Buku panduan perlindungan terhadap kekerasan diskrimianasi anak paud

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIAPRESS RELEASE KOORDINASI PERLINDUNGAN ANAK DARI KEKERASAN DAN DISKRIMINASISiaran Pers Nomor: B-212/Set/Rokum/MP 01/11/2018JAKARTA, (5/11) – Ketua Komisi VIII DPR RI, M. Ali Taher mengapresiasi upaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam meningkatkan koordinasi perlindungan anak. Pada pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Perlindungan Anak (Rakortek PA) dengan tema Bersama Lindungi Anak Indonesia dari Kekerasan dan Diskriminasi, kehadiran Ali Taher menunjukkan dukungan DPR terhadap Kemen PPPA.”Komisi VIII DPR sejak awal memberikan dorongan penuh bahwa Kemen PPPA ini harus melakukan sebuah gerakan agar aktivitas pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak terus ditingkatkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.  Hanya saja persoalannya, Kemen PPPA ini bukanlah kementerian teknis namun kementerian koordinatif. Saya sudah berkali-kali menyarankan agar Kemen PPPA ditingkatkan klusternya, namun memang jalannya akan panjang. Jadi yang paling penting saat ini bagaimana kita intervensi program. Tapi, sehebat apapun program bahwa tanpa koordinasi akan kehilangan makna dan esensi dari sebuah aktifitas. Oleh karena itu terkait rapat koordinasi hari ini, DPR RI memberikan apresiasi yang tinggi kepada Kemen PPPA ,” ujar M. Ali Taher.Pada kegiatan tersebut, Kemen PPPA juga melakukan peningkatan kerjasama yakni penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban maupun saksi tindak pidana. ”Kerjasama LPSK dengan Kemen PPPA ini dimaksudkan sebagai dasar bagi berbagai pihak dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban dan/atau saksi tindak pidana, termasuk perempuan dan anak penyandang disabilitas. Tujuannya, mewujudkan sinergitas kebijakan dan kegiatan terkait perlindungan bagi perempuan dan anak,” ujar Sekjen LPSK, Noor Sidharta.Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu menerangkan jika tindak lanjut dari nota kesepahaman bersama akan dilanjutkan dengan membuat kelompok kerja yang ditetapkan dengan surat keputusan (SK Menteri PPPA). Dalam SK tersebut nantinya akan tertuang perihal tugas dan tanggung jawab kedua belah pihak, baik Kemen PPPA maupun LPSK. Diantaranya, Kemen PPPA akan menerima pengaduan, melakukan analisis kasus, penjangkauan, memberikan pendampingan, hingga memberikan rujukan ke LPSK tentang perempuan dan anak yang menjadi korban dan saksi tindak pidana untuk mendapat layanan yang dibutuhkan. Sedangkan LPSK akan memberi bantuan tidak hanya advokasi, tetapi juga memberi bantuan secara teknis.    ”Kualitas hidup anak akan sangat ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan hak anak berupa hak kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, perlindungan, partisipasi, serta identitas. Namun, upaya mengawal agar anak Indonesia tumbuh dan berkembang secara optimal menemukan tantangan yang cukup serius. Sehingga Rapat Koordinasi ini penting utamanya untuk meningkatkan evektifitas kelembagaan perlindungan anak agar terwujud kejelasan mandat dan akuntabilitas lembaga-lembaga terkait perlindungan anak dalam pelaksanaan layanan secara teroadu dan berkelanjutan,” ujar Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu.Selain penandatanganan nota kesepahaman bersama, dalam pembukaan Rakortek PA (5/11), Kemen PPPA yang diwakili oleh Sekretaris Kemen PPPA dan Deputi Bidang Perlindungan Anak meluncurkan Indeks Komposit Kesejahteraan Anak Kabupaten/Kota (IKKA) 2016. IKKA ini berisi gambaran kondisi anak dari berbagai aspek terutama kebutuhan dasar anak dan hak-hak dasar anak yang akhirnya bermuara bagi peningkatan perlindungan anak secara komprehensif dan holistik. IKKA ini nantinya dapat digunakan bagi pemerintah daerah baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota dalam penyusunan kebijakan dan program. Hari pertama Rakortek diisi dengan tiga panel diskusi. Panel pertama terkait praktik kerja terbaik penyelenggaraan perlindungan anak di daerah dengan pembicara dari pejabat Pemerintah Daerah Kab. Berau, Kadis P3AP2KB DKI Jakarta, dan Kepala LPKA Palembang. Panel kedua menghadirkan nara sumber dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Hari pertama diakhiri dg panel antara Deputi PA dan Ketua KPAI. Rakortek PA rencananya akan berlangsung hingga 7 November 2018 di Jakarta. PUBLIKASI DAN MEDIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN   
DAN PERLINDUNGAN ANAK   
Telp.& Fax (021) 3448510,   
e-mail :  

Related Papers


Dalam kondisi konflik, polemik, kontroversi dan perang, media bukanlah sebuah entitas yang netral. Media melakukan konstruksi atas realitas polemik dan melalui cara itu berupaya mempengaruhi masyarakat untuk berpikir dan bertindak (Entman, 1993). Pada level ideologi, media dipengaruhi oleh pemilik dan penguasa media (McQuail, 2011). Dalam aspek sosiologi media, berita tidak dapat dipandang sebagai refleksi realitas melainkan hasil konstruksi gatekeeper media Tuchman, 1991). Tulisan ini akan menganalisis bagaimana konstruksi media terhadap polemik pengesahan Qanun Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Hasil penelitian mendapati bahwa media menempatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh sebagai dua pihak yang saling bertentangan. Dalam konstruksi media, Pemerintah Aceh dinyatakan sebagai pihak bersalah karena melegalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan undangundang yang lebih tinggi. Media berupaya menafsirkan bahwa qanun (tata peraturan daerah) ini menandakan bangkitnya kembali gerakan separatis di Aceh (GAM).

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Desa Ubung Kaja di Denpasar Bali dalam memanfaatkan ICT (Information, Communication, Technology) atau TIK (Teknologi, Informasi, Komunikasi) untuk diserminasi informasi atau menyebarluaskan informasi mengenai kegiatan-kegiatan pembangunan di desa tersebut. Salah satu cara transformasi birokrasi dalam pelayanan publik adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam pelayanan publik. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriftif kualitatif dengan pendekatan wawancara untuk mengetahui bagaimana kinerja aparat desa di dalam menggunakan ICT dan studi dokumentasi dari sosial media untuk membandingkan diserminasi informasi dari beberapa desa yang ada di Denpasar Bali. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kepala Desa Ubung Kaja telah berhasil mengimplementasikan e-governance dengan merekonstruksi sistem ICT di Desa Ubung Kaja, membuat sinergi antar Banjar yang komunikatif, dan bisa menjadi contoh untuk desa lainnya di Denpasar pada khususnya dan Bali pada umumnya. Kata kunci: ICT, Media Sosial, Pelayanan Publik

Articles while working for ICG, The

PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM.. disusun oleh Mahkamah Agung RI - MaPPI FHUI - AIPJ2

Pemenuhan keadilan bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak cukup hanya dengan dipidananya pelaku, melainkan harus sampai pada dipulihkannya kerugian penderitaan korban akibat Tindak Pidana yang dialaminya. Karenanya, penanganan korban TPPO demi pemenuhan serta terjaminnya hak-haknya seacra penuh mutlak diperlukan. Secara yuridis, penanganan korban TPPO adalah tanggungjawab Negara dan masyarakat diharpkan untuk berperan serta. Untuk itu, para pengambil kebijakan telah mendesain sistem dalam penanganan korban TPPO secara terpadu dan komprehensif yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Walaupun demikian, hingga saat ini masih banyak pihak yang belum memahami secara sempurna sistem penanganan korban TPPO. Parahnya lagi, ada juga pihak-pihak yang sudah sering terlibat dalam penanganan korban, namun tidak mengetahui mekanisme dan prinsip-prinsip dalam penanganan korban TPPO. Akibatnya korban-korban yang ditangani tidak mendapatkan pelayanan yang optimal dan sejumlah haknya menjadi terabaikan. Bahkan dalam beberapa kasus, korban dipersalahkan (blaming the victim) karena dianggap memberikan kontribusi pada kejadian tindak pidana yang dialaminya sendiri. Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran buku kecil ini, diharapkan dapat berkontribusi langsung bagi pemahaman yang utuh dari pihak-pijhak berkait dengankerja-kerja penanganan korban TPPO, sekaligus bisa menjadi semacam “panduan praktis” bagi siapa saja yang ingin, maupun sedang melayani dan mendampingi para korban TPPO.