Di hadapan Tuhan manusia sebagai makhluk yang

Basnang Said.

Oleh: Basnang Said*

Dalam kitab Hikam karya monumental al Maghfurullah Ibnu Athaillah Assakandari disebutkan “tahaqqaq biaushafika yamudduka bi aushafihi, tahaqqaq bizullika yamudduka biizzihi, tahaqqaq bi’ajzika yamudduka biqudratihi, tahaqqaq bidha’fika yamudduka bihaulihi waquwwatihi”.

Artinya: tampakkanlah sifat-sifat kamu, Allah Swt pasti akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya, tampakkanlah rasa hinamu, maka Dia pasti akan membantumu dengan keagungan-Nya, tampakkan kelemahanmu, maka Ia akan membantumu dengan kekuasaan-Nya. Tampakkan ketidakberdayaanmu, maka Sang Khalik pasti akan membantumu dengan kekuatan-Nya.

Sering kali orang luar keheranan saat mengunjungi pesantren. Pesantren dengan segala kesederhanannya--apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya yang modalnya berasal dari berbagai sumber--, tetapi mampu menggratiskan pendidikan anak-anak.

Bandingkan lagi dengan lembaga pendidikan lainnya yang didirikan tokoh ternama dengan modal tak terbatas, uang pembayaran siswanya jauh lebih mahal daripada uang kuliah tunggal (UKT) paling tinggi di perguruan tinggi ternama misalnya, tetapi orientasi keuntungan menjadi cita-cita pendirian lembaganya. Pendidikan jenis ini cenderung mengedepankan bisnis dan jauh dari komitmen untuk kepentingan rakyat kecil walau mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuannya.

Di pesantren, sejak ratusan tahun lalu, para kiai, ulama, dan guru-guru kita, mendirikannya hanya bermodal semangat dan orientasi syiar Islam. Mereka hadir di tengah-tengah masyarakat dengan modal keyakinan bahwa siapa yang memajukan agama Allah--dalam hal ini pendidikan, bahkan memberikan kemudahan--, maka Allah pasti akan lebih memberikan kemudahan dalam hidupnya. Bahkan, para kiai berjuang tanpa pernah sama sekali berpikir mendapatkan balasan dari para santri dan alumninya. Tujuan utama mereka membimbing dan mengawal agar masyarakat bisa memahami agama dan menjalankan kewajiban agamanya, serta kelak bisa bersama-sama membela Tanah Air dari penjajahan.

Kenapa ini bisa terjadi? Sedikit banyaknya karena ada keyakinian yang sangat kuat dari kalangan para pengasuh pesantren bahwa menunjukkan niat tulus, bahkan kehinaan dan kekurangan yang dimiliki, maka Allah pasti membantu dengan segala keagungan-Nya. Keyakinan inilah yang menjadi modal kuat di pesantren.

Jika Anda ingin mendapat kemuliaan di hadapan manusia, maka perlihatkanlah sifat-sifat asli Anda di hadapan Allah Swt. Anda adalah hamba, sedangkan Allah Swt adalah Khalik yang Maha Kuasa, yang mampu melakukan apa pun yang diinginkannya, bahkan memberikan hak setiap sifat yang Anda miliki kepada makhluk-Nya.

Allah memiliki sifat rahman dan sifat rahim, maka tunjukkan kasih sayangmu kepada makhluk-makhluk-Nya melebihi cintamu kepada dirimu dan anak istrimu. Allah dengan sifat qawii dan gani-Nya, maka manfaatkan seluruh kekuatanmu dan kekayaanmu untuk membela makhluk-Nya yang tertindas, keluarkan makhluk-Nya dari kemiskinan dan kebodohan. Allah dengan sifat halim-Nya, maka sapalah makhluk-Nya menuju kepada kebaikan dengan kelembutan yang dianugerahkan Allah kepadamu.

Perlihatkanlah rasa hina Anda kepada Allah Swt, baik dalam berdoa, salat, dan lain sebagainya, sehingga Allah Swt akan membantu Anda dengan keagungan-Nya. Jangan pernah merasa hebat di hadapann-Nya. Anda adalah makhluk hina yang berasal dari tanah dan tidak ada yang layak Anda banggakan.

Perlihatkanlah kelemahan Anda kepada Allah Swt, maka Dia akan membantu Anda dengan kekuasaaan-Nya. Janganlah Anda merasa kuat di hadapan-Nya. Tunjukkanlah kekuranganmu di depan-Nya, Allah pasti akan menampakkan kelebihanmu di hadapan manusia. Yakinlah hanya dengan bersama Allah, kita bisa terhindar dari malapetaka. Perlihatkanlah ketidakberdayaanmu kepada Allah Swt, maka Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya.

Di tengah kondisi masyarakat dunia yang dilanda Covid-19, termasuk negeri kita, hanya dengan dekat Allah kita bisa menjalani hidup dengan tenang. Orientasi mendekatkan diri kepada Allah tentu tidak boleh kita berpangku tangan menerima takdirnya, tetapi tetap berikhtiar dengan menjaga kesehatan, menggunakan masker, sering mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas, akan membuat kita tetap sehat. Tubuh yang sehat kita maksimalkan untuk beribadah mahdhah dan ghairu mahdhah kepada-Nya.

Kita tidak mampu menghadapi semua itu. Kita hamba lemah dan tidak berdaya. Hanya Dialah yang mampu menolong kita dengan kasih sayang-Nya. Bayangkan saat Allah murka betapa gampangnya Ia melakukan apa yang Ia inginkan. Namun, kasih dan cinta-Nya kepada makhluk-Nya yang membuat kita masih bisa menghirup udara segar. Jangan tampakkan kesombongan dan keangkuhanmu di depan-Nya, tetapi tundukkan wajah harapanmu kepada-Nya. Allah Maha Segala-galanya.
Allahu a’lam bimuradihi.

*Wakil Ketua LP Maarif NU PBNU

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini


“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh”

(QS al-Ahzab [33]: 72)

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dengan segala potensi yang dimiliki manusia mampu menciptakan (baca: menghasilkan) berbagai macam teknologi modern. Dengan segala kemampuannya manusia mampu menembus ruang angkasa yang jauh di sana atas kekuasaan Allah Yang Maha Mulia sebagaimana dalam firman-Nya, “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (teknologi)”. (QS al-Rahmân [55]: 33).

Berkat karunia Tuhan manusia bisa memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat berguna untuk kemaslahatannya di dunia. Dengan predikatahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang ada padanya manusia berbeda dengan semua makhluk lain. Satu aspek penting yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah manusia dikaruniai akal sedangkan tidak demikian dengan makhluk lainnya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika manusia harus memaksimalkan potensi otaknya (akal) untuk mengarungi lautan kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan demikian kesempurnaan manusia sebagai hamba Tuhan terealisasi dan termanifestasi melalui berbagai macam prestise dan pencapaian yang diperoleh.

Sebagai khalifah di muka bumi (khalifatun fi al-ardh) ini tentu manusia memiliki tanggung jawab yang besar. Manusia-lah yang mengatur kehidupannya di dunia ini, mereka yang berusaha melestarikan alam, tetapi tidak sedikit juga yang malah melakukan kerusakan (fasad). Semua itu akan dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan kelak pada waktu perhitungan amal. Sedangkan makhluk selain manusia bebas dari tanggung jawab karena mereka hidup di dunia tanpa karunia akal dan apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kehendak Allah (dalam kendali-Nya). Andaikata tidak ada hidup setelah mati, tidak ada tanggung jawab dibalik tindakan yang kita lakukan maka pasti kehidupan di dunia ini penuh dengan huru-hara, hampa dari kebenaran dan kebaikan. Namun karena pada hakikatnya manusia itu sadar akan tanggung jawab yang akan diperoleh di akhirat kelak maka dalam setiap perbuatannya, manusia memikirkan baik buruknya. Jika dinilai baik maka ia lakukan dan balasan kebaikan pula yang akan diperoleh dan sebaliknya jika dirasa buruk dan menimbulkan mudharat (bahaya) maka akan berusaha dijauhi dan ditinggalkan.

Manusia Makhluk yang Paling Ampuh

Ketika Allah menanyakan kepada langit, bumi dan pegunungan apakah mereka sanggup mengemban amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tak satupun dari mereka yang meng-iyakan bahkan mereka khawatir tidak sanggup memikul amanah itu. Namun akhirnya manusia yang bersedia memikul amanah itu dan nantinya akan dipertanggungjawabkan di yaumul qiyamah (hari pembalasan). Hal ini terjadi sebelum penciptaan manusia, ketika Adam a.s ditanya, “Wahai Adam, apakah engkau sanggup memikul amanah itu (hidup dengan penuh ketaatan di jalan Allah) dan sanggup menjaganya dengan penjagaan yang sempurna (himayah tammah)?” tanya Allah Subhanuahu wa ta’ala. Lalu apa jawab Adam, “Maka tidak ada pilihan lain bagiku kecuali sanggup menerima amanah itu.” Jawab Adam. Kemudian Allah pun berkata, “Jika engkau berbuat baik, manaati perintahku dan memelihara amanat itu maka disisiku adalah kemulian, keutamaan, balasan yang baik (surga/jannah) tetapi jika engkau berbuat maksiat, tidak engkau jaga amanat itu, dan justru engkau menodainya maka sesungguhnya Aku akan mengadzab dan menghukum kalian (manusia) dengan aku masukkan ke neraka.” Lalu Adam a.s menjawab, “Aku ridha dengan putusan itu.” (terjemahan bebas dari tafsir Ibnu Katsir karangan Abu al-Fida’ ‘Ismail bin Katsir). Dengan demikian manusia-lah yang akhirnya mengemban amanah yang berat itu dari Allah SWT.

Disinilah sebenarnya letak keampuhan (kehebatan) manusia, manakala semua makhluk Tuhan tidak sanggup menerima amanat dari Tuhan karena khawatir tidak sanggup menjalankannya justru manusia menerima itu dengan segala konsekuensinya. Ketika semua makhluk Tuhan menolak untuk dijadikan khalifah di muka bumi, manusia datang dengan siap dan berkata bahwa ia sanggup mengemban amanah itu. Padahal kita tahu bahwa tabiat manusia tidak selamanya mengarah kepada kebaikan, pikiran mereka tidak selamanya tertuju kepada hal-hal positif, tindakan meraka tak selalu baik dan sesuai dengan aturan agama. Terkadang ia sadar akan amanat dan tanggung jawab yang ia emban dengan selalu berbuat kebajikan namun di sisi lain ia melalaikan itu dengan berbuat maksiat yang justru menjauhkan dirinya dari rahmat Tuhan.

Hal ini merupakan sesuatau yang wajar sebab manusia selain memiliki insting ilahiyah juga mewarisi sifat-sifat bahimiyah (hewan) dansyaithaniyah (setan). Sesuai dengan konsep iman yang dikemukakan oleh kaum salafiyah (salafiyyun) bahwa al-imanu yazidu wa yanqusu, yazidu bil al-thâ’ah wa yanqusu bi al-ma’shiyah (iman itu akan bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan). Maka akan wajar manakala manusia itu selalu berbuat baik dan ketaatan derajatnya akan lebih tinggi dari malaikat sekalipun ketika berbuat kemaksiatan bisa saja lebih hina dan nista dari hewan bahkan setan.

Di akhir surat al-Ahzab [33] ayat 72 di atas Allah SWT berfirman bahwa sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan bodoh (dhaluman jahulan). Hal ini karena kesedian manusia menerima amanah Tuhan yang sesungguhnya begitu berat untuk dilaksanakan sebab kita tahu akibatnya akan fatal andai saja manusia tidak bisa menjalankannya yaitu akan disiksa di neraka. Padahal seluruh makhluk yang ada di dunia menolak penawaran itu, manusia dengan lugunya ridha dengan putusan itu. Hingga sampai saat ini pun manusia masih tetap eksis di dunia dengan beragam tindakan dan perilaku mereka. Dan perlu direnungkan kembali bahwa nantinya perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat dan tak seorang manusiapun luput dari hisab (balasan amal manusia selama di dunia) itu.

Semua individu akan merasakan balasan amalnya di dunia, baik yang ia kerjakan kebaikan pula yang diterima, buruk yang ia kerjakan keburukan juga yang akan didapatkan. Begitulah kira-kira hal ihwal balasan amal manusia di akhirat nanti. Allah Maha Adil dalam segala sesuatunya dan tidak akan pernah mendzalimi hambanya, prinsip ini yang perlu kita pegang dan dijadikan pedoman. Sehingga predikat dzalim dan bodoh itu sedikit demi sedikit akan tereduksi dan yang tertinggal adalah adil pintar, bijak dan arif dalam segala hal dan tindakan.

Dalam kondisi tertentu Allah SWT memuji manusia (Muhammad SAW) karena keluhuran budi pekerti yang dimiliki namun di sisi lain mencela manusia karena kelalaian dan kebodohannya. Artinya memang pujian dan celaan itu ibarat dua sisi mata uang yang tiada pernah dapat dipisahkan, dimana kita temukan satu sisi mata uang disitu pula kita dapatkan sisi yang lain. Hal ini sesuai dengan sunnatullah (ketetapan Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, misalnya dalam konsep jodoh yang disana benar-benar terlihat sisi kebesaran Tuhan. Terkadang orang yang secara fisik jelek menikah dengan orang yang tampan atau cantik, tidak bisa kita kritisi karena memang itulah jodoh. Kalau kita paksakan orang tampan mesti menikah dengan wanita cantik, padahal jodohnya adalah wanita yang tidak cantik, sampai kapanpun tidak akan bisa karena sekali lagi itu bukan pasangannya (jodohnya), dan ini akan menyalahi kodrat Allah. Mungkin justru dengan wanita yang tidak cantik itu membuat hati sang pria tenang dan justru mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Ini lagi-lagi merupakan salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah yang menciptakan sesuatu selalu berpasangan (azwajan) sekaligus sebagai bukti bahwa manusia itu adalah makhluk yang diistimewakan. Hal ini tentu akan memotivasi kita untuk tidak hanya sekadar merenung (kontemplasi) tetapi juga berintrospeksi diri (muhasabah)terhadap semua amal yang telah kita perbuat. Sudahkah kita menunaikan amanah yang diberikan Allah kepada kita atau justru selama ini kita lalai akan amanah itu.

Epilog

Manusia sebagai kita fahami dari uraian di atas adalah makhluk Tuhan yang paling ampuh, sebaik-baik ciptaan Tuhan dengan segala kelebihan dan keutaman yang diberikan Allah. Satu-satunya makhluk yang sanggup menerima amanah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu marilah kita gunakan potensi yang diberikan Allah ini untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Jangan sampai nantinya kita menyesal karena telah berbuat kemaksiatan di dunia dan lalai akan amanah itu. Mulai saat ini kita renungkan baik-baik bahwa kita hidup di dunia ini tiada lain kecuali hanyalah untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan amanah yang kita emban. Semua yang kita lakukan pasti ada akibatnya dan akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dan mari kita jadikan amanah yang telah diberikan Tuhan kepada kita sebagai motivasi untuk terus mengabdi dan mengabdi demi sebuah kebahagian di dunia dan di akhirat serta memperoleh ridha Allah Yang Maha Agung. Semoga kita termasuk golongan orang yang selalu sadar akan amanah yang kita bawa dan dapat mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Allahumma, hassin a’malana wa balligh ha ila imtiyaziha, amin ya Allah, ya mujiba du’ais sailin. Wallahu a’lamu bi al-shawâb[]

Samsul Zakaria, Mahasiswa Prodi Hukum Islam FIAI dan Santri PonPes UII angkatan 2009 loves-samsharing.blogspot.com,

Artikel ini dipublikasikan dalam Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 23 April 2010. Artikel dapat diakses di link ini.

Unduh Artikel