Dalam sejarahnya, tari trunajaya sendiri tidak terlepas dari tari kakebyaran yang berarti erat dengan kebyar. di sebut seperti itu karena tarian ini bukan hanya diiringi oleh gamelan ………, tapi juga karena gerakannya sangat dinamis dan bernafaskan kebyar.

Ida Ayu Wimba Ruspawati

PENERBIT KBM INDONESIA adalah penerbit dengan misi memudahkan proses penerbitan buku-buku penulis di tanah air Indonesia. Serta menjadi media sharing proses penerbitan buku.

Copyright@2021 By Ida Ayu Wimba Ruspawati All right reserved Penulis: Ida Ayu Wimba Ruspawati Perancang Sampul: Danillstr Tata Letak: Ainur Rochmah Editor Naskah: Ida Bagus Gede Surya Peradantha Diterbitkan oleh: PENERBIT KBM INDONESIA Banguntapan, Bantul-Jogjakarta (Kantor I) Balen, Bojonegoro-Jawa Timur, Indonesia (Kantor II) 081357517526 (Tlpn/WA) Website: www.penerbitbukumurah.com Email: Youtube: Penerbit Sastrabook Instagram: @penerbit.sastrabook Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Hak cipta dilindungi Undang-undang Cetakan Pertama, Juli 2021 15 x 23 cm, xvi + 123 hlm ISBN: 978-623-6297-52-0 ------- ISI DILUAR TANGGUNGJAWAB PENERBIT -------

Puji syukur dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang WidhiWasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-nya, buku karya seni dengan judul Rekonstruksi Tari Legong Tombol dalam Karya Seni ini dapat terwujud sebelum batas waktu yang ditetapkan. Dalam buku karya seni ini, dijelaskan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pewujudan karya sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh ujian Penciptaan Seni, S-3 Program Doktor Institut Seni Indonesia Surakarta. Buku karya seni ini tidak akan terwujud tanpa adanya restu dari Tuhan Yang Maha Esa dan juga dukungan dari berbagai pihak, baik moral maupun material. Untuk itu, hanya sejumput ucapan terima kasih dari hati yang tulus yang dapat dipersembahkan kepada : 1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana) kepada penulis selama menempuh pendidikan program doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta selama periode bulan September 2013 hingga bulan Desember 2015. 2. Rektor ISI Surakarta, Prof. Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum, S.Kar., M.Hum. atas perkenan dan keramahannya memberikan kesempatan kuliah dan sekaligus sebagai penguji karya akhir penulis. 3. Direktur Program Pascasarjana, Dr. Aton Rustandi Mulyana, M.Sn., Kaprodi Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni, Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum, yang telah memberikan peluang dan pengarahan untuk mendapat ilmu semasa kuliah di ISI Surakarta. 4. Terima kasih kepada Tim Promotor yang terdiri dari Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si., selaku Promotor, Dr. dr.ayu Bulantrisna Djelantik, sebagai co-promotor 1, dan Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A. sebagai co-promotor 2 atas dorongan, v

motivasi, dan bimbingannya yang penuh nuansa keakraban, sehingga penulis merasa tidak segan-segan mengungkapkan isi hati dan permasalahan yang dialami selama proses perkuliahan hingga proses penciptaan karya berakhir. 5. Kepada Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S. yang pada saat penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta masih menjabat sebagai Rektor, penulis menghaturkan terima kasih atas kesempatan kuliah yang diberikan. 6. Kepada Prof. Dr. Nanik Sri Prihatini, S.Kar., M.Si. yang pada saat penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta masih menjabat sebagai Kaprodi Pengkajian dan Penciptaan Seni, penulis menghaturkan ucapan terima kasih atas segala arahannya yang asangat membantu penulis beradaptasi dengan lingkungan akademis perkuliahan yang baru. 7. Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar., M.Hum. beserta jajarannya, atas ijin belajar di ISI Surakarta, serta atas dukungan moral, sarana, dan prasarana yang sangat berharga. 8. Kepada para dosen pengampu mata kuliah, yakni Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar., Prof. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si., Prof. Dr. Bakdi Sumanto, S.U. (alm.), Prof. Dr. Nanik Sri Prihatini, S.Kar., Prof. Dr. Santosa, S.Kar., M.A., M.Mus., Prof. Dr. Rustopo, S.Kar., M.S., Prof. Sardono W. Kusumo, Dr. Sugeng Nugroho, S.Kar., M.Sn., Dr. Bambang Sunarto, S.Kar., M.Sn., Prof. Dr. Edi Sedyawati, serta Dr. dr. Med. Ayu Bulan Trisna Djelantikyang telah memberi ilmu pengetahuan serta bimbingan dalam menempuh seluruh mata kuliah dan ujian sehingga semua persyaratan dalam menyelesaikan studi dapat dipenuhi. 9. Staf Administrasi Pascasarjana Pengkajian dan Penciptaan Seni ISI Surakarta yang telah begitu bersahabat melayani dengan baik, hal-hal yang terkait dengan administrasi perkuliaan. 10. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada tim penguji, yaitu Prof. Sardono W. Kusumo, Prof. Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum, S.Kar., M.Hum, Prof. Dr. Nanik Sri Prihatini, vi

S.Kar., M.Si., Dr. Aton Rustandi Mulyana, M.Sn. yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan disertasi karya seni ini. Semoga ilmu yang diberikan menjadi amal yang baik dan kepadanya diberikan jalan yang terbaik oleh Tuhan Yang Maha Esa. 11. Kepada Kepala Sekolah SMK Negeri 3 Sukawati, I Gusti Ngurah Serama Semadi, SSP., M.Si., yang telah sepenuh hati membantu kelancaran ujian penulis dengan mengijinkan para murid serta guru tabuh sebagai tim pendukung karya. 12. Kepada teman-teman seangkatan yang selalu baik, terbuka, dan berkeluh kesah bersama, serta saling mendukung agar bisa lulus bersama, seperti Bang Yusril, Sulaiman Juned, Dendy Pratama, Suwito Kasandi, Johar Linda, Kadek Indra Wijaya, Decki Awilukito, Agung Rahma Putra, Teguh Jaka Sudarmana, Tito Satyobudi, Uri Christian Sakti Labeti. Tidak lupa doa penulis kepada (alm.) Nedi Winusa yang telah mendahului kita bersama, semoga engkau tenang di alam sana kawanku. 13. Keluarga tercinta yang selalu mendukung penulis untuk kuliah yang berat ini. Pertama-tama untuk suami tercinta dr. Ida Bagus Wiryanatha, M.Si. yang selalu setia menemani penulis dalam kondisi apapun, baik dalam perkuliahan maupun berproses. Anak-anakku tercinta, Gusde, Dayu Sasra, Dayu Hutri, kalian adalah anak-anak yang baik. Kedewasaan kalian sangat ibu rasakan dalam menempuh kuliah. Adinda Ida Ayu Mas dan suami, Ida Bagus Swastika yang mampu menjadi penyangga keluarga ketika penulis sedang berkonsentrasi kuliah. 14. Para pendukung karya yang penulis banggakan, para seniman senior di Desa Banyuatis seperti Meme Gumbring, Meme Pintu, keluarga Pak Suweca, Pak Terip, keluarga besar Manikan, I Gede Yudi, Popo Danes, Melati Danes, serta masyarakat Desa Banyuatis atas fasilitas serta dukungan sarana prasarana selama di Banyuatis, I Ketut Budiyana selaku pembina penabuh Semara Pagulingan dari SMKN 3 Sukawati, Gianyar yang membantu kelancaran ujian, Sekaa Gong Desa Banyuatis, Keluarga besar Pak Englan atas tempat pelaksanaan ujiannya, Sanggar Santi Budaya koordinasi I Gusti Bagus Eka Prasetya dan istri atas komitmen serta dukungan tenaga dan pemikirannya, Anak- vii

anak penari Tari Legong di bawah koordinasi I Ketut Mulyadi (Ucik) atas dukungan tenaga dan kreativitasnya. 15. Para donatur karya seperti Griya Santrian Hotel Grup, Aji Ida Bagus Ketut Puja Erawan, Bapak I Wayan Subawa, dan semua pihak yang telah membantu secara finansial. 16. Para asisten yang penulis banggakan seperti I Wayan Dalem, Mega, Kadek Diah, Paramitha, Rika, dan Ade Cahyani, Era, Eni Darmayani, Damayanti dan Putri atas semangat dan komitmennya. Semoga kelak kalian menjadi pribadi yang unggul di masyarakat. 17. Terima kasih secara khusus diucapkan kepada Pragina Production selaku kru yang bertugas di bidang tata cahaya, perekaman, foto dan audio yang telah bekerja maksimal dalam mendukung karya ini, saudara Arif yang berperan besar dalam penerjemahan petikan buku Rikka and Rindji : Children of Bali yang digunakan dalam tulisan ini serta bantuannya dalam pembuatan tayangan autobiografi I Wayan Rindi. 18. Mbah Putri selaku pemilik kos di Jl. Halilintar, RT. 3/RW. 11, Jebres, Surakarta yang sangat familiar bagaikan ibu kandung sendiri, para kolega dosen di ISI Denpasar serta berbagai pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu atas segala dukungan moral, fasilitas, tenaga dan pikiran sehingga karya dan disertasi ini dapat terwujud. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna di dunia ini. Penulis pun menyadari bahwa selama menimba ilmu di ISI Surakarta, ada pemikiran, perkataan, dan tindakan yang kurang berkenan terhadap semua pihak. Untuk itu, agar tiada penghambat jalannya tali silaturahmi kita, ijinkanlah penulis mengajukan permohonan maaf yang setulusnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menunjukkan yang terbaik bagi kita semua viii

OM SWASTYASTU. Dengan mengucapkan Asung Kertha Wara Nugraha Ida Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik upaya penerbitan dan publikasi buku yang berjudul REKONSTRUKSI TARI LEGONG TOMBOL karya dari Ibu Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati, SST., M.Sn yang juga merupakan pengembangan dari Disertasi Karya Seni berjudul Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng: Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. Tujuan dari penerbitan buku ini sebagai bentuk untuk memberikan informasi statistik yang memuat data pendapatan regional tingkat kabupaten serta perkembangan perekonomian di Kabupaten Buleleng, yang selanjutnya sebagai rujukan Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kiprah, berinovasi dan berinvestasi agar terwujud Kabupaten Buleleng yang maju, demokratis dan berdaya saing. Pemerintah Daerah mengharapkan dukungan semua pihak bahwa buku Rekonstruksi Tari Legong Tombol juga merupakan hasil dari penelitian yang dituangkan dalam bentuk karya seni ix

pertunjukan ini, dipandang perlu untuk dibuatkan buku sebagai pengingat bahwa keberadaan Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis hampir diambang kepunahan. Untuk itulah dengan berhasilnya Tari Legong Tombol ini direkonstruksi dan diregenerasi, keberlangsungan hidup tarian ini di masa kini dan mendatang sangat perlu dilengkapi dengan catatan tertulis berupa buku. Tujuan lainnya adalah pentingnya usaha pelestarian bagi seni Tari Legong Tombol, sama seperti seni seni tradisional lainnya yang keberadaannya hampir terlupakan. Semoga buku ini juga bermanfaat untuk semua kalangan dan dapat menjadi pedoman dalam pengembangan karya-karya tari tradisi maupun kreasi baru di Kabupaten Buleleng kedepannya. Terima kasih. Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, ST x

Dengan memanjatkan Puji syukur dan diiringi doa pujastuti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sanghyang Widhi Wasa karena atas berkat dan bimbingannya Karya Ilmiah Bidang Seni dan Budaya untuk MEREKONSTRUKSI Tari Legong Tombol Dauh Enjung dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah tentukan. Patut disyukuri Seni Tari Legong Tombol yang berkembang di Dauh Enjung utamanya di Desa Banyuatis Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng yang keberadaannya hampir punah, perlu dibukukan dan diberikan catatan - catatan dan pakem - pakem sebagai petunjuk bagi penekun Seni dan Tari sehingga Tari Legong Tombol ini dapat dilestarikan. Kabupaten Buleleng sebagai Gudangnya Seni dan Budaya Bali Utara, memiliki Tokoh - Tokoh Seni Seniman Dangin Enjung (Buleleng Bagian Timur: Pan Peraupan dan Pak Gede Manik). Sedangkan Dauh Enjung (Buleleng Bagian Barat: Pak Ketut Merdana, Pak Putu Sumiasa). Pada kesempatan yang berbahagia ini, ijinkan kami menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya Kepada Yang Terhormat: 1. Bapak Bupati Buleleng, yang telah memberikan kesempatan untuk Merekuntruksi kembali Tari Legong Tombol yang berada di Desa Banyauatis Kecamatan Banjar. 2. Bapak Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta yang telah mengarahkan Dosen Peneliti untuk Merekontruksi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis. 3. Ibu Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati, SST., M.Sn. yang dengan tekun dan penuh kesabaran untuk menggali berbagai informasi xi

dan dokumen untuk meneliti Legong Tombol dan dituangkan dalam karya Ilmiah. 4. Bapak Perbekel Desa Banyuatis, Para Seniman dan Tokoh - Tokoh masyarakat Desa Banyuatis yang telah memberikan berbagai informasi dan fasilitas selama kontruksi ini dilaksanakan. 5. Kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebut satu - persatu telah pelaksanaan Rekontruksi ini, sekali lagi kami haturkan terima kasih. Khusus kepada Ibu Dr. Ida Ayu Wimba Puspawati, kami atas nama Pribadi dan atas nama Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng sudah barang tentu banyak hal - hal yang kurang berkenan selama melaksanakan Penelitian dan Merekontruksi Tari Legong Tombol, sekali lagi kami mohon maaf. Demikian sekapur sirih kami sampaikan, mudah - mudahan hasil Rekontruksi Tari Legong Tombol ini dapat menjadi petunjuk bagi para pecinta seni dan tari khususnya Tari Legong Tombol. Sekian dan terima kasih. Singaraja, 30 Desember 2019 Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng Drs. Gede Komang, M Si NIP: 195912311985031212 xii

Tiada hentinya kami Keluarga Besar Manikan Desa Banyuatis mengucap syukur, puja pangastuti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, karena atas asung wara nugraha-nya, salah satu warisan desa kami yang sangat berharga yaitu Tari Legong Tombol dapat diselamatkan dari kepunahan. Lebih membahagiakan lagi, penelitian yang dilakukan Ibu Dayu Wimba di desa kami telah berhasil membuahkan catatan berharga berupa sebuah buku mengenai Tari Legong Tombol dan sejarahnya yang mana hal ini akan kami wariskan selalu kepada anak cucu kami kelak. Bagaikan sebuah kebetulan, Ayah dari Ibu Dayu Wimba yang bernama Ida Bagus Made Raka (swargi) dari Geriya Gede Bongkasa pada masa lalu (sekitar tahun 1957) pernah mengajar kesenian tari dan lama bermalam di rumah kami. Hubungan batin yang telah lama terjalin ini kini tersambung kembali manakala kami kembali membutuhkan bantuan menghidupkan kembali Tari Legong Tombol di desa kami dengan hadirnya Ibu Dayu Wimba. Berkat kerja keras, ketabahan dan ketekunan Ibu Dayu Wimba sebagai seorang peneliti, penari dan penata tari telah memberikan kami kesadaran bahwa kami di Desa Banyuatis memiliki sebuah Manik atau permata kebudayaan yang terpendam berupa Tari Legong Tombol. Di rumah yang sederhana inilah, pada masa lalu kesenian Tari Legong Tombol ini pernah berjaya. Di masa kini, di rumah inilah kembali, Tari Legong Tombol yang hampir punah ini kembali hidup xiii

berkat usaha ibu. Kami, keluarga besar dan masyarakat Desa Banyuatis bersyukur bisa menjadi bagian penting dari sejarah ini. Kami berharap melalui rekonstruksi Tari legong Tombol yang telah ditulis ke dalam buku ini, warisan luhur ini tidak saja mampu bertahan namun juga berkembang menjadi warisan bersama warga Buleleng dan Bali. Selain itu, semoga melalui buku ini juga dapat menggugah rasa kesadaran saudara-saudara kami di tempat lain untuk menjaga warisan tradisinya agar tetap lestari. Akhir kata, hanya doa dan ucapan terima kasih yang dapat kami ucapkan atas pencapaian ini. Semoga akan selalu muncul semangat yang Ibu Dayu miliki di hati sanubari anak-anak kami kelak sebagai pewaris kesenian ini kelak. Demikian juga, semoga Ibu Dayu dapat meneruskan usaha mulia selalu, dimanapun kehadiran Ibu dibutuhkan. Atas Nama Keluarga Besar Manikan Penglingsir Keluarga Besar Manikan Gede Yudi Gautama xiv

Kata Pengantar... v Sambutan Bupati Buleleng... ix Sekapur Sirih... xi Sekapur Sirih Keluarga Besar Manikan, Banyuatis... xiii Daftar Isi... xv I : LEGONG TOMBOL, KAKEBYARAN, DAN PALEGONGAN... 1 II : SEJARAH TARI LEGONG TOMBOL... 7 1. Rindi, Sang Pencipta Tari Legong Tombol... 7 2. Merintis Tari Legong Tombol di Desa Abianjero... 14 3. Tari Legong Tombol Di Desa Banyuatis... 18 III : LANDASAN PENCIPTAAN KARYA SENI... 23 1. Landasan Konseptual... 23 2. Gagasan Karya... 26 3. Sumber Rujukan Karya Seni... 30 IV : KEKARYAAN DAN PROSES PENCIPTAAN KARYA SENI... 35 1. Isi Karya Seni... 35 2. Garapan dan Keativitas Karya Seni... 37 A. Konsep Garapan... 37 B. Metode Penciptaan Karya... 41 C. Langkah-langkah Penciptaan Karya Seni... 42 V : BENTUK KARYA SENI... 53 1. Wujud dan Struktur Karya... 53 2. Penyajian Karya Seni... 54 3. Deskripsi Struktur Karya Seni... 56 xv

VI : REKONSTRUKSI TARI LEGONG TOMBOL: KREATIVITAS DALAM USAHA PELESTARIAN... 75 1. Istilah Rekonstruksi di Luar Bidang Seni... 75 2. Kreativitas dalam Rekonstruksi Tari Legong Tombol.. 78 3. Hambatan dan Solusi dalam Berproses... 87 VII : DAMPAK KARYA SENI... 91 1. Dampak Karya Secara Pribadi... 91 2. Dampak Karya Secara Praktis... 92 3. Dampak Karya Dari Aspek Sosial Budaya... 93 4. Dampak Karya Dari Aspek Penguatan dan Ketahanan Budaya... 94 VIII : Penutup... 105 1. Kesimpulan... 105 2. Saran... 106 a) Di Bidang Akademik... 106 b) Saran untuk Pemerintah Daerah Bali... 107 c) Saran untuk Masyarakat di Desa Banyuatis... 107 d) Saran Kepada Sanggar-sanggar Seni... 107 e) Saran kepada para akademisi... 108 Daftar Pustaka... 109 Glosarium... 115 Profil Penulis... 121 xvi

I LEGONG TOMBOL, KAKEBYARAN, DAN PALEGONGAN Tari Legong adalah salah satu kesenian klasik yang berkembang di Bali sejak abad XIX (Dibia, 2015 : 57). Di Bali, tari ini mengalami sejarah penciptaan yang panjang, bermula dari aktivitas semedi Dewa Agung Made Karna, seorang pangeran Kerajaan Sukawati di Pura Payogan Agung, di Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar. Dalam semedinya tersebut, Dewa Agung Made Karna melihat sepasang bidadari kembar yang menari dengan gemulai. Peristiwa bidadari menari itulah yang disebut oleh Dewa Agung Made Karna dengan istilah ngalegong (Suarka, 2015 : 9). Setelah terbangun dari semedinya, beliau memerintahkan seorang abdinya untuk membuat topeng yang mirip dengan wajah bidadari dalam semedi beliau. Akhirnya sepasang topeng tersebut selanjutnya menjadi inspirasi terciptanya Tari Legong. Dewasa ini di Bali, Tari Legong lazim disebut Tari Legong Keraton. Hal ini bermula dari adanya hubungan yang akrab antara 1

Raja Karangasem Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem dengan Mangkunegara VII Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario dari Surakarta. Pada tahun 1918, Mangkunegara VII berkunjung ke Puri Karangasem dan disajikan pementasan Tari Legong Semarandana oleh para penari perempuan Raja Karangasem. Pada tahun 1937, Raja Karangasem membalas kunjungan Mangkunegara VII ke Surakarta dengan membawa para seniman Tari Legong seperti I Wayan Lotring dan I Gusti Gede Raka dan para penari Tari Legong. Adapun Tari Legong yang disajikan saat itu adalah Tari Legong Keraton Lasem. Semenjak pementasan di Keraton Mangkunegaran Surakarta tersebut, masyarakat di Bali populer menyebut Tari Legong sebagai Tari Legong Keraton (Kusuma Arini & Bulantrisna Djelantik, 2015 : 198). Istilah Legong, dalam masyarakat Bali memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut : Pertama, Legong adalah satu konsensus masyarakat Bali untuk mengidentifikasi setiap tarian. Sebagaimana diungkap oleh Pande Made Sukerta (62), akademisi dan seniman asal Desa Tejakula, Buleleng, seringkali pementasan Tari Baris, Tari Jauk, Tari Oleg dan berbagai wujud tarian lainnya disebut sebagai Legong oleh masyarakat (Wawancara dengan Pande Made Sukerta, tanggal 15 Mei 2015 di Buleleng). Hal ini mirip dengan yang terjadi di Pulau Jawa, di mana pada umumnya masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah menyebut istilah joged untuk mengidentifikasi setiap jenis pertunjukan tari di lingkungan setempat (Wawancara dengan Nanik Sri Prihatini, tanggal 15 Mei 2015 di Buleleng). Kedua, Legong dapat diartikan sebuah istilah yang merujuk pada salah satu genre seni tari tradisional Bali yang bernama Palegongan. Sebagai catatan, di Bali terdapat berbagai genre seni tari antara lain : Patopengan, Pagambuhan, Paarjaan, Panyalonarangan, Babarisan, dan Palegongan. Genre adalah istilah serapan yang berarti pembagian bentuk seni atau tutur tertentu menurut kriteria yang sesuai dari bentuk tersebut. Di dalam seni tari, genre adalah suatu kategorisasi yang terdiri dari beberapa jenis tarian yang terbentuk melalui konvensi (Dikutip dari website Id.m.Wikipedia.org/Genre, diakses pada hari Minggu, 25 Oktober 2

2015, pukul 11.25 WIB). Genre Palegongan di Bali mencakup banyak varian Tari Legong, antara lain : Tari Legong Keraton Lasem (kisah Prabu Lasem dengan Rangke Sari), Tari Legong Kuntul (mengisahkan kehidupan burung bangau putih), Tari Legong Raja Cina (kisah percintaan Raja Jaya Pangus dengan Kang Cing Wie dan Dewi Danu), dan Tari Legong Kuntir (kisah pertikaian Subali dengan Sugriwa dalam merebut Dewi Tara). Tari-tari Legong tersebut memiliki satu struktur, busana, dan gending yang baku, serta menggunakan satu barungan Gamelan Semara Pagulingan Saih Lima yang sering disebut barungan Gamelan Palegongan. Tari Legong Keraton adalah suatu sebutan masyarakat Bali untuk mengidentifikasi tari bergenre Palegongan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tari-tari di dalam genre Palegongan dapat pula disebut sebagai Tari Legong Keraton dengan diikuti keterangan varian yang membedakan, di antaranya : Tari Legong Keraton Lasem, Tari Legong Keraton Raja Cina, dan Tari Legong Keraton Kuntir. Ketiga, istilah Legong sering disebut dengan Tari Lepas, artinya sebuah karya tari yang tidak menggunakan tema atau cerita. Di wilayah Desa Singapadu, Gianyar misalnya istilah Legong atau lengkapnya pangeleban gong digunakan merujuk pada segala jenis tarian yang dipentaskan pada suatu pagelaran. Tak peduli apakah genre tarian yang ditampilkan, yang jelas masyarakat menyebutkannya sebagai pangeleban gong atau dalam Bahasa Indonesia berarti permulaan pementasan tari yang diiringi dengan barungan alat musik gamelan (umumnya menggunakan barungan gamelan Gong Kebyar). Keempat, istilah Legong juga digunakan untuk mengidentifikasi tari-tarian genre Kakebyaran yang kategorisasi konsep garapnya menggunakan barungan Gong Kebyar. Jenis-jenis Tari Legong diciptakan oleh para seniman dari berbagai daerah di antaranya seniman tari dari daerah Buleleng, Badung, Gianyar, dan daerah Tabanan. Adapun nama karya-karya Tari Legong, di antaranya Tari Tenun, Tari Mergapati, Tari Pendet, Tari Oleh Tambulilingan, Tari Panji Semerang, Tari Kebyar Trompong, Tari Trunajaya, dan Tari Palawakya. Jenis-jenis Tari Legong yang 3

diciptakan oleh para seniman Buleleng di antaranya Tari Trunajaya, Tari Wiranjaya, Tari Nelayan, Tari Palawakya, Tari Cendrawasih, dan Tari Legong Kebyar. Dalam perkembangannya seluruh tarian Legong yang diciptakan oleh para seniman Buleleng menyebar ke daerah Bali Selatan demikian juga sebaliknya hasil ciptaan seniman dari Bali Selatan menyebar ke daerah Bali Utara. Secara umum, karakter tari kakebyaran tidak lepas dari karakteristik penyajian gending dalam barungan Gong Kebyar yang dimainkan dengan teknik ngebyar, yaitu memainkan keseluruhan instrumen gamelan dalam tempo yang umumnya cepat, dinamis dengan kualitas suara yang keras menggelegar secara bersamaan (Sudewi, 2015 : 205). Dalam tulisan ini, dibahas satu bentuk tari yang pernah ada di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng yang bernama Tari Legong Tombol. Tari ini termasuk dalam genre Kakebyaran yang merupakan salah satu kekayaan seni tari tradisional Bali yang mengalami sejarah panjang hingga akhirnya hidup di Desa Banyuatis. Istilah Legong dalam Tari Legong Tombol tidak sama dengan Tari Legong Keraton, karena Tari Legong Tombol berada dalam genre yang berbeda seperti struktur tari, gending, dan barungan Gamelan Gong Kebyar. Seperti diuraikan oleh I Wayan Rai S, (60), seorang akademisi dan seniman karawitan dari Desa Ubud, Gianyar, menyebutkan bahwa Tari Legong Kebyar adalah satu wujud tari yang berbeda dengan Tari Legong bergenre palegongan. Dari segi gamelan yang digunakan, Tari Legong Kebyar menggunakan barungan Gamelan Gong Kebyar. Secara lebih spesifik, alat musik kendang yang digunakan adalah kendang berjenis ceditan/gupekan, yaitu salah satu jenis alat musik kendang yang berukuran sedang yang dibunyikan tanpa alat pemukul. Berbeda dengan Tari Legong dalam genre Palegongan menggunakan barungan Gamelan Semar Pagulingan Saih Lima atau Gamelan Palegongan serta gending-gending yang diadopsi dari dramatari Gambuh sebagai musiknya. Alat musik kendang yang digunakan juga berbeda dengan Tari Legong Kekebyaran, yaitu menggunakan kendang jenis krumpungan, yaitu salah satu jenis alat 4

musik kendang berukuran relatif lebih kecil yang dibunyikan tanpa alat bantu yaitu panggul kendang. (Wawancara di Denpasar, 27 April 2015). Kesamaan secara visual terjadi pada penggunaan kostum tari yang secara konsep tidak ada perbedaan dengan Tari Legong dalam genre Palegongan. Dari segi gerak tari, Tari Legong Tombol masih memuat beberapa gerak dasar Tari Palegongan yang juga terdapat pada Tari Legong Keraton seperti gerak nyeregseg (gerak berpindah ke samping), ngumbang (gerak berjalan membentuk lintasan angka delapan), ngelo (gerak meliuk ke kanan dan ke kiri dalam posisi bersimpuh) dan menggunakan aksesoris/properti kipas. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang kesenimanan sang penciptanya. Tari Legong Tombol ini diciptakan oleh seniman asal Bali Selatan, bernama I Wayan Rindi pada tahun 1957. Dalam observasi yang telah dilakukan, kekhasan yang terdapat dalam Tari Legong Tombol sesungguhnya terwujud berkat perpaduan gerak-gerak tari yang lazim digunakan dalam Tari Legong pada umumnya seperti gerak ngepik, ngotag, ngelo, ngumbang beberapa lainnya dengan gending tari yang menggunakan konsep garap kebyar. Barungan gamelan yang digunakan untuk menyajikan Tari Legong Tombol menggunakan barungan Gamelan Gong Kebyar, berbeda dengan pakem tari genre Palegongan yang menggunakan barungan Gamelan Semar Pagulingan Saih Lima. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Tari Legong Tombol yang menjadi inspirasi penciptaan karya ini dapat diklasifikasikan ke dalam Tari Legong ber-genre Kakebyaran. Dipertegas oleh pernyataan Pande Made Sukerta yang menyebutkan bahwa Tari Legong Tombol merupakan salah satu ciptaan tari ber-genre kakebyaran yang menggunakan garap kebyar. Namun dari segi gerak, cukup banyak perbendaharaan gerak Tari Legong yang tampak, seperti gerakan ngelayak (kayang), ngepik (gerakan tangan pada Tari Condong), nyeregseg (gerakan berpindah dengan gerakan kaki bertempo cepat), ngejer pala (menggetarkan pundak), ngotag (gerakan kepala ke kiri dan ke kanan), luk nrudut (gerakan badan, tangan dan kaki naik dan turun dilakukan di tempat), dan 5

ngumbang (gerakan berjalan bertempo sedang). Hal ini tidak terlepas dari kompetensi utama I Wayan Rindi selaku pencipta tari, yaitu sebagai penari Legong yang baik pada masanya. Dari segi tema tampilan, Tari Legong Tombol merupakan sajian tari tradisional yang bersifat abstrak (tanpa lakon dramatik sebagaimana Tari Legong Keraton yang umum disaksikan di daerah Bali Selatan). Tari ini hanya menggambarkan rasa kebersamaan dalam menari yang dilakukan oleh dua orang penari. Dari segi busana, Tari Legong Tombol menggunakan busana Tari Legong pada umumnya, hanya saja mengadopsi warna merah pada baju dan kamen (kain)-nya. Hal ini lazim dalam budaya tari di Bali untuk membedakan karakter dan jenis Tari Legong yang disajikan. Tari Legong Keraton Lasem misalnya, menggunakan pakem busana Tari Legong dengan warna hijau mendominasi baju dan kamen, sedangkan Tari Legong Raja Cina menggunakan pakem busana Tari Legong, namun menggunakan warna putih pada baju dan warna hitam pada kamen. 6

II SEJARAH TARI LEGONG TOMBOL 1. Rindi, Sang Pencipta Tari Legong Tombol I Wayan Rindi (1917-1976) berasal dari Banjar Lebah, Desa Sumerta, Badung (kini masuk wilayah administratif Kota Denpasar). Rindi, demikian ia akrab disapa adalah seorang seniman yang memiliki perjalanan kesenimanan yang panjang mulai dari belajar menari saat berusia sangat muda, menjadi penari dengan identitas yang khas, menjadi guru tari bagi para murid-murid berkualitas hingga menjadi pencipta tari yang baik. 7

Gambar 1. I Wayan Rindi saat masih anak-anak Foto : Repro buku Rikka and Rindji : Children of Bali, karya Dominique Darbois tahun 1959. Sepenggal perjalanan kehidupan berkesenian Rindi sempat tercatat dalam buku Rikka and Rindji : Children of Bali, karya Dominique Darbois tahun 1959 sebagai berikut. Rikka began to dance when she was four years old. Until she is thirteen she will be one of the temple dancers. Rindji is takes dancing lessons, too. He must learn to hold his head just right. He must move only his eyes. He cannot express joy or sadness or any other feeling on his face while he is performing the dance. (1959 : 17) While the Balinese people always work enough to supply themselves with food, they seem to have much time for entertainment. Bali is a place of Let s Pretend. Plays are given almost daily. A person who is chosen to wear a costume and dance for the others is happy. The Lion and the Witch are favorite characters. Barong is the lion. He is fierce and strong and is meant to be Good character.he is the sun and the light and the great healer. Barong s task is to overcome Rangda. (1959 : 34). 8

While the Balinese people always work enough to supply themselves with food, they seem to have much time for entertainment. Bali is a place of Let s Pretend. Plays are given almost daily. A person who is chosen to wear a costume and dance for the others is happy. The Lion and the Witch are favorite characters. Barong is the lion. He is fierce and strong and is meant to be Good character.he is the sun and the light and the great healer. Barong s task is to overcome Rangda. (1959 : 40) Terjemahan: Rikka mulai menari saat dia berusia empat tahun. Pada usia tiga belas tahun dia menjadi salah satu penari kuil. Rindji juga belajar menari. Dia harus belajar untuk menahan kepalanya dengan benar. Hanya mata yang bergerak. Dia tidak bisa mengungkapkan kegembiraan atau kesedihan atau perasaan lainnya di wajahnya saat dia melakukan tarian. (hal. 17) Sementara orang-orang bali selalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan makannya, mereka tetap terlihat seperti memiliki waktu yang banyak untuk menikmati hiburan. Bali merupakan sebuah tempat mari bersandiwara yang hampir setiap hari dimainkan. Seseorang telah dipilih untuk memakai sebuah kostum dan menari untuk membuat orang lain gembira. Singa dan penyihir adalah karakter favorit. Barong adalah singa, dia buas dan kuat dan digambarkan sebagai karakter yang baik, dia adalah matahari dan cahaya serta orang besar yang dapat menyembuhkan orang lain. Tugas Barong adalah untuk mengatasi Rangda. (hal. 34) Yang lain menunjukkan bahwa Rikka Rindji sangat menyukai pertunjukan drama, yang memainkan drama ini bukan benda hidup, melainkan wayang. Dalang meletakkan sebuah layar putih di antara dua pohon, kemudian penonton duduk disalah satu sisi layar dan dalang duduk di sisi yang lainnya. Dia meletakkan lampu minyak kelapa di tanah yang begitu bersinar ke layar. 9

Dalang memegang wayang yang tipis diantara layar dan lampu. Mereka membuat bayangan yang besar, lebih besar dibanding ukuran asli wayang tersebut. (1959 ; hal.40) Aktivitas Rindi dalam tulisan tersebut di atas, menyiratkan setidaknya ada dua makna. Pertama, Rindi adalah seorang pribadi yang melakoni aktivitas bermain sambil belajar menari. Yang dilakukannya pertama adalah meniru apa yang diajarkan kepadanya. Ia belajar menggerakkan bagian tubuh yang harus dilatihnya. Kedua, ia mulai tertarik dengan pendalaman rasa berkesenian dengan mengamati pertunjukan barong dan rangda, kemudian menyimak dengan seksama pertunjukan wayang kulit. Gambar 2. I Wayan Rindi (alm.) Foto : Repro milik Pande Made Sukerta, 2015. Dua bentuk kesenian tersebut di Bali adalah berbentuk drama, yang di dalamnya terkandung cerita, pengkarakteran tokoh tertentu dan filsafat hidup. Disadari atau tidak, proses tersebut perlahanlahan memberinya pembelajaran tentang hakikat berkesenian secara tradisional bahwa menari, tidak hanya menggerakkan 10

anggota tubuh tertentu untuk sekedar kenikmatan mata penonton belaka sebagai penghidupan, namun lebih jauh menari sebagai aktivitas seni yang bermakna dan bermanfaat sebagai suatu pengalaman estetis yang kelak diwariskan kepada para muridnya sebagai penerus kearifan tradisi. Perjalanan kesenian Rindi dididik menjadi seorang seniman diawali dari tempaan I Nyoman Dendi (alm.), seorang guru Tari Gandrung tradisional dari Banjar Pemedilan, Kota Denpasar (Catra, 2013 : 138). Setelah mendapat tempaan yang keras, masa pembelajaran Rindi beranjak meningkat ketika mendapat tempaan dari seniman besar I Wayan Lotring tokoh palegongan dari Kuta dan I Nyoman Kaler tokoh tari Kebyar dari Desa Pemogan Denpasar. Dari tempaan para guru tersebut di atas, Rindi dikenal sebagai penari Gandrung yang baik di Bali pada zamannya. Setelah lama melanglang buana di dunia Tari Gandrung, nama besar Rindi sampai juga di Desa Blahbatuh, ketika seorang guru Tari Nandir di desa setempat memintanya ikut bergabung sebagai penari Nandir. Tari Nandir adalah sebuah bentuk tari ber-genre palegongan, perkembangan dari Tari Topeng Legong di Desa Sukawati yang mengambil cerita Prabangsa, yaitu sub-cerita yang berasal dari Serat Panji. Seiring perjalanan waktu, Tari Nandir di Desa Blahbatuh kemudian berkembang lagi menjadi Tari Legong. Pengalaman belajar dan pentas yang panjang dengan grup dari Desa Blahbatuh inilah yang membawa Rindi akhirnya menjelma sebagai penari Legong terkenal, untuk selanjutnya dipercaya masyarakat sebagai guru Tari Legong di Bali (dalam Catra, 2013; 139). 11

Gambar 3. I Wayan Rindi ketika berbusana Tari Condong Legong Foto : Repro foto dalam buku Rikka dan Rindjie 2015. Kemasyuran Rindi sebagai penari Legong yang dikenal luas oleh masyarakat rupanya tidak menyurutkan niatnya untuk terus belajar menggali tari Palegongan. Setelah dari Desa Blahbatuh, kepenarian Rindi kembali ditempa oleh seorang seniman terkenal di Desa Kaliungu, Denpasar bernama Ida Bagus Boda. Di samping sebagai penari Legong, Rindi juga dikenal sebagai penari Topeng, Arja, Gambuh, dan sekaligus sebagai sastrawan. Dari tempaan tangan Ida Bagus Boda inilah, Rindi diberikan materi Tari Condong yang dikembangkan dari Tari Condong Gambuh. Semenjak saat itu, teknik dan karakter tari I Wayan Rindi semakin kuat hingga akhirnya ia memiliki identitas yang khas, yaitu sebagai penari Condong Legong. 12

Gambar 4. Tari Legong oleh I Wayan Rindi (tengah) bersama Ni Tjawan (kiri) dan Ni Sadri (kanan) Foto : Repro dari video koleksi Prof. Edward Herbst, New York. Kepenarian I Wayan Rindi semakin kokoh dikenal masyarakat sebagai penari Condong Legong ketika ia berpasangan dengan Ni Luh Tjawan (alm.) dan Ni Luh Sadri (alm.) (dua orang seniwati pemeran Tari Legong yang berasal dari Desa Sumerta, Denpasar). Kepiawaian mereka menari Legong seringkali dijadikan materi tontonan untuk pertunjukan turistik di berbagai daerah di Denpasar. 13

Gambar 5. I Wayan Rindi (kecil) ketika dilatih menari oleh ayahnya yang bernama Wayan Lentur. Foto : Repro foto dalam buku Rikka dan Rindjie 2015. 2. Merintis Tari Legong Tombol di Desa Abianjero Sekitar tahun 1950-an, bersama dua orang rekannya bernama I Nyoman Kicen dan I Wayan Kuna dari Sanur, Rindi mendapat undangan untuk hadir ke Puri Karangasem oleh Raja Karangasem Anak Agung Bagus Djelantik (1890-1967). Di Puri Karangsem, Rindi diminta oleh Raja Karangasem untuk membina Tari Legong di Desa Abianjero, Kecamatan Abang, Karangasem. Di Desa Abianjero terdapat satu barungan Gamelan Semara Pagulingan, namun tidak pernah digunakan untuk mengiringi Tari Legong karena ketiadaan penari yang dimiliki. Permintaan tersebut disanggupi oleh Rindi dan kawan-kawan, untuk kemudian berangkat ke Desa Abianjero, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem (Wawancara dengan Meme Gumbring, 6 Mei 2015 di Desa Banyuatis). 14

Di Desa Abianjero, Rindi telah berhasil membuat satu bentuk Tari Legong Kebyar dan membina dua orang pemudi sebagai penari Legong, yaitu Ni Nyoman Toya (yang kemudian akrab disapa Meme Gumbring) dan Ni Lenjur. Tari tersebut dinamakan Tari Legong Kembar oleh masyarakat setempat. Sayangnya, perkembangan Tari Legong Kembar di Desa Abianjero tidak berumur panjang. Tak lama setelah dilatih dan diberikan materi Tari Legong Kembar oleh Rindi dan kawan-kawan, aktivitas berkesenian di desa setempat kembali meredup karena keterbatasan minat masyarakat dalam berkesenian saat itu (Wawancara dengan Meme Gumbring, 29 April 2015 di Desa Banyuatis). Gambar 6. Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1890-1967). Sumber :Anak Agung Ayu Kusuma Arini, 2021 Sekitar tahun 1955-1960, salah seorang putra Raja Karangasem bernama Anak Agung Made Djelantik bertugas sebagai dokter wilayah Tingkat II Buleleng. Lebih dikenal dengan sebutan dr. 15

Djelantik, beliau bersahabat karib dengan Mekel Sindu yang berasal dari Desa Banyuatis. Pada masa itu Desa Banyuatis telah memiliki 3 (tiga) jenis kesenian, yaitu Drama Gong, Wayang Wong, dan Arja. Dalam satu kesempatan, dr. Djelantik teringat dengan adanya ciptaan Tari Legong Kembar binaan I Wayan Rindi di Desa Abianjero. Setelah itu, dr. Djelantik menawarkan kepada Mekel Sindu untuk menghidupkan Tari Legong Kembar di Banyuatis. Mekel Sindu menyambut antusias tawaran tersebut dan memohon kepada dr. Djelantik agar mengirim para pengajar Tari Legong Kembar ke Desa Banyuatis. Para seniman yang diundang ke Desa Banyuatis berasal dari Desa Abianjero antara lain : Meme Gumbring dan Ni Lenjur didampingi oleh I Ngadeg (penabuh gangsa), I Jelantik (penabuh ugal) dan I Suweca (juru kendang) sebagai pelatih tabuh Legong Tombol (Wawancara dengan Meme Gumbring 29 April 2015 di Desa Banyuatis). Gambar 7. dr. Anak Agung Made Djelantik. Sumber :Anak Agung Ayu Kusuma Arini, 2021 Kedatangan para seniman dari Desa Abianjero ini, secara perlahan meramaikan aktivitas kesenian di Desa Banyuatis. Rumah Mekel Sindu yang dikenal sebagai orang yang berpengaruh serta 16

keturunan Keluarga Besar Manikan, dijadikan pusat pelatihan Tari Legong Kembar. Beberapa lama berselang, akhirnya Tari Legong Kembar yang dahulu pernah hidup di Desa Abianjero, Karangasem ini kemudian kembali hidup di Desa Banyuatis. Oleh masyarakat setempat, Tari Legong Kembar ini disebut sebagai Tari Legong Tombol. Gambar 8. Ni Nyoman Toya (Meme Gumbring). Foto : Ida Ayu Wimba, 2014. Antusiasme masyarakat dengan Tari Legong Tombol terdengar hingga desa tetangga, yaitu Desa Dadap Putih. Masyarakat Desa Dadap Putih melalui salah seorang seniman tabuh bernama Made Oka, mengundang Meme Gumbring untuk membina Tari Legong Tombol di desa tersebut, hingga pada akhirnya Made Oka menikahi Meme Gumbring. Semenjak saat itu, Meme Gumbring menetap di Desa Dadap Putih. Setelah Tari Legong Tombol berhasil dibangun hingga tuntas, para seniman dari Desa Abianjero selain Meme Gumbring, kembali ke desanya. 17

3. Tari Legong Tombol Di Desa Banyuatis Tari Legong Tombol merupakan salah satu bentuk kekayaan Tari Legong yang hidup di daerah Bali Utara yang memiliki identitasnya sendiri. Tari ini tercipta berkat sentuhan tangan seorang seniman dari Bali Selatan, namun tumbuh dan berkembang di Daerah Bali Utara. Penamaan Tari Legong Tombol sendiri melalui proses yang cukup panjang. Sebagai penari generasi pertama di Desa Banyuatis, Meme Pintu (68 tahun) menerangkan bahwa sebelum dikenal sebagai Tari Legong Tombol, tarian ini dikenal sebagai Tari Legong Kembar, karena tari ini disajikan oleh sepasang penari perempuan. Istilah kembar untuk penamaan suatu tarian di Bali sesungguhnya cukup lazim, karena beberapa waktu sebelum terciptanya Tari Legong Tombol juga pernah ada penyebutan Tari Trunajaya Kembar, yaitu Tari Trunajaya yang disajikan oleh sepasang penari perempuan. (Wawancara dengan Meme Pintu, tanggal 14 Mei 2015 di Desa Banyuatis, Buleleng). Sebagai sebuah ciptaan baru, tari ini memiliki kekhasan dalam penggunaan kostum. Keunikan tersebut terletak pada penggunaan bunga delima konta pada ujung bagian kostum yang bernama bancangan. Bancangan adalah salah satu aksesoris berupa penataan bunga yang dipancangkan di kedua sisi gelungan (mahkota) seorang penari. Bunga delima konta sendiri merupakan bunga dari tumbuhan pohon delima (Punica Granatum) (Dikutip dari Wikipedia, dengan alamat : Id.m. wikipedia.org., diakses pada 24 Oktober 2015 pukul 14.25 WIB). Warna bunga ini sendiri adalah jingga cerah. Dalam bahasa Bali, kata Konta berarti warna merah kekuningan. 18

Gambar 9. Bunga Delima Konta (Punica Granatum). Dok. Ida Ayu Wimba Ruspawati, 2015. Pada umumnya, bunga yang disusun pada aksesoris ini adalah bunga kamboja, sedangkan dalam Tari Legong Tombol pada ujung atas aksesoris ini dipasang bunga delima konta yang secara ukuran memiliki bobot lebih berat dibandingkan bunga kamboja. Goyangan yang dimiliki terasa lebih berat dan keras jika dibandingkan hanya menggunakan bunga kamboja. Oleh masyarakat Desa Banyuatis, aksesoris bancangan inilah yang disebut dengan istilah tombol. Semenjak saat itu, Tari Legong Kembar ini disebut sebagai Tari Legong Tombol. Bunga delima konta dalam tradisi di Bali memiliki fungsi beragam. Selain sebagai hiasan pada aksesoris bancangan Tari Legong Tombol, bunga ini juga dapat digunakan untuk keperluan Surya Sewana (pemujaan kepada Bhatara Siwa Radhitya untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan umat sedharma) oleh para pendeta. Seperti diungkapkan oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing (73 tahun), seorang pendeta dari Geriya Tegal Jinga, Kota Denpasar. Ida Pedanda menuturkan bahwa penggunaan sarana bunga dalam Agama Hindu merupakan sesuatu yang penting, 19

karena terkait dengan pemujaan yang ditujukan kepada para dewa di seluruh penjuru mata angin. Sembilan dewa dalam Agama Hindu di Bali disimbolkan berstana di setiap arah mata angin dan memiliki warna tertentu, sehingga bunga pemujaan yang digunakan menyesuaikan dengan dewa yang dipuja. Sembilan dewa yang dimaksud adalah : Dewa Wisnu di Utara dengan warna hitam, Dewa Sambhu di Timur Laut dengan warna abu-abu, Dewa Iswara di Timur dengan warna putih, Dewa Maheswara di Tenggara berwarna merah muda, Dewa Brahma di Selatan berwarna merah, Dewa Rudra di Barat Daya berwarna jingga, Dewa Mahadewa di Barat berwarna kuning, Dewa Sangkara di Barat Laut berwarna hijau dan Dewa Siwa di Tengah berwarna putih. Salah satunya adalah warna merah kekuningan (jingga ; sama dengan nama kediaman Ida Pedanda Gede Putra Bajing) merupakan warna Dewa Rudra yang bertempat di arah Barat Daya. Di kediaman Ida Pedanda, terdapat satu pohon delima konta yang sehari-hari bunganya digunakan untuk pemujaan Surya Sewana (pemujaan untuk memohon kesejahteraan dan keselamatan umat sedharma) oleh beliau (Wawancara dengan Ida Pedanda Gede Putra Bajing, tanggal 25 Maret 2015 di Denpasar). Gambar 10. Pangider Nawa Sanga dalam Agama Hindu di Bali Sumber : Riwayatgallery.blogspot. com 20

Di Desa Banyuatis sendiri, tumbuhan delima konta ini pada zaman dahulu biasanya ditanam pada setiap pekarangan rumah penduduk. Artinya, bunga delima konta sangat mudah dijumpai dan didapatkan ketika masyarakat ingin menggunakannya untuk berbagai keperluan. Masih dijelaskan oleh Meme Pintu (Wawancara pada 14 Mei 2015 di Desa Banyuatis), bunga delima konta biasanya digunakan oleh dirinya maupun masyarakat setempat lainnya untuk bersembahyang. Selain itu, bunga ini juga digunakan sebagai hiasan di kepala ketika para wanita di Desa Banyuatis mengenakan pakaian adat dalam acara keagamaan. Dalam ruang berkesenian, biasanya sehari sebelum Tari Legong Tombol dipentaskan, para penari mencari bunga delima konta di halaman rumahnya. Jika kebetulan belum berbunga, maka yang bersangkutan beranjak menuju rumah tetangga untuk meminta bunga delima konta. Namun, situasi tersebut kini sudah berubah. Jarang ditemukan lagi tumbuhan bunga delima konta di pekarangan rumah warga. 21

22

III LANDASAN PENCIPTAAN KARYA SENI 1. Landasan Konseptual Karya seni berjudul Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini terwujud bermula dari fakta bahwa keberadaan Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis tidaklah sepopuler tari-tari Legong di Bali Selatan. Sebab, sejak tahun 1965 Tari Legong Tombol tidak dipentaskan lagi (Wawancara dengan Meme Gumbring, 1 September 2013 di Denpasar) sebagaimana biasanya. Rupanya, kondisi keamanan lingkungan masyarakat pascaperistiwa G30S/PKI pada masa itu menjadi sebab utama keengganan para seniman untuk beraktivitas. Setelah beberapa dekade berselang, barulah Tari Legong Tombol ini ada keinginan untuk direkonstruksi kembali oleh I Gede Yudi, salah satu anggota keluarga Manikan di Desa Banyuatis. Dengan segala keunikan yang dimiliki serta masih adanya para seniman tari maupun tabuh Tari Legong Tombol generasi pertama yang dapat dijadikan narasumber utama, dipandang perlu untuk 23

merekonstruksi Tari Legong Tombol agar bisa kembali menemukan bentuknya yang utuh. Dengan memiliki bentuk tari yang utuh, maka Tari Legong Tombol dapat dilestarikan dengan cara mengajarkannya kepada para penari muda di sanggar-sanggar seni khususnya di Desa Banyuatis, serta Kabupaten Buleleng pada umumnya. Penulis yang sejak muda tertarik pada Tari Legong, merasa tengah berada di saat yang tepat untuk melakukan usaha rekonstruksi sekaligus regenerasi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis sebagai sebuah persembahan kepada masyarakat setempat. Rekonstruksi Tari Legong Tombol dirasa kurang memiliki arti yang mendalam bila tidak diikuti dengan usaha regenerasi seniman sebagai usaha pelestarian. Adanya keinginan masyarakat setempat untuk memiliki Tari Legong Tombol secara utuh serta niat yang mendalam dari para generasi muda di Desa Banyuatis serta beberapa lainnya dari daerah Buleleng untuk mempelajarinya, merupakan suatu dasar yang kuat bagi penulis untuk mewujudkan karya seni yang diberi judul Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. Karya seni tersebut diwujudkan sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana (S3) bidang Penciptaan Seni di ISI Surakarta yang dipentaskan seabgai Ujian Tugas Akhir Karya Seni tahun 2015. Karya ini pun terwujud berkat inspirasi yang diperoleh dari rekam jejak pengabdian seniman I Wayan Rindi (alm.) dalam dunia seni tari di Bali. Di samping sebagai seorang guru tari yang telah melahirkan generasi-generasi seniman unggul yang berpengaruh pada masa sekarang, beliau juga telah menciptakan sebuah Tari Legong Tombol yang kemudian berkembang di Desa Banyuatis, Buleleng. Sebuah aktivitas yang di dalam budaya dan bahasa Bali disebut dengan istilah ngayah, yaitu pengabdian sungguh-sungguh yang tulus ikhlas dengan didasari rasa persembahan. Konsep ngayah yang jika dicermati secara seksama merupakan sebuah roda siklus karma : penerimaan dan persembahan yang sewajibnya dilakukan secara seimbang oleh manusia. Ilmu pengetahuan tentang budaya tari yang didapatkan oleh I Wayan 24

Rindi (alm.) dari para guru tari merupakan sebuah proses penerimaan bekal (take) yang menjadikan diri beliau dikenal oleh masyarakat sebagai sosok seniman yang kaya akan ilmu. Dalam proses selanjutnya, ilmu-ilmu yang sudah terekstraksi dengan pengalaman estetis dalam diri beliau kemudian dijabarkan ke dalam berbagai bentuk aktivitas seni seperti mengajar tari, menari, dan menciptakan tari sebagai sebuah persembahan (gift) kepada ruang dari mana ilmu itu datang, yaitu masyarakat. Adapun tujuan utama diciptakan karya ini adalah untuk merekonstruksi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis untuk selanjutnya dapat diwariskan kepada para generasi muda di masa kini sebagai warisan budaya Desa Banyuatis sekaligus Kabupaten Buleleng. Usaha merekonstruksi ini dimulai dari mengungkap sejarah panjang terciptanya Tari Legong Tombol hingga akhirnya ada di Desa Banyuatis, mengidentifikasi siapa saja pelaku perjalanan sejarah ini yang masih ada hingga saat ini, serta mengidentifikasi bentuk utuh (setidaknya yang masih diingat) Tari Legong Tombol oleh narasumber Meme Gumbring. Setelah didapatkan gambaran mengenai bentuk Tari Legong Tombol hasil rekonstruksi ini, barulah dilakukan upaya regenerasi kepenarian Tari Legong Tombol kepada para penari muda, tak hanya di Desa Banyuatis, namun lebih jauh lagi, agar Tari Legong Tombol ini dapat dipelajari secara universal oleh siapa saja. Oleh karena dalam karya ini berbicara masalah Tari Legong, juga dimuat tujuan untuk dapat mempopulerkan pembelajaran teknik-teknik dasar Tari Legong yang kini umum dipelajari sebagai materi dasar tari di berbagai sanggar tari. Teknik-teknik dasar tersebut antara lain Nyeregseg, Ngumbang dan Ngelo, yang didapat dari penuturan guru tari senior Ni Ketut Arini Alit. Manfaat utama yang ditawarkan dalam pembentukan karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini adalah mengembalikan Tari Legong Tombol ke dalam bentuknya yang utuh untuk dapat dipelajari dan dilestarikan kembali. Bentuk utuh yang diharapkan adalah bentuk hasil rekonstruksi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan koreografi pertunjukan di masa kini, 25

sehingga diharapkan dapat diterima sebagai sebuah alternatif materi pembelajaran tari baik di sekolah-sekolah, sanggar-sanggar maupun individu yang hendak belajar menari. Adapun manfaat lain yang ditawarkan melalui karya ini adalah untuk menanamkan kecintaan pada Tari Legong Tombol kepada para penari generasi muda, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dalam melestarikan Tari Legong Tombol serta mengajarkannya pada seniman generasi selanjutnya. 2. Gagasan Karya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gagasan adalah rancangan yang tersusun dipikiran. Rancangan yang dimaksud adalah merekonstruksi dan meregenerasi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis. Untuk mendukung mewujudkan rancangan tersebut, maka dibutuhkan ketersediaan sumber daya yang memadai. Adapun sumber daya yang dimiliki dari hasil riset penulis terhadap Tari Legong Tombol ini, yaitu: Ruang, Pelaku Seni, dan Pendukung. Sebagai sumber daya pertama, lingkungan memiliki cakupan yang luas dan arti yang mendalam pada karya ini. Secara umum, lingkungan yang dimaksud adalah Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Desa tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam perjalanan dari Kota Denpasar. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, lingkungan yang dimaksud adalah ruang, yaitu rumah kediaman Keluarga Besar Manikan, salah seorang tokoh masyarakat Desa Banyuatis. Dalam sistem adat setempat, Gede Yudi merupakan seorang Wakil Bendesa, atau wakil pimpinan urusan adat dalam struktur kepemerintahan tradisional Bali. 26

Gambar 11. I Gede Yudi Gaotama. Sumber foto : Dok. Ida Ayu Sasrani, 2015. Tempat kediaman Keluarga Besar Manikan sejak tahun 1959 merupakan pusat aktivitas kesenian di Desa Banyuatis. Hal ini ditandai dengan keberadaan seperangkat Gamelan Gong Kebyar milik keluarga Manikan yang dibuat tahun 1959. Gambar 12. Tungguhan Terompong Barungan Gong Kebyar Desa Banyuatis. (Dok. IBG Surya, 2013). 27

Sebagai catatan, pertemuan penulis dengan Gede Yudi yang tidak disengaja telah menguak fakta bahwa ayah penulis Ida Bagus Made Raka (alm.) dari Geriya Bongkasa pernah melatih kesenian di Desa Banyuatis sekitar tahun 1956-1958. Semenjak kehadiran beliau, Desa Banyuatis mulai mempersiapkan diri untuk lebih serius menekuni kesenian. Tempat yang disediakan pihak keluarga Gede Yudi dahulu untuk Ida Bagus Made Raka (alm.) menginap hingga kini keasliannya masih terjaga rapi. Termasuk kamar dan tempat tidur yang digunakan oleh beliau, semua masih pada tempatnya. Hal ini semakin memperkuat kedekatan historis penulis dengan lingkungan setempat sehingga berdampak pula terhadap kemantapan dalam menyusun karya ini. Lingkungan di Desa Banyuatis secara luas maupun lingkungan tempat tinggal Keluarga Besar Manikan memiliki berbagai macam bangunan yang memiliki fungsi spesifik berbeda-beda. Di lingkungan rumah tersebut, terdapat Sanggah (tempat suci keluarga), Bale Daja (tempat untuk tetua keluarga), Bale Gede (tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya), Bale Dauh (tempat tinggal anggota keluarga), serta Bale Gong (tempat melaksanakan aktivitas berkesenian). Perlu diketahui pula, menurut keterangan Gede Yudi, seluruh bangunan tersebut masih seperti pada zaman dahulu dan hanya dilakukan perbaikan minor tanpa mengubah struktur dan bentuk aslinya. Observasi ruang kediaman Keluarga Besar Manikan ini memberi rangsangan estetis untuk memanfaatkan ruang-ruang yang tersedia, sekaligus memberi gambaran tentang struktur pementasan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hendro Martono (2012 : 27), yaitu butir-butir gagasan kreatif bisa diawali dari eksplorasi ruang. Penari dan penabuh gamelan Tari Legong Tombol generasi pertama di Desa Banyuatis adalah tokoh kunci dalam gagasan ini. Para tokoh yang berusia sepuh ini penulis posisikan sebagai narasumber utama, baik dalam menggali informasi maupun memanfaatkan ingatan mereka terhadap gerak maupun gending tari yang pernah mereka pelajari terakhir kali sekitar 50 tahun yang 28

lalu (tahun 1965, saat aktivitas berkesenian di Desa Banyuatis mengalami stagnansi). Dalam karya ini, para pelaku seni ini diberikan ruang untuk tampil dalam adegan rekonstruksi Tari Legong Tombol. Aktivitas yang terjadi di-setting sedemikian rupa sehingga tampilannya menjadi natural. Dialog, tingkah laku, dan busana yang digunakan bersifat natural, sebagaimana yang mereka alami pada zaman dahulu saat mereka berlatih. Hal ini bertujuan untuk menggali memori kolektif mereka, sehingga fakta-fakta kejadian, bentuk tari serta gending dan berbagai hal menyangkut kepenarian dan normanorma sebagai seniman dapat terungkap. Pemberdayaan masyarakat dalam penggarapan karya ini juga diperhatikan. Hal ini disebabkan masyarakat Desa Banyuatis adalah sebagai penghuni yang lebih tahu masalah lingkungannya daripada penulis selaku koreografer yang mendatangi lingkungan setempat. Masyarakat asli Desa Banyuatis sendiri mayoritas bekerja di bidang perkebunan. Sebagian besar kepala keluarga memiliki kebun cengkeh atau kopi yang hasilnya dijual ke luar desa. Brand Kopi Banyuatis yang terkenal di Bali berasal dari Desa Banyuatis, tempat penulis melakukan riset. Menurut keterangan warga setempat, pada bulan Agustus-Desember biasanya di pinggir jalan utama Desa Banyuatis akan dipenuhi biji kopi dan cengkeh yang dijemur oleh pemiliknya. Tentu saja, bila memungkinkan aktivitas tersebut dapat ditampilkan sebagai penyambung antara adegan dalam struktur garapan ini. Selain itu, beberapa penabuh dalam karya ini merupakan petani kopi dan cengkeh, sehingga aktivitas lingkungan yang ditampilkan memang realitas yang terjadi di masyarakat. Di luar masyarakat Desa Banyuatis, penulis pun melibatkan para seniman yang berasal dari luar desa. Para seniman tersebut berperan sebagai pendukung karya baik yang tampil secara langsung atau pun sebagai penggarap artistik penampilan. Sebagaimana yang diungkapkan Hendro Martono (2012: 39), koreografi lingkungan berupaya untuk menyatukan berbagai cabang seni, terutama teater dengan tari. Hal ini sejalan dengan pemahaman penulis, yang memandang koreografi lingkungan sebagai multi-layered art choreography atau koreografi lintas 29

disiplin ilmu. Sesuai dengan kebutuhan tema karya, ditambahkan pula disiplin ilmu di luar tari untuk menunjang dan memperkaya nilai artistik penyajian seperti bidang fotografi, animasi audio-visual, seni teater, dan sastra 3. Sumber Rujukan Karya Seni Sebagai bahan rujukan, penulis telah mengamati beberapa karya seni. Karya-karya tersebut umumnya merupakan karya yang memiliki beberapa kemiripan secara konsep. Diharapkan, dari hasil pengamatan tersebut, timbul suatu rangsangan ide kreatif, menemukan celah-celah ruang yang belum tergarap maksimal serta mendapatkan inspirasi artistik dalam penggarapan karya tari Re- Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. Adapun karya-karya seni yang dimaksud, yaitu : Karya seni Melatih Tubuh ; Metode Pencapaian Kepenarian karya Budi Setiyastuti tahun 2010. Karya ini diciptakan dalam rangka tugas Ujian Tugas Akhir Program Magister di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Di dalam karya ini, berusaha dirumuskan beberapa bentuk latihan-latihan olahan tubuh untuk mencapai kualitas tubuh penari yang baik, sehingga layak disebut sebagai tubuh penari atau kepenarian. Secara konsep, penulis merasa memiliki kemiripan dengan karya tersebut sebab menitikberatkan pada kesiapan tubuh dalam melakukan teknik gerak tari yang baik dan sungguhsungguh. Sebagai seorang seniman, sosok I Wayan Rindi (alm.) menurut penuturan Ni Ketut Arini Alit, salah satu muridnya adalah pribadi yang sangat disiplin dan idealis. Ketepatan teknik tari yang beriring selaras dengan gending merupakan perhatian utamanya, sehingga tubuh penari benar-benar harus dilatih serius berikut juga kepekaan musikal diasah secara bersamaan. Metode pelatihan tubuh kepenarian I Wayan Rindi pun bermacam-macam. Pelatihan yang dilakukan pada bagian kaki, misalnya mendapat perhatian yang spesifik. Untuk melakukan gerakan nyeregseg (gerakan berpindah dengan tempo gerak kaki yang cepat) sebagai contoh, ia mengikatkan semacam alat bernama gongseng sebagai indikator keberhasilan teknik gerak. Bila suara 30

gongseng tersebut terdengar nyaring, tandanya gerak yang dilakukan telah berhasil secara teknik. Adapun implementasi dari inspirasi dari karya seni Melatih Tubuh ; Metode Pencapaian Kepenarian ini dapat disajikan pada awal garapan karya Re- Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. Aktivitas pembelajaran teknik tari dan pembentukan tubuh oleh penulis kepada para muridnya, disajikan oleh beberapa penari dewasa dan anak-anak. Dengan memiliki kesamaan konsep sebagai karya koreografi di dalam lingkungan keluarga, penulis juga merujuk pada karya seni Hikayat dari Bongkasa karya Ida Bagus Gede Surya Peradantha tahun 2011. Karya seni tersebut berkisah tentang pelatihanpelatihan peristiwa kesenian yang terjadi di dalam lingkungan bernama Geriya Bongkasa. Tempat kediaman seorang pedanda (sebutan bagi pendeta Hindu di Bali) beserta keluarganya tersebut pada zaman dahulu diisi berbagai potensi kesenian yang mencakup seni pedalangan, seni tari serta olah vokal secara tradisional (macapat). Namun, setelah ketiadaan para tokoh seniman di lingkungan setempat, aktivitas berkesenian yang pernah terjadi begitu semarak berangsur mengalami kemunduran. Berbagai benda-benda seni peninggalan para tokoh seni setempat tidak berada pada kondisi ideal. Beberapa topeng yang ditemukan terlihat sudah rusak. Fenomena tersebut di atas oleh penggarapnya direkonstruksi dan digarap ke dalam beberapa bagian pertunjukan. Aktivitas pembelajaran seni pedalangan, tari dan vokal merupakan focal point garapan. Pertunjukan diadakan di beberapa bagian halaman lingkungan Geriya Bongkasa dan para penonton leluasa menyaksikan pertunjukan tersebut tanpa ada jarak yang kaku seperti menyaksikan pertunjukan tari di atas panggung. Hal yang didapat dari hasil observasi video ini adalah penulis dapat memahami bentuk koreografi lingkungan. Bentuk ini dirasa mampu mengakomodir segala materi yang ada pada karya seni Re- Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas termasuk pula 31

pembabakan yang dilakukan dalam pertunjukan di halaman lingkungan rumah Keluarga Besar Manikan di Desa Banyuatis, Kabupaten Buleleng, Bali. Kedua karya tersebut di atas memiliki beberapa perbedaan mendasar. Secara bentuk, teknik sajian dan isi karya yang terdapat pada karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas merupakan hasil dari proses penelitian yang dilakukan sendiri oleh penulis sehingga bukanlah akibat dari pengulangan karya sebelumnya. Kebutuhan koreografi, budaya serta lingkungan yang spesifik menjadikan karya seni ini sebagai karya mandiri yang lahir dari proses panjang yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Untuk memahami aktivitas I Wayan Rindi dalam melatih teknik tari, penulis pun merujuk karya dari I Ketut Sutapa berjudul Perjalanan Keluarga Topeng. Karya yang disajikan pada tahun 2007 dalam rangka Ujian Tugas Akhir Program Magister di ISI Surakarta tersebut memuat beberapa adegan, termasuk ketokohan I Wayan Rindi saat melatih tari kepada anak-anak. Melalui karya ini, penulis dapat menyimak apa dan bagaimana teknik tari yang diajarkan oleh I Wayan Rindi kepada anak didiknya. Di samping itu pula, penulis dapat lebih menghayati karakter tokoh I Wayan Rindi sehingga memiliki referensi dalam penggarapan adegan dalam struktur karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. Tari Legong Kreasi berjudul Jempyaning Ulangun. Karya ini adalah karya pribadi penulis saat ditugaskan menjadi penggarap Tari Legong kreasi pada Pesta Kesenian Bali 1996 oleh Pemerintah Kabupaten Badung, melalui Dinas Kebudayaan Tingkat II Kabupaten Badung. Meski bersifat Tari Legong kreasi baru, tetap saja khasanahkhasanah gerak tari tradisi menjadi pijakannya. Maka dari itu, penulis tetap melakukan riset kepada maestro-maestro Tari Legong seperti Sang Ayu Ketut Muklen yang berasal dari Desa Pejeng, Kabupaten Gianyar dan Ni Ketut Arini Alit dari Denpasar. 32

Dari karya ini, diingat kembali bagaimana penulis meramu gerak-gerak khas yang pernah diberikan oleh kedua guru tari penulis tersebut. Pengembangan ragam gerak dan penataannya agar dapat sejalan serta menarik menjadi perhatian utama penulis dalam karya ini. Di luar semua karya tersebut di atas, penulis pun merujuk pada video pribadi milik Keluarga Besar Manikan yang memuat tentang upacara di Pura Manikan. Dalam video tersebut, tampak beberapa aktivitas warga saat digelarnya upacara di Pura Manikan. Termasuk pula, terdapat bagian saat penari Tari Legong Tombol ini menjalani ritual upacara tertentu sebelum dipentaskannya tarian tersebut. Dari video ini, penulis dapat menyimak bagaimana masyarakat setempat memposisikan Tari Legong Tombol sebagai sebuah warisan budaya. Apresiasi yang diberikan masyarakat ternyata cukup tinggi, sebab sebelum dipentaskan Tari Legong Tombol ini, terdapat beberapa tahapan upacara yang wajib dilalui oleh penarinya. Tujuan upacara tersebut tidak lain adalah untuk membersihkan diri secara rohani, sehingga diharapkan sinar suci Tuhan Yang Maha Kuasa dapat terpancar sebagai kharisma dari para penari, yang dalam budaya tari di Bali disebut taksu. Lebih jauh lagi, dari video ini, penulis mendapat inspirasi bahwa sekecil apapun upacara yang dilaksanakan terkait Tari Legong Tombol ini, tetap harus ada dalam rangkaian pementasannya. Sebab, selain sudah diwarisi secara turun-temurun, upacara tersebut bertujuan baik demi kelancaran dan keberhasilan pertunjukan itu sendiri. 33

34

IV KEKARYAAN DAN PROSES PENCIPTAAN KARYA SENI 1. Isi Karya Seni Karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini pada intinya adalah wujud dari transformasi gagasan kekaryaan secara teoritis menjadi bentuk karya nyata secara praktis. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses penciptaan karya seni ini adalah observasi, mengumpulkan para seniman tari dan tabuh Tari Legong Tombol, rekonstruksi Tari Legong Tombol, dan regenerasi Tari Legong Tombol kepada seniman remaja. Isi karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini pada hakikatnya adalah usaha merekonstruksi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Tari Legong Tombol dirasa perlu untuk direkonstruksi mengingat tiga hal penting, yaitu : Pertama, Tari Legong Tombol secara kaderisasi 35

mengalami kemandegan. Kedua, materi gerak, struktur dan gending ditemukan tidak utuh lagi. Ketiga, aktivitas kesenian yang dilakukan I Wayan Rindi pada masa hidupnya perlu untuk diapresiasi. Untuk itu, karya ini diciptakan untuk menyampaikan isi berupa : 1. Penyajian materi-materi pembentukan sikap tubuh dan gerakgerak dasar Tari Legong kepada penari muda, 2. Apresiasi aktivitas kesenimanan I Wayan Rindi ketika aktif mengajar tari dan menari Legong. 3. Hasil rekonstruksi Tari Legong Tombol yang disajikan oleh para seniman tua, 4. Penyajian Tari Legong Tombol oleh para seniman muda sebagai outcome kekaryaan, dan 5. Penyajian Tari Legong Keraton Lasem sebagai wujud aspek kepenarian penulis. Aktivitas kesenimanan I Wayan Rindi (alm.) sebagai penari dan pelatih Tari Legong pada zamannya menyimpan beberapa metode yang berkaitan dengan kualitas teknik gerak Tari Legong. Metode yang diajarkan olehnya secara tradisional biasanya dimulai dari proses pelenturan tubuh. Tubuh calon penari yang dibina terlebih dahulu dilenturkan dengan cara melatih gerakan ngelayak (kayang). Sebagaimana diketahui, gerak Tari Legong membutuhkan kelenturan sekaligus kekuatan tubuh untuk menerima materi gerak tari secara utuh. Kemudian, pelatihan membusungkan dada ke depan secara bertahap. Pola pembentukan tubuh ini memakan waktu yang relatif lama sebagai dasar pembelajaran tari menurut beliau. Kearifan selanjutnya yang dimiliki adalah dikenal dengan istilah 3N yang telah disebutkan pada Bab I yaitu gerakan Nyeregseg, Ngumbang, dan Ngelo. Dua gerakan yang disebut terlebih dahulu merupakan gerak berpindah tempat, sedangkan gerakan terakhir merupakan gerak statis yang khusus melatih keluwesan dan kelenturan bagian tubuh pinggang ke atas yang dilakukan sambil bersimpuh. Metode pembelajaran tersebutlah dijadikan sebagai inspirasi salah satu bagian materi ciptaan yang disajikan dalam karya ini. Proses pembelajaran yang terungkap melalui hasil wawancara dengan berbagai narasumber tersebut serta beberapa hasil foto aktivitas kesenimanan I Wayan Rindi (alm.) direinterpretasi dan 36

disusun ke dalam suatu adegan pelatihan tari. Materi yang disajikan tetap bersumber pada kearifan yang dikandung dalam metode pelatihan Tari Legong oleh I Wayan Rindi dan dikemas dengan metode penyampaian secara kekininan. 2. Garapan dan Keativitas Karya Seni Garapan karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini didasarkan atas konsep kreativitas yang di dalamnya mengandung unsur apresiasi dan re-interpretasi. Unsur apresiasi yang dimaksud adalah usaha memahami perjalanan kesenimanan I Wayan Rindi dalam prosesnya menciptakan Tari Legong Tombol, metode pelatihan gerak tari yang biasa digunakannya ketika menjadi guru tari serta mengejawantahkan hasil pelatihan tersebut ke dalam sajian tari Legong Keraton Lasem. Adapun unsur re-interpretasi yang dimaksud adalah dalam usaha merekonstruksi dan meregenerasi bentuk tari Legong Tombol. Penjelasan tentang garapan tari dalam karya Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini dapat dijabarkan menjadi tiga sub pokok pembahasan meliputi : (1). Konsep Garapan, (2) Metode Berkarya, dan (3). Langkah-langkah penciptaan karya seni. A. Konsep Garapan Pada intinya, karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas adalah sebuah usaha merekonstruksi Tari Legong Tombol, yang disajikan oleh para penari dan dibantu oleh pendukung karya lainnya. Hasil rekonstruksi tersebut juga diperkaya dengan penyajian aktivitas pelatihan gerak-gerak Tari Legong pada tubuh penari muda, penyajian dokumentasi tokoh I Wayan Rindi (alm.) sebagai pencipta tari dan tabuh Tari Legong Tombol, dan penyajian Tari Legong Keraton Lasem sebagai wujud kepenarian penulis. Dengan demikian, karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas merupakan hasil kerja kreatif yang dilakukan di lingkungan Desa Banyuatis, Kabupaten Buleleng antara penulis 37

bersama masyarakat setempat dengan memberdayakan potensi kesenian lokal sebagai bahan utama kekaryaan. Karya ini pada akhirnya tersaji di halaman rumah kediaman Keluarga I Ketut Englan, di Desa Banyuatis, Kabupaten Buleleng. Keterangan dari para narasumber seperti Meme Gumbring, Meme Pintu dan I Gede Yudi yang menyebutkan bahwa di Desa Banyuatis pernah ada sebuah tari bernama Tari Legong Tombol yang keberadaannya pada masa kini terancam punah, menginspirasi terbentuknya karya ini. Keterangan tersebut kemudian diolah, sehingga dapat dipilih kejadian-kejadian yang dianggap signifikan untuk ditampilkan ke dalam karya seni ini. Dengan kata lain, keterangan yang disampaikan para narasumber tersebut tidak disajikan secara kronologis. Ada lima aspek penting yang disajikan dalam karya seni ini, yaitu : (1). Penyajian proses pembentukan sikap tubuh dan gerak-gerak dasar Tari Legong kepada para seniman muda, (2). Apresiasi kesenimanan I Wayan Rindi (alm.), dan (3) Penyajian hasil rekonstruksi Tari Legong Tombol (4) Penyajian Tari Legong Keraton Lasem oleh para seniman muda sebagai outcome kekaryaan, (5) Presentasi Tari Legong Keraton Lasem sebagai sajian aspek kepenarian. Kelima hal tersebut merupakan hasil olahan bahan-bahan kekaryaan saat proses observasi karya dilangsungkan yang disampaikan oleh para tetua dan seniman di Desa Banyuatis. Meskipun dalam garapan ini terinspirasi dari keterangan para seniman tari di Desa Banyuatis dan mengambil pokok kekaryaan berupa rekonstruksi Tari Legong Tombol, tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk menemukan ruang kreativitas di dalamnya. Kreativitas dalam seni diperlukan untuk tidak saja memecahkan permasalahan kesenian dalam diri sendiri, namun juga untuk khalayak (Timbul Raharjo, 2013 : 8). Melalui apresiasi kesenimanan I Wayan Rindi yang dikenal sebagai tokoh Tari Legong pada zamannya, didapat hal berupa metode pengajaran teknik dasar Tari Legong yang dapat dikembangkan sebagai metode pengajaran kepada calon penari Legong di masa kini. Metode pengajaran beliau direinterpretasi dan ditata sedemikian rupa dari segi komposisi gerak dan dinamika, sehingga dapat diformulasikan untuk kemudian ditransmisikan kepada calon penari Legong dikemudian hari. 38

Dalam merekonstruksi Tari Legong Tombol, juga tidak tertutup kemungkinan untuk menyediakan ruang berkreativitas bagi penulis. Kreativitas yang dimaksud adalah ketika penulis menemukan data bahwa secara perbendaharaan gerak, Tari Legong Tombol sudah tidak utuh lagi. Ada beberapa ragam gerak yang terlupakan dari ingatan penari Legong Tombol yang telah berusia lanjut. Pada bagian inilah, tantangan kreativitas pada diri seorang koreografer muncul. Proses penciptaan gerak baru untuk mengganti gerakan yang sudah hilang tidak bisa begitu saja dihasilkan. Namun perlu proses untuk mengamati dan memahami karakter gerak yang ada pada Tari Legong Tombol itu sendiri. Sebagai contoh, dari gerak berjalan menuju gerakan metimpuh (bersimpuh), penulis menambahkan gerakan ngelo untuk melengkapi sekaligus memperindah tampilan gerak tarian tersebut sehingga keutuhan dan kesinambungan antargerak menjadi lebih estetis. Pada bagian pangecet (akhir) tarian, gerak ngeliput kepet (memutar kipas) diganti dengan gerakan nyilat dan dilanjutkan gerakan ngumbang luk penyalin (gerak berjalan membentuk lintasan angka 8). Di samping itu, pengulangan gerak tari yang diminimalkan dan penataan komposisi antarpenari pun disesuaikan sehingga Tari Legong Tombol secara struktur dan perbendaharaan gerak lebih mudah dipelajari. Sebagai ciri khas dalam Tari Legong Tombol adalah sikap bersimpuh dengan permainan kipas seperti ngiluk, ngekes, ngeliput, dan ngepel. Gerak khas lainnya ketika pada setiap transisi gerak tari satu ke gerak tari lainnya dilakukan dengan aksen gerak kebyar mengikuti irama gending. Penyajian Tari Legong Keraton Lasem sebagai wujud dari aspek kepenarian dalam karya ini merupakan aktualisasi diri penulis sebagai seniman Tari Legong untuk menuju tahapan diri sebagai seorang pragina ; seniman yang kompeten di bidangnya masingmasing. Dalam budaya tari Bali, istilah pragina merupakan gelar yang disematkan kepada seseorang yang telah melalui proses berkesenian dari tingkat dasar hingga mencapai tahap mahir dan melahirkan murid-murid tari berkualitas serta memiliki pemahaman kesenian yang luas serta seimbang antara praktis dan teoritis. 39

Kiranya, pemahaman inilah yang mendasari perbedaan istilah ngigel dan masolah di Bali. Kata ngigel dan masolah merupakan dua istilah yang merujuk pada satu arti, yaitu menari. Namun di sisi lain, kedua istilah tersebut memiliki pemaknaan berbeda dalam hal kedalaman kualitas. Istilah ngigel, lebih mengedepankan aspek tampilan gerak tari yang indah untuk dipertontonkan kepada orang banyak. Sedangkan masolah, di samping merupakan suatu aktivitas penyajian keindahan gerak yang tampak dari luar, juga merupakan olah rasa mendalam yang mempengaruhi karakter dan tingkah laku seorang seniman di dalam maupun di luar panggung. Jadi istilah masolah tidak hanya sebagai suatu sajian estetis hiburan demi kepentingan orang banyak, namun juga sebuah pembelajaran ke dalam diri seniman itu sendiri untuk menuntun penghayatan pribadi ke arah yang lebih dalam tentang hakikat aktivitas yang dilakukannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rahayu Supanggah dalam artikelnya berjudul Seniman, Siapakah Dia yang termuat dalam Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Metode Disiplin Seni (2013 : 39), ada beberapa persyaratan yang dibutuhkan bagi seseorang menjadi seorang empu kesenian. Salah satunya adalah memiliki kemampuan dan kesenimanan yang tinggi, baik sebagai praktisi maupun sebagai pencipta. Berdasarkan sumber tersebut, kiranya istilah pragina dapat disejajarkan dengan predikat empu, pujangga atau bagawan untuk menyebutkan kualitas profesi kesenimanan seseorang yang dianggap telah ada di puncak. Lebih jauh lagi, disebutkan juga bahwa seorang empu kesenian seyogyanya untuk terus berkesenian, produktif dan kreatif mencipta, memainkan, menyebarkan dan menularkan, menurunkan kemampuannya kepada khalayak terutama generasi muda. Hal tersebut yang menjadi dasar bagi penulis untuk mengasah dan memperdalam pengetahuan praktis dan teoritis tentang Tari Legong sehingga bekal kemampuan yang dimiliki dapat disebarkan kepada para generasi muda. Melalui penyajian Tari Legong Keraton Lasem sebagai presentasi aspek kepenarian dalam karya ini, penulis mencoba untuk mempraktekkan pola-pola pembelajaran oleh para guru tari yang pernah didatangi, termasuk metode pengajaran oleh 40

I Wayan Rindi yang dituturkan oleh Ni Ketut Arini Alit ke dalam sajian Tari Legong Keraton Lasem. B. Metode Penciptaan Karya Proses kekaryaan Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini diawali dengan riset untuk mendapatkan data tentang keberadaan Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Data ini dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi berupa foto dan video, serta studi kepustakaan. Observasi dilakukan terhadap beberapa aktivitas kesenian Tari Legong yang tersebar di berbagai daerah di Bali seperti Desa Peliatan, Desa Saba, Desa Binoh, Desa Tista, Desa Banyuatis, Desa Pejeng, dan Desa Sukawati. Sesungguhnya, aktivitas pengamatan ini sudah dilakukan jauh sebelum penulis menggarap karya seni ini, yaitu ketika penulis ditunjuk sebagai penggarap Tari Legong kreasi Jampyaning Ulangun sebagai duta Kabupaten Badung dalam Pesta Kesenian Bali XXVI tahun 1996. Proses berkarya pada saat itu menuntun penulis untuk meneliti sejumlah dasar-dasar pakem Tari Legong untuk memperkaya khasanah perbendaharaan gerak tari dan untuk merangsang daya kreativitas dalam mencipta gerak-gerak tari yang baru. Sejak saat itu, proses kreativitas penulis dalam mencipta jenis tari palegongan terus terpelihara. Beberapa karya cipta tari kreasi palegongan pun berhasil digarap, antara lain : Tari Legong Kautus Rarung (2002) dan Tari Legong Nandaka Arana (2007). Sejalan dengan itu, interaksi penulis sejak memulai studi di KOKAR Bali tahun 1976 dengan berbagai guru Tari Legong di Bali seperti Ni Ketut Arini Alit, Sang Ayu Muklen, I Gusti Gede Raka (alm.), Ni Tjawan (alm.), Ni Ketut Reneng (alm.), dan beberapa lainnya semakin intensif hingga sekarang. Interaksi dengan sejumlah pragina Tari Legong tersebut di atas tidak hanya terjadi sebatas pada aktivitas praktek menari, tetapi juga pemahaman menari secara teoritis. Cukup banyak pesan berharga tentang pakem tari khususnya Tari Legong yang disampaikan kepada penulis yang sangat berguna hingga kini. Pesan tersebut lebih banyak bersifat teknis tentang pembentukan tubuh penari, 41

sikap-sikap pokok tari dan identitas tiap-tiap Tari Legong yang sangat khas. Sebagai penari Tari Legong Tombol generasi pertama sekaligus narasumber, Meme Gumbring dan Meme Pintu banyak memberikan keterangan kronologis tercipta dan terpeliharanya Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis. Merekalah yang mendemonstrasikan beberapa gerakan tari yang pada akhirnya membuat penulis sangat tertarik untuk memahami lebih jauh. Ditambah lagi, beberapa seniman seperti I Wayan Rai S., A.A. Ayu Bulan Trisna Djelantik (Seniman tari, putri dari dr. Djelantik), dan Pande Made Sukerta banyak memberikan wawasan baru tentang adanya perbedaan tari bergenre Palegongan dengan Tari Legong Kebyar yang masih rancu dalam pemahaman para penikmat seni di Bali. Salah satunya adalah Tari Legong Tombol ini yang termasuk salah satu jenis tarian Legong Kebyar. Untuk melengkapi pemahaman kekaryaan secara mendalam, penulis juga melakukan studi pustaka dari beberapa buku yang memuat tentang bibliografi I Wayan Rindi (alm.) sebagai pencipta tari sekaligus gending Legong Tombol. Buku berjudul Rikka and Rindjie : Children of Bali karya Dominique Darbois banyak menyimpan cerita perjalanan I Wayan Rindi ketika masih hidup. Termasuk pula memuat foto-foto yang dirasa belum terpublikasi secara merata dan dikenal banyak orang. Data-data yang didapat dari proses tersebut di atas kemudian diinterpretasi, dirangkum sebagai bahan kekaryaan karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas. C. Langkah-langkah Penciptaan Karya Seni Setelah penelitian dilakukan dan menemukan kesimpulan awal, maka dilanjutkan dengan tahap pembentukan karya. Dalam setiap karya, langkah-langkah penciptaan karya seni yang dilalui dapat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan materi dan lingkungan setempat. Dalam karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini dilakukan langkah-langkah untuk mewujudkan karya dalam bentuk kongkrit berdasarkan apa 42

yang dialami dan diperlukan. Adapun langkah penciptaan yang dilakukan adalah : 1) Persiapan Persiapan pertama yang dilakukan adalah melatih kelenturan tubuh penari anak-anak yang telah dipilih. Latihan yang dilakukan adalah peregangan tubuh seperti pemanasan, olah nafas, pelemasan otot kaki, otot punggung (kayang), dan pelemasan persendian. Persiapan ini dilakukan karena dalam karya yang disusun, materi gerak yang dipilih adalah nyeregseg, ngumbang, dan ngelo yang memerlukan stamina dan ketahanan tubuh yang baik. Latihan ini dilakukan di halaman kediaman I Ketut Englan (alm.). Diperlukan dua orang penari dewasa sebagai pasangan penulis menyajikan Tari Legong Keraton Lasem. Para penari yang dipilih adalah Ida Ayu Suarningsih dan Cokorda Istri Budawati. Mereka merupakan orang yang memiliki kompetensi sebagai penari Tari Legong Keraton Lasem, yang sejak masih duduk sebagai pelajar di Konservatori Karawitan Bali (Kokar Bali) telah sering pentas menari Tari Legong Keraton Lasem. Persiapan yang dilakukan adalah bertemu dan berdiskusi tentang struktur Tari Legong Keraton Lasem yang akan disajikan. Gambar 13. Meme Gumbring memperagakan Tari Legong Tombol. Dok. Ida Ayu Wimba, 2015. 43

44 Mengingat usia para penari generasi pertama Tari Legong Tombol seperti Meme Gumbring dan Meme Pintu yang sudah berusia lanjut, maka perlu diperhatikan aspek kesehatan jasmaninya. Penulis bersama suami, Ida Bagus Wiryanatha yang berprofesi sebagai dokter serta beberapa petugas medis beberapa kali berkunjung ke kediaman yang bersangkutan untuk memeriksa tensi darah, memberikan vitamin, dan suplemen dan tidak jarang memberi obat ketika mereka sakit. Sebagai pendukung di bidang karawitan, penulis juga berkomunikasi dengan Sanggar Santhi Budaya dari Kota Singaraja dan Sekaha Penabuh dari SMK Negeri 3 Sukawati, Gianyar untuk mendukung kelancaran ujian ini. Dari unsur pemerintah daerah, penulis juga berkomunikasi dengan pihak terkait seperti Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Kepala Desa Banyuatis, Kelian Banjar Tengah Desa Banyuatis, Kapolsek Banjar, Kelian Pecalang Desa Banyuatis, dan masyarakat setempat. Penulis juga berkonsolidasi dengan para pendukung mulai dari pengatur lapangan, petugas lampu dan properti, kameraman, fotografer, wartawan, dan para kru lainnya agar mengerti tugas pokok yang diemban. Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, untuk memulai suatu usaha selalu memilih hari baik (dewasa ayu) agar segala proses yang dilakukan dapat diawali dan diakhiri dengan baik. Untuk memulai segala proses penciptaan ini, dilakukan upacara newasen, yaitu upacara yang bertujuan untuk memohon perkenan dan saksi dari Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala proses yang akan ditempuh dapat berjalan lancar, sekaligus mohon anugerah berupa pertolongan tatkala menemui hambatan di tengah proses yang sedang berlangsung. Proses ini dilakukan di Pura Manikan pada hari Sabtu, 9 Agustus 2014 dan dihadiri oleh sebagian pendukung pertunjukan antara lain I Gede Yudi, Meme Gumbring, Meme Pintu, I Made Suweca, dan beberapa penabuh lainnya.

2) Eksplorasi Langkah pertama yang dilakukan adalah proses eksplorasi Tari Legong Tombol kepada para seniman lanjut usia. Proses ini dilakukan untuk mengetahui dua hal, yaitu ragam gerak tari yang masih diingat dan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan fisik penari untuk menyajikan Tari Legong Tombol. Untuk menari sepanjang 15 menit, diperlukan pelatihan fisik yang intens dan stabil sehingga tubuh akan terasa siap seiring berjalannya proses. Proses eksplorasi dilakukan tidak hanya sebatas pada membangun struktur tari, namun juga bersamaan dengan merekonstruksi gending tarinya. Rekonstruksi ini dibantu oleh I Made Terip dan I Wayan Suweca sebagai penabuh generasi pertama bersama beberapa penabuh lainnya yang berusia lebih muda. Sama halnya dengan proses eksplorasi tari, ingatan para penabuh juga terbatas karena sudah lama tidak menyajikan gending tari ini. Namun, berkat usaha yang sabar dibantu juga oleh Meme Gumbring yang juga bisa menabuh dan mengingat struktur tabuh tersebut, gending Tari Legong Tombol masih dapat disusun. Gambar 14. I Made Suweca (80), penabuh generasi pertama Tari Legong Tombol. Sumber foto : Dok. Ida Bagus Surya, 2015. 45

Tahap selanjutnya adalah eksplorasi gerak dasar Tari Legong kepada anak-anak. Tahapan ini dilakukan dengan cara mencoba beberapa gerak Tari Legong kepada anak-anak yang telah dipersiapkan sebagai pendukung karya. Gerak yang dimaksud adalah pranayama (olah nafas), ngocok pala (menggetarkan pundak), ngotag (gerak kepala ke kiri dan ke kanan), ngeliput kipas (gerakan memainkan kipas), nyeregseg (gerak berpindah ke samping dengan tempo cepat), ngumbang (gerak berjalan membentuk lintasan angka 8) dan ngelo (gerak meliuk ke kiri dan ke kanan dalam posisi bersimpuh). Tujuannya adalah mengetahui kemampuan tubuh para penari dalam menerima materi gerak pelatihan Tari Legong yang telah disiapkan. Di samping itu, latihan ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi teknik antarpenari sehingga keseragaman teknik baku yang diberikan bisa dilaksanakan dengan rapi. Pelatihan ini dilakukan di ruang terbuka di halaman (natar) rumah I Gede Yudi yang dulunya juga digunakan sebagai tempat latihan menari oleh para penari generasi sebelumnya. Tekstur permukaan lantai yang berbahan dasar semen dikombinasikan dengan tanah berumput ini menuntut adaptasi dari tubuh para penari tersebut. Diharapkan, seiring dengan seringnya latihan di tempat tersebut, para penari akan terbiasa merespon ruang setempat. 3) Penggarapan Setelah semua bagian dalam karya ini melalui proses pemantapan, tahapan kemudian berlanjut pada proses penggarapan. Hal pertama yang digarap adalah rekonstruksi Tari Legong Tombol. Bagian-bagian gerak yang hilang atau terlupakan oleh para penari generasi pertama digarap baru oleh penulis berdasarkan pada karakteristik gerak-gerak tari yang sudah ada. Setiap elemen yang menyusun Tari Legong Tombol yang meliputi gerak, pengulangan, komposisi tari dan gending tari telah diformulasikan menjadi satu bentuk yang utuh. Bentuk inilah yang disepakati dan dipelajari oleh para penari seperti Meme Pintu dan Meme Suparti. Terdapat 46

penyesuaian dalam bagian ini, mengingat penari yang telah berusia tua, tidak lagi mampu untuk melakukan gerakan bersimpuh dan selanjutnya berdiri. Untuk itu, dilakukan upaya penyesuaian dengan menggunakan kursi sebagai alat bantu duduk, menggantikan gerakan bersimpuh. Kedua yang digarap adalah regenerasi Tari Legong Tombol kepada para seniman remaja. Sebelum menuangkan pada para penari dari Sanggar Santhi Budaya, terlebih dahulu dilakukan uji coba (workshop) pada para penari dari Sanggar Melati yang berlokasi di Jl. Hayam Wuruk Denpasar. Para penari yang mempelajari tarian ini di antaranya adalah Melati Danes dan Kadek Diana (istri dari I Gede Yudi). Kedua penari tersebut adalah anggota Keluarga Besar Manikan. Untuk gending Tari Legong Tombol yang telah berhasil direkonstruksi di Desa Banyuatis, kemudian direkam oleh penulis dan diserahkan kepada I Kadek Indra Wijaya, seorang penabuh dari Desa Kedonganan yang juga mahasiswa seangkatan penulis pada Jurusan Penciptaan Seni Program Doktor ISI Surakarta. Oleh Kadek Indra, rekaman gending tersebut dituangkan bersama para penabuh dari Desa Singapadu pimpinan I Ketut Budiyana. Proses penuangan gending ini dilakukan di Br. Kebon, Desa Singapadu. Jumlah anggota penabuh saat penuangan di Desa Singapadu berjumlah sekitar 15-17 penabuh. Dengan jumlah penabuh yang lebih banyak dari di Desa Banyuatis (yang saat rekaman pertama hanya berjumlah 10 orang penabuh), penuangan gending dirasa lebih maksimal. Setelah penuangan gending dianggap mencukupi, kemudian dilakukan perekaman. Proses rekaman ini dilakukan di Banjar Kebon, Desa Singapadu, Gianyar. Hasil dari proses rekaman kedua inilah yang dijadikan iringan saat workshop di Sanggar Melati, Denpasar. Setelah Melati Danes dan Kadek Diana berhasil menguasai Tari Legong Tombol, atas inisiatif I Gede Yudi kedua penari ini diminta untuk pentas (ngayah) di Pura Manikan, Desa Banyuatis, Buleleng sekitar pertengahan Bulan April 2014. Penampilan di Pura Manikan tersebut diiringi dengan rekaman gending Tari Legong Tombol yang kedua. 47

48 Setelah proses workshop dan ngayah bersama Sanggar Melati, penulis kemudian menghubungi Sanggar Santhi Budaya pimpinan I Gusti Bagus Eka Prasetya yang akrab disapa Gus Eka untuk meminta bantuan mendukung karya ini. Gus Eka, yang semasa kuliah adalah murid penulis di ISI Denpasar, menyanggupi untuk mendukung karya ini dengan mengirimkan 6 orang penari remaja untuk mendukung bagian regenerasi Tari Legong Tombol serta satu sekaa penabuh untuk mempelajari gending Tari Legong Tombol ini. Bahkan, yang bersangkutan berkeinginan agar Tari Legong Tombol ini nantinya menjadi salah satu materi pembelajaran tari tradisional di Sanggar Santhi Budaya. Proses penuangan materi tari dan tabuh Tari Legong Tombol dilakukan di Sanggar Santhi Budaya, Jl. Gunung Agung, No. 1, Singaraja, Buleleng tanggal 7 Juni 2014. Proses ini dituangkan kepada 6 orang pengajar Sanggar Santhi Budaya, yaitu : Ida Ayu Ketut Widya Utami, I Gusti Ayu Dwi Parwiti, Nyoman Puspitasari, Putu Megaleni Kusumayati, Kadek Novi Purwanti, Kadek Tiya Satyawati, menggunakan gending hasil rekaman kedua di Desa Singapadu, Gianyar. Penuangan materi Tari Legong Tombol ini selama 7 hari. Setelah proses penuangan kepada para penari di Sanggar Santhi Budaya, penulis melanjutkan proses penggarapan materi yang disajikan pada bagian pengenalan gerak dasar Tari Legong kepada penari anak-anak. Materi gerak yang telah dilatih pada bagian eksplorasi kemudian ditata urutannya agar para penari menjadi mudah menghafal.

Gambar 15. Latihan pelemasan tubuh penari anak-anak. Dok. Dewa Ode, 2015. Adapun urutan gerak yang disusun antara lain : a.) Pemanasan, meliputi pranayama (pengaturan nafas), dan peregangan (kayang) ; b.) Gerak kepala, meliputi ngotag, seledet dan ngileg ; c.) Gerak tangan, meliputi ngocok langse, ngeliput kipas, ngekes kipas, dan ngepel kipas ; d.) Gerak badan, meliputi ngocok pala dan ngelo ; e.) Gerak kaki meliputi nyeregseg dan ngumbang. Hal berikut yang digarap adalah sajian audio visual seniman I Wayan Rindi. Penulis mencoba mengeksplorasi aktivitas-aktivitas tersebut melalui pembelajaran lewat buku Rikka & Rindjie : Children of Bali karya Dominique Darbois tahun 1959, foto hasil repro dari buku tersebut maupun koleksi pribadi dari berbagai sumber, dan video yang memuat kesenimanan Rindi, oleh Edward Herbst, seorang profesor etnomusikologi dari New York, Amerika Serikat. Dipilihlah beberapa di antaranya yang terkait dengan kekaryaan. Bahanbahan yang sudah terkumpul lalu siap untuk diolah ke dalam format slide show yang disajikan melalui komputer dan proyektor. 49

4) Pemantapan Tahapan ini adalah usaha untuk memantapkan keseluruhan proses penggarapan yang telah dilakukan. Pertama, sebagai lanjutan proses rekonstruksi gending Tari Legong Tombol yang dibawakan oleh para penabuh dari Sanggar Santhi Budaya melakukan proses pemantapan dengan cara datang ke Desa Banyuatis dan mengundang pembina tabuh I Made Suweca. Para penabuh dari Sanggar Santhi Budaya mendapat berbagai masukan mengenai penjiwaan dalam membawakan gending tari, pendalaman teknik pukulan dan pengaturan dinamika gending. Setelah memahami teknik penyajian gending Tari Legong Tombol, proses pemantapan selanutnya adalah latihan bersama antara para penari Tari Legong Tombol berusia tua dan remaja dengan para penabuh dari Sanggar Santhi Budaya. Pemantapan ini dilakukan untuk memberi kesamaan rasa dalam menyajikan tari, menyamakan persepsi dalam hal pengulangan gerak dan struktur tari serta pengaturan tempo gending yang sesuai dengan pembawaan para penari. Pada proses ini juga diundang Meme Gumbring selaku pembina tari untuk memberikan masukan mengenai hal-hal yang perlu diberi perhatian dalam menyajikan Tari Legong Tombol. Pemantapan selanjutnya adalah penyajian Tari Legong Keraton Lasem yang dilakukan oleh penulis bersama dua orang penari pendukung, serta sekaa penabuh dari SMK Negeri 3 Sukawati, Gianyar. Pemantapan ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dalam menyajikan Tari Legong Keraton Lasem secara struktur, tempo dan dinamika. Disepakati bahwa Tari Legong Keraton Lasem yang disajikan adalah Tari Legong Keraton Lasem dengan struktur tari yang utuh. Adapun struktur yang dimaksud adalah : Papeson Condong, Papeson Legong, Bapang, Pangawak, Pangecet, Batel Maya, Pangrangrang, Pangipuk, Angkat-angkatan, Pasiat, Pakaad (Dibia, 2015 : 66). Adapun pembina tari dilakukan oleh penulis sendiri serta pembina tabuh adalah I Ketut Budiyana. 50

Gambar 16. Sekaa (grup) Semara Pagulingan SMK Negeri 3 Sukawati Sumber foto : Dok. I Wayan Aksara, 2015. Secara umum, pada tahap pemantapan ini seluruh bagian karya ini disusun secara berurutan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dimulai dari proses pengenalan gerak-gerak dasar Tari Legong kepada penari anak-anak, slide show kesenimanan I Wayan Rindi, pementasan Tari Legong Tombol oleh para seniman tua, pementasan Tari Legong Tombol oleh penari remaja, serta penyajian Tari Legong Keraton Lasem sebagai aspek kepenarian oleh penulis. 5) Persiapan Pertunjukan Tahapan selanjutnya adalah persiapan pertunjukan. Tahapan ini dimulai dengan pemasangan ornamen-ornamen khas Bali sebagai pertanda dilangsungkannya pergelaran karya seperti penjor, tamiang, dan gebogan agar suasana tampak lebih artistik. Di samping itu, tahap persiapan ini juga dilangsungkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti pengamanan dari pihak desa adat melalui satuan pacalang desa hingga aparat berwenang seperti Babinkamtibnas dan polisi agar kelangsungan pergelaran dapat terjaga keamanannya. 51

6) Pertunjukan Dalam Rangka Ujian Tugas Akhir Tahap terakhir adalah pertunjukan dalam rangka Ujian Tugas Akhir karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas di rumah Keluarga Besar Manikan, Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Pertunjukan dilaksanakan pukul 18.30 WITA dan berakhir pukul 20.30 WITA. Waktu pertunjukan dipilih pada malam hari, mengingat aktivitas warga yang dominan berlangsung pagi hingga sore hari, kemudian alasan pertunjukan yang menggunakan bantuan proyektor, maka kondisi sinar matahari diharapkan seminimal mungkin. 52

V BENTUK KARYA SENI 1. Wujud dan Struktur Karya Karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini merupakan sebuah pertunjukan yang berbentuk peragaan. Dalam karya ini, terdapat lima bagian pertunjukan yang berdiri terpisah satu sama lain namun tetap merupakan satu rangkaian hasil kerja kreatif, respon dari satu fenomena kesenian di lapangan. Kelima bagian tersebut disajikan secara berurutan dan dilakukan dengan cara dipentaskan kepada para penonton yang hadir di halaman rumah I Ketut Englan, anggota Keluarga Besar Manikan di Desa Banyuatis. Suasana alami yang tercermin dari tutur kata dan bahasa keseharian yang lugas diharapkan tidak menjadi semacam jarak antara pelaku dengan penonton. Masyarakat yang menghadiri pagelaran karya ini dibebaskan memilih tempat untuk menyaksikan bagian perbagian pertunjukan ini hingga akhir. Di dalam bentuk setiap karya seni, pada hakikatnya dibangun oleh sebuah struktur, yakni unit atau bagian yang bekerjasama 53

membangun suatu kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan. Adapun bagian-bagian yang membentuk karya ini menjadi satu kesatuan utuh antara lain : 1). Raga Kumara; yang berarti tubuh anak-anak. Bagian awal yang berisi tentang pelatihan gerak-gerak dasar Tari Legong, disajikan oleh 10 orang penari anak-anak dan remaja, serta dilatih oleh empat orang guru tari ; 2). Tindak Seni I Wayan Rindi ; Apresiasi kesenimanan I Wayan Rindi (alm.) yang disajikan dalam format multimedia audio visual ; 3) Tindak Legong Sang Werdha ; presentasi Tari Legong Tombol oleh para penari berusia lanjut sebagai wujud hasil rekonstruksi yang dilakukan ; 4). Tindak Legong Sang Anom ; Presentasi Tari Legong Tombol oleh para penari anakanak dan remaja yang mencerminkan dampak karya secara langsung kepada generasi muda di Desa Banyuatis ; 5). Pragina ; Presentasi Tari Legong Keraton Lasem sebagai wujud aspek kepenarian penulis. Sruktur Tari Legong Keraton Lasem yang dipresentasikan yaitu : Papeson Condong, Papeson Legong, Pangawak, Pangadeng, Batel Maya, Bapang Durga, Pasiat, dan Pakaad. 2. Penyajian Karya Seni Karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini disajikan bertempat di kediaman I Wayan Englan (alm.), salah seorang anggota Keluarga Besar Manikan, Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali (lihat denah halaman berikutnya). 54

Gambar 17. Peta Pulau Bali. Ibu Kota Provinsi Bali, Kota Denpasar Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Sumber : googleearth.com Lokasi ujian berjarak sekitar 77 Km dari pusat Kota Denpasar, dan dapat dicapai selama 2,5 jam perjalanan menggunakan angkutan darat. Di rumah tersebut ada tiga ruang yang digunakan untuk menyajikan karya ini, masing-masing adalah : 1. Bangunan Bale Daja untuk tempat pemasangan layar proyektor, 2. Natar atau halaman rumah tempat dilaksanakannya pementasan Tari Legong Tombol, Legong Lasem dan pelatihan tari. Pada bagian awal sajian karya, ditampilkan adegan pelatihan Tari Legong yang disajikan oleh 10 orang penari dan 1 orang guru tari. Bagian ini disajikan di natar rumah Keluarga Besar Manikan. Layaknya sebuah bentuk drama, adegan ini disajikan dengan dialog verbal, termasuk saat mengajar tari oleh para guru tari kepada murid-muridnya. Bagian selanjutnya adalah apresiasi sajian audio visual kesenimanan I Wayan Rindi (alm.) di Bangunan Bale Daja Keluarga Besar Manikan. Dipilihnya ruang ini karena dapat mengakomodasi 55

keperluan pemasangan layar proyektor serta minim cahaya yang mengganggu. Penyajian adegan ini menggunakan bantuan komputer yang dioperasikan oleh seorang operator. Bagian ketiga karya ini adalah penyajian hasil rekonstruksi Tari Legong Tombol oleh para seniman tua yaitu Meme Pintu dan Ni Nyoman Suparti. Penyajian tari ini dilakukan di natar rumah Keluarga Besar Manikan dan diiringi oleh para penabuh dari Sanggar Santhi Budaya menggunakan barungan Gong Kebyar. Bagian keempat karya ini adalah penyajian Tari Legong Tombol hasil workshop yang dilakukan kepada para remaja Desa Banyuatis. Tempat penyajian adalah di natar Keluarga Besar Manikan, diiringi oleh penabuh dari Sanggar Santhi Budaya, menggunakan barungan Gong Kebyar. Bagian kelima atau terakhir karya ini, adalah presentasi tari tradisi yaitu Tari Legong Keraton Lasem, sebagai wujud aspek kepenarian penulis. Presentasi ini disajikan oleh penulis bersama dua orang penari pendukung. Penulis dalam bagian ini memerankan tokoh Tari Condong yang biasa diperankan sejak masih muda. Tempat penyajian berlangsung di natar Keluarga Besar Manikan, menggunakan barungan Gamelan Semara Pagulingan Saih Lima, dibantu oleh para penabuh dari Sekaa penabuh dari Desa Singapadu, Gianyar. 3. Deskripsi Struktur Karya Seni Secara terperinci, berikut dipaparkan bagian demi bagian yang menyusun karya Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis: Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini. a) Bagian pertama : Raga Kumara : Pengenalan gerak-gerak dasar Tari Legong kepada anak-anak Bagian ini merupakan opening karya yang dilakukan secara on stage. Raga Kumara adalah istilah dalam Bahasa Bali berarti tubuh anak-anak. Tubuh anak-anak dalam sudut pandang kesenian dianggap sebagai tubuh yang polos, ibarat ruang yang belum diisi apapun. Penyajian proses pembentukan tubuh kepenarian kepada anak-anak ini dimaksudkan bahwa secara fisik, tubuh anak-anak 56

memiliki kelenturan yang baik sehingga jika dibentuk dan dilatih sejak dini diyakini akan melahirkan tubuh penari yang sanggup menyajikan teknik gerak tari yang sulit sekalipun. Penyajian bagian ini dilakukan dalam bentuk proses pembelajaran untuk mencapai suasana yang diinginkan yaitu keseharian. Penyaji pertunjukan pada bagian ini berjumlah 11 orang, terdiri dari seorang guru tari yang diperankan oleh penulis, dan 10 orang anak-anak sebagai murid yang diperankan oleh anak-anak dari Sanggar Santhi Budaya. Bagian pertunjukan bersuasana sekuler dan alami ini disajikan pada halaman rumah kediaman Keluarga Besar Manikan, Desa Banyuatis. Bagian garapan ini menitikberatkan pada proses pengenalan dan pelatihan gerak-gerak dasar Tari Legong kepada anak-anak, yang terinspirasi dari pengajaran Tari Legong oleh I Wayan Rindi pada zaman dahulu. Gambar 18. Proses latihan pranayama. Dok. Dewa Ode, 2015. Sebagaimana pola pengajaran para guru tari tradisional Bali pada masa lalu, pada bagian ini penulis yang berperan sebagai guru tari hanya menggunakan musik vokal yang menirukan gending tari sebenarnya. Pola seperti ini bertujuan untuk memperkuat rasa musikal serta kepekaan penari memadukan keharmonisan gerak 57

dengan gendingnya. Bagian ini diawali dengan proses pelatihan pernafasan yang disebut pranayama. Proses ini bertujuan untuk menyelaraskan pernafasan sehingga energi tubuh dapat dimanfaatkan secara optimal. Di samping itu pula, teknik pernafasan ini berkaitan dengan konsep ngunda bayu, yaitu pengaturan ke luar masuknya energi ke dalam tubuh melalui pernafasan. Selanjutnya, dilakukan proses pembentukan tubuh yang dilakukan melalui latihan gerak yang disebut ngelayak (kayang). Gerak ini merupakan salah satu gerakan khas Tari Condong Legong gaya Badung/ Denpasar yang melatih kelenturan tubuh. Kemudian, setelah gerakan ngelayak, dilakukan pembentukan sikap tubuh yang disebut agem. Agem merupakan sikap pokok yang mencirikan suatu tarian. Agem yang dilatih pada bagian ini adalah agem Tari Legong, dengan aturan sebagai berikut : Agem kanan, adalah sikap penari dengan posisi tangan kanan ditekuk ke depan, siku diangkat sedikit lebih tinggi dari bahu, tangan kanan sejajar dengan mata, tangan kiri juga ditekuk ke depan siku diangkat sejajar bahu, tangan kiri sejajar dengan dada. Berat badan di kanan, telapak kaki kanan berada sedikit di belakang telapak kaki kiri, dan lutut sedikit ditekuk. Gambar 19. Pelatihan Kayang untuk melatih kelenturan tubuh penari. Sumber : Dok. I Wayan Aksara, 2015. 58

Gambar 20. Pelatihan gerakan Seledet Sumber : Dok. I Wayan Aksara, 2015. Seniman Ni Ketut Arini Alit (72 tahun) menjelaskan bahwa I Wayan Rindi pada masa lalu menekankan pengajaran teknik gerak Tari Legong dengan sebutan 3N ; Nyeregseg, Ngumbang, dan Ngelo. Gerakan 3N ini oleh I Wayan Rindi merupakan pondasi yang harus dikuasai secara baik (Wawancara dengan Ni Ketut Arini Alit, 12 Nopember 2014 di Denpasar). Gerak Nyeregseg merupakan gerak perpindahan posisi yang dilakukan dengan merendahkan titik berat badan sembari melangkahkan kaki ke samping dengan volume kecil dan bertempo sangat cepat. Pelatihan gerak tari inilah yang dilakukan secara seksama dengan memasangkan alat musik gongseng sebagai indikator keberhasilan menguasai teknik gerak yang dimaksud. Gerak nyeregseg ini menitikberatkan pada latihan kekuatan otot paha dalam menopang berat tubuh. Teknik gerakan ngumbang, merupakan gerakan berpindah posisi dengan cara berjalan dengan titik berat badan diturunkan. Tempo yang digunakan adalah sedang, mengikuti ketukan musik. Gerakan ini menitikberatkan pada keseimbangan dalam bergerak, 59

serta melatih harmonisasi gerak tari dengan musik. Gerak selanjutnya adalah Ngelo, yang merupakan gerak statis yang dilakukan sambil bersimpuh dan berdiri. Gerakan ini menitikberatkan pada kelenturan dan keluwesan badan penari. Gambar 21. Pelatihan Gerak Ngelo Dok. I Wayan Aksara, 2015. Penggunaan dialog disesuaikan dengan suasana yang diinginkan. Untuk memenuhi suasana yang bersifat natural, dialog yang digunakan adalah berbahasa Indonesia, dengan jalur komunikasi dua arah. Sesekali pemeran guru tari memperagakan teknik tari, kemudian pemeran guru tari meminta pemeran murid tari untuk menari. Bagian garapan ini durasinya selama 15 menit. b) Bagian Kedua : Tindak Seni I Wayan Rindi : Audio Visual Kesenimanan I Wayan Rindi Bagian pertunjukan selanjutnya yang ditampilkan disebut dengan Tindak Seni I Wayan Rindi. Kata tindak dalam Bahasa Bali berarti langkah atau laku. Bagian ini berisi penyajian tayangan audio visual tokoh seniman I Wayan Rindi (alm.) yang dipresentasikan dengan bantuan alat proyektor dan layar putih. Tayangan ini berisi 60

tentang ketokohan I Wayan Rindi (alm.) dan kiprahnya dalam jagat seni. Mulai dari belajar menari, kemudian aktivitas mengajar tari, serta video saat dirinya menarikan Tari Condong bersama Ni Tjawan dan Ni Sadri. Durasi penyajian ini sekitar 10 menit. Penyajian tayangan ini dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi kepada I Wayan Rindi atas dedikasinya berkiprah di jagat seni tari Bali. Demikian juga sebagai sebuah apresiasi terhadap jasanya menciptakan bentuk Tari Legong Tombol yang kini menjadi milik masyarakat Desa Banyuatis. Penyajian tayangan ini dilaksanakan bertempat di rumah Keluarga Besar Manikan. Video yang disajikan dalam bagian ini bersumber dari rekaman milik Edward Herbst, seorang profesor dari New York, Amerika Serikat. Gambar 22. I Wayan Rindi Sebagai Penari Condong. Capture screen dari video milik Edward Herbst. c) Bagian Ketiga : Tindak Legong Sang Werdha : Tari Legong Tombol oleh para seniman tua. Kata Tindak dalam Bahasa Bali berarti langkah atau laku. Kata werdha dalam khasanah Bahasa Bali berarti tua atau sepuh. Jadi, pada bagian ini merupakan pementasan Tari Legong Tombol oleh 61

para penari berusia, yaitu seperti Meme Gumbring dan Meme Pintu. Bagian ini disajikan di halaman kediaman I Ketut Englan, sebagai muara dari proses rekonstruksi yang telah dijalankan. Di samping para penari tersebut, bagian ini disajikan oleh 20 orang penabuh barungan gamelan Gong Kebyar milik dari masyarakat Desa Banyuatis yang ditempatkan di kediaman Keluarga Besar Manikan. Gambar 23. Tari Legong Tombol oleh Meme Pintu (kiri) dengan Ni Nyoman Suparti (kanan). Dok. Dewa Ode, 2015. Barungan ini merupakan barungan gamelan Gong Kebyar gaya Bali Utara yang teknik peletakan bilah gamelannya dilakukan dengan cara memaku bilah, bukan menggantung bilah seperti yang lazim ditemukan pada perangkat serupa di daerah Bali Selatan. Barungan ini digunakan ketika para penari generasi pertama Tari Legong Tombol berlatih membangun kembali Tari Legong Tombol milik mereka. 62

Gambar 24. Adegan Pengawak, gerakan Ngelo. Sumber Foto : Dok. I Wayan Aksara, 2015. Untuk mencapai keinginan mewujudkan suasana yang sekuler dan alami, penulis menata gerak tubuh para pelaku agar sealami mungkin. Dengan kata lain, aktivitas keseharian tanpa penataan baku dilakukan demi memberi ruang improvisasi kepada para pelaku untuk berekspresi. Penulis memberi pengarahan sistematis terhadap alur adegan kepada para pelaku. Tata busana yang dipakai dalam adegan ini pun tidak lagi ditata demi kepentingan estetis semata. Busana yang digunakan dalam adegan ini adalah busana keseharian yang biasa mereka gunakan, namun tetap mengedepankan norma-norma positif dan etika yang berlaku. Secara umum, penulis mengarahkan agar para penabuh, menggunakan baju kaos, kain/kamen, selendang, dan udeng. Tentu dalam praktiknya di lapangan, perubahan terhadap busana yang digunakan dimungkinkan terjadi demi kenyamanan pelaku. Demikian pula kepada penari, penulis mengarahkan penggunaan busana yang nyaman untuk mereka berlatih tari. Umumnya, busana yang digunakan berupa baju kaos, kamen, dan selendang. 63

Para penari Legong Tombol, telah disiapkan satu set pakaian tari yang dirancang ulang dengan pendekatan estetis penulis terhadap keterangan-keterangan Meme Gumbring terkait dengan pakaian tari yang digunakan pada zaman dahulu. Sekitar tahun 1960-an secara konsep, pakaian tari ini masih mengacu pada pakem busana Tari Legong, seperti gelungan papudakan, baju lengan panjang, sabuk dada, simping, lamak, ampok-ampok, dan kain/kamen. Satu hal yang khas dalam Tari Legong Tombol ini adalah penggunaan hiasan bunga delima konta. Bunga tersebut diletakkan pada puncak hiasan onggar/ bancangan yang diletakkan di kedua sisi gelungan. Biasanya, hiasan onggar ini pada kebiasaan penari Bali pada umumnya terdiri dari susunan bunga kamboja yang ditata rapi, sedangkan bagi masyarakat Desa Banyuatis, susunan bunga kamboja tersebut dikombinasikan dengan meletakkan bunga delima konta pada puncak susunan tersebut. d) Bagian keempat : Tindak Legong Sang Anom : Tari Legong Tombol oleh anak-anak muda sebagai Outcome karya. Tindak Legong Sang Anom, berarti sebuah laku pembelajaran Tari Legong Tombol yang dilakukan oleh para remaja (anom). Bagian ini berisi penyajian Tari Legong Tombol oleh para penari muda yang berasal dari Desa Banyuatis, serta beberapa dari desa lain di Buleleng sebagai dampak dari hasil rekonstruksi Tari Legong Tombol yang telah dilakukan. Tari ini disajikan 10 orang penari perempuan berusia 15-25 tahun. Para penabuh yang mengiringi pementasan ini berjumlah 30 orang. 64

Gambar 25. Tari Legong Tombol Oleh Seniman Muda. Dok. Dewa Ode, 2015. Berikut adalah daftar ragam gerak Tari Legong Tombol yang diberikan pada saat workshop kepada para penari anak-anak dan remaja : No. Nama Gerak Penjelasan 1. Papeson : Bagian awal struktur tari. 2. Agem : Sikap pokok menari. 3. Ngumbang Luk Penyalin 4. Mungkah Lawang : Gerakan berjalan atau lokomotif ke kanan dan ke kiri. Posisi lutut ditekuk, telapak kaki sejajar, pinggang digerakkan ke kanan dan ke kiri (ngegol), siku diangkat, jari tangan satu sejajar mata dan satunya lagi sejajar dada (payudara). : Kedua telapak tangan menghadap ke depan bertemu di depan wajah (posisi agem), kemudian perlahan sedikit demi sedikit ditarik kesamping. 65

No. Nama Gerak Penjelasan 5. Seledet : Gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri diikuti gerakan dagu. 6. Luk Nerudut : Gerakan badan dari samping kanan ke samping kiri diikuti gerakan tangan tinggi dan rendah. 7. Ngangget : Gerakan bola mata ke sudut atas kemudiankembali ke tengah diikuti posisi salah satu tangan berada di tengah dada dengan jari tengah menyentuh dada. 8. Ngotag : Gerakan dagu yang cepat ke kiri dan kekanan. 9. Ngeseh : Gerakan bahu maju mundur bergantian dilakukan dengan tempo yang cepat. 10. Nabdag Gelung : Posisi tangan kiri (jari telunjuk atau jari tengah) menyentuh mahkota (gelungan). 11. Ngutek : Gerakan jari tangan, kaki, dan kepala digerakkan bersamaan ke samping kanan dan ke kiri. 12. Ngengsog : Gerakan dada dikuti tangan ke kanan dan ke kiri. 13. Nyilat : Gerakan kaki dan tangan menyilang diikuti dengan pinggang. 14. Ngepik : Gerakan tangan rebah ke kanan dan ke kiri berulang-ulang diikuti gerakan kaki yang diangkat bergantian. 15. Ngegol : Gerakan pinggul di goyangkan ke kiri dan kanan secara bergantian. 16. Pengadeng : Bagian tari yang memiliki tempo lebih pelan, yang biasanya berisi inti cerita dalam struktur Tari Legong. 66

No. Nama Gerak Penjelasan 17. Ngelo : Kepala direbahkan ke samping kiri, arah hadap ke depan, dagu digerakkan ke samping kiri kemudian kepala direbahkan ke samping kanan. 18. Pengecet : Bagian interaksi pada struktur Tari Legong. 19. Gelatik Nuut Papah : Gerakan kaki menyilang ke samping kanan dan kiri dilakukan bergantian. 20. Gayal gayal : Gerakan berjalan dalam tempo sedang. 21. Nyeregseg : Posisi kaki berjinjit digerakkan ke samping kanan dan kiri secara bersamaan dengan tempo cepat. 22. Ngekes : Posisi kipas dikepal mengarah ke dada. 23. Ngembat : Gerakan dalam posisi agem, satu tangan menekuk dan satu tangan lainnya dalam posisi lurus sejajar bahu. 24. Ngiluk : Posisi kipas mengepal, pergelangan tangan menghadap kebawah. 25. Ngenjet : Posisi lutut naik dan turun perlahan diikuti gerakan badan dan tangan ke sisi kanan dan kiri. 26. Nyalud : Gerakan pergelangan tangan dilakukan bersamaan dilakukan dengan telapak tangan menghadap ke atas dan ke bawah. 27. Pangipuk : Bagian tari berpasangan 28. Makilit : Gerakan penari saling berhadapan berjalan dengan mengikuti pola angka delapan. 67

No. Nama Gerak Penjelasan 29. Ngucek : Gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri yang dilakukan dengan tempo yang sangat cepat. 30. Pekaad : Struktur akhir dalam tarian. 31. Ngeliput : Gerakan kipas diputar dengan pergelangan tangan sebagai porosnya. 32. Nyakup Bawa : Posisi agem dengan telapak tangan kiri menyangga tangan kanan di depan dada. Gambar 26. Workshop Tari Legong Tombol kepada para penari remaja di Desa Banyuatis Dok. Ida Ayu Wimba, 2015 e) Bagian Kelima : Pragina : Tari Legong Keraton Lasem Pragina dalam Bahasa Bali berarti seorang yang memiliki kemampuan seni yang mendalam. Kemampuan yang mendalam tersebut tidak hanya sebatas keterampilan teknik menggerakkan anggota tubuh secara estetis, namun juga menyentuh makna 68

filosofis dan pendalaman rasa gerak yang dilakukan. Bagian ini merupakan pementasan Tari Legong Keraton Lasem yang disajikan secara langsung oleh penulis bersama dua orang penari lainnya. Tari Legong yang dipentaskan pada bagian ini adalah Tari Legong gaya Badung/Denpasar. Sebagai catatan, Tari Legong gaya Badung/ Denpasar ini sudah direkam audio dalam bentuk kaset pita no. 440 produksi Bali Stereo, KOKAR Bali tahun 1971 (Arini Alit, 2015 : 111). Rekaman kaset ini telah digunakan di berbagai institusi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebagai materi dasar berlatih Tari Legong. Penulis memerankan tokoh Condong. Para penabuh yang mengiringi bagian ini sebanyak 25 orang dengan menggunakan barungan gamelan Semara Pagulingan Saih Lima, oleh para penabuh dari Desa Singapadu, Gianyar di bawah asuhan I Ketut Budiyana. Gending yang diajarkan adalah gending Tari Legong Keraton Lasem. Gambar 27. Tari Condong Legong Keraton Lasem Sumber foto : Dok. I Wayan Aksara, 2015 69

Tari Legong Keraton Lasem adalah salah satu bentuk tari genre palegongan di Bali yang cukup lazim dikenal dan dipentaskan. Tari ini mengisahkan perjalanan Prabu Lasem yang hendak berangkat menuju medan perang. Namun sebelum itu, ia bertemu dengan Diah Rangkesari. Dalam pertemuan itu, Prabu Lasem diingatkan untuk menunda keinginannya berperang. Sebab, Diah Rangkesari mendapat firasat bahwa Prabu Lasem akan menemui kekalahan. Prabu Lasem tidak mengindahkan himbauan tersebut dan berangkat ke medan laga. Di tengah jalan, ia dihadang dan disambar-sambar oleh seekor burung gagak. Prabu Lasem murka lalu berperang melawan burung gagak tersebut, hingga sang burung gagak terluka dan muntah darah. Barulah Prabu Lasem sadar bahwa kekhawatiran Diah Rangkesari ternyata benar (Arini Alit, 2015 : 117). Gerak tari yang disuguhkan adalah gerak Tari Legong Keraton Lasem. Sajian gerak tari yang dimaksud antara lain : 1. Pangawit Condong a) Ngocok langse, mungkah lawang, nyeledet. b) Luk Nerudut, ngurat daun c) Ngotag leher, ngotag pala d) Ulap-ulap, tawing, seh pala, ganti agem kiri e) Ngotag leher (dengan leher turun naik secara pelan dan cepat) f) Ombak angkel, ngombak rangkep g) Ngegol (gerakan pinggul ke kiri dan ke kanan) h) Nyelempoh (bersimpuh), ngelo i) Ngenjet, ngejat pala, ngeregah, ngumad, ngutek telu, nyeregseg j) Ngeregah, ngumad, ngutek telu, ngumbang k) Gerak rebut muring, ngocok bunga, nuduk bunga, ngeregah, ngumad ( diulang dua kali) l) Ngumbang m) Ambil kipas, Lelasan megat yeh n) Ngepik, ngumbang o) Metimpuh meghadap ke kedua penari Legong 70

2. Papeson Legong a) Agem kanan, luk nerudut, seledet nyegut, ngotag kiri dan kanan b) Ngombak nyogok kiri, mentang tangan kanan (gerakan diulang pada bagian kiri) c) Condong metayung ngotes. Kemudian ngegol langsung ngenjet d) Legongmelakukan gerakan nyilat, ngumbang e) Condong menyerahkan kipas pada kedua Legong 3. Bapang a) Bapang durga (kanan dan kiri), ngelung, ngeregah, ngumad, ngutek b) Ngumbang ombak segara, nyeregseg, tanjek ngandang (kemudian balik arah dari belakang lalu ke depan), tanjek panjang, gulu wangsul. 4. Pangawak I a) Pengawak Legong Lasem terdiri dari tiga kemong dan satu kempur dalam satu gongan. b) Aksen angkat pala, tanjek bawak kiri, tanjek ngiluk panjang kiri, ngenjet ngeed, panjang, nanjek ngempat c) Ngencet, ngubit kanan, ngelus, sogok kanan, meserot. d) Tanjek bawak kiri dan kanan, ngubit, ngelus ngekes, ngencet. e) Ngengsog, ngelus, ngeliput, dorong kanan, panjang kanan, ngiluk 5. Pengawak II Paileh sama dengan pengawak pertama. Pada waktu meserot tangan kiri nyakil, pada pengawak kenong kedua. Terdiri dari tiga kenong dan satu kempur dalam satu lingkaran gong, sampai ngencet. 6. Pengawak III Pengawak ini terdiri dari tiga kenong dan satu kempur dalam satu gongan, sampai ngencet. a) Tanjek ngandang, mentang laras, milpil b) Tanjek ngandang, tanjek panjang, berhadapan dilanjutkan batel maya, ngeliput, jalan galah, jalan berbeda arah 71

kemudian berpisah (penokohan Prabu Lasem dan Diah Rangkesari) 7. Pengipuk a) Tokoh Prabu Lasem menghadap ke belakang panggung, tokoh Diah Rangkesari dengan ekspresi sedih menatap kedepan dengan gerakan yang berbeda. b) Prabu Lasem : nabdab payas gelang dan gelungan. Rangkesari : metetangisan. Prabu Lasem berjalan mendekati dan merayu Rangkesari, Rangkesari menolak dengan menjauhkan diri. c) Gerakan menyubit, Rangkesari tetap menolak dengan menepisnya dan masuk ke kamarnya (ke belakang panggung). 8. Pesiat Prabu Lasem marah dan berangkat ke medan perang, dalam perjalanan burung gagak menghalangi dan memuntahkan darah sebagai tanda kekalahan prabu Lasem lalu mengusirnya. Burung gagak mengibaskan sayapnya yang lebar dan prabu Lasem tetap bertekad maju terus tanpa pantang mundur ke medan perang. 9. Pekaad a) Ngeliput pendek, tanjek ngandang telu, mentanjek panjang kiri, gulu wangsul. Gambar 28. Penari Legong Lasem berbusana lengkap. Dok. Ida Ayu Wimba, 2015. 72

Adapun struktur Tari Legong Keraton Lasem dalam karya ini adalah sebagai berikut. a) Papeson Tari Condong : Tampil seorang tokoh Condong. b) Papeson Legong : Tampil dua orang penari Legong c) Bapang : Bagian tari yang menyajikan gerak abstrak d) Pangawak : Bagian pokok Tari Legong, berisi sajian tari murni yang seirama dengan pukulan kendang. e) Pangecet : Bagian tari yang bersuasana ceria dan diiringi musik yang lebih bergairah f) Batel Maya : Peralihan dari bagian abstrak menuju bagian dramatik g) Pangipuk : Adegan Prabu Lasem berusaha merayu Diah Rangke Sari h) Pasiat : Perjalanan Prabu Lasem ke medan perang yang dihadang oleh seekor burung gagak, yang diperankan oleh penari Condong. i) Pakaad : Bagian akhir tarian ditandai dengan gerak ngembat. 73

74

VI REKONSTRUKSI TARI LEGONG TOMBOL: KREATIVITAS DALAM USAHA PELESTARIAN 1. Istilah Rekonstruksi di Luar Bidang Seni Rekonstruksi adalah salah satu aliran filsafat yang memandang bahwa harus ada perubahan tatanan sosial yang lebih baik setelah perang dunia ke-2. Rekonstruksi, sebagaimana diungkapkan oleh B.N. Marbun (1996 : 469) adalah sebuah usaha pengembalian sesuatu ke tempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Sebelum memasuki pembahasan mengenai rekonstruksi sebagai suatu disiplin ilmu di bidang seni, penulis ingin memberikan gambaran umum menganai penggunaan rekonstruksi di luar bidang seni untuk mendapatkan perspektif lain dari bidang sains. Di luar bidang seni, istilah rekonstruksi biasanya juga digunakan oleh banyak disiplin ilmu. Di bidang hukum misalnya, rekonstruksi dibutuhkan dalam melihat kembali proses kejadian atau peristiwa 75

yang berkaitan dengan pidana oleh penyidik untuk memperoleh gambaran komprehensif suatu tindak pidana. Sebagaimana diutarakan oleh Hamzah (2005:52), rekonstruksi adalah penyusunan kembali, reorganisasi, usaha memeriksa kembali kejadian terjadinya delik dengan mengulangi peragaan seperti kejadian yang sebenarnya. Ini dilakukan baik oleh penyidik maupun oleh hakim untuk memperoleh keyakinan. Gambar 29. Rekonstruksi pembunuhan seorang gadis yang mayatnya dimasukkan ke dalam lemari. Sumber : Youtube.com, KompasTV, Maret 2020. Di bidang arkeolgi dan kesehatan, rekonstruksi wajah merupakan salah satu metode identifikasi forensik. Nelson dan S.D. Michael (dalam Apriyono, 2009:131) menjelaskan bahwa metode rekonstruksi wajah merupakan suatu proses pembentukan kembali wajah seseorang dari sisa-sisa tengkoraknya dengan menggabungkan seni dan ilmu pengetahuan tentang forensik, tulang tengkorak dan antomi wajah. ada tiga teknik yang sering digunakan oleh para pakar dalam metode rekonstruksi wajah, antara 76

lain : 1. Teknik 2 Dimensi yang menghasilkan rekonstruksi wajah berupa potret/gambar/lukisan tangan ; 2. Teknik 3 Dimensi yang menghasilkan citra digital berbasis pemrograman komputer dan 3. Teknik Superimposisi yang dilakukan dengan menumpukkan foto wajah seseorang di masa hidupnya dengan foto tengkorak yang ditemukan. Asumsinya adalah jika foto masa hidup dengan tengkorak yang ditemukan adalah milik orang yang sama, maka seharusnya memiliki penanda anatomis wajah yang sama (Lundy, dalam Apriyono, 2009: 133). Beberapa studi kasus rekostruksi wajah mumi dari zaman Mesir Kuno telah dimuat dalam berbagai berita dan jurnal. Salah satunya adalah rekonstruksi wajah dari Raja Tutankhamun, salah satu Firaun terkenal dari era Kerajaan Mesir Kuno yang memerintah pada 1334-1325 SM (A Guide Tour by The Oriental Institute Museum, University of Chichago) yang muminya ditemukan pada 1922 oleh Peneliti Mesir Kuno asal Inggris, Howard Carter (Pausch, Niels Christian, Franziska Naether and Karl Fredrich Krey, 2015 : 702). Sisa tengkorak milik Raja Tutankhamun kemudian diteliti dan direkonstruksi dengan bantuan teknologi CT Scan dan pemodelan rendering 3 Dimensi, menghasilkan rupa wajah sang raja seperti dalam gambar di bawah. Gambar 30. Kiri : tengkorak mumi Raja Tutankhamun saat ditemukan dan Kanan : hasil rendering 3 Dimensi rekonstruksi wajah Raja Tutankhamun secara digital. Sumber foto : Pausch, Niels Christian, Franziska Naether and Karl Fredrich Krey, 2015. 77

Beberapa data yang terungkap dalam rekonstruksi yang dilakukan di bidang lain di luar seni pertunjukan tersebut di atas menunjukkan adanya benang merah yaitu menyusun kembali sesuatu seperti sediakala berdasarkan bahan-bahan yang tersisa dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuannya pun serupa yaitu memperoleh gambaran yang konsisten dan mendekati kenyataannya dari bahan-bahan yang tersedia, baik secara oral maupun benda. Menurut Qardhawi (dalam Hamdi, 2018:189), rekonstruksi mencakup tiga poin penting, yaitu : (1) Memelihara inti bangunan asal dengan tetap menjaga watak dan karakteristiknya; (2) Memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah, dan (3) Memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik aslinya. Rekonstruksi dapat dipahami sebagai suatu upaya pembaharuan bukanlah menampilkan sesuatu yang benar-benar baru. Namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali kemudian menerapkannya dengan realita saat ini. Berdasarkan pendapat Qardhawi tersebut, maka pendekatan rekonstruksi yang dilakukan dalam karya ini berupaya untuk selain membangun kembali bangunan lama berupa bentuk asli Tari Legong Tombol, juga menginterpretasi ulang terian tersebut sesuai perkembangan ilmu koreografi di masa kini. 2. Kreativitas dalam Rekonstruksi Tari Legong Tombol Ada tiga jenis teknik kreativitas yang dilakukan untuk menjadikan utuh Tari Legong Tombol dan dapat digunakan di masa kini, yaitu : (1) Mengembangkan; (2) Menyempurnakan dan (3) Menciptakan baru (Wimba Ruspawati, 2020 : 76). Pada teknik mengembangkan, ada beberapa motif gerak baku yang masih diingat oleh narasumber yang secara teknik gerak perlu distylisasi untuk disesuaikan dengan estetika kekinian. Pada teknik menyempurnakan, teknik gerak yang masih dikuasai dimantapkan secara teknik sehingga tampak lebih kuat dan jelas. Sedangkan pada teknik menciptakan baru, lebih merupakan sambungan dari bagian vokabulasi gerak yang hilang yang sama sekali bukan merupakan 78

tempelan dari gerak tari lainnya. Berikut disampaikan data mengenai teknik-teknik yang digunakan pada tahap reinterpretasi ini : Teknik Reinterpretasi Mengembangkan Menyempurnakan Menciptakan baru Nama Gerak Ngelo Ngumbang Ngangsel Ngucek Ngenjet Gelatik Nuut Papah Nyelendo Nyilat Ngigelang Lamak Ngempak Bagian Tari Papeson Pangawak, transisi ke Pangecet dan Pakaad. Pangawak, Pangawak dan Pangecet Pangecet Pangawak Pangecet Nyarang Pangecet Tabel daftar ragam gerak yang direinterpretasi dalam proses rekostruksi Tari Legong Tombol. Berikut merupakan penjelasan dari ragam gerak yang direinterpretasi dalam usaha rekostruksi Tari Legong Tombol sesuai tabel di atas : a. Mengembangkan : 1) Ngelo Gerak ini ada pada bagian papeson. Gerak ngelo ini awalnya dilakukan hanya rebahan tubuh ke kanan dan kiri yang sangat sederhana. Untuk menambah estetis gerak ini, dikembangkan dengan cara menambahkan gerakan kipas dan olahan tubuh yang diperkuat. 79

2) Ngumbang Ngumbang adalah salah satu bentuk gerak perpindahan yang dalam teknik dasar gerak tari Bali disebut dengan tandang. Pada proses rekonstuksi Tari Legong Tombol, awalnya gerak ini dilakukan secara statis sehingga banyak musik yang tidak terisi gerakan. Oleh karena itu, gerak ini dikembangkan dengan cara menambah beberapa detail kecil gerak langkah kaki sehingga musik dapat diisi lebih padat. A B 3) Ngangsel Gambar 31. A. Gerak ngelo ; B. Gerak ngumbang Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020. Ngangsel adalah gerakan transisi menuju motif gerakan baru. pada tari Legong Tombol, awalnya dilakukan hanya fokus pada bagian tubuh tanpa angkatan kaki, yang mana gerak ini terlihat kurang greget. Sehingga dikembangkan dengan penambahan angkatan kaki yang membuat tarian ini terlihat lebih energik. 4) Ngucek Teknik gerak ngucek merupakan gerakan yang fokus pada mata. Gerak ngucek pada dasarnya merupakan gerakan 80

sledet yang dilakukan secara beruntun menyesuaikan dengan musik. Awalnya gerakan ini dicontohkan dengan mengutamakan gerak tangan namun sledet yang dilakukan kurang maksimal dan proses gerakan yang statis karena kipas tidak dimainkan. Maka untuk itu, dilakukan pengembangan gerak ngucek dengan memanfaatkan gerakan kipas ngeliput dan menambahkan jumlah sledet dari hanya dua kali menjadi empat kali sesuai dengan aksen musik. Selain itu untuk menajamkan aksen sekaligus menciptakan ciri khas kebyar, maka dilakukan pengembangan dengan penambahan pose mengangkat kipas ke atas kepala pada akhir musik. C D 5) Ngenjet Gambar 32. C. Gerak ngangsel ; D. Gerak ngucek Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020. Teknik gerak ngenjet ini dilakukan pada bagian pakaad atau akhir tarian. Awalnya gerak tari ini dilakukan dengan kualitas gerak mengalir. Oleh karena dirasa kurang aksen, maka gerak ini dikembangkan dengan menambahkan aksen mengikuti musik tari. Selain dari kualitas gerak, juga dikembangkan komposisi pola lantai agar variatif sehingga tampak lebih menarik. 81

Gambar 33. Gerak ngenjet Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020. b. Menyempurnakan 1) Gelatik Nuut Papah Teknik gerak ini secara vokabulasi telah utuh, namun secara komposisi, hanya dilakukan di tempat. Untuk itu, gerakan ini disempurnakan dengan menyempurnakan teknik dan pola lantainya. 2) Nyelendo Pada khasanah budaya tari Bali, nyelendo adalah salah satu gerak tradisional Bali yang biasa digunakan berbagai genre tari. Gerak ini adalah gerak berpindah melangkah ke belakang yang biasanya diikuti dengan gerak mata sledet. Awalnya teknik nyelendo ini dilakukan di tempat tanpa lintasan pola lantai. Selain itu gerak ini dilakukan statis sehingga musik banyak yang tidak terisi gerak. Untuk itu, gerak ini disempurnakan dengan menambah repetisi gerak 82

menjadi dua kali dan dilengkapi variasi minor untuk memadatkan gerak dengan musik. 3) Nyilat Gerak nyilat dalam vokabulasi tari tradisional Bali merupakan gerak statis dengan posisi kaki menyilang ke belakang. Vokabulasi gerak ini awalnya dilakukan sangat sederhana karena dilakukan di tempat saja. Oleh karena itu secara estetika kurang menarik. Untuk itu gerak nyilat ini disempurnakan dengan dilakukan mundur dan ditambahkan aksen ngenjet untuk memperindah tampilan secara visual. A B C Gambar 34. A. Gerak gelatik nuut papah ; B. Gerak nyelendo ; C. Gerak nyilat Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020. c. Menciptakan Baru 1) Ngigelang Lamak Gerak ini diciptakan baru oleh karena pada bagian pangawak gerak yang dilakukan oleh narasumber kurang dilakukan dengan yakin. Untuk mengisi aksentuasi musik, narasumber hanya menggerakkan tangan ke depan karena gerak aslinya dilupakan. Mengingat lamak sebagai salah satu bagian kostum Tari Legong secara umum yang sering dimanfaatkan dengan gerak oleh, maka pada bagian ini 83

diciptakan gerakan gerak ngigelang lamak (dalam bahasa Bali berarti menarikan lamak ), agar tampilan tari lebih estetis dan bagian yang hilang dapat diisi. Gerakan ini disetujui oleh narasumber untuk mengisi bagian yang hilang. Gambar 35. Gerak Ngigelang Lamak Dokumentasi : Screenshot video dokumentasi Ujian TA IA. Wimba Ruspawati, 2015. 2) Ngempak Gerak ini diciptakan baru untuk menyambung bagian tari yang dilupakan oleh narasumber. Gerak ini dapat dilihat pada bagian pangecet. Sumber gerakan ini berasal dari peragaan gerak narasumber sebelum bagian ini serta aksentuasi musik yang coba direspon. Gerak ini terinspirasi dari goyangan pohon delima yang terhempas angin yang tumbuh di sekitaran tempat proses rekonstruksi dilakukan, yang seolah rubuh (dalam bahasa Bali : empak) namun memantul kembali ke atas. Hasil dari gerak ngempak ini kemudian disetujui oleh narasumber untuk digunakan untuk menggantikan gerakan yang hilang. Gerak ngempak ini dilakukan dua kali (kanan dan kiri) serta divariasikan dengan menggunakan kipas khusus pada pengulangan gerak di bagian pertama (kanan). 84

3) Nyarang Gambar 36. Gerak ngempak Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020 Gerak nyarang ini bermula dari pengamatan yang dilakukan pada pohon delima yang diguyur hujan hingga cabang pohonnya yang dipenuhi bunga rebah ke samping namun tidak patah. Dari keindahan bentuk cabang (dalam bahasa Bali : carang) pohon yang rebah ini kemudian gerak ini tercipta. Awalnya bagian gerak yang terdapat di bagian pangecet ini dilupakan oleh narasumber. Pada saat proses rekonstruksi ini dilakukan, narasumber mengingat-ingat gerak yang dilakukan dengan merebahkan badan ke kanan dan kiri (dalam bahasa Bali : ngebah). Dari sini gerak nyarang ini diciptakan untuk menyambung vokabulasi gerak sebelumnya sekaligus menambah rasa estetis dan dinamis tarian melalui desain gerak yang tajam dan kontras. 85

A B Gambar 37. A. Gerak nyarang kanan ; B. Gerak nyarang kiri Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2020. Regenerasi Tari Legong Tombol Setelah direkonstruksi, Tari Legong Tombol kemudian didiseminasikan melalui workshop kepada para penari muda lokal Desa Banyuatis yang tergabung dalam Sanggar Seni Gerbang Nusantara maupun dari Kabupaten Buleleng secara umum yang tergabung dalam Sanggar Seni Santhi Budaya yang berdomisili di Kota Singaraja yang juga merupakan pendukung karya tari ini. 86

