Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam tanam paksa adalah

Jakarta -

Sistem tanam paksa terjadi pada masa pemerintahan van den Bosch dari pemerintah kolonial Belanda. Bagaimana sejarah sistem tanam paksa menyengsarakan rakyat?

Pengertian tanam paksa

Sistem tanam paksa adalah sistem yang mengharuskan rakyat melaksanakan proyek penanaman tanaman ekspor di bawah paksaan pemerintah kolonial sejak tahun 1830.

Sistem tanam paksa pada masa penjajahan Belanda disebut cultuurstelsel. Istilah cultuurstelsel sebenarnya berarti sistem tanaman (culture system atau cultivation system).

Cultuurstelsel sebenarnya berarti kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkan cultuurstelsel dengan sebutan tanam paksa karena pelaksanaannya dilakukan dengan pemaksaan.

Pelanggar tanam paksa dikenakan hukuman fisik yang berat, seperti dikutip dari buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA oleh M. Habib Mustopo.

Latar Belakang Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa pemerintah kolonial Belanda dilaksanakan karena sejumlah peristiwa dan kondisi saat itu, di antaranya sebagai berikut:

1. Belanda menghabiskan biaya yang besar karena terlibat dalam peperangan di masa kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa

2. Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada 1830.

3. Belanda menghabiskan biaya hingga sekitar 20 juta gulden untuk menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Diponegoro adalah perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.

4. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat.

5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.

6. Kegagalan upaya mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan agar memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk (Belanda).

Tokoh pencetus sistem tanam paksa adalah van den Bosch. Usul cultuurstelsel membuat van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugas utama van den Bosch adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas Belanda yang kosong dan membayar utang-utang Belanda.

Sistem Tanam Paksa di Jawa

Tujuan tanam paksa adalah merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku di pasar dunia. Untuk menyukseskan cultuurstelsel, pemerintah kolonial memberikan pinjaman uang pada orang-orang yang bersedia membangun pabrik atau penggilingan.

Pemerintah kolonial Belanda juga menyediakan batang tebu mentah dan tenaga kerja untuk pengusaha tebu. Perluasan tanaman dagang untuk pasar dunia mendorong munculnya modal swasta dengan jumlah besar. Modal swasta ini memunculkan masalah-masalah lain dalam pelaksanaan tanam paksa.

Peraturan Tanam Paksa

Peraturan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam lembaran negara Staatblad Tahun 1834 No. 22. Aturan ini diterbitkan beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Aturan tanam paksa yaitu:

1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di pasar Eropa.

2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman padi

4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah

5. Hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan tersebut diberikan kepada pendudukan.

6. Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.

7. Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.

8. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas secara umum.

Selanjutnya penyimpangan dalam sistem tanam paksa>>>

(lus/lus)

Kemukakan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa!

Pembahasan:
Berikut penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan. Jatah tanah untuk tanaman berkualitas ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan. Lahan yang disediakan unuk tanaman wajib tetap dikenai pajak tanah. Setiap kelebihan hasil panen tidak dikembalikan lagi kepada petani. Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama


Page 2

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam tanam paksa adalah

Sistem tanam paksa merupakan kebijakan pemerintah Belanda yang dicetuskan oleh Van den Bosch. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki perekonomian negeri Belanda serta mendapat keuntungan besar dengan melakukan penanaman tanaman yang laku di pasar internasional. Kebijakan tersebut selanjutnya mulai berlaku pada 1830, ketika Van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal. Kebijakan tanam paksa memiliki sejumlah ketentuan yang sebenarnya tidak terlalu membebani rakyat pribumi. Namun, dalam perkembangannya terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap sistem tanam paksa sehingga menyebabkan kehancuran perekonomian serta penderitaan bagi rakyat pribumi. Penyelewengan dalam kebijakan tanam paksa yakni  tanah yang harus diserahkan rakyat melebihi dari ketentuan 1/5, tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak, jika terjadi gagal panen akibat bencana alam tetap menjadi tanggung jawab petani, rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun, dan kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan. Penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa juga tidak terlepas dari kerakusan penguasa pribumi dalam mengincar cultuur procenten (bonus) yang besar. Untuk mendapatkan bonus tersebut, para penguasa pribumi memaksa petani untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam tanam paksa sebanyak-banyaknya.

Dengan demikian, penyelewengan tanam paksa yang menguntungkan penguasa pribumi adalah adanya cultuur procenten (bonus), dimana penguasa pribumi memaksa petani untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam tanam paksa sebanyak-banyaknya.

Pada perjalanannya sistem tanam paksa terjadi penyimpangan-penyimpangan walaupun disana ada beberapa sisi positifnya.

Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa.

Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda. Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik.

Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.

2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.

3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.

4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.

5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten.

Berikut ini yang bukan merupakan penyimpangan dalam praktik tanam tanam paksa adalah
Gambar: Pengaruh Positif sistem tanam paksa

Cultuur procenten atau prosenan tanaman 

Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita.

Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.

Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil.

Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.

Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa.

Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).

Pengaruh positif sistem tanam paksa

Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:

1) terbukanya lapangan pekerjaan,

2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan

3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.