Bagaimana pendapat tentang anggota dpr yang tersangkut masalah komisi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2010

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.     bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti;

b.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Mengingat

:

1.     Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia            Nomor 4844);

3.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);

4.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia            Nomor 4801);

5.     Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5009);

6.     Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2.  Pimpinan DPRD adalah ketua dan wakil ketua DPRD.

3.  Kepala daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota.

4.  Wakil kepala daerah adalah wakil gubernur, wakil bupati, atau wakil walikota.

5.  Anggota DPRD adalah anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten, atau anggota DPRD kota.

6.  Kode etik DPRD, selanjutnya disebut kode etik, adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPRD selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.

7.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

8.  Hari adalah hari kerja.

BAB II

FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG

Bagian Kesatu

Fungsi

Pasal 2

(1)       DPRD mempunyai fungsi:

a.   legislasi;

b.   anggaran; dan

c.    pengawasan.

(2)       Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)      huruf a diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah.

(3)       Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diwujudkan dalam membahas dan menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama kepala daerah.

(4)       Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diwujudkan dalam mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.

(5)       Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di daerah.

Bagian Kedua

Tugas dan Wewenang

Pasal 3

DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

a.      membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah;

b.     membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan oleh kepala daerah;

c.      melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD;

d.     mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi DPRD kabupaten/kota, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

e.      memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

f.    memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g.      memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h.     meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;  

i.    memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

j.    mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

k.     melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III

KEANGGOTAAN

Pasal 4

(1)       Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan laporan komisi pemilihan umum provinsi yang disampaikan melalui gubernur.

(2)       Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur sesuai dengan laporan komisi pemilihan umum kabupaten/kota yang disampaikan melalui bupati/walikota.

(3)       Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pengucapan sumpah/janji anggota DPRD dan berakhir pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(4)       Anggota DPRD yang baru sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama bertepatan pada tanggal berakhirnya masa jabatan 5 (lima) tahun anggota DPRD yang lama.

(5)       Dalam hal terdapat anggota DPRD yang baru tidak dapat mengucapkan sumpah/janji bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan 5 (lima) tahun anggota DPRD yang lama, masa jabatan anggota DPRD dimaksud berakhir bersamaan dengan masa jabatan anggota DPRD yang mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama.

(6)       Dalam hal tanggal berakhirnya masa jabatan anggota DPRD jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, pengucapan sumpah/janji dilaksanakan hari berikutnya sesudah hari libur atau hari yang diliburkan dimaksud.

Pasal 5

(1)       Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna istimewa DPRD provinsi.

(2)       Dalam hal ketua pengadilan tinggi berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD provinsi dipandu oleh wakil ketua pengadilan tinggi.

(3)       Dalam hal wakil ketua pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD provinsi dipandu oleh hakim senior pada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh ketua pengadilan tinggi.

(4)       Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna istimewa DPRD kabupaten/kota.

(5)       Dalam hal ketua pengadilan negeri berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota dipandu oleh wakil ketua pengadilan negeri.

(6)       Dalam hal wakil ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota dipandu oleh hakim senior pada pengadilan negeri yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri.

Pasal 6

(1)       Anggota DPRD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5      ayat (1) dan ayat (4), yang bersangkutan mengucapkan sumpah/janji dipandu oleh ketua atau wakil ketua DPRD dalam rapat paripurna istimewa DPRD.

(2)       Anggota DPRD pengganti antarwaktu sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua atau wakil ketua DPRD dalam rapat paripurna istimewa DPRD.

(3)       Anggota DPRD pada daerah otonom baru yang belum mempunyai pengadilan tinggi atau pengadilan negeri mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi atau pengadilan negeri pada daerah induk.

Pasal 7

(1)       Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, didampingi oleh rohaniawan sesuai dengan agamanya masing-masing.

(2)       Dalam pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPRD yang beragama:

a.      Islam, diawali dengan frasa “Demi Allah”;

b.     Protestan dan Katolik, diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”;

c.      Budha, diawali dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”; dan

d.     Hindu, diawali dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.

(3)       Setelah mengakhiri pengucapan sumpah/janji, anggota DPRD menandatangani berita acara pengucapan sumpah/janji.

Pasal 8

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai berikut:

“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

BAB IV

PELAKSANAAN HAK

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 9

DPRD mempunyai hak:

a.     interpelasi;

b.     angket; dan

c.      menyatakan pendapat.

Pasal 10

Anggota DPRD mempunyai hak:

a.      mengajukan rancangan peraturan daerah;

b.      mengajukan pertanyaan;

c.       menyampaikan usul dan pendapat;

d.      memilih dan dipilih;

e.      membela diri;

f.    imunitas;

g.      mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;

h.     protokoler; dan

i.    keuangan dan administratif.

Bagian Kedua

Pelaksanaan Hak DPRD

Paragraf 1

Hak Interpelasi

Pasal 11

(1)       Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9  huruf a diusulkan oleh:

a.     paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;

b.     paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang;

c.      paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan                 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;

d.     paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas      35 (tiga puluh lima) orang.

(2)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD, yang ditandatangani oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.

(3)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:

a.     materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang akan dimintakan keterangan; dan

b.    alasan permintaan keterangan.

Pasal 12

(1)       Usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat paripurna DPRD.

(2)       Dalam rapat paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada      ayat (1), para pengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasan lisan atas usul permintaan keterangan tersebut.

(3)       Pembicaraan mengenai usul meminta keterangan dilakukan dengan memberi kesempatan kepada:

a.   anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi; dan

b.   para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota DPRD.

(4)       Keputusan persetujuan atau penolakan terhadap usul permintaan keterangan kepada kepala daerah ditetapkan dalam rapat paripurna.

(5)       Usul permintaan keterangan DPRD sebelum memperoleh keputusan, para pengusul berhak menarik kembali usulannya.

(6)       Usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 menjadi hak interpelasi DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD yang hadir.

Pasal 13

(1)       Kepala daerah dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap permintaan keterangan anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dalam rapat paripurna DPRD.

(2)       Apabila kepala daerah tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menugaskan pejabat terkait untuk mewakilinya.

(3)       Setiap anggota DPRD dapat mengajukan pertanyaan atas penjelasan tertulis kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)       Terhadap penjelasan tertulis kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD dapat menyatakan pendapatnya.

(5)       Pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara resmi oleh DPRD kepada kepala daerah.

(6)       Pernyataan pendapat DPRD atas penjelasan tertulis kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dijadikan bahan untuk DPRD dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan untuk kepala daerah dijadikan bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan.

Paragraf 2

Hak Angket

Pasal 14

(1)       Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diusulkan oleh:

a.      paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;

b.      paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang;

c.       paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;

d.      paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas             35 (tiga puluh lima) orang.

(2)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD, yang ditandatangani oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.

(3)       Usul sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:

a.      materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (3) atau Pasal 349 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan

b.      alasan penyelidikan.

Pasal 15

(1)       Pembicaraan mengenai usul penggunaan hak angket, dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi dan selanjutnya pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD.

(2)       Keputusan atas usul melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dapat disetujui atau ditolak, ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.

(3)       Usul melakukan penyelidikan sebelum memperoleh Keputusan DPRD, pengusul berhak menarik kembali usulnya.

(4)       Apabila usul melakukan penyelidikan disetujui sebagai permintaan penyelidikan, DPRD menyatakan pendapat untuk melakukan penyelidikan dan menyampaikannya secara resmi kepada kepala daerah.

(5)       Usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjadi hak angket DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya               3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Pasal 16

(1)     DPRD memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.

(2)    Dalam hal DPRD menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD dengan keputusan DPRD.

(3)    Dalam hal DPRD menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 17

(1)       Panitia angket DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(2)       Panitia angket DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.

(3)       Pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi/kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi panggilan DPRD, kecuali ada alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)       Dalam hal pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi/kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1)     Apabila hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diterima oleh DPRD dan ada indikasi tindak pidana, DPRD menyerahkan penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)     Apabila hasil penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berstatus sebagai terdakwa, Presiden memberhentikan sementara dari jabatannya bagi gubernur dan/atau wakil gubernur, dan Menteri Dalam Negeri memberhentikan sementara dari jabatannya bagi bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota.

(3)     Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur dari jabatannya, dan Menteri Dalam Negeri memberhentikan bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota dari jabatannya.

Pasal 19

Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.

Paragraf 3

Hak Menyatakan Pendapat

Pasal 20

(1)       Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c diusulkan oleh:

a.   paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;

b.  paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang;

c.   paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;

d.  paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas       35 (tiga puluh lima) orang.

(2)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD, yang ditandatangani oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.

(3)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:

a.    materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (4) atau Pasal 349 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta alasan pengajuan usul pernyataan pendapat; atau

b.   materi hasil pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 21

(1)       Usul pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, oleh pimpinan DPRD disampaikan dalam rapat paripurna DPRD setelah mendapat pertimbangan dari Badan Musyawarah.

(2)       Dalam rapat paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul pernyataan pendapat tersebut.

(3)       Pembahasan dalam rapat paripurna DPRD mengenai usul pernyataan pendapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada:

a.    anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi;

b.   kepala daerah untuk memberikan pendapat; dan

c.    para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota dan pendapat kepala daerah.

(4)       Usul pernyataan pendapat sebelum memperoleh keputusan DPRD, pengusul berhak menarik kembali usulnya.

(5)       Rapat paripurna DPRD memutuskan menerima atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut menjadi pendapat DPRD.

(6)       Apabila DPRD menerima usul pernyataan pendapat, keputusan DPRD memuat:

a.     pernyataan pendapat;

b.    saran penyelesaiannya; dan

c.     peringatan.

(7)       Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Bagian Ketiga

Pelaksanaan Hak Anggota

Pasal 22

(1)      Setiap anggota DPRD mempunyai hak mengajukan rancangan peraturan daerah.

