Berapa lama pasien covid di ruang icu

Lihat Semua >

MARKET DATA Last updated : 00:00 WIB | 00/00/0000
Data is a realtime snapshot, delayed at least 10 minutes

Track your investments.

WATCHLIST


Page 2

Lihat Semua >

MARKET DATA Last updated : 00:00 WIB | 00/00/0000
Data is a realtime snapshot, delayed at least 10 minutes

Track your investments.

WATCHLIST


Page 3

Lihat Semua >

MARKET DATA Last updated : 00:00 WIB | 00/00/0000
Data is a realtime snapshot, delayed at least 10 minutes

Track your investments.

WATCHLIST


Page 4

Lihat Semua >

MARKET DATA Last updated : 00:00 WIB | 00/00/0000
Data is a realtime snapshot, delayed at least 10 minutes

Track your investments.

WATCHLIST


Page 5

Lihat Semua >

MARKET DATA Last updated : 00:00 WIB | 00/00/0000
Data is a realtime snapshot, delayed at least 10 minutes

Track your investments.

WATCHLIST

Jakarta, CNN Indonesia --

Ramai jadi perbincangan pasien Covid-19 yang dirawat di ICU sengaja dibuat tidak sadarkan diri. Hanya saja, tak semua pasien diperlakukan demikian.

Benarkah pasien Covid-19 di ICU perlu dibuat tertidur atau tidak sadarkan diri?

Proses membuat pasien tidak sadarkan diri dikenal juga dengan anestesi. Yaitu, mengistirahatkan pasien sehingga pasien tidak merasakan nyeri pada sebagian atau seluruh bagian tubuh melalui pengaruh obat bius.


Dokter yang bertanggung jawab terhadap proses ini adalah dokter ahli anestesi atau dokter spesialis anestesiologi.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) Profesor Syafri K Arif membenarkan pasien Covid-19 yang dirawat di ICU dibuat tertidur. Terdapat sejumlah alasan yang membuat pasien harus tertidur saat menjalani perawatan di ICU, terutama ketika sudah mendapatkan bantuan ventilator atau alat bantu pernapasan.

"Sebagian pasien yang sudah dibantu ventilator dibuat tidur untuk memaksimalkan hantaran oksigen dari ventilator ke paru-paru pasien," kata Syafri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (29/12).

Pasien Covid-19 yang masuk ke ICU diistirahatkan saat hendak memasang ventilator. Pasalnya, pemasangan alat ventilator hingga ke saluran pernapasan dapat membahayakan pasien dan juga petugas medis jika pasien dalam keadaan sadar.

"Pertama, untuk memasang selang napas itu, salah satu usahanya pasien harus 'dilumpuhkan' dulu karena itu tindakan yang invasif atau berisiko," kata dokter spesialis anestesiologi Pramafitri Adi Patria kepada CNNIndonesia.com.

Adi menjelaskan proses pemasangan ventilator yang dilakukan dengan kondisi pasien sadar dapat menyebabkan aerosol menyebar ke seluruh ruangan. Hal ini terjadi karena pemasangan dilakukan di saluran pernapasan yang juga merupakan lokasi virus berada.

Artinya, risiko penularan kepada petugas medis seperti dokter dan perawat yang menangani akan semakin tinggi.

Selain itu, pasien yang dirawat di ruang ICU umumnya tidak lagi bisa bernapas dengan baik karena infeksi Covid-19 yang dideritanya sudah menggerogoti paru-paru. Kondisi paru-paru pasien biasanya sudah tidak berfungsi dengan baik.

Padahal, di saat yang sama pasien membutuhkan oksigen yang tinggi. Oleh karena itu, pasien ditidurkan dan dipasang ventilator.

"Kebanyakan pasien di ICU tidak bisa bernapas sendiri karena kondisi paru-parunya, padahal kebutuhan oksigennya semakin meningkat. Jadi, pasien dilumpuhkan sehingga kebutuhan oksigen menurun dan dapat terpenuhi dengan bantuan mesin," tutur Adi.

Kondisi pasien yang tidak sadarkan diri dengan bantuan oksigen dari mesin diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan.

Tim dokter akan memeriksa perkembangan pasien Covid-19 di ICU setiap harinya. Jika sejumlah indikator melalui pemeriksaan laboratorium menunjukkan perbaikan dan pasien dapat bernapas sendiri, maka pasien akan disadarkan kembali secara perlahan.

"Pasien Covid-19 biasanya agak lama pemasangan ventilatornya dibandingkan pasien non Covid-19 seperti stroke. Jika sudah membaik, tidak dilumpuhkan lagi, pengaruh obat perlahan akan habis dan bisa bangun kembali," kata Adi.

(ptj/chs)

[Gambas:Video CNN]

Sejak pandemi dimulai, jumlah pasien kasus COVID-19 yang menjalani perawatan di ruang isolasi dan perawatan intensif (ICU) RSUD Iskak Tulungagung, Jawa Timur, terus bertambah. Sejak dulu, rumah sakit ini senantiasa sibuk, namun kini tempat tidur dan tenaga kesehatan ditingkatkan seiring dengan angka pasien COVID-19 yang menanjak.

Edi Purwanto, perawat, telah bekerja di RSUD Iskak Tulungagung selama sembilan tahun, tetapi ia baru-baru saja mulai menangani pasien COVID-19. Edi saat ini bertanggung jawab atas setiap pasien COVID-19 di ICU. Istrinya pun bekerja sebagai perawat di rumah sakit yang sama. Ia mengaku, mereka berdua awalnya khawatir membawa pulang virus ke rumah dan menularkan anggota keluarga yang lain. Keduanya juga harus menghadapi stigma di masyarakat. Beberapa tetangga bahkan menjauhi dan menggunjingkan mereka. Di tengah semua tantangan ini, Edi dan istrinya tetap berkomitmen terhadap pekerjaan.

“Kami hanya melaksanakan pekerjaan,” katanya. “Kami diberikan tugas, jadi kami pun berusaha memenuhinya.”

Saat bertugas jaga selama tiga jam di ICU, Edi dan perawat lain mengamati kondisi pasien dari dekat. Jika pasien mengalami penurunan level oksigen, tim perawat segera mengenakan alat pelindung diri, atau APD, dan bergegas memberikan penanganan darurat. Keharusan untuk berulang kali mengenakan dan melepas APD, menurut Edi, tidak mudah.

Setelah datang bantuan ventilator tambahan dari Asian Development Bank dan UNICEF, Edi bercerita ia bisa merawat pasien dengan lebih efektif. Selain itu, pemberian ventilator disertai dengan pelatihan dari produsen alat. Menurut Edi, hal ini membuatnya mampu mengoperasikan alat segera setelah diterima oleh rumah sakit.

“Ventilatornya berguna sekali,” kata Edi. “Masalah utama pasien COVID-19 ada di pernapasan. Jadi, mereka semua membutuhkan ventilator.”

Edi ingat, salah seorang pasiennya adalah perempuan berusia 38 tahun yang dinyatakan positif COVID-19 dan tanpa riwayat masalah pernapasan. Namun, tak lama setelah ditempatkan di ICU, level saturasi oksigennya turun drastis hingga ia kesulitan bernapas. Ventilator pun segera dipasangkan untuk meningkatkan level saturasi oksigen dan baru dapat dilepas setelah tindakan ini berjalan beberapa hari. Setelahnya, pasien dipindahkan ke ruangan isolasi non-intensif dan menjalani perawatan hingga tesnya menunjukkan hasil negatif.

“Dengan ventilator, para pasien bisa mendapatkan 100% oksigen yang mereka butuhkan,” ujar Edi.

UNICEF Indonesia mengucapkan terima kasih atas dukungan Asia Development Bank.

Oleh:

Antara/Reuters Petugas medis merawat pasien Covid-19 di Unit Perawatan Intensif (ICU) Rumah Sakit Scripps Mercy, di Chula Vista, California, Amerika Serikat.

Bisnis.com, JAKARTA - Cerita pilu penyintas Covid-19 dengan gejala berat datang dari Anggun Wibowo. Pria berusia 42 tahun itu harus berjuang melawan sakit saat menggunakan alat yang membantunya tetap hidup. 

Dalam acara Mata Najwa di Trans7, Rabu (27/1/2021), Anggun mengaku memiliki penyakit komorbid berupa tekanan darah tinggi. Hal itu yang membuat Anggun harus dirawat di ruang insentive care unit (ICU) sejak 21 Juli hingga 5 Agustus 2020.

Awalnya, Anggun merasa hanya seperti flu biasa yang disertai badan pegal-pegal. Masih seperti layaknya flu, kemudian gejala lain yang timbul adalah demam, batuk, dan sakit tenggorokan.

Pria yang terkena Covid-19 dua kali ini mengatakan bahwa ia sudah mengonsumsi obat dari dokter untuk gejala flu. Namun, setelah tiga hari,kondisinya tidak kunjung membaik.

Anggun curiga dan memutuskan untuk memeriksakan keadaannya dan hasil tes laboratorium menunjukan positif Covid-19.

"Saya masih isolasi mandiri selama 3 hari, tapi tambah panas tinggi, batuk-batuk, mulai batuknya ada bercak-bercak darah. Terus mulai sesak napas," kata Anggun.

Anggun merasakan kondisnya semakin parah dan akhirnya memutuskan untuk mendapatkan pertolongan yang lebih intensif di rumah sakit.

"Sebelum dirawat, di-screening terlebih dahulu dan harus masuk ke ICU karena kondisinya cukup parah," cerita Anggun.

Dia melanjutkan kondisinya sempat membaik, tetapi kemudian memburuk hingga akhirnya harus berkenalan dengan ventilator. 

Pria itu mengaku menggunakan ventilator adalah pengalaman yang berat bagi dirinya. Pasalnya menggunakan alat bantu napas tersebut adalah hal yang memiliki risiko, tetapi wajib untuk menunjang hidupnya

Anggun mengatakan dia harus dibius total sebelum pemasangan ventilator. Meski dibius total, dalam kondisi setengah sadar dia sempat melihat  ada alat berbentuk cangkul kecil masuk ke dalam mulutnya. 

Alat itu untuk membuka jalan selang masuk ke dalam lubang tenggorokan. Setelah itu, Anggun tidak sadar hingga 35 jam. Padahal, umumnya pasien akan sadar dalam waktu 12 hingga 17 jam.

"Saya nggak sadar samapi 35 jam, itu keluarga sudah kebingungan," ucapnya.

Namun rupanya penderitaan Anggun belum berakhir. Ventilator membuat dirinya tidak bisa berbicara. Dia merasa seperti kehilangan suara.

Bahkan, ventilator membuatnya kehilangan kemampuan meludah. Anggun pun harus pasrah merasakan sakit karena harus menggunakan alat bantu seperti pompa untuk mengeluarkan air liur setiap dua jam.

"Tiap kali perawat mau suction [pompa] selalu bilang tahan ya, pak, tahan, ini agak sakit memang," ujarnya.

Segala kondisi tersebut membuat Anggun meragukan kemampuannya untuk bertahan hidup. Dia tidak bisa bergerak, bahkan merebahkan badan atau sekadar memindahkan bantal harus meminta bantuan perawat. 

"Mulai hari ketiga, keempat, sampai keenam itu sudah 'waduh, kayaknya saya nggak mampu karena sudah sakit, berat badan udah kayak nggak rasa, apalagi cuma bisa rebahan," ungkapnya.

Bukan hanya itu, Anggun juga mengatakan bahwa untuk makan juga harus disuntikkan melalui hidung. 

Satu hal yang menguatkan Anggun, yaitu dukungan dan doa dari pihak keluarga dan para sahabatnya. Mereka berkomunikasi melalui panggilang video dan mengajak Anggun mengobrol, meskipun Anggun tidak bisa menjawabnya. 

Selain itu, Anggun juga merasa kehadiran dokter dan perawat menjadi tambahan semangat untuknya dalam melawan Covid-19.

"Biasanya selain mereka ngasih obat, mereka kasih makanan, mereka ngajak bercanda, ngajak ngobrol walaupun saya nggak bisa balas. Kadang-kadang ayo foto, kita foto bareng," kata Pria yang kain bahwa Covid-19 harus dilawan dengan pikiran yang tenang.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :