Cara Mengatasi ketimpangan sosial di bidang kesehatan

KOMPAS.com - Ketimpangan ekonomi dan sosial masih terjadi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah melancarkan utamanya lima strategi sebagai bentuk intervensi demi langsung menjangkau 40 persen penduduk miskin.

Dalam 7 tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh cukup kuat dengan rerata pertumbuhan 5,64 persen. Sayangnya, angka kemiskinan belum mampu diturunkan secara signifikan.

Gini rasio pun tercatat masih tinggi, yakni pada Maret 2017 sebesar 0,393. Tingginya ketimpangan itu disebabkan booming harga komoditas sejak 2006-2011. Lantaran itulah kuat asumsi, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 10-20 persen kelompok dengan penghasilan teratas.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menegaskan pemerintah ingin kualitas hidup rakyat Indonesia semakin meningkat. Pemerintah tidak berpuas diri meskipun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik dari 68,90 di tahun 2014 menjadi 70,18 di tahun 2016.

"Kita juga harus terus berupaya menekan ketimpangan pendapatan, yang saat ini Indeks Gini Rasio bisa kita turunkan dari 0,414 pada September 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017," kata Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR-RI 2017 di Jakarta, Rabu (16/8/2017).

Baca: Presiden: Ketimpangan Ekonomi Harus Ditekan

Jokowi optimistis pemerataan ekonomi yang berkeadilan dapat membuat bangsa Indonesia semakin bersatu. Pembangunan yang merata akan mempersatukan Indonesia.

“Pembangunan yang berkeadilan akan membuat kita semakin kuat dalam menghadapi persaingan global," katanya.

Strategi pertama yang dilakukan pemerintah terkait kesehatan anak usia 5 tahun ke bawah, khususnya terkait stunting (kurang gizi). Stunting dipandang memperparah kemiskinan sehingga harus diturunkan.

Kedua, soal bantuan sosial yang belum tepat sasaran. Masih banyak warga tidak mampu yang belum tersentuh bantuan karena kurangnya sinkronisasi data.

Baca juga: Bappenas Pemerintah Tak Bisa Kerja Sendiri Atasi Ketimpangan

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah telah membuat basis data yang mendetail. Namun, data tersebut harus diverifikasi setiap tahun untuk menjamin keakuratan.

Untuk mewujudkan basis data yang akurat, pemerintah daerah mesti mendukung dengan mempermudah pemberian akte kelahiran maupun akte perkawinan. Sehingga, setiap keluarga memiliki kartu keluarga dan setiap warga negara memiliki nomor induk kependudukan.

“Kelengkapan administrasi itu diperlukan untuk pendataan. Pemerintah daerah perlu mempermudah pemberian hak setiap anak untuk memiliki akte kelahiran,” katanya dalam Forum Merdeka Barat 9, Jumat (8/9/2017).

Baca juga: Mensos Sebut 4,1 Juta Anak Tidak Bersekolah

Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kemenko PMK Achmad Choesni mengatakan, data yang dikumpulkan pemerintah berdasarkan nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat.

Data tersebut diverifikasi langsung ke lapangan untuk mencegah perubahan data atau perpindahan penduduk.

Ketiga, soal peluang pekerjaan, karena pertumbuhan ekonomi didukung oleh penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah memprioritaskan untuk pendidikan vokasi untuk mengatasi persoalan pengangguran. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan lebih mudah diserap pasar tenaga kerja.

Direktur INFID Sugeng Bahagijo mengatakan, pemerintah perlu membuat proyeksi pasar kerja untuk 10 tahun mendatang. Terutama, prospek lapangan kerja di masa mendatang. Sehingga, pelatihan dan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja di masa depan.

Cara Mengatasi ketimpangan sosial di bidang kesehatan
KOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI Pemerintah memprioritaskan mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial dengan 5 strategi. Paparan strategi itu disampaikan dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kominfo, Jumat (9/8/2017).

Keempat, menurunkan ketimpangan kekayaan. Selama ini, pendapatan pajak penghasilan masih didominasi oleh kalangan pekerja.

Sedangkan, pajak penghasilan orang pribadi belum optimal. Padahal, kalangan di luar pekerja seperti direksi, pengusaha, pemilik modal lebih besar kewajiban pajaknya dibanding para pekerja.

Strategi kelima, menciptakan wirausaha secara massal. Sebagai contoh yang terjadi di Asia Timur seperti Taiwan dan Korea, di mana kemiskinan diatasi dengan berwirausaha.

Tantangan pelaksanaan strategi itu adalah kerja sama dari berbagai pihak di internal pemerintahan. Selain itu, dukungan dari swasta khususnya dunia usaha dibutuhkan untuk mengatasi ketimpangan.

Ketika kita berbicara tentang ketimpangan, korban yang umumnya kita bayangkan adalah warga miskin. Namun kenyataannya, ketimpangan berdampak buruk pada semua bagian masyarakat, termasuk warga kelas menengah dan kelas atas.

Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) awal tahun ini mengeluarkan laporan tentang ketimpangan yang mengungkapkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir jurang antara si kaya dan selebihnya orang Indonesia semakin lebar dibanding negara tetangga di Asia Tenggara. “Empat orang terkaya di Indonesia sekarang memiliki lebih banyak harta dibandingkan 100 juta warga termiskin,” laporan itu menyebutkan.

Ketimpangan di Indonesia, diukur dengan indeks Gini, naik dari 0,30 pada tahun 2000 ke 0,41 tahun 2015. Gini, dikembangkan oleh Corrado Gini dari Italia pada 1912, mengukur pemerataan penghasilan dari skala nol hingga satu. Nol artinya pemerataan sempurna dan satu artinya seluruh penghasilan di negara itu dikuasai oleh satu orang saja.

Melebarnya ketimpangan di Indonesia akan meningkatkan risiko kesehatan masyarakat, seperti rentannya warga terhadap penyakit-penyakit yang menyerang fisik dan mental, serta meningkatnya kekerasan yang berdampak pada seluruh masyarakat.

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news.

Ketidakadilan itu beracun, membuat kita tidak bahagia

Ketimpangan memecah belah dan menggerus kehidupan bermasyarakat. Banyak riset menunjukkan semakin lebar ketimpangan antara yang kaya dan miskin, maka semakin buruk masalah sosial dan kesehatan di masyarakat tersebut.

Masalah kesehatan dan sosial yang lebih buruk artinya ada lebih banyak orang dengan penyakit fisik dan mental, lebih banyak orang yang melakukan kekerasan, dan rasa saling percaya yang rendah di masyarakat. Situasi ini memberi peluang pada penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika, lebih banyaknya orang yang masuk penjara, maupun kehamilan di kalangan remaja.

Kesejahteraan anak terancam sehingga besar kemungkinan prestasi anak-anak tersebut di bidang matematika dan membaca rendah, sehingga memperkecil kesempatan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang tua mereka.

Penelitian-penelitian baru menyarankan bahwa mengurangi ketimpangan antara yang kaya dan miskin bisa membantu mengatasi masalah kesehatan dan sosial tersebut. Mereka menyimpulkan ketimpangan dan ketidakadilan meracuni kesehatan dan kesejahteraan kita.

Baca juga: Memetakan kemiskinan tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin

Data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 mengatakan bahwa 6% dari populasi Indonesia di atas usia 15 tahun, atau sekitar 14 juta orang, menderita depresi dan kecemasan. Diperkirakan 400.000 orang mengalami penyakit mental serius dan 57.000 diantaranya dipasung atau pernah dipasung. Untungnya, Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 menyatakan memasung orang adalah pelanggaran hukum. Namun Indonesia membutuhkan upaya lebih dari sekadar peraturan.

Situasi tak adil mendorong perilaku berisiko

Dalamnya ketimpangan juga mempengaruhi bagaimana orang menilai dirinya sendiri di masyarakat. Kate Pickett dan Richard Wilkinson, dua peneliti kesehatan masyarakat yang terkemuka, mengatakan di buku mereka yang terkenal “The Spirit Level”, bahwa lebarnya ketimpangan mendorong “persaingan status” dan “perasaan tidak aman mengenai status” di kalangan baik orang dewasa maupun anak-anak di seluruh kelompok penghasilan.

Persaingan dan perasaan tidak aman mendorong keterasingan dan kerentanan, seperti meningkatnya stres dan rasa frustasi, pada individu-individu. Hal-hal ini meningkatkan perilaku berisiko seperti merokok berat, ketergantungan pada alkohol, melakukan kekerasan, atau bahkan bunuh diri.

Cara Mengatasi ketimpangan sosial di bidang kesehatan
Laki-laki ini dipasung selama sembilan tahun di ruang belakang rumah keluarganya di Cianjur, Jawa Barat. Ketika ia dilepaskan, kakinya menciut karena tak pernah digunakan. Andrea Star Reese untuk Human Rights Watch

Bukti memperlihatkan perbedaan yang kentara dalam hal kesejahteraan antara negara-negara yang tingkat ketimpangannya berbeda-beda. Kasus pembunuhan disengaja pada tahun 2011 di Amerika Serikat, di mana ketimpangan cukup dalam, adalah 47 orang untuk setiap satu juta orang. Bandingkan angka tersebut dengan negara yang penghasilannya lebih merata: 15 orang di Kanada dan tiga di Jepang untuk setiap satu juta orang.

Melindungi masyarakat dari masalah sosial seperti kriminalitas membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kita akan perlu mengalokasikan dana lebih banyak untuk kerja polisi, pemeliharaan penjara, dan layanan publik untuk mengatasi masalah kriminalitas tersebut, kadang dengan biaya tinggi namun hasil tak seberapa.

Warga kelas menengah dan kelas atas menderita juga dalam situasi tak adil karena ketakutan, ancaman, dan biaya yang berkait dengan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkan dari ancaman nyata kejahatan, mulai dari kejahatan kecil-kecilan hingga perampokan sadis di jalanan kita.

Dampak ekonomi, sosial, dan psikososial dari kejahatan-kejahatan ini sangat besar karena mereka bisa mengancam jiwa, menyebabkan luka berat, trauma, cacat, atau kematian.

Kesetaraan itu baik dan mungkin dicapai

Riset-riset menyimpulkan, mayoritas—antara 90% sampai 95% dari populasi—mendapatkan manfaat dari kesetaraan yang lebih baik. Kita, terutama pemerintah dan swasta, harus menanggapi rekomendasi Oxfam dan INFID secara serius.

Masyarakat yang setara akan menguntungkan kita semua; kita akan punya kesempatan yang lebih baik untuk memperbaiki hidup kita dan akan lebih mampu untuk hidup berdampingan dan bekerja sama. Kita akan mengalami lebih sedikit kekerasan, kejahatan, ketergantungan narkotika, obat terlarang dan alkohol, maupun bunuh diri dalam masyarakat yang lebih setara.

Kajian-kajian tentang kesehatan jiwa mengkritik fokus berlebihan pada solusi individual untuk penyakit mental dan meresepkan kesetaraan sebagai bagian dari penyembuhan. Penanganan individual seperti terapi dan obat-obatan tentu saja telah menyembuhkan banyak orang, tetapi kajian-kajian ini juga menyarankan perlunya “solusi sosial”. Kita perlu mengurangi ketimpangan, karena bukti-bukti telah menunjukkan bahwa kesehatan jiwa kita sangat peka terhadap ketimpangan.

Meraih kesetaraan adalah mungkin. Kebijakan publik yang sehat bisa menyumbangkan jalan keluar dari siklus ketimpangan antargenerasi dengan cara mengatasi berbagai faktor pendorongnya.

Pemerintah Indonesia memiliki berbagai pilihan untuk memerangi ketimpangan. Salah satunya adalah memperbaiki pelayanan tingkat lokal dalam hal gizi, sanitasi, kesehatan, keluarga berencana, dan pendidikan, yang merupakan hal-hal penting yang menentukan awal yang baik bagi generasi mendatang. Cara lain adalah memperbaiki program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai bersyarat, subsidi pendidikan, dan pelatihan kerja bagi pemuda pemudi.

Kita akan membutuhkan lebih banyak dana untuk melakukan semua itu tapi kita bisa mendapatkan uangnya jika kita melawan korupsi, melaksanakan sistem perpajakan yang lebih adil, dan memaksa lebih banyak wajib pajak untuk membayar. Kombinasi antara program struktural dan individual bisa mempersempit ketimpangan dan mendorong kesehatan dan kesejahteraan.

Masa depan pembangunan bangsa kita bergantung tidak hanya pada indikator ekonomi yang bersifat permukaan seperti pertumbuhan ekonomi tetapi juga ukuran-ukuran yang lebih bermakna: masyarakat yang lebih setara dan adil.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini