaatannya kepada Allah secara totalitas sementara di sisinya ada orang yang 'dicintainya' menyembah tuhan yang lain ???”.

Setiap anggota keluarganya akan sangat sulit mencapai ketaatan hakiki dalam agamanya masing-masing. Karena setiap kali akan menjalankan ajaran agama, ia akan mempertimbangkan perasaan anggota keluarga yang lain.

Yang bergama Islam, misalnya akan sulit memelihara sholat 5 waktu, puasa, apalagi amalan-amalan sunah yang menunjukkan ketaatan secara totalitas, begitu juga yang bergama lain pasti akan punya perasaan yang sama. 
Memang selama ini nampak juga sikap toleransi dari pasangan yang berbeda agama, tapi itu hanya pada tataran kulit, tegasnya hanya pada simbol-simbol agama – seperti pada perayaan natal atau lebaran saja- bukan pada substansi ajaran agama.

b. Akibat Pernikahan Beda Agama
Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka.

Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama.

Di samping itu, ada  pula yang menyatakan diri memeluk agama Islam karena akan menikah. 
Namun demikian, sekelompok orang yang  bergabung dalam Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI punya pendapat lain.

Mereka membolehkan perkawinan antara orang Islam dan orang non-Islam. Dalam pengantar buku Counter Legal Draft KHI tahun 2004, mereka menjelaskan bahwa perkawinan seperti itu dibolehkan dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip pluralisme, nasionalisme, HAM, demokrasi dan kemashlahatan (Lebih lanjut tentang prinsip-prinsip yang dikemukakan ini dapat dilihat pada:

Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: t.p, 2004), hlm.25-29). Kalau diamati, pembolehan menikah antaragama ini didasari oleh pemikiran mereka bahwa pelarangannya hanya bersifat ijtihadi, tidak ditetapkan dengan nash yang qath’i, kecuali larangan perkawinan dengan  orang musyrik, yang mereka pahami sebagai musyrik Arab saja.

Menyangkut hal ini, Zainun Kamal, yang mempunyai pandangan yang sama dengan  Tim Pengarusutamaan Gender ini, menyatakan bahwa tidak terdapat teks ayat al-Qur’an yang secara tegas dan pasti yang mengharamkan perkawinan antara umat beragama, baik laki-laki ataupun perempuan, selain dengan kaum musyrik Arab (Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 164).

Sejalan  dengan itu, Siti Musdah Mulia, salah sorang penggagas Counter Legal Draft menjelaskan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan perkawinan lintas agama, hanya bersifat ijtihadi, tidak ditemukan teks al-Qur’an dan Hadis yang secara qath’i  melarang dan membolehkannya (Siti Musdah Mulia, Menafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, dalam ibid., hal. 129-130).

Apabila diperhatikan ayat yang sedang dibicarakan ini dan pendapat para ulama yang telah dipaparkan diatas, maka pendapat ini akan sulit diterima. Terlebih lagi, ketika mereka membolehkan perempuan muslimah menikah  dengan non muslim.

Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang berkepanjangan di belakang hari,seperti:

1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas Nasabnya
Karena pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara biologis.

Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak.

Apabila dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah. Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.

2. Terputusnya Hak Waris
Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris.

Akhasil, ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.

3. Membuat Ketidakpastian dalam memilih agama
Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka, sebab :

a. Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.

b. Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.

c. Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak beragama. Renungkanlah........!!!

PENUTUP
Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia. Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat.

Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan. Hal ini setidaknya merupakan akibat dari dua hal: pertama, lemahnya pemahaman agama, kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga budaya-budaya yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.

Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221, QS. Al-Maidah ayat 5, dan al-Mumtahanah ayat 10.

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa para wali nikah mempunyai peranan yang cukup besar dalam kelangsungan perkawinan puteri-puterinya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya, sehingga mereka diperintahkan untuk tidak mengawinkan wanita-wanita Muslimah yang di bawah perwaliannya dengan orang musyrik.

Terkait dengan pandangan mayoritas ulama yang tidak memasukkan ahlul kitab dalam terminologi musyrik, itu bukan berarti bahwa wanita beriman boleh kawin dengan pria ahlul kitab.

Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman adalah perbedaan akidah. Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka. 
Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan yang harmonis antara suami dan isteri, ataupun antara keluarga yang berbeda keyakinan ini, jika nilai-nilai yang mereka anut, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan.

Pasangan yang musyrik, tentu akan berupaya setiap waktu memberikan pengaruh akidahnya kepada pasangannya yang Muslim, baik lewat ucapan maupun perbuatan.

Bila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil pengaruh kesyirikan itu akan masuk sedikit demi sedikit tanpa disadari, dan akhirnya tanpa disadari mereka sudah tidak lagi berbeda dari pasangannya yang musyrik itu. Selain itu, faktor lain dari larangan perkawinan dengan orang musyrik itu adalah anak.

Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama.  Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". 

Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 (c) dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum.

Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat. 

Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama.

Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. 
Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Referensi: ⦁ Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, Jakarta, 2004. ⦁ Ahmad Rofiq, Drs, MA. "Hukum Islam Di Indonesia". Jakarta, PT RajaGrafindo, Cet.2, 1992. ⦁ Andi Sjamsu, Alam. Usia Ideal untuk Kawin, sebuah Ikhtirar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta : Kencana, 2006) ⦁ Abdurrahman, H, SH, MH. "Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia". Jakarta, Akademika Pressindo, 1992. ⦁ https://beritadiy.pikiran-rakyat.com/citizen/pr-702101617/hukum-menikah-beda-agama-menurut-al-quran-lengkap-dengan-penjelasan-muhammadiyah ⦁ https://www.idntimes.com/news/indonesia/felia-putri-dewinta/hukum-menikah-beda-agama-begini-penjelasannya-dalam-al-quran ⦁ Republika Online Mobile-https://www.republika.co.id/berita/qbnsqs366/larangan-menikahi-orang-musyrik-surat-albaqarah-ayat 22,1-4. ⦁ Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004).  ⦁ Al-Nawawy. "Tafsir al-Manar Li Ma’alim al-Tanzil", Juz I, Semarang, Usaha Keluarga, tt, hal 192. ⦁ "Undang-Undang Perkainan No.1 Tahun 1974". Surabaya, PT Pustaka Tinta Mas, 1997.

⦁ Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349).

*) Penulis adalah Penghulu Ahli Muda Pada KUA Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten