Bayi/anak kecil yang tertular hiv/aids, kemungkinan masuknya virus pada saat

Praktik donor darah dengan jarum yang tidak steril juga dapat meningkatkan risiko HIV pada anak, terutama di negara-negara yang tingkat kemiskinannya masih tinggi. Anak yang menerima donor dari orang yang positif HIV juga berisiko terinfeksi.

Namun, penularan HIV lewat donor saat ini tergolong langka dan sangat bisa dihindari karena prosedur pengambilan darah sudah diperketat sejak beberapa dekade terakhir. Tenaga medis yang bertanggung jawab dalam pendonoran aka menyaring calon pendonor dengan ketat untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi.

Maka itu, risiko penularan HIV dari donor darah pada anak jauh lebih kecil dibandingkan penularan karena jarum narkoba dan penularan melalui ibu.

Gejala HIV pada anak

Tidak semua anak yang terkena HIV menunjukkan gejala spesifik. Gejala HIV pada anak bisa bersifat ringan atau parah tergantung dari tahapan infeksi atau stadium HIV. Melansir laman Stanford Children’s Health, gejala yang muncul pada anak juga dapat berbeda-beda, tergantung pada usia berapa mereka terkena infeksi pertama kali.

Gejala HIV yang samar-samar dapat membuat orangtua terkecoh dengan tanda penyakit lain yang mirip.

Akan tetapi, ini dia beberapa gejala HIV pada anak secara umum berdasarkan usianya.

1. Bayi

Gejala HIV pada anak balita mungkin sulit dikenali. Maka jika Anda atau pasangan laki-laki Anda termasuk orang yang berisiko, Anda dianjurkan untuk rutin memeriksakan si kecil. Ya! Ayah pun dapat menularkan HIV pada bayi mereka.

Beberapa gejala HIV pada anak usia balita yang akan muncul, antara lain:

  • Tumbuh kembang anak terhambat. Misalnya, berat badan tidak kunjung naik.
  • Perut membesar karena adanya pembengkakan pada hati dan limpa mereka.
  • Mengalami diare dengan frekuensi yang tidak menentu.
  • Sariawan akibat infeksi jamur pada mulut anak yang ditandai dengan bercak-bercak putih di rongga pipi dan lidah.

Walaupun demikian, beberapa gejala HIV pada anak pada usia balita juga dapat menandai anak Anda menderita penyakit lain, sehingga lebih baik memastikannya ke dokter.

2. Anak

Bagi anak yang berusia lebih dari dua tahun, gejala HIV mereka dapat dibagi menjadi tiga kategori, dari ringan hingga parah.

Gejala HIV ringan pada anak usia sekolah:

  • Pembengkakan kelenjar getah bening.
  • Kelenjar parotis (kelenjar ludah yang terletak di dekat telinga) membengkak.
  • Sering mengalami infeksi sinus dan telinga.
  • Mengalami gatal dan terdapat ruam pada kulit.
  • Pembengkakan perut akibat membengkaknya hati dan limpa anak.

Gejala HIV taraf sedang pada anak usia sekolah

  • Sariawan yang berlangsung lebih dari dua bulan.
  • Pneumonitis, yaitu pembengkakan dan peradangan jaringan paru-paru.
  • Diare.
  • Demam tinggi yang tidak kunjung sembuh lebih dari satu bulan.
  • Hepatitis atau peradangan organ hati.
  • Cacar air dengan komplikasi.
  • Gangguan atau penyakit ginjal.

Gejala HIV parah pada anak usia sekolah

  • Menderita dua infeksi bakteri yang serius dalam dua tahun belakangan ini, seperti meningitis atau sepsis.
  • Infeksi jamur pada saluran pencernaan dan paru-paru.
  • Peradangan otak atau ensefalitis.
  • Tumor atau lesi ganas.
  • Pneumocytis jiroveci, jenis pneumonia yang paling sering terjadi pada penderita HIV.

Beberapa anak mungkin saja terkena infeksi herpes simpleks dan herpes zoster (cacar ular) sebagai komplikasi gejala HIV. Ini karena infeksi HIV seiring waktu melemahkan sistem imun anak, yang notabene memang belum sekuat orang dewasa.

Maka itu, perlu diingatkan kembali bahwa gejala HIV pada anak mungkin juga sama dengan penyakit atau masalah medis lain. Selalu konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter jika Anda curiga melihat gejala HIV pada anak untuk mendapatkan diagnosis yang lebih pasti.

Pengobatan gejala HIV pada anak

Belum ada obat yang benar-benar bisa menyembuhkan HIV, baik pada orang dewasa dan anak kecil. Namun, mendiagnosis HIV pada anak harus dilakukan sejak dini agar si kecil mendapatkan perawatan yang tepat.

Meski belum ada obat penyembuh, gejala HIV pada anak dapat ditanggulangi dengan pemberian ART (obat antiretroviral). Anak yang terkena HIV harus rutin mengonsumsi obat tersebut seumur hidupnya untuk mengendalikan infeksi HIV dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Maka itu, menjalani pengobatan HIV dengan ART pada akhirnya membuat anak dapat hidup lebih sehat dan panjang umur.

Cara mencegah penyebaran HIV pada anak

Risiko HIV akan meningkat berdasarkan cara penularan dan seberapa banyak viral load yang dimiliki tubuh si inang yang berpoensi menularkannya pada anak

Lantas, apakah peluang penularan HIV pada anak dapat dicegah? Jawaban sederhananya: ya.

Perempuan dewasa yang positif HIV dapat mengurangi potensi penularan dengan rutin memeriksakan diri dan terus melakukan pengobatan secara disiplin; sebisa mungkin sejak sebelum mulai program hamil. Dengan penanganan medis yang tepat selama masa kehamilan, melahirkan, hingga selama menyusui, peluang penularan HIV pada anak dapat berkurang sebanyak 5 persen.

Pencegahan HIV pada anak juga dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seks sedini mungkin. Anak kecil dan remaja harus mengerti tentang HIV dengan benar agar dapat melindungi diri mereka.

Bimbing anak Anda agar berperilaku aman dengan membagikan informasi tentang pencegahan dan bahaya dari infeksi HIV. Biarkan mereka tahu bagaimana cara-cara infeksi HIV terjadi dan beberapa gejala HIV.

Perubahan wujud zat dari gas menjadi cair disebut ....

7. Jelaskan perbedaan otot polos,otot lurik,dan otot jantung​

Satuan besaran pokok didalam sistem internasional (si)...

Sebongkah es dimasukkan dalam wadah, kemudian dipanaskan. perubahan wujud secara berurutan yang mungkin terjadi adalah ….

Penyebaran biji tanaman dengan bantuan kelelawar disebut

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Secara global, infeksi baru dan kematian akibat HIV/AIDS menunjukkan tren menurun, namun di Indonesia hal ini masih terjadi peningkatan. Infeksi HIV dilaporkan pertama kali pada tahun 1981. Delapan belas bulan kemudian, kasus anak HIV positif akibat penularan secara vertikal oleh ibunya baru dilaporkan. Bayi yang lahir dari ibu HIV/AIDS dikenal dengan sebutan BIHA (bayi lahir dari ibu HIV/AIDS).

Infeksi HIV pada anak sebagian besar (sekitar 95%) didapat dari ibu. Penularan virus dari ibu hamil positif HIV kepada anaknya dapat terjadi pada 3 waktu yang berbeda, yaitu saat janin masih dalam kandungan melalui tali pusat, saat persalinan (bayi terpapar cairan dari jalan lahir ibu) dan setelah bayi lahir melalui ASI. Ibu hamil positif HIV yang tidak pernah mendapat pengobatan antiretrovirus (ARV) akan berisiko menularkan virus kepada janinnya pada kisaran angka 15-45% yang terjadi selama intrauteri (5-10%), saat persalinan (10-20%) dan melalui ASI (5-15%). Berbagai faktor yang mempengaruhi mudahnya anak tertular HIV dari ibunya antara lain ibu mengalami infeksi HIV derajat 3 atau 4, jumlah sel CD4 ibu yang rendah, jumlah virus ibu yang tinggi, infeksi akut pada ibu selama kehamilan, ibu hamil dengan infeksi ikutan sifilis, malaria, tuberkulosis, kelahiran prematur, serta pemberian makanan campuran (ASI ditambah susu formula).

Gejala dan tanda infeksi HIV pada bayi dan anak antara lain bahwa bayi dan anak tersebut mudah mengalami infeksi berat, misalnya anak mengalami radang paru / pneumonia dua kali atau lebih dalam 1 tahun, sering sariawan yang luas, berat badan turun, dan diare berulang.

BIHA yang dilahirkan dari ibu tidak mendapat pengobatan ARV kemungkinan mengalami berbagai progres penyakit mulai dari rapid progressor, intermediate progressor dan slow progressor. BIHA yang mengalami rapid progressor ditandai dengan perkembangan penyakit yang cepat baik pada gejala maupun tanda infeksi HIV. BIHA tersebut dapat mengalami beberapa episode infeksi berat seperti diare berulang, sariawan yang luas di mulut sampai tenggorokan, pneumonia/ radang paru lebih dari satu kali selama periode, dan berat badan tidak naik atau justru turun. Penularan HIV pada BIHA rapid progressor terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan. Pada anak dengan rapid progressor, virus dapat terdeteksi pada 48 jam pertama setelah bayi lahir. Bila BIHA rapid progressor tidak mendapatkan tertangani dengan baik, maka BIHA dapat meninggal pada usia 1 sampai 2 tahun pertama kehidupannya.

Kelompok BIHA yang termasuk progress menengah (intermediate progressor) tertular HIV dari ibu saat persalinan. BIHA intermidiate progressor akan mengalami perkembangan penyakit infeksi HIV lebih lambat dibandingkan dengan rapid progressor. BIHA intermediate progressor cenderung dirawat berkali-kali akibat penyakit infeksi. BIHA intermediate progressor bila tidak tertangani dengan baik, kemungkinan hidup sampai usia sekitar 6 tahun.

Pada BIHA yang termasuk slow progressor, maka penyakit infeksi HIV berkembang sangat lambat, minimal atau tidak ada progres penyakit, kadar CD4 relatif normal, kadar viral load sangat rendah bahkan sampai tidak terdeteksi. Kelompok BIHA slow progressor biasanya datang ke layanan kesehatan sekitar usia 8-10 tahun, sering mederita infeksi tuberkulosis atau penyakit infeksi paru lain akibat jamur kriptococcus. BIHA slow progressor yang berusia 9 tahun atau lebih dan mengalami perkembangan infeksi HIV baik dari kondisi tubuh maupun dari hasil pemeriksan laboratoriumnya disebut long term progressor, sedangkan bila tanpa terapi ARV BIHA tersebut tanpa gejala infeksi HIV, dengan kadar CD4 > 500 sel/mm3 maka disebut long term non progressor.

Bila BIHA lahir di rumah sakit, maka bayi akan diberikan obat antiretrovirus untuk mencegah bayi positif HIV. Saat usia 4 sampai 6 minggu, bayi akan diperiksa darahnya untuk melihat apakah terdapat virus di dalamnya. Bila hasil positif BIHA disebut sebagai HIV exposed infected (HEI) dan akan mendapat obat ARV rutin seumur hidupnya. Bila hasilnya negatif, maka BIHA harus diobservasi kondisi kesehatannya setiap bulan. Bila sampai usia 18 bulan kondisi BIHA tetap sehat, maka harus diperiksa antibodi anti HIV. Bila positif maka anak diobati dengan obat antiretrovirus. Bila pemeriksaan antibodi pada usia 18 bulan ini negatif, maka sebaiknya pemeriksaan antibodi ini diulangi setiap tahunnya.

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya yang terbukti efektif adalah dengan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau prevention of mother to child HIV transmisson (PMTCT). Sejak program PMTCT dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), telah terjadi penurunan pada kasus baru anak dari kisaran 15-45% menjadi kisaran 0-16,6%.

Di Indonesia sejak tahun 2004, PPIA HIV diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital. Layanan PPIA HIV dan sifilis ini telah dilaksanakan di seluruh Indonesia yang diintegrasikan melalui kegiatan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Puskesmas. Layanana PPIA ini meliputi pencegahan dan penanganan HIV secara menyeluruh dan berkesinambungan terhadap 4 komponen yaitu pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif, pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV, pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya, dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

Setiap ibu hamil seyogyanya memeriksakan kehamilannya secara teratur dan mengikuti program PPIA agar bila ternyata ibu hamil menderita HIV dan atau sifilis maka akan segera mendapat penanganan yang optimal sehingga risiko penularan HIV dan sifilis dari ibu ke bayinya dapat ditekan serendah mungkin.

Kontributor :

Dr. dr. RR. Ratni Indrawanti, SpA(K)

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta