Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan

Untuk lebih memahami tentang Subjek Pajak Badan, silahkan disimak penjelasan seputar Subjek Pajak Badan berikut ini.

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam pembahasan segmen Badan Usaha ini, yang menjadi subjek pajak adalah badan dan bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

  1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
  4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  5. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap (dalam pembahasan Badan Usaha) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. bengkel;
  7. gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Sedangkan yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

  1. kantor perwakilan negara asing;
  2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
  3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
    1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
    2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
  4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pengertian BUT (Bentuk Usaha Tetap)

Pengertian BUT (Bentuk Usaha Tetap) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya).

Jadi BUT (Bentuk Usaha Tetap) adalah semacam cabang atau perwakilan perusahaan dari luar negeri yang didirikan di Indonesia.

Batasan 183 hari dalam 12 bulan adalah apabila antara Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda).

Akan tetapi apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda), maka batasan sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap) sesuai perjanjian tersebut.

Misalkan dalam Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) antara Indonesia dengan Malaysia, batasan untuk menjadi BUT (Bentuk Usaha Tetap) adalah 6 (enam) bulan, maka apabila ada perusahaan dari Malaysia ingin mendirikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia harus memenuhi ketentuan dalam Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) yaitu 6 (enam) bulan di Indonesia.

Jenis BUT (Bentuk Usaha Tetap) 

BUT (Bentuk Usaha Tetap) antara lain berupa : a. tempat kedudukan manajemen.b. cabang perusahaan.c. kantor perwakilan.d. gedung kantor.e. pabrik.f. Bengkel.g. Gudang.h. ruang untuk promosi dan penjualan.i. pertambangan dan penggalian sumber alam.j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.m. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

  Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia.Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kewajiban Perpajakan BUT (Bentuk Usaha Tetap)

Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

Setelah suatu BUT ((Bentuk Usaha Tetap) berdiri di Indonesia wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

NPPKP (Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak)

Suatu BUT ((Bentuk Usaha Tetap) apabila melakukan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak dan atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang jumlahnya melebihi Rp.4.8000.000.000 (empat milyar delapan ratus juta rupiah) wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) membayarkan objek PPh Pasal 21, maka wajib memotong dan menyetorkan serta melaporkan PPh Pasal 21.

PPh Pasal 21 disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

PPh Paal 22 dipungut oleh Pemungut PPh Pasal 22 apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) melakukan penjualan barang obyek PPh Pasal 22 kepada Pemungut PPh Pasal 22.

PPh Pasal 22 harus disetor atau dipungut oleh Kantor Bea dan Cukai apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) melakukan impor barang obyek PPh Pasal 22

Apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) membayarkan objek PPh Pasal 23, maka wajib memotong dan menyetorkan serta melaporkan PPh Pasal 23.

PPh Pasal 23 disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 23 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

BUT ((Bentuk Usaha Tetap) wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 serta melaporkan PPh Pasal 25.

PPh Pasal 25 disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 25 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Apabila PPh Pasal 25 sudah disetor maka dianggap sudah dilaporkan.

Apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) membayarkan objek PPh Pasal 26, maka wajib memotong dan menyetorkan serta melaporkan PPh Pasal 26.

PPh Pasal 26 disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau SPT Masa PPh Pasal 23/26 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) membayarkan objek PPh Pasal 4 ayat 2, maka wajib memotong dan menyetorkan serta melaporkan PPh Pasal 4 ayat 2.

PPh Pasal 4 ayat 2 disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Apabila BUT ((Bentuk Usaha Tetap) melakukan penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena Pajak), maka setelah dilakukan perhitungan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan apabila terdapat PPN kurang dibayar wajib menyetorkan PPN serta melaporkan SPT Masa PPN.

PPN disetorkan paling lambat sebelum SPT Masa PPN dilaporkan.

SPT Masa PPN dilaporkan paling lambat akhir bulan berikutnya.

PPh Pasal 29 dan SPT Tahunan PPh Badan

Apabila setelah dihitung SPT Tahunan PPh Badan dari BUT ((Bentuk Usaha Tetap) menyatakan kurang bayar, maka PPh Pasal 29 wajib disetorkan terlebih dahulu sebelum melaporkan SPT Tahunan PPh Badan.

PPh Pasal 29 disetorkan paling lambat sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.

SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak (tanggal 30 April)

Contoh BUT (Bentuk Usaha Tetap)

BUT (Bentuk Usaha Tetap) di bidang Jasa Konstruksi (bukan data sebenarnya)

China Corporation adalah sebuah Perusahaan dari negara Republik Rakyat China yang memenangkan tender pembangunan PLTU di Cilacap. 

Untuk membangun PLTU tersebut China Corporation mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, sehingga setelah selesai maka BUT tersebut bubar dan dapat mengajukan penghapusan NPWP. 


Kewajiban perpajakan BUT adalah seperti Wajib Pajak Badan Dalam Negeri.

Perbedaaanya terjadi apabila laba setelah pajak dari suatu BUT dikirim keluar negeri maka akan dikenakan PPh Pasal 26 berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya atau apabila antara Indonesia dengan Republik Rakyat China terdapat Tax Treaty atau P3B, maka pengenaannya berdasarkan tarif pajak penghasilan dalam Tax Treaty tersebut.

Sehingga apabila laba setelah pajak tersebut sebagian atau seluruhnya ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk pendirian Perusahaan berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dengan syarat tertentu, maka atas bagian laba yang ditanamkan kembali di Indonesia tidak dikenakan PPh Pasal 26.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan