Bentuk kontrak yang paling tepat untuk PENGADAAN Jasa Konsultansi sebesar Rp 100 juta adalah

Bentuk kontrak yang paling tepat untuk PENGADAAN Jasa Konsultansi sebesar Rp 100 juta adalah
Bentuk kontrak yang paling tepat untuk PENGADAAN Jasa Konsultansi sebesar Rp 100 juta adalah

(Serial #4 Perpres 16/2018)

    Seperti dijelaskan pada artikel #3 salah satu perubahan yang dilakukan pada Perpres 16/2018 menggantikan Perpres 54/2010 dan seluruh perubahannya adalah klausula perjanjian dan kontrak. Penyusun Perpres 16/2018 berupaya memperjelas norma tentang kontrak.

    Jika diartikel #3 membahas aspek perjanjian dan kontrak dari sisi pelaku, maka artikel kali ini membahas dari aspek bukti perikatan. Perpres 54/2010 Bab VI Bagian Ketiga Paragraf Ketujuh jelas menyuratkan bahwa “Tanda Bukti Perjanjian” adalah bagian dari dokumen kontrak. Namun demikian masih banyak pemahaman yang kemudian memisahkan atau menegasikan antara bukti perjanjian dengan kontrak itu sendiri.

“Bukti Pembelian” atau “kuitansi” misalnya sering ditolak sebagai kontrak meskipun diakui sebagai bukti perjanjian, sehingga terkadang menghambat proses pembayaran. Apalagi untuk e-Purchasing yang tegas disebutkan bukti perjanjian-nya adalah “Surat Pesanan”! Dalam praktiknya masih juga dituntut ada Surat Perintah Kerja (SPK) atau Surat Perjanjian. Ini karena ada pemahaman bahwa SPK dan Surat Perjanjian saja yang layak disebut Kontrak.

Bentuk kontrak yang paling tepat untuk PENGADAAN Jasa Konsultansi sebesar Rp 100 juta adalah

    Bahasan lain adalah tentang lingkup masing-masing bukti perjanjian. Perpres 54/2010 memberikan batasan pada masing-masing bukti perjanjian yaitu :

Bukti Perjanjian

Barang

Konstruksi

Jasa lainnya

Konsultansi

Bukti pembelian/

pembayaran

≤ 10 juta

≤ 10 juta

≤ 10 juta

Kuitansi

≤ 50 juta

≤ 50 juta

≤  50 juta

Surat Perintah
Kerja (SPK)

> 50 juta s.d 200 juta

≤ 200 juta

> 50 juta s.d 200 juta

≤ 50 juta

Surat perjanjian

> 200 juta

> 200 juta

> 200 juta

> 50 juta

Surat pesanan

e-purchasing/pembelian melalui toko daring

    Perpres 54/2010 menunjukan keberpihakan pada semangat substantif manajerial. Penggunaan tanda bukti perjanjian tidak dibatasi pada pemahaman statis. Bukti pembelian “dapat” digunakan untuk pengadaan barang/jasa non konsultansi 10 Juta. Dengan pemahaman ini maka ≤ 10 juta boleh juga menggunakan Kuitansi atau SPK selain menggunakan “bukti pembelian”.

Diskusi yang muncul kemudian adalah kapan menggunakan “bukti pembelian”, “kuitansi” atau “SPK”? Dihubungkan dengan tipe transaksi maka bukti “bukti pembelian” atau “kuitansi” lekat dengan tipe transaksi jangka pendek atau tanggungjawab jangka pendek. Sedangkan SPK dan Surat Perjanjian lekat dengan tipe transaksi yang didalamnya terkandung syarat dan ketentuan tanggungjawab jangka panjang misal adanya ketentuan after sales service atau jaminan purna jual.

    Lingkungan pengadaan barang/jasa saat ini masih dilingkupi oleh pendekatan hukum yang bersifat hitam dan putih. Pilihan manajemen yang bersifat substantif dapat menjadi jebakan menakutkan. Nuansa ini rupanya dipahami betul oleh penyusun Perpres 16/2018. Untuk itu dilakukan perubahan yang bersifat artikulatif dengan menyebutkan secara langsung bahwa Tanda Bukti Perjanjian adalah Kontrak. Hal ini terlihat pada pasal 28 ayat 1 yang langsung menyebutkan secara lugas bentuk kontrak terdiri atas “bukti pembelian”, “kuitansi”, “SPK”, “Surat Perjanjian” dan “Surat Pesanan”.

Bentuk kontrak yang paling tepat untuk PENGADAAN Jasa Konsultansi sebesar Rp 100 juta adalah

    Penegasan ini menghentikan perdebatan tentang apakah “bukti pembelian”, “kuitansi” dan “Surat Pesanan” adalah kontrak? Karena sudah jelas semua adalah kontrak menurut Perpres 16/2018. Mestinya dengan ini tidak ada lagi kendala pembayaran ketika Kuitansi Pembayaran hanya dilampiri oleh “bukti pembelian”, “kuitansi” atau “Surat Pesanan” saja. Khususnya e-purchasing/pembelian melalui toko daring semoga tidak lagi dipertanyakan keberadaan kontrak jika hanya dilengkapi dengan surat pesanan. Karena surat pesanan sekarang tegas adalah bentuk kontrak!

    Dari sisi ruang lingkup masing-masing bentuk kontrak pun, semangat Perpres 16/2018 mempersempit penafsiran sangat terasa.

Bentuk kontrak

Barang

Konstruksi

Jasa lainnya

Konsultansi

Bukti pembelian/

pembayaran

≤ 10 juta

≤ 10 juta

Kuitansi

≤ 50 juta

≤  50 juta

Surat Perintah
Kerja (SPK)

> 50 juta s.d 200 juta

≤ 200 juta

> 50 juta s.d 200 juta

≤ 100 juta

Surat perjanjian

> 200 juta

> 200 juta

> 200 juta

> 100 juta

Surat pesanan

e-purchasing/pembelian melalui toko daring

Bukti pembelian/pembayaran digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya ≤ 10 juta. Kuitansi digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya ≤ 50 juta. Artinya untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya ≤ 10 juta dapat menggunakan bukti pembelian atau kuitansi tapi tidak lagi SPK. Untuk > 10 juta s/d 50 juta hanya dapat menggunakan kuitansi.

SPK digunakan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai ≤ 100 juta, Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai > 50 juta s.d 200 juta, dan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dengan nilai ≤ 200 juta. Perubahan drastis terjadi pada pekerjaan konstruksi yang tidak lagi dapat memenuhi penggunaan bukti pembelian atau kuitansi, hanya SPK. Tentu ini akan menjadi kendala tersendiri untuk pekerjaan konstruksi yang bersifat sangat sederhana dengan nilai 0 s/d 50 juta wajib menggunakan SPK. Harapannya kemudahan administratif pembayaran untuk kontrak berbentuk SPK dapat disederhanakan.

    Pilihan penyusun Perpres 16/2018 untuk mempersempit ruang tafsir terhadap norma adalah kebijakan yang telah ditetapkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu diharapkan petunjuk teknis yang nantinya akan terbit dapat menutupi kekurangan tersebut.