Contoh kasus penegakan hukum yang berkeadilan dan solusinya

5 Oktober 2020
in opini
Tidak ada komentar
61058

Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijak sana. Faktanya kepastian hukum kian hari kian tidak menentu, keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Terkadang yang berjuang tidak mendapatkan apapun sedangkan yang biasa saja mendapatkan banyak.Hidup kadang selucu itu. Kekuatan yang dimiliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti, tuhan tahu bahwa sudah berbagai usaha yang telah dilakukan untuk melawannya. Hukum di negeri ini tampak nya tumpul keatas dan tajam menghujam kebawah. Hukum di negeri ini rasanya terus berjalan layak nya permainan dan sandiwara, yang salah bisa jadi benar, atau pun sebaliknya. Sekalipun rakyat menagih kebenaran.

Kegalauan akan keadilan di negeri ini memuncak atas fenomena runtuhnya langit keadilan yang disangga aparat penegak hukum dan lemabaga yudikatif. Ingatkah kita dengan kasus Novel Baswedanpada 2017 lalu? Kasus Novel Baswedan menjadi bukti kesekian dan menambah daftar sengkarut keadilan dalam penegakan hukum. Hal ini menjadikan publik kian skeptis dan galau terhadap masa depan keadilan hukum Dengan kasus penyiraman air keras yang mengenai bagian wajah hingga terkena bola matanya. Kasus beliau menjadi sangat rumit karena beliau mengalami penganiayaan tersebut saat berstatus menjadi petugas negara yang sedang menjalankan tugasnya dalam rangka pemberantasan korupsi yang menjadi penyakit akut di negeri ini.

Kronologi kasus Novel Baswedan berawal ketika Novel Baswedan pulang selepas menunaikan ibadah salat subuh sekitar pukul 05.10 WIB tanggal 11 April 2017 di masjid dekat kediamannya. Saat berjalan pulang, tiba-tiba dua orang mendekat dan menyiramkan air keras ke wajahnya. Cairan tersebut masuk ke dalam mata. Akibatnya, mata kiri Novel Baswedan mengalami cacat permanen meski telah dilakukan operasi hingga ke Singapura. Setelah sekian lama, kasus ini seolah-olah diabaikan penegak hukum dan terkatung-katung tanpa kepastian yang jelas.

Pada tanggal 26 Desember 2019, pihak kepolisian menyatakan berhasil mengamankan pelaku penyerangan yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Mereka adalah anggota polisi aktif yang akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini. Pada tanggal 11 Juni 2020 sidang tuntutan pun digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara virtual. Sidang digelar dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari JPU yang mana JPU meyakini kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan berat yang melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsider yang dibacakan oleh JPU. Dalam surat tuntutan tersebut kedua terdakwa hanya dituntut dengan ancaman pidana penjara satu tahun penjara dipotong masa tahanan yang telah dijalani oleh kedua terdakwa selama proses hukum yang mereka jalani. Meskipun keterangan terdakwa saat diperiksa menyatakan motif penyerangan dilakukan karena dendam dan ingin memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan sehingga merencanakan penyerangan tersebut. Akan tetapi, JPU menyatakan dalam persidangan tersebut bahwa tindakan tersebut adalah ketidaksengajaan.

Tuntutan ringan tersebut banyak menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat, Di karenakan perbuatan yang di lakukan terdakwa sangat tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh korban. Jika kita melihat dari penganiayaan yang di lakukan oleh terdakwa merupakan kategori penganiayaan berat atau termasuk level tinggi karena telah direncanakan dan menggunakan air keras serta akibatnya korban mengalami cacat permanen. Tuntutan yang dibacakan oleh JPU sendiri layaknya seorang penasihat hukum yang sedang melindungi kliennya. Alasannya karena perbuatan kedua terdakwa memenuhi dakwaan subside, yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Bahwa mengacu pada Pasal 353 ayat (2) ancaman maksimal pidana penjaranya yaitu 7 (tujuh) tahun penjara. Artinya sangat dimungkinkan oleh JPU untuk menuntut terdakwa lebih dari satu tahun dikarenakan ancaman maksimalnya 7 (tujuh) tahun. Bagaimana tidak adil Tuntutan JPU kepada pelaku penyiraman Novel yang dirasa sangat ringan jika dilihat dari penderitaan yang timbul akibat penyiraman yang menyebabkan cacar seumur hidup.Tidak seperti pada kasus penyiraman lainnya bisa mencapai 8 tahun bahkan sampai 20 tahun penjara.

Hal ini menjadikan publik kian spektis dan galau terhadap masa depan keadilan hukum. Beberapa kesimpulan atas kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang menimbulkan kegalauan publik tersebut yaitu pertama, munculnya prasangka akan keterlibatan orang-orang kuat. Kasus-kasus yang diungkao Novel Baswedan kebanyakan kasus-kasus besar bukan  hanya fantastis nilainya, namun juga adanya potensi menyeret semakin banyak pihak yang tentu bukan orang biasa dan sembarangan. Diantara mereka dimungkinkan saling menyandera kasus. Maka jalan instan penyelamatannya mereka adalah memutus hulu masalah yaitu aparat penegak hukum yang sulit diajak kompromi, novel salah satunya. Kedua, adanya penanda kronologi yang rapi serta pengungkapan yang lamban. Proses penyerangan air keras terbilang rapi dan itu hanya bisa dilakukan orang profesional dengan rencana matang, potensi-potensi bukti sulit didapatkan pihak novel. Ketiga,  pengungkapan pelaku masih menyisakan misteri dan jauh dari kepuasan publik, dua pelaku yang diungkap dan ditangkap adalah anggota kepolisian, motif yang disampaikan pelaku adalah ketidaksukaan semata, pengungkapan pelaku juga terhenti kepada keduanya banyak pihak yang meyakini bahwa semua ini bagaikan drama.

Keempat, proses pengadilan yang meragukan, belum lagi keyakinan publik pulih terkait pengungkapan pelaku kini ditambah dengan suguhan peradilan yang jauh dari kata memuaskan , bagaimana tidak tuntutan yang diberikan jaksa dikira sangat ringan, jaksa hanya menuntut kedua pelaku pidana setahun dengan alasan pelaku sudah meminta maaf. Sungguh ini menyakiti nurani ,keadilan, dan kemanusiaan. Walaupun permasalahan di negeri ini mengenai korupsi dan suramnya keadilan hukum tidak boleh memadamkan api optimisme anak negeri. Optimisme dapat dibangkitkan pada diri setiap anak negeri dengan memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Jika aparat hukum sedang kendor dan tumpul maka masyarakat sipil penting dikuatkan dan digerakkan, gerakan masyarakat sipil dapat menjadi penyeimbang dan penekan terhadap aparat penegak hukum agar tidak main-main memproses kasus hukum. Selanjutnya terkait nasib kelanjutan pemberantasan korupsi mestinya terung pantang mundur dan terpengaruh pada kasus Novel. Rakyat indonesia akan berada di belakang mereka dan siap menjaganya di garda terdepan jika keadilan sulit diharapkan. Bangsa ini tidak boleh larut dalam kesedihan, kegalauan dan pesimisme. Seluruh komponen harus bergandengan tangan dan bahu membahu menyebarkan virus optimisme berbangsa dan bernegara. Semoga kabangkitan optimisme dapat menjadi energi besar dalam akselerasi memajukan bangsa dan  menyejahterakan rakyat.

Dalam proses penyelidikan ini merupakan hal yang wajar terjadi, karena merupakan opsi terakhir dari suatu lembaga untuk menduga anggotanya melakukan tindak pidana. Layaknya, seorang ibu yang pasti enggan menuduh anaknya ketika terjadi kehilangan di rumahnya sendiri.Namun ketika publik mendapatkan informasi adanya seseorang yang mendapatkan perlakuan kusus oleh JPU dan Hakim dalam putusan pidana, dengan memilih putusan terendah dengan alibi yang kelihatan aneh dan mencurigakan, tentu merupakan suatu kewajaran jika publik menduga ada dalang dibelakang pelaku.

Kelompok 51:

VidyanEka Putra (RRB10016105)

Ilham Murffi (RRB10016011)

Kori Rizaldi (RRB10016125)

Muhammad Iqbal Alga (B10016057)

Muhammad Fadel Rauf (RRB10015031)


5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

Unsplash.com - 5 contoh kasus hukum pidana

Di Indonesia, contoh kasus hukum pidana yang sempat menghebohkan masyarakat sebenarnya ada banyak sekali. Namun, hanya ada beberapa yang akhirnya bisa terselesaikan dengan baik dan adil. Sisanya masih mengundang banyak tanda tanya dan mengusik rasa keadilan kita sebagai manusia.

Beberapa tahun terakhir, entah kenapa semakin banyak terjadi contoh kasus non-perdata di negeri ini. Kasus-kasus yang menyita perhatian namun tetap saja tidak berhasil menimbulkan rasa puas di akhir putusannya.

5 Contoh Kasus Hukum Pidana yang Menghebohkan Masyarakat Indonesia

Antasari Azhar, seorang mantan ketua KPK divonis selama 18 tahun lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009.

Kasus ini sempat menimbulkan kehebohan karena Antasari adalah pimpinan lembaga yang sedang dinanti-nantikan kinerjanya, dan ada pula dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari. Ini terjadi karena memang saat menjabat ketua KPK, Antasari dikenal cukup berani untuk menindak siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank Century dan IT KPU yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya. Kasus ini bahkan dibukukan dalam Konspirasi Antasari, Tim MedPress, 2012.

Suatu hari, nenek Asyani menitipkan kayu jati miliknya di pengusaha mebel, namun ia malah dituduh menebang kayu milik Perhutani dan didakwa hukuman penjara. Hidup nenek Asyani sudah penuh dengan nestapa setelah ditinggal suaminya meninggal dan menanggung beban hutang luar biasa banyaknya. Harta terakhir miliknya hanyalah 5 buah pohon jati yang tumbuh di hutan dekat rumahnya yang kemudian ditebangnya dengan maksud untuk dijual, tapi akhirnya malah menjadikannya sebagai seorang terdakwa.

Unsplash.com

3. Kasus Nenek Minah dan 3 Kakao

Nenek Minah mencuri kakao di sebuah perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Ajibarang, Banyumas pada tahun 2009. Secara moral, nenek Minah memang salah. Namun, dia melakukan hal itu dengan alasan yang jelas. Nenek Minah mencuri kakao dengan alasan untuk membeli makanan karena dia lapar dan tidak memiliki uang.

Nenek Minah tidak membegal motor ataupun merampok toko emas. Nenek Minah hanya mencuri kakao yang akhirnya menjadikannya harus menanggung hukuman vonis penjara selama 1 tahun 15 hari. Hukuman yang jauh lebih berat dibanding koruptor yang mengambil uang negara hingga milyaran rupiah. Hukum memang lebih sering runcing ke bawah. Selama persidangan dengan agenda putusan berlangsung penuh keharuan. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis.

4. Pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan Kopi Sianida

Mirna meninggal usai minum kopi di Kafe Olivier, Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016. Jessica Kumala Wongso, salah satu teman Mirna yang pada saat itu datang lebih awal dan langsung memesankan es kopi buat Mirna menjadi saksi dari kejadian tewasnya Mirna. Setelah polisi melakukan gelar perkara uji labfor terhadap beberapa barang bukti yang mereka kumpulkan selama proses penyidikan, sejumlah fakta mengejutkan muncul. Salah satunya terdapat kandungan sianida di kopi yang diminum Mirna dan bahwa indikasi menunjukkan bahwa pelakunya adalah Jessica.

5. Kasus Pemulung dengan Ganja

Pada 3 Mei 2010, pengadilan negeri memvonis bebas Chairul Saleh seorang pemulung yang dituduh memiliki ganja seberat 1,6 gram. Pria 38 tahun ini dipaksa mengakui memiliki ganja oleh sejumlah oknum polisi ini. Orang nomor 1 di tubuh Polri waktu itu, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri pun turun tangan untuk menindaklanjuti kasus dugaan rekayasa ini.

Dalam sidang disiplin Propam Polres Jakpus menjatuhkan hukuman kepada 4 polisi yang terlibat dalam rekayasa kasus kepemilikan ganja terhadap pemulung Chairul Saleh ini. Kanit Narkoba Polsek Kemayoran Aiptu Suyanto didemosi sedangkan penyidik Brigadir Rusli ditunda kenaikan pangkatnya selama 1 tahun. Kemudian Aiptu Ahmad Riyanto ditunda kenaikan pangkat selama satu tahun, serta dimutasi secara demosi. Dan untuk Brigadir Dicky ditempatkan ke tempat khusus selama 7 hari.

Itu tadi beberapa contoh kasus hukum pidana, yang berarti kasus non-perdata di Indonesia yang sempat menghebohkan dan menghadirkan banyak sekali tanda tanya dan keraguan pada keadilan di negeri ini. (DNR)


Page 2