Gambar 38. Proses regenerasi Tari Legong Tombol kepada para penari muda di Sanggar Santhi Budaya, Kota Singaraja Dokumentasi : IA. Wimba Ruspawati, 2015. 3. Hambatan dan Solusi dalam Berproses Dalam usaha berproses mewujudkan dan menyajikan karya Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas tentunya dijumpai beberapa hambatan dan rintangan. Adapun berapa yang dialami dalam proses ini antara lain : Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa beberapa pendukung karya ini telah memasuki usia senja, sehingga keterbatasan fisik menjadi hambatan utama bagi mereka untuk mengikuti proses yang telah ditetapkan oleh penulis. Beberapa kali proses latihan yang dilaksanakan sesuai jadwal, namun tiba-tiba beberapa dari penari dan penabuh berusia senja tersebut berhalangan karena alasan kesehatan. Hal yang menurut penulis sangat manusiawi karena hal tersebut bersifat kodrati. Solusi yang dilakukan untuk kondisi ini adalah penulis berinisiatif melakukan pemeriksaan kesehatan kepada beberapa pendukung karya yang terhambat masalah kesehatan, khususnya Meme Gumbring yang cukup sering berhalangan latihan. Beberapa kali pemeriksaan yang dilakukan, penulis yang dibantu suami Ida Bagus Wiryanatha yang berprofesi dokter selalu memberikan 87

suplemen dan vitamin kepada Meme Gumbring. Setelah beberapa waktu berlalu, usaha tersebut dirasa cukup memberi dampak positif dan Meme Gumbring serta beberapa penabuh lain yang memiliki kondisi serupa pun lebih leluasa terlibat dalam proses latihan. Hambatan dukungan psikologis dari keluarga Meme Gumbring yang kesehariannya menjadi pengansuh pada dua orang cucunya di keluarga bapak Gapur dan istri yang merukapan menantu tiri Meme Gumbring. Awalnya keluarga bapak Gapur tinggal di daerah Denpasar Utara ketika pertama kali mencari Meme Gumbring sebagai narasumber. Selang beberapa lama keluarga bapak Gapur berpindah tempat tinggal di Denpasar Barat seputaran Jl. Imam Bonjol tepatnya di Balai Latihan Kerja Industri dan Pariwisata tanpa mengkonfirmasi penulis yang sempat putus hubungan dengan Meme Gumbring. Selepas bertemu dengan Meme Gumbring dengan kaget dan spontan Meme mengutarakan untuk mengundurkan diri sebagai penari dan tidak lagi terlibat untuk urusan Legong Tombol. Serasa mulut ini tak kuasa berkata-kata saat itu juga penulis segera mencari solusi dengan keluarga bapak Gede Yudi. Berdasarkan hasil pembicaraan kembali kepada keluarga Bapak Gapur maka Meme Gumbring berkomitmen kembali menyukseskan rekonstruksi Tari Legong Tombol. Jadwal latihan yang terkadang terbentur dengan kegiatan individu masing-masing pendukung karya baik dengan pendukung tari maupun dengan sekaha penabuhnya sendiri. Solusinya yang didapat adalah dengan sabar selalu berkomunikasi dan mengikuti kesepakatan dengan seluruh pendukung. Kedua, harus diakui penggarapan karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini membutuhkan biaya produksi sangat besar. Jarak Desa Banyuatis yang cukup jauh dari kediaman penulis di Desa Kesiman, Kota Denpasar. Jarak tempuh sejauh kurang lebih 77 Km ini membuat biaya transportasi menjadi cukup tinggi. Selanjutnya, karena karya ini melibatkan orang banyak, penulis harus menyiapkan anggaran untuk konsumsi selama proses latihan. Kemudian, penulis melibatkan beberapa pihak dari luar untuk membantu penyajian karya ini, seperti meminta bantuan kepada Sekaa Gong Semara Pagulingan Saih Lima dari Desa 88

Sidakarya, Kota Denpasar. Anggaran yang disiapkan adalah transportasi untuk mengangkut personel penabuh dari SMK Negeri 3 Sukawati, Gianyar ke lokasi latihan. Lalu biaya sewa gamelan untuk digunakan sebagai pendukung karya. Dengan melihat postur pengeluaran biaya seperti tersebut di atas, penulis lalu berinisiatif mengajukan proposal kepada beberapa pribadi di dalam Keluarga Besar penulis sebagai solusi hambatan financial. Adapun pihak keluarga yang sudah berhasil dimohon bantuan dana antara lain : Griya Santrian Group Hotel, Owner Matahari Beach Hotel, I Wayan Subawa (mantan Sekda Kabupaten Badung), I Nyoman Popo Danes (konsultan arsitek), sedangkan proposal yang sedang diproses antara lain kepada : Ida Bagus Alit (pengacara) dari Geriya Sanur Denpasar. Namun, perlu juga disampaikan dalam tulisan ini, hal-hal yang meringankan dari postur pengeluaran tersebut di atas. Pertama, kesediaan Keluarga Besar Manikan untuk meringankan pengeluaran penulis di bidang konsumsi latihan. Kedua, adanya bantuan dari Pemerintah Kabupaten Buleleng yang dalam hal ini difasilitasi oleh Kadispenda Kabupaten Buleleng Ida Bagus Puja Erawan. Bantuan yang datang berupa unit kendaraan untuk membantu kelancaran transportasi ketika penulis kekurangan armada. Ketiga, sebagai pribadi, beliau seringkali membantu penulis khsususnya menyangkut tempat menginap ketika sewaktu-waktu memerlukan tempat menginap bagi para pembimbing karya yang 89ating melihat proses berkarya yang sedang dilakukan. Desa Banyuatis adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kabupaten Buleleng, sedangkan penulis berdomisili di Desa Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Jarak yang membentang antara kedua desa ini adalah sekitar 77 km, dan juga medan yang harus dilalui cukup terjal. Hal yang berpengaruh dari hambatan geografis ini adalah terkait waktu tempuh dalam melakukan riset dan berproses. Di samping itu, jauhnya jarak juga berpengaruh terhadap anggaran biaya yang melonjak tinggi. Untuk itu, dituntut persiapan dan strategi pembiayaan yang matang untuk mengatasi hambatan ini. Persiapan yang dilakukan adalah perencanaan jadwal latihan 89

yang terstruktur, komunikasi dengan pendukung karya dan segenap pihak yang terlibat dalam proses. Kemudian, strategi pembiayaan yang dilakukan adalah dengan mengajukan proposal bantuan kepada berbagai pihak seperti tersebut di atas. 90

VII DAMPAK KARYA SENI 1. Dampak Karya Secara Pribadi Berproses dalam penciptaan koreografi Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini telah memberi dampak pada pribadi penulis baik yang bersifat moral maupun intelektual. Hal ini dapat terjadi karena dalam proses yang dilakukan, penulis tidak hanya berfokus pada bagaimana menciptakan karya yang artistik demi kepentingan individu penulis, tetapi juga dalam proses tersebut selalu bersinggungan dengan kepentingan masyarakat luas. Penulis secara tidak langsung tergiring untuk memahami kultur masyarakat di Desa Banyuatis, aktivitas kesehariannya, peta lingkungannya, karakteristik masyarakat hingga aktivitas keseniannya. Secara moral, penulis merasa terbantu untuk mengenal khasanah kesenian Tari Legong secara lebih jauh, yang di dalamnya mencakup keberadaan Tari Legong Tombol ini. Sebagai seorang seniman yang sejak muda berkecimpung di dunia Tari Legong, 91

penulis merasa bahwa melalui karya ini, tanggung jawab moral untuk mentransmisikan berbagai kearifan dalam budaya Tari Legong warisan para empu Tari Legong terdahulu dapat dijalankan. Sebab Tari Legong merupakan salah satu genre tari di Bali yang spesifik. Kekhususan yang terkandung di dalamnya ; seperti barungan musik yang khas menggunakan barungan Semara Pagulingan, struktur tari yang sudah baku, sikap-sikap dasar tari, identitas masing-masing Tari Legong yang berbeda satu sama lainnya, serta rahasia-rahasia metode pengajaran dan teknik tari oleh I Wayan Rindi (alm.) yang belum tentu awam dipahami merupakan kelegaan tersendiri bagi penulis. Melalui karya ini pula, penulis berkesempatan mempelajari kesenimaan I Wayan Rindi (alm.) yang multidisiplin. Di samping sebagai penari, ia juga sebagai pencipta tari, sekaligus pencipta musik dari tari yang ia ciptakan, yaitu Tari Legong Tombol. Kompleksitas kesenimanan seperti ini bagi penulis terasa sangat menginspirasi, khususnya sebagai motivasi untuk terus mengabdi di dalam dunia seni Tari Legong dan mengkonservasi berbagai kearifan di dalamnya. 2. Dampak Karya Secara Praktis Karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas secara akademis telah mampu memberikan kontribusi berupa temuan praktis metode pengajaran Tari Legong yang dapat diterapkan kepada calon penari Legong. Temuan ini dirasa dapat memudahkan pembentukan dan pengenalan gerak-gerak dasar dalam Tari Legong bagi para calon penari sehingga metode pembelajaran yang dicerna oleh mereka dapat diberikan secara terstruktur dan berjenjang. Sebab pencapaian kualitas kepenarian khususnya dalam Tari Legong tidak dapat dilakukan secara instan. Di sisi lain, metode pengajaran dasar Tari Legong yang dikembangkan dalam karya ini bersumber dari kearifan lokal yang disarikan oleh salah satu seniman bertaraf empu di Bali, yaitu I Wayan Rindi (alm.). Metode yang dikenal dengan sebutan 3N (Nyeregseg, Ngumbang, dan Ngelo) ini dikembangkan dan 92

dikomposisikan sedemikian rupa sehingga dapat pula digunakan sebagai pelatihan dasar tari bahkan bagi para calon penari yang baru belajar dari awal, khususnya di sanggar-sanggar tari tradisional di Bali. Dengan terwujudnya rekonstruksi Tari Legong Tombol ini, maka dengan sendirinya perbendaharaan tari tradisional Bali yang berkembang di daerah Bali Utara semakin bertambah. Merupakan suatu yang ironis apabila sampai di daerah Bali Utara yang merupakan tempat lahirnya budaya Kakebyaran di Bali, justru kehilangan salah satu Tari kakebyaran yang cukup unik. Dikatakan unik sebab Tari Legong Tombol ini tidak termasuk ke dalam genre tari palegongan, namun menempati posisi yang mungkin belum awam dikenal masyarakat, yaitu genre Tari Legong Kebyar. Hal ini dapat dijadikan objek penelitian akademik bagi para mahasiswa di lingkungan akademik seni sekaligus dapat digunakan sebagai inspirasi penciptaan seni tari kreasi baru di berbagai institusi terkait di kemudian hari. 3. Dampak Karya Dari Aspek Sosial Budaya Karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini sejak awal penciptaannya diproyeksikan untuk memberi dampak positif dan konstruktif kepada masyarakat di Desa Banyuatis secara khusus dan Bali pada umumnya, sebab ditinjau dari ruang hidupnya, Tari Legong Tombol merupakan warisan seni adiluhung yang lahir, tumbuh dan hidup di lingkungan Desa Banyuatis serta Kabupaten Buleleng secara umum. Melalui karya ini, dampak positif yang dirasakan ialah kembali utuhnya struktur Tari Legong Tombol serta dikemas tanpa meninggalkan roh atau karakter tari ini secara tradisi. Dengan kembali utuhnya tarian ini, melalui karya ini pula regenerasi penari Tari Legong Tombol dapat dilakukan sehingga kekhawatiran yang terjadi pada masyarakat akan punahnya tarian ini dapat dihilangkan. Ikut sertanya para penari anak-anak dan remaja di Desa Banyuatis serta beberapa dari Kota Singaraja dan tergabung dalam beberapa sanggar seni di Kabupaten Buleleng, dirasa cukup 93

membantu keberlangsungan tersebar dan berkembangnya tari ini di daerah Bali Utara. Adanya niat Gede Yudi sebagai pimpinan Sanggar Seni Gerbang Nusantara untuk menjadikan Tari Legong Tombol sebagai materi pentas reguler untuk keperluan seni wisata menjadi harapan segar bagi keberlangsungan kehidupan tari ini. Demikian pula adanya kerjasama dari Sanggar Seni Santi Budaya pimpinan I Gusti Bagus Eka dengan mendukung karya ini merupakan langkah awal yang menggembirakan. Hasil rekonstruksi Tari Legong Tombol tersebut kemudian dipelajari untuk dikembangkan di sanggar tersebut. Di Keluarga Besar Manikan yang juga memiliki sanggar tari dan tabuh ini pun, materi Tari Legong Tombol dijadikan salah satu materi ajar wajib sehingga diharapkan anak-anak di desa setempat terpanggil untuk melestarikan kesenian milik mereka. 4. Dampak Karya Dari Aspek Penguatan dan Ketahanan Budaya Tari Legong Tombol yang telah direkonstruksi dan direinterpretasi dalam pementasan karya seni Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas ini memiliki dampak yang cukup terasa di bidang penguatan dan ketahanan budaya. Dengan berhasilnya tarian ini direkonstruksi, sejak tahun 2016 tarian ini telah dijadikan materi pada beberapa event bergengsi. Berikut dikutip dari beberapa media online yang merekam Tari Legong Tombol sebagai materi utama acara : 94

A. Tari Legong Tombol Sebagai Materi Pementasan di Pesta Kesenian Bali XXXVIII tahun 2016. Sumber : Nusabali.com. Gambar 39. Penari Tari Legong Tombol dari Sanggar Ling Kawi, Desa Patemon, Seririt, Buleleng Sumber foto : Nusabali.com Kesenian rekonstruksi tari Legong Tombol yang dibawakan oleh Sanggar Ling Kawi, Desa Patemon, Buleleng, benar-benar memikat hati penonton. Dua penari legong dengan gemulainya berhasil memikat penonton yang memadati Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali, Kamis (23/6). Kesenian Legong Tombol untuk pertama kalinya kembali dipentaskan, setelah sempat punah dalam empat dasawarsa terakhir. Terakhir kali dipentaskan di Desa Banyuatis, Buleleng, tahun 1963 silam. Menurut Koordinator Pementasan, I Gusti Ngurah Eka Prasetya, Kesenian Legong Tombol ciptaan dari sang maestro legong, Wayan Rindi, sebenarnya lahir di lingkungan Kerajaan Karangasem pada tahun 1950-an dengan iringan Gambelan Palegongan dan Semara Pagulingan. Tari ini tergolong tari penyambutan. Namun karena situasi politik pada masa itu, tari tersebut tak pernah dipentaskan lagi di lingkungan Kerajaan Karangasem. "Tari Legong Tombol kemudian dibawa ke Desa Banyuatis pada tahun 1959 oleh penciptanya, Wayan Rindi. Sejak dari itu 95

beliau bersama keluarga Pan Manikan di Banyuatis berusaha menghidupkan kembali kesenian itu," ceritanya. Dari upaya memperkenalkan Legong Tombol pada masa itu, Legong Tombol kembali meraih masa kejayaan pada tahun 1960, dimana saat itu sempat dipentaskan untuk menyambut Presiden Soekarno di Istana Tampaksiring. Namun karena konflik politik, Legong Tombol tak lagi ditarikan hingga hilang bak ditelan zaman. Setelah empat dasawarsa tak ditarikan lagi, akhirnya pada tahun 2015, Ida Ayu Wimba Ruspawati kemudian menjadikan Legong Tombol sebagai bahan penelitian sekaligus objek disertasi, untuk pendidikan doktoralnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Hanya Men Gumbring, satu-satunya penari Legong Tombol yang masih hidup yang menjadi narasumbernya. Kesenian Legong Tombol ini lantas direkonstruksi selama setahun terakhir hingga bisa dipentaskan untuk pertama kalinya pada PKB ke-38 ini. "Kami masih menggunakan gambelan gong pacek milik Pan Manikan, yang digunakan waktu tahun 1959 silam. Sedangkan untuk tarinya kami belajar langsung dari Men Gumbring. Merekam beliau saat menari, dan juga berlatih bersama beliau," katanya Penulis : NV 96

B. Tari Legong Tombol sebagai Materi Utama pada Buleleng Festival (Bulfest) tahun 2016. Sumber berita : Wisata.Beritabali.com Gambar 40. Tari Legong Tombol dalam Pembukaan Bullfest 2016 Sumber : https://media19.id/2021/04/05/tari-legong-tombol-hiduppasca-direkonstruksi-ulang/ Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudpar) Buleleng akan kembali menggelar Buleleng Festival Bulfest tahun 2016. Event seni dan budaya untuk keempat kalinya ini, kembali akan menyajikan potensi kesenian, budaya, kuliner, hingga hasil kerajinan yang dimiliki Kabupaten Buleleng dengan mengambil tema "Masterpiece Of Buleleng". Dalam setiap pergelaran Bulfest selalu ada yang baru untuk ditampilkan. Bulfest tahun ini, salah satu kesenian hasil rekontruksi juga akan ditampilkan secara massal yakni seni tari Legong Tombol. Kesenian Legong tombol ini merupakan salah satu jenis tarian dari Buleleng yang berhasil direkontruksi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng. Sebelumnya, legong tombol rekontruksi ini perdana ditampilkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) Kabupaten Buleleng beberapa bulan lalu. Sementara dalam Bulfest, Legong Tombol akan disajikan dalam bentuk massal, dimana legong tombol ini, akan ditarikan oleh 97

50 orang penari, dalam Pembukaan Bulfest di Panggung Utama. Selain Legong Tombol, juga akan menampilkan beberapa kesenian secara massal dalam pembukaan Bulfest yakni Kesenian Joged Bumbung, dan tari Truna Jaya oleh 20 orang penari. Khusus untuk kesenian Joged Bumbung, akan menampilkan 15 sekaa Joged yang ada di kabupaten Buleleng. Nantinya masing-masing sekaa joged akan mengiringi 4 orang penari joged. Artinya, akan ada 60 orang penari yang akan menghibur dalam Pembukaan Bulfest. Mereka akan menari di depan panggung utama, hingga Jalan Ngurah Rai Singaraja. Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Sabtu (30/7) malam menjelaskan, tema Masterpiece Of Buleleng diambil sebagai tema Bulfest tahun ini dengan maksud untuk memberikan suguhan, dan tampilan potensi terbaik yang ada di kabupaten Buleleng. Tema Masterpiece ini memiliki arti yang dalam, artinya segala penampilan yang disajikan tahun ini, merupakan yang terbaik yang dimiliki Buleleng. Walaupun memang masih ada hal baru yang ditampilkan, khususnya untuk pertunjukan band lokal, Jelasnya. Bupati Agus Suradnyana, mengatakan, dalam event Bulfest yang akan berlangsung 2 hingga 6 Agustus mendatang ini, telah dirancang dengan baik untuk peningkatan kualitas, walaupun dengan konsep yang hampir sama dengan tahun tahun sebelumnya. Tentunya kita akan bekerja dengan maksimal untuk peningkatan kualitas, karena konsepnya hampir sama seperti tahun sebelumnya. Banyak juga masyarakat yang bertanya, kok acaranya masih begini begini saja. Ya karena memang potensi yang dimiliki Buleleng susah untuk digali, Ujarnya. Walaupun demikian, Bulfest kali ini akan menyajikan salah satu kesenian yang berhasil digali oleh Disbudpar Buleleng. Legong Tombol itu kan hasil penggalian yang dilakukan, setelah direkontruksi, sekarang akan kita tampilkan untuk mengenalkan kembali kepada masyarakat. Ya walaupun belum 98

bisa kita tampilkan lebih banyak lagi, karena memang keterbatasan pakaian legong tombol itu sendiri, Imbuh Agus Suradnyana. Disisi lain, Buleleng Festival yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng mulai dirasakan berpengaruh untuk kunjungan wisatawan ke Buleleng. Kenyataan itu diakui Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Kabupaten Buleleng. Menurut Ketua PHRI Buleleng Dewa Ketut Suardipa, sejumlah upaya sudah dilakukan untuk promosi kegiatan Bulfest tahun 2016 ini. Apalagi, event Bulfest ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kunjungan maupun tingkat hunian wisatawan oleh pelaku pariwisata di Buleleng. Anggota kami sudah melakukan komunikasi dengan agen-agen pariwisata, terkait dengan adanya kegiatan Bulfest ini. Sehingga nantinya mereka bisa mengagendakan wisatawan untuk mengunjungi Buleleng. Dan saat ini memang tingkat hunian hotel masih kisaran 70 persen, dan kami yakin, Agustus mendatang akan mencapai 100 persen, jelas Suardipa. Sementara itu, untuk mendukung kegiatan Buleleng festival tahun 2016, Dinas perhubungan (Dishub) Kabupaten Buleleng kembali akan memberikan pelayanan angkutan gratis kepada masyarakat. Sedikitnya ada 80 Angkutan Gratis yang akan disediakan oleh Dishub Buleleng dan disiagakan di tiga terminal. Masing masing 14 Angkutan di terminal Sangket, 33 Angkutan di terminal Banyuasri, dan 33 Angkutan di Terminal penarukan. Dalam bulfest kali ini, kami melibatkan 80 Angkutan untuk melayani masyarakat yang akan mengunjungi Bulfest. Mereka mendapatkan subsidi anggaran Rp 500 ribu per angkutan selama lima hari. Sehingga totalnya, ada Rp 40 juta yang dikucurkan oleh LPD sebagai Sponsor kami, terang Kadishub Buleleng Gede Gunawan A.P. Penulis : Putra Setiawan 99

C. Tari Legong Tombol Massal sebagai Tari Pembukaan pada Buleleng Festival Tahun 2018 di Kota Singaraja. Sumber : Tatkala.co Gambar 41. Tari Legong Tombol Massal sebagai pembuka acara Bullfest 2018. Sumber : Yogi Sancaya, 2018. BEGITU puluhan penari memasuki panggung di depan Tugu Singa Ambara Raja, sore menjelang senja di Singaraja terasa lebih berwarna dari biasanya. Warna-warna itu bukan hanya memancar dari mata penari yang penuh cahaya, juga dari pantulan cahaya senja yang jatuh di wajah mereka. Denyar gamelan membuat semua keindahan menjadi sangat sempurna. Puluhan penari itu sedang menarikan Legong Tombol pada panggung pembukaan Buleleng Festival (Bulfest) ke-4, Selasa (2/8) sore. Mereka tak sekadar menari. Mereka menebarkan pesona, sekaligus memberi nyawa secara mendalam kepada panggung Bulfest. Legong Tombol bahkan bisa disebut sebagai nyawa sesungguhnya dari Bulfest. Tarian itu dinamis tapi tetap manis. Tarian itu klasik tapi energik. Kuno tapi tidak canggung. Demikian juga karakter Buleleng yang sebenar-benarnya. Jika diseret kepada visi dan misi penyelenggaraan Bulfest, Tari Legong Tombol adalah refleksi sesungguhnya dari visi-misi itu. Tari Legong Tombol adalah bentuk garapan tari yang sudah tua dan sempat punah. Lalu digali, dilestarikan, dan 100

dikembangkan dengan penambahan jumlah penari, mungkin juga pengembangan kostum. Artinya, tarian itu muncul dari upaya panjang dan keras, sampai akhirnya tiba di panggung Bulfest yang gemerlap. Harta karun budaya yang digali dari liang kubur, lalu direkonstruksi dan direinterpretasi, lalu dilestarikan, dan dikembangkan sekaligus diperkenalkan kepada pewaris-pewaris berikutnya. Awalnya tarian itu diciptakan maestro legong, Wayan Rindi. Lahir di lingkungan Kerajaan Karangasem sekitar tahun 1950-an. Iringannya saat itu gamelan palegongan dan semara pagulingan. Tarian itu biasanya ditarikan untuk menyambut tamu kerajaan dan untuk membuka sebuah acara. Akibat situasi politik, tarian itu tak dipentaskan lagi di lingkungan Kerajaan Karangasem. Wayan Rindi kemudian membawa Tari Legong Tombol itu ke Desa Banyuatis sekitar tahun 1959. Di Banyuatis tarian itu dihidupkan kembali bersama keluarga Pan Manikan. Tentu disesuaikan lagi dengan karakter Buleleng. Misalnya saat itu tarian diiringi gamelan gong pacek milik Pan Manikan. Legong Tombol pun seakan lahir kembali dan hidup di Banyuatis. Sekitar tahun 1960, tari itu sempat dibawakan oleh penaripenari Banyuatis di Istana Tampaksiring untuk menyambut Presiden Soekarno saat itu. Namun, seperti juga sejumlah tarian lain, pamor Legong Tombol terus memudar. Salah satu penyebabnya adalah konflik politik dan juga masalah regenerasi. Sampai akhirnya tarian itu punah dan tak banyak yang mengingatnya. Beberapa tahun lalu, ada keinginan dari sejumlah tokoh Banyuatis untuk menghidupkan kembali Tari Legong itu. Keinginan itu muncul setelah di desa itu dibangun semacam pusat pengembangan seni Gerbang Nusantara. Upaya itu diberkati karena di Banyuatis ternyata masih ada penari Legong Tombol yang masih hidup. yakni Men Gumbring. Selain itu ada juga seorang tua, Bapa Gede Suweca, yang masih bisa mengingat dengan baik nada-nada gamelan Legong Tombol itu. 101

Upaya rekonstruksi itu semakin mendekati sempurna ketika Yudi Gautama, salah seorang penggagas sanggar Gerbang Nusantara, bertemu dengan Ida Ayu Wimba Ruspawati. Kepada akademisi seni itu, Yudi menceritakan tentang keinginannya untuk menghidupkan kembali Legong Tombol di desanya. Ida Ayu Wimba pun menanggapi dengan senang, bahkan rekonstruksi itu kemudian dijadikan bahan penelitian sekaligus objek disertasi untuk pendidikan doktoralnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Dengan bantuan tambahan dari I Gusti Ngurah Eka Prasetya, pengelola Sanggar Santhi Budaya, Singaraja, tarian yang sudah punah itu akhirnya bisa hidup kembali. Ida Ayu Wimba pun lulus disertasi dengan nilai sangat memuaskan. Semua klop, semua bergembira. Semua senang. Kita saling bantu untuk menghidupkan kembali seni legong yang sudah sempat punah sejak sekitar empat puluh tahun, kata Yudi Gautama di sela-sela acara pembukaan Bulfest. Yudi lebih gembira lagi, karena kedua pemukul kendang pada tabuh legong itu adalah anaknya sendiri. Saya senang, anak-anak saya, yang tentu saja masih muda, ikut andil menghidupkan Tari Legong Tombol, ujarnya. Tentu saja kegembiraan itu bertambah lagi ketika upaya dan hasil bagus itu mendapat perhatian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng. Salah satu bentuk perhatiannya adalah menampilkan Legong Tombol di panggung utama pada acara pembukaan Bulfest ke-4 di depan Tugu Singa Ambara Raja. Puluhan penari membawakan tarian itu dengan sempurna, seperti film saja, keindahan masa lalu itu seperti diputar kembali dengan warna yang lebih cemerlang. Akhirnya banyak orang tahu, Buleleng juga punya tari pelegongan yang tentu saja berbeda dengan pelegongan di Bali Selatan. Di Buleleng, sesuai dengan karakternya, legong bisa tampak lebih keras, dinamis dan kadang gerakannya tak terduga, tapi tetap menampilkan kesan manis-mendayu sebagaimana tari pelegongan pada umumnya. 102

Legong Tombol bukan hanya layak menjadi tari utama di Bulfest, bahkan bisa membuat Bulfest menemukan jalan mulus untuk tetap berada pada jalur kebudayaan. Legong Tombol bisa dijadikan contoh soal, bagaimana sebuah kesenian digali, dihidupkan, dan diberi tempat pada panggung megah sebuah panggung yang dibangun bukan dengan niat bersenang-senang semata, melainkan juga dengan niat luhur menegakkan kembali karakter budaya sebuah bangsa. Bangsa itu bisa disebut Buleleng. (T) Penulis : Made Adnyana Ole Dengan dijadikanya Tari Legong Tombol sebagai materi pada acara-acara bergengsi sebagaimana terliput di atas, maka dapat dikatakan bahwa Tari LegongTombol telah menjadi salah satu ikon Kabupaten Buleleng yang cukup dibanggakan. Hal ini merupakan hal positif mengingat misi daripada usaha merekonstruksi ini adalah untuk memastikan Tari Legong Tombol terhindar dari kepunahan. Bahkan, keberlangsungannya sebagai materi tarian di event-event bergengsi selalu berlanjut dari tahun ke tahun setelah ia berhasil direkonstruksi. Selain itu, keberadaan Tari Legong Tombol pada masa kini merupakan indikasi terjadinya penguatan dan ketahanan budaya masyarakat terhadap kuatnya arus digitalisasi dan globalisasi kebudayaan. Masyarakat Desa Banyuatis dan Kabupaten Buleleng pada umumnya justru terlihat serius dan bersemangat untuk terus menggali dan mempertahankan salah satu identitas budaya tradisional adiluhung milik mereka untuk kemudian dapat selalu dipentaskan dengan bangga. 103

104

VIII Penutup 1. Kesimpulan Karya Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas merupakan karya yang berpijak pada permasalahan tidak adanya regenerasi penari Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Kemandegan regenerasi tersebut terjadi akibat terlalu lamanya tari ini tidak dipentaskan sehingga ingatan para penari mulai memudar seiring perjalanan usia. Karya seni ini berisi tentang profil kesenimanan I Wayan Rindi (alm.) selaku pencipta tari sekaligus pencipta gending Legong Tombol ini. Dari gagasan beliau tentang metode pengajaran Tari Legong, kemudian menginspirasi terciptaanya metode pengajaran Tari Legong yang telah disempurnakan dan dikemas dalam bentuk kekinian. Proses penciptaan yang bersumber dari merekonstruksi tarian yang hampir punah ini tetap menyediakan ruang kreativitas untuk berkarya. Kekhawatiran sebagian khalayak yang memandang usaha 105

rekonstruksi hanya membangun ulang dan meniru bangunan sesuatu yang sudah ada tanpa sentuhan kreativitas sama sekali terbantahkan yang dapat dilihat dari proses panjang penciptaan karya ini. Rekonstruksi merupakan salah satu pendekatan yang tak hanya dapat digunakan untuk menyelamatkan keberadaan kesenian yang berada di ambang kepunaha, namun juga dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menciptakan karya seni. Meski beberapa pihak masih meragukan ada atau tidaknya kreativitas di dalam pendekatan rekonstruksi khususnya ketika digunakan untuk menciptakan karya seni, ternyata hal keraguan tersebut hanya kekhawatiran belaka. Sebab, kreativitas justru sangat dibutuhkan dalam merekonstruksi suatu karya seni dan rekonstruksi menyediakan begitu banyak ruang untuk berkreativitas menciptakan sesuatu sesuai dengan keadaan dan ketersediaan bahan-bahan kekaryaan hasil riset yang dilakukan. Usaha merekonstruksi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis membuktikan bahwa usaha pelestarian melalui pendekatan rekonstruksi membutuhkan sentuhan kreativitas karena ada beberapa bagian struktur tarian dan vokabulasi gerak tari yang hilang karena terlupakan dalam kevakuman seiring jalannya waktu. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang termuat di atas, maka penulis dapat mengajukan saran-saran yang bersifat konstruktif sebagai berikut. a) Di Bidang Akademik Karya ini bukanlah puncak dari euforia keberhasilan merekonstruksi sebuah kesenian yang hampir punah. Tetapi lebih jauh lagi, karya ini merupakan titik awal terbukanya peluang untuk mempelajari lebih jauh tarian ini serta sebagai bahan kajian tulisan maupun ciptaan tari kreasi baru di kemudian hari. 106

b) Saran untuk Pemerintah Daerah Bali Sebagai seniman yang berasal dari Bali dan tanpa mengedepankan semangat kedaerahan, penulis berharap agar pemerintah memberi perhatian lebih terhadap pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional. Sebab, dengan semakin gencarnya promosi kebudayaan dari luar daerah, menuntut kita semua untuk memperkuat jatidiri sehingga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni-seni tari tradisi tidak ikut punah lantaran kealpaan dalam memperhatikan keberadaanya. c) Saran untuk Masyarakat di Desa Banyuatis Penulis menaruh hormat besar kepada masyarakat yang telah berperan serta dalam proses penggarapan karya ini sekaligus mendorong semangat penulis untuk merekonstruksi Tari Legong Tombol ini. Untuk itu, penulis memberi saran agar semangat berkesenian jangan sampai pudar hanya karena merasa kurang percaya diri terhadap nilai-nilai budaya warisan leluhur yang hidup di tengah-tengah masyarakat setempat. Semangat berkesenian yang tulus merupakan sebuah pengabdian tanpa pamrih yang niscaya hasilnya mungkin tidak dinikmati oleh generasi sekarang, namun pada anak cucu kelak. Satu saran ringan namun menurut penulis signifikan, ialah agar memperhatikan hidup dari pohon delima konta. Karena menurut penuturan dari Meme Pintu, salah seorang penari setempat, pohon delima konta pada jaman dahulu mudah ditemui. Namun sekarang kondisi berubah, di mana pohon tersebut sulit sekali dijumpai sehingga identitas Tari Legong Tombol yang menggunakan bunga delima konta pada ujung bancangan hiasan kepala tetap terjaga. d) Saran Kepada Sanggar-sanggar Seni Disarankan pada berbagai sanggar seni baik lokal di Buleleng maupun secara umum di Bali, agar lebih membuka wawasan dalam mengapresiasi seni agar dapat disimak dengan baik oleh para generasi selanjutnya. Peran serta dalam melestarikan dan mengembangkan tidak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah atau masyarakat setempat. Namun juga diperlukan peran dari sanggar-sangar seni untuk 107

memfasilitasi keberlangsungan hidup Tari Legong Tombol ini khususnya. e) Saran kepada para akademisi Disarankan kepada para akademisi yang melakukan penelitian terhadap tari-tarian atau kesenian yang menghadapi situasi kekeringan regenerasi dan hampir punah seperti Tari Legong Tombol, tidak ragu untuk menggunakan pendekatan rekonstruksi untuk menyelamatkannya. Tentu, semuanya harus diawali dengan riset, karena hanya dengan riset data-data dapat didapatkan dengan valid dan objektif. Dari sanalah nanti akan menjadi pijakan kreativitas apa yang dibutuhkan untuk membentuk kembali bangunan yang rapuh tersebut menjadi bangunan yang utuh dan kuat di masa kini. 108

Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang. Apriyono, Dwi Kartika. 2009. Rekostruksi Wajah Dalam Metode Identifikasi Forensik (Studi Pustaka). Jurnal Stomatogmatic (Jurnal Kedokteran Gigi) Vol 6 No. 2 Mei 2009 hal. 131-134. Jember : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember bekerjasama dengan PDGI Cabang Jember. Arini Alit, Ni Ketut. 2015. Gerak Dasar Legong (Editor Ayu Bulantrisna Djelantik). Tari Legong ; Dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini (hal 101-118).Denpasar ; Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Bandem, I Made & Frederik Eugene deboer (terjemahan I Made Makaradhwaja Bandem). 2004. Kaja dan Kelod TarianBali Dalam Transisi. Jogjakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Jogjakarta.. Evolusi Tari Bali. 1996. Denpasar: Kanisius. Bastomi, Suwaji. 1990. Wawasan Seni Semarang. Semarang : IKIP Semarang Press. Catra, I Nyoman. 2013. I Wayan Rindi ; Penari Condong, Pencipta Pendet. Dalam I Wayan Dibia (Editor). Sekar Jagat Bali, Kumpulan Rekam Jejak Tokoh Seniman dan Budayawan Bali. UPT. Penerbitan Intitut Seni Indonesia Denpasar. Chaplin, James P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.421. 109

Darbois, Dominique. 1959. Rikka and Rindji : Children of Bali, Paris. Dharsono (Soni Kartika). 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Dibia, I Wayan. 2004. Pragina : Penari, Aktor, dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali. Malang : Sava Media.. 2013. Puspa Sari Seni Tari Bali. Denpasar : Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.. 2015. Struktur dan Estetika Legong. Dalam Ayu Bulantrisna Djelantik (Editor). Tari Legong ; Dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini (hal 65-75). Denpasar ; Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Djelantik, A.A. Md, PengantarDasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. 1990. Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional (terj. Living in A Post-Traditional Society). Yogyakarta : IRCiSoD. Hamdi, Mirja Fauzul. 2018. Rekonstruksi Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 79/PUU-XII/2014. Jurnal Kanun (Jurnal Ilmu Hukum) Universitas Syiah Kuala, vol. 20 No. 1, April 2018 Hal. 183-202. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Moderen Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hasto Nugroho, Supriyadi, Hanjoged: Menengok Kepenarian S. Ngaliman. Deskripsi karya seni S-2 Institut Seni Indonesia Surakarta. 2010. Heryadi, Didin. 2010. Jejak. Deskripsi karya seni S-2 Institut Seni Indonesia Surakata. Huda, Nur. 2007. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 110

Kusuma Arini, A.A.Ayu & Ayu Bulantrisna Djelantik. Legong di Karangasem. Dalam Ayu Bulantrisna Djelantik (Editor). Tari Legong ; Dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini. Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Malinowski, Bronislaw. 1983. Dinamika Bagi Perubahan Budaya: Satu Penyiasatan Mengenai Perhubungan Ras di Afrika. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia. Marbun, B.N. 1996. Kamus Politik. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Nuryanto, Arsitektural Tubuh. 2009. Tesis Deskripsi karya seni S-2 Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia Surakarta. Pausch, Niels Christian, Franziska Naether and Karl Friedrich Krey. 2015. Tutankhamun s Dentition: The Pharaoh and his Teeth. Brazilian Dental Journal Vol. 26 No. 6, p. 701-704. Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Royce, Anya Peterson (terj. FX Widariyanto). 2007. Antropologi Tari. Bandung : Sunan Ambu Press. Setiyastuti, Budi. 2010. Melatih Tubuh. Deskripsi Karya Seni S-2 Institut Seni Indonesia Surakarta. Soedarsono, R.M,. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suarka, I Nyoman. 2015. Menguak Asal-Usul Legong Melalui Studi Penaskahan. Dalam Ayu Bulantrisna Djelantik (Editor). Tari Legong ; Dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini (hal 203-217). Denpasar ; Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Sudewi, Ni Nyoman. 2015. Tarunajaya : Tari Kebyar Berdarah Legong dari Bali Utara. Dalam Ayu Bulantrisna Djelantik (Editor). Tari Legong ; Dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini (hal 203-217). Denpasar ; Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. 111

Surya Peradantha, Ida Bagus Gede. 2011. Hikayat dari Bongkasa. Deskripsi karya seni S-2 Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia Surakarta. Susilowati & Devy Putri Kussanti. 2019. Penayangan Reka Ulang Adegan KriminalitasDalamPandangan Penonton(Studi Kasus Rekonstruksi Trans7). Jurnal Ilmu Komunikasi J-IKA, Vol. 6 No. 1 April 2019, Hal. 1-10. Sutapa, I Ketut. 2010. Perjalanan Keluarga Topeng ; Sebuah Biografi Keluarga. Deskripsi Karya seni S-2 Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia Surakarta. Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.. 2003. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius. Titib, I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Denpasar : Paramita Surabaya. Wimba Ruspawati, Ida Ayu. 2002. Kautus Rarung. Deskripsi karya seni S-2 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.. 2015. Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis : Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas (Disertasi Karya Seni). Program Studi Penciptaan Seni, Program Pascasarjana S3 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.. 2020. Penguatan Ketahanan Budaya Daerah Dan Identitas Bangsa Melalui Rekonstruksi Tari Legong Tombol Di Desa Banyuatis, Bali. Prosiding Seminar Nasional : KREATIVITAS & KEBANGSAAN Seni Menuju Paruh Abad XXI -36. Yogyakarta : Badan Penerbit ISI Yogyakarta.. 2016. Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng, Bali : Rekonstruksi dan Regenerasi. Jurnal Mudra, Vol. 31 no. 1, Februari 2016. P8-21. Waluyo, Herman J. 2001. Drama dan Teori Pengajarannya. Yogyakarta : Hanindita Graha Widia. 112

Yuliasih, Ni Ketut. 2003. I Gusti Gede Raka Maestro Tari Legong di Saba (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tim Penyusun. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Tim Penyusun. 2006. The Ancient Near East in The Time of Tutankhamun (A Self Tour Guide). Chicago, Illinois : University of Chicago. 113

114

Ampok-ampok Babad Babancihan Babarisan Bancangan Bandesa Banjar : Kostum tari yang dipasangkan di pinggang penari, berbahan dasar kulit sapi yang ditatah dan diwarna dengan bahan berwarna keemasan. : Sebuah teks sastra yang memuat cerita, riwayat perjalanan dan sejarah berdasarkan genealogis perorangan atau kelompok tertentu. : Genre kesenian tari yang berasah dari kata bancih atau cross-gender, yaitu sajian tari berkarakter putra namun dibawakan oleh penari putri. : Genre kesenian tari yang bersumber dari Tari Baris sebagai inspirasi kreativitasnya. Contoh Tari yang masuk genre babarisan antara lain : Tari Wirayuda, Tari Baris Tunggal, Tari Baris Gede, Tari Baris Ketekok Jago, dan sejenisnya. : Adalah salah satu aksesoris berupa susunan bunga yang dipancangkan di kedua sisi hiasan kepala penari : Pemimpin urusan adat di suatu lingkungan Desa Adat di Bali. : adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, 115

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat dan diakui serta dihormati di dalam sisterm pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banjar dalam pembagian wilayah administratif di Bali memiliki tingkatan yang setara dengan Rukun Warga di daerah lain. Barungan Candi Rebah Dewasa Ayu Focal Point Gelungan Gongseng Juru Tabuh Kakebyaran : Satu set atau kumpulan lengkap sebuah alat musik : Salah satu bentuk hiasan kepala penari Bali, biasanya digunakan oleh tokoh atau karakter yang bersifat halus dan berkarakter putri halus. Salah satu contoh penggunaan hiasan kepala ini adalah pada tari tokoh Galuh dalam dramatari Gambuh. : Hari yang dianggap suci atau baik menurut keyakinan umat Hindu di Bali. : Fokus utama : Hiasan kepala serupa mahkota yang dipakai oleh penari di atas panggung. : Sejenis alat musik yang terbuat dari susunan lonceng-lonceng kecil yang diikat melingkar. Biasanya dipasangkan pada kaki penari Barong di Bali. : Pemain alat musik kesenian tradisional : Genre kesenian tari yang tercipta pada awal abad-20, seiring terciptanya barungan alat musik Gong Kebyar di Bali. Kendang Gupekan : Salah satu jenis alat musik kendang dalam barungan Gong Kebyar yang cara memainkannya tidak memakai panggul. 116

Krumpungan : Salah satu jenis alat musik kendang yang berukuran relatif lebih kecil dari kendang dalam barungan alat musik Gong Kebyar. Lamak : Kostum tari yang dikenakan di badan berbentuk persegi panjang dan menjuntai dari dada hingga lutut. Berbahan kulit sapi yang ditatah. Lontar Luk Nrudut Macapat Masolah : Sejenis pustaka suci yang memuat teks-teks tertentu beraksara Bali, terbuat dari daun pohon Tal. : Gerakan di tempat, yang dilakukan dengan cara menurunkan dan menaikkan level tubuh secara selaras dengan tempo gamelan. : Sebuah aktivitas olah vokal yang memiliki aturan pada lingsa atau banyaknya suku kata dalam tiap baris kalimatnya. : Bentuk kata kerja dari menari, namun memiliki konotasi lebih dalam karena terkait dengan pendalaman rasa dan karakter. Newasen : Upacara permakluman dan permohonan anugerah untuk memulai suatu usaha atau aktivitas tertentu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ngayah : Usaha atau perbuatan tulus ikhlas. Ngejer pala : Gerakan menggetarkan pundak dengan tempo yang sangat cepat. Ngelayak : Gerakan setengah kayang yang dilakukan sambil berdiri dan bersikap menari. Ngelo : Adalah gerakan statis di tempat yang mengutamakan kelenturan tubuh bagian atas. Gerak ini dilakukan dengan cara merebahkan badan ke kiri dan ke kanan secara bergantian 117

dengan pengaturan dan penahanan tenaga berpusat di perut. Ngepik Ngigel Ngotag Ngumbang Ngunda Bayu Nyilat Nyeregseg Paarjaan Pacalang Pagambuhan : Gerakan berpindah tempat ke kiri maupun ke kanan dan dikombinasikan dengan gerakan seirama antara tangan dan kepala yang sejalan dengan tempo musik. Biasanya dilakukan dalam Tari Condong Legong. : Bentuk kata kerja dari aktivitas menari. : Gerakan kepala ke kiri dan ke kanan yang bersumber dari dagu bertempo sedang. : Adalah gerakan berpindah tempat (berjalan) membentuk lintasan tertentu. : Adalah teknik pernafasan yang bertujuan untuk mengatur pengeluaran energi penari sehingga penari tidak gampang lelah. : Gerakan melangkah mundur ke belakang yang diakhiri dengan gerakan seledet. : Gerakan berpindah tempat yang dilakukan dengan menggeser kaki beriringan dalam volume kecil namun cepat. : Genre kesenian berbentuk dramatari yang bersumber dari drama tari Arja. Dramatari ini dalam penyajiannya menggunakan alat musik yang spesifik disebut dengan geguntangan : Adalah satuan tenaga pengamanan yang dimiliki oleh Desa Adat yang bertugas mengamankan wilayah adat dalam urusan adat atau upacara keagamaan : Genre kesenian yang dianggap sebagai sumber inspirasi gerak dalam tari bali. Kesenian ini berbentuk dramatari, menggunakan olah vokal berhasa jawa kuna 118

dan bahasa Bali, disajikan dengan bantuan seperangkat alat musik yang spesifik. Pangawak Pangecet Pangrangrang Panyalonarangan Papeson Pasiat Patopengan Pedanda Penjor Pragina Sanggah : Adalah bagian struktur tari yang berisi tentang penonjolan-penponjolan gerak badan. Biasanya irama musik cenderung pelan dibandingkan bagian awal. : Adalah bagian struktur tari yang memiliki irama musik cenderung lebih cepat dari bagian pangawak. : Adalah bagian struktur tari yang berisi tentang roman tokoh tari. : Genre kesenian berbentuk dramatari yang biasanya mengambil lakon pertunjukan yang bersumber dari cerita Calonarang. : Adalah bagian pembuka dalam suatu saian seni tari. : Adalah salah satu struktur tari yang berisi adegan peperangan/konflik suatu tarian. : Genre kesenian berbentuk dramatari yang keseluruhan penarinya menggunakan topeng dalam pementasannya. : Gelar bagi rohaniawan Hindu yang berasal dari golongan brahmana (bernama depan Ida Bagus-Ida Ayu) : Suatu karya seni sarana upacara yang terbuat dari bambu yang dihias dengan janur hingga terbentuk seperti umbul-umbul. : Sebutan bagi seorang yang memiliki dedikasi, kualitas dan kreativitas tinggi serta totalitas mengabdi pada seni yang digelutinya serta memiliki identitas tersendiri yang membuatnya dikenal banyak orang. : Tempat suci pemujaan Tuhan dan para leluhur di lingkungan rumah suatu keluarga. 119

Seledet Simping Tamiang Tombol : Gerakan mata dengan aksen yang tegas, biasanya dilakukan sebagai finalisasi rangkaian gerak tari dalam satu siklus. : Kostum yang dikenakan di bahu berbahan dari kulit sapi ditatah. Biasanya digunakan dalam tari Legong, dan beberapa tari kreasi lainnya. : Suatu karya seni sarana upacara yang terbuat dari daun janur berbentuk lingkaran yang menyerupai perisai. : Istilah masyarakat Desa Banyuatis untuk mengidentifikasi Tari Legong Kebyar. Istilah tersebut terinspirasi dari penggunaan bunga pohon delima konta sebagai hiasan yang diletakkan di kostum kepala penari. 120

Nama : Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati, SST., M.Sn. Tempat & Tanggal lahir : Badung, 13 Januari 1960 Status : Menikah Email : Profil Ida Ayu Wimba Ruspawati adalah seorang seniman tari yang lahir dari pasangan seniman Ida Bagus Made Raka (alm.) dan Jero Puspawati (alm.) dari Griya Gede Bongkasa, Abiansemal, Kabupaten Badung. Wimba menekuni bidang tari Legong sejak kecil. Ia menamatkan studi Sarjana Muda pada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar tahun 1986. Pada tahun 2002 menamatkan studi S2 di ISI Yogyakarta di bidang penciptaan tari dan tahun 2015 121