Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh

BincangSyariah.Com – Islam mencintai manusia meluaskan bagiannya dalam menggarap dan bertebaran di muka bumi serta menghidupkan tanah yang mati sehingga kekayaan mereka banyak dan mereka menjadi kuat. Oleh karena itu, Islam menyukai pemeluknya mendatangi tanah yang mati lalu menghidupkannya, menggali kebaikannya dan memanfaatkan keberkahannya

Menghidupkan tanah mati dalam Islam biasa dikenal dengan ihya al-mawat. Dalam As Sunnah, Sayyid Sabiq memaparkan bahwa ihya al mawat itu merupakan penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif. Aktivitas menghidupkan tanah mati itu adalah dengan memanfaatkannya. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakannya untuk bercocok tanam atau berkebun, bisa dengan mendirikan bangunan di atasnya baik untuk tempat tinggal atau untuk keperluan yang lain. Biasanya, sebagai langkah awal adalah dengan memagarinya, lalu menghidupkannya.

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh

Cara menghidupkan tanah mati bisa dengan banyak cara. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masayarakat setempat. Misal dibuat untuk lahan sekolahan, maka akan banyak menumbuhkan pundi-pundi kebaikan lainnya. Yang pasti, untuk apa saja lahan mati tersebut di kemudian hari, tentu baginya pahala dan ganjaran. Oleh sebab itu, penggunaan tanah mati ini dianjurkan untuk sesuatu yang bermanfaat dengan orang banyak. Sebagaimana sabda Nabi: 

وقال صلى الله عليه وسلم من أحيا أرضا ميتة فيه أجر وما أكلت العافية منها فهو له صدقة

Rasulullah bersabda: Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala tanah itu. Dan segala apa yang dimakan makhluk dari tanamannya, maka itu merupakan sedekah

Hadis tersebut memaparkan bahwa terdapat sebuah pahala yang akan terus mengalir ketika tanah mati tersbeut dipergunakan untuk kebaikan. Bernilai amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun orang yang melakukannya telah meninggal dunia. Dalam Islam, manusia hidup hanyalah untuk mencari pahala dari amal ibadahnya dan keridhaan Allah semata. Tidak untuk yang lain, sehingga orang-orang akan terus berlomba-lomba dalam kebaikan agar mendapatkan kehidupan yang layak kelak di akhirat.

 Ketentuan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât) ini akan berkonsekuensi pada dua hal. Pertama: tanah-tanah yang ada menjadi produktif. Dengan ketentuan itu, pemilik tanah akan terdorong memproduktifkannya. Jika ia menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut, ia akan kehilangan kepemilikannya. Kedua: tanah akan terdistribusikan di tengah-tengah rakyat. Dengan ketentuan itu, tidak akan terjadi seseorang menguasi tanah yang sangat luas, sementara ia menelantarkannya. Rasulullah pernah bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَعَطَلَهَا ثَلاَثَ سِنِيْنَ لاَ يَعْمُرُهَافَعَمَرَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا

Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia menelantarkannya selama tiga tahun, tidak memanfaatkannya, lalu datang orang lain memanfaatkanya, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu.

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh


Page 2

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh

BincangSyariah.Com– Berikut ini 4 amalan sunnah di waktu sahur. Adapun sahur adalah makan atau minum di waktu sebelum waktu Subuh tiba. Nabi Muhammad Saw menganjurkan dan berwasiat kepada orang yang hendak berpuasa di bulan Ramadhan untuk makan sahur terlebih dahulu. 

Dalam Islam, makan sahur ini bernilai ibadah dan membawa keberkahan kepada orang yang hendak berpuasa.  Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Sa’id Al-Khudri, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh

السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang makan sahur. 

Selain itu, terdapat 4 amalan sunnah yang sangat dianjurkan untuk kita lakukan ketika kita melakukan sahur. Menurut para ulama, 4 amalan sunnah ini merupakan amalan sunnah paling utama.

Pertama, berdoa dan membaca istighfar di waktu sahur. Sebelum kita makan sahur atau sesudahnya, kita sangat dianjurkan untuk berdoa dan membaca istighfar. Ini karena waktu sahur merupakan waktu terbaik untuk membaca istighfar dan waktu mustajab untuk memanjatkan doa kepada Allah.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari berikut;

أن آخر الليل أفضل للدعاء والاستغفار ويشهد له قوله تعالى والمستغفرين بالأسحار وأن الدعاء في ذلك الوقت مجاب

Sesungguhnya akhir malam itu lebih utama untuk memanjatkan doa dan membaca beristigfar. Ini berdasarkan firman Allah; Dan orang-orang yang membaca istighfar di waktu sahur. Selain itu, doa pada waktu itu akan dikabulkan.

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh
Islam itu mudah

Kedua, mengakhirkan makan sahur hingga menjelang terbit fajar dengan ukuran selesai membaca 50 ayat Al-Quran. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata;

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

Kami bersahur bersama Rasulullah Saw, kemudian beliau pergi untuk shalat. Lantas saya bertanya kepada Nabi Saw; Berapa lama antara adzan dan sahur? Nabi Saw menjawab; sekitar 50 ayat.

Ketiga, niat melakukan puasa dengan sungguh-sungguh dengan ikhlas dan murni karena Allah.

Keempat, memakai wewangian atau mandi di waktu sahur. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Habib Abdullah bin Husain bin Abdullah bin Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur dalam kitab Risalah fi Al-Shiyam berikut;

يسن تطييب وقت سحر

Disunnahkan memakai wewangian di waktu sahur.

Demikian 4 amalan sunnah yang paling utama menurut para ulama untuk kita kerjakan ketika kita makan sahur untuk berpuasa di bulan Ramadhan. (Baca: Doa Abdullah bin Mas’ud di Waktu Sahur).

Tulisan ini merupakan kerjasama antara Bincang Syariah X Bincang Muslimah. Selama Ramadhan ini kami akan menayangkan pelbagai konten tentang “Islam Itu Mudah”. Ikuti terus konten keislaman Bincang Syariah selama Ramadhan 1443 H.

(Sebab Kepemilikan Pribadi Atas Tanah)

مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Jabir bin Abdullah ra. Imam at-Tirmidzi berkomentar: hadis ini hasan shahîh.

Dalam riwayat lainnya dari jalur Said bin Zaid, Rasul saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu (menjadi) miliknya. Dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim dengan menanaminya (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Imam at-Tirmidzi berkomentar: hadis ini hasan gharîb. Penilaian hasan ini disetujui oleh al-Mundziri.

Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ

Siapa yang memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka dia lebih berhak (atas tanah tersebut) (HR al-Bukhari).

Rasul saw. juga pernah bersabda:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلى أَرْضٍ فَهِيَ لَه

Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).

Semua hadis ini berkaitan dengan aktivitas ihyâ‘u al-mawât (menghidupkan tanah mati), sekaligus menjelaskan hukumnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî menyatakan: “Menghidupkan tanah mati adalah seseorang menyengaja atas tanah yang tidak diketahui kepemilikannya pada seorang pun, lalu dia menghidupkan tanah itu dengan menyirami, menanami, menggali atau membangun suatu bangunan (di atasnya) sehingga dengan itu tanah mati itu menjadi miliknya, baik tanah itu dekat dengan pemukiman atau jauh, baik diizinkan oleh Imam (Khalifah) atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur”.

Al-Khathabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan Syarh Sunan Abî Dâwud mengatakan, “Menghidupkan tanah mati itu tidak lain dengan menggali, memagari dan mengalirkan air pada tanah tersebut dan bentuk memakmurkan tanah semacam itu. Siapa saja yang melakukan demikian maka dia telah memiliki tanah itu, baik diizinkan oleh sulthan (penguasa) atau tanpa seizinnya…Hal itu tidak dibatasi pada orang tertentu dan zaman tertentu. Ini menjadi pendapat kebanyakan ahlul ilmi.”

Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak padanya telah berlangsung kepemilikan seseorang. Jadi tidak tampak di situ bekas sesuatu berupa pagar, taman, bangunan atau semacam itu. Tidak ada pemilik tanah itu dan tidak ada yang memanfaatkannya. Inilah tanah mati. Selain yang demikian bukan merupakan tanah mati meskipun tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang pun.

Dalam hadis-hadis di atas digunakan redaksi syarth-masyrûth. Syaratnya adalah menghidupkan atau memakmurkan tanah mati. Masyrûth-nya adalah kata hiya lahu. Huruf lâm di sini adalah lâm al-milk (menyatakan milik). Hubungan keduanya menggunakan huruf fâ’ at-ta’qîb wa at-tasbîb (huruf fâ’ yang menyatakan akibat dan sebab) secara dalâlah memberi faedah ‘illat. Artinya, aktivitas menghidupkan tanah mati itu menjadi ‘illat atas kepemilikan tanah itu pada orang yang menghidupkannya. Jadi aktivitas menghidupkan tanah mati menjadi ‘illat kepemilikan tanah tersebut.

Karena itu siapa saja baik Muslim atau kafir dzimmi yang menghidupkan (tanah mati), apapun bentuk aktivitas menghidupkan itu, maka ia telah memiliki tanah mati tersebut. Dengan demikian aktivitas menghidupkan itu menjadi sebab kepemilikan atas tanah mati itu.

Hukum tersebut dikaitkan dengan shifat mufhimah (sifat yang memberi konotasi), yaitu al-mawât (tanah mati). Mafhûm dari hadis di atas adalah jika bukan al-mawât (bukan tanah mati) maka tidak bisa dimiliki dengan aktivitas menghidupkan, memagari atau semacamnya atas tanah tersebut meski tanah itu tidak ditanami, atau untuk ditanami harus diolah dulu, atau tidak layak untuk bercocok tanam, dan meskipun tidak ada pemiliknya yang dikenal atau tidak diketahui pemiliknya. Pasalnya, jika bukan al-mawât (bukan tanah mati), jika diketahui pemiliknya, tidak bisa dimiliki kecuali dengan salah satu sebab kepemilikan selain ihyâ‘u al-mawât misal: jual beli, hibah, warisan, dsb. Jika tidak diketahui pemiliknya atau tidak ada pemiliknya maka tidak bisa dimiliki kecuali melalui iqthâ‘u Khâlifah (pemberian Khalifah).

Tanah itu harus dimakmurkan dan tidak boleh ditelantarkan. Jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut maka tidak ada hak pemilikan lagi atas tanah tersebut bagi pemiliknya itu. Abu Yusuf di dalam Al-Kharâj menuturkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun (HR Abu Yusuf).

Karena itu Umar bin al-Khathab ra. pernah mengambil tanah Bilal bin Harits al-Muzni yang telah ditelantarkan lebih dari tiga tahun berturut-turut. Al-Baihaqi menuturkan di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11605 dari Abdullah bin Abu Bakar, bahwa Umar bin al-Khaththab ra. berkata kepada Bilal bin Harits al-Muzni, “Lihatlah, apa yang kamu sanggup atas tanah itu maka pertahankan, sementara yang kamu tidak sanggup, serahkan kepada kami. Kami bagikan di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak mau, demi Allah, menyerahkan sesuatu yang telah diberikan Rasulullah kepadaku.” Umar berkata, “Demi Allah, sungguh kamu harus melakukannya.”. Lalu Umar mengambil tanah yang tidak mampu digarap oleh Bilal dan Umar membagikan tanah itu di antara kaum Muslim.

Apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Umar itu didengar dan diketahui oleh para sahabat dan mereka diam saja atas hal demikian. Dengan demikian ketentuan itu menjadi ijmak sahabat bahwa tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut hilang kepemilikan atas pemiliknya. Hal itu tidak hanya atas tanah yang dimiliki melalui aktivitas ihyâ‘u al-mawât, tetapi juga berlaku atas tanah yang dimiliki dengan cara legal apapun. Tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut itu tidak lantas berubah menjadi tanah mati. Kepemilikan atasnya telah hilang atau lepas dari pemilik sebelumnya. Khalifah/imam akan mengambil tanah itu dan membagikan tanah tersebut kepada rakyat menurut ijtihad dan pendapatnya.

WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]