(2)      Usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam bentuk rancangan peraturan daerah disertai penjelasan secara tertulis dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.

(3)      Usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan DPRD disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian.

(4)      Berdasarkan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah pimpinan DPRD menyampaikan kepada rapat paripurna DPRD.

(5)      Dalam rapat paripurna, para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(6)      Pembahasan mengenai sesuatu usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada:

a.              anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan; dan

b.             para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota DPRD lainnya.

(7)      Usul prakarsa sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan perubahan dan/atau mencabutnya kembali.

(8)      Rapat paripurna DPRD memutuskan menerima atau menolak usul prakarsa menjadi prakarsa DPRD.

(9)      Tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala daerah.

Pasal 23

(1)       Setiap anggota DPRD dapat mengajukan pertanyaan kepada pemerintah daerah berkaitan dengan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD baik secara lisan maupun secara tertulis.

(2)       Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara lisan atau secara tertulis dalam tenggang waktu yang disepakati bersama.

Pasal 24

(1)      Setiap anggota DPRD dalam rapat DPRD berhak mengajukan usul dan pendapat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pimpinan DPRD.

(2)      Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sesuai kode              etik DPRD.

Pasal 25

Setiap anggota DPRD berhak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota atau pimpinan dari alat kelengkapan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1)       Setiap anggota DPRD berhak membela diri terhadap dugaan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kode etik, dan peraturan tata tertib DPRD.

(2)       Hak membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan.

Pasal 27

(1)    Anggota DPRD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD maupun di luar rapat DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD.

(2)    Anggota DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD maupun di luar             rapat DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD.

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota DPRD yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1)     Anggota DPRD mempunyai hak untuk mengikuti orientasi pelaksanaan tugas sebagai anggota DPRD pada permulaan masa jabatannya dan mengikuti pendalaman tugas pada masa jabatannya.

(2)     Anggota DPRD melaporkan hasil pelaksanaan orientasi dan pendalaman tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD dan kepada pimpinan fraksinya.

Pasal 29

Hak protokoler, keuangan, dan administratif pimpinan dan anggota DPRD diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah.

BAB V

KEWAJIBAN ANGGOTA DPRD

Pasal 30

Anggota DPRD mempunyai kewajiban:

a.        memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;

b.       melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;

c.        mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.       mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

e.        memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;

f.          menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

g.        menaati tata tertib dan kode etik;

h.       menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i.          menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;

j.          menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan

k.       memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.

BAB VI

FRAKSI

Pasal 31

(1)       Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD serta hak dan kewajiban anggota DPRD, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD.

(2)       Setiap anggota DPRD wajib menjadi anggota salah satu fraksi.

(3)       Setiap fraksi di DPRD beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD.

(4)       Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.

(5)       Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

(6)       Dalam hal tidak ada 1 (satu) partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan yang jumlahnya paling banyak 2 (dua) fraksi gabungan.

(7)       Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan  ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam satu fraksi.

(8)       Pembentukan fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dilaporkan kepada pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna DPRD.

(9)       Fraksi yang telah diumumkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat tetap selama masa keanggotaan DPRD.

Pasal 32

(1)      Untuk menentukan 2 (dua) fraksi gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6), partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD tetapi tidak memenuhi ketentuan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) mengambil inisiatif untuk membentuk 2 (dua) fraksi gabungan.

(2)      Dalam hal terdapat partai politik yang memiliki kursi terbanyak pertama dan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 1 (satu), untuk menentukan 2 (dua) fraksi gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6), partai politik yang memperoleh jumlah suara terbanyak dalam pemilihan umum mengambil inisiatif untuk membentuk 2 (dua) fraksi gabungan.

(3)      Dalam hal terdapat partai politik yang memperoleh jumlah suara terbanyak pertama dan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih dari 1 (satu), partai politik yang memiliki persebaran suara lebih luas secara berjenjang mengambil inisiatif untuk membentuk 2 (dua) fraksi gabungan.

Pasal 33

(1)        Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 mempunyai sekretariat fraksi.

(2)        Sekretariat fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.

(3)        Untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan sarana dan anggaran sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.

Pasal 34

(1)       Setiap fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dibantu oleh 1 (satu) orang tenaga ahli.

(2)       Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan:

a.    berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) dengan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun, strata dua (S2) dengan pengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun, atau strata tiga (S3) dengan pengalaman kerja paling singkat 1 (satu) tahun;

b.    menguasai bidang pemerintahan; dan

c.     menguasai tugas dan fungsi DPRD.

Pasal 35

(1)       Dalam hal jumlah anggota fraksi lebih dari 3 (tiga) orang, pimpinan fraksi terdiri atas ketua, wakil ketua, dan sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota fraksi.

(2)       Dalam hal jumlah anggota fraksi hanya 3 (tiga) orang, pimpinan fraksi terdiri atas ketua dan sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota fraksi.

(3)       Pimpinan fraksi yang telah terbentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaporkan kepada pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna.

BAB VII

ALAT KELENGKAPAN DPRD

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 36

(1)        Alat kelengkapan DPRD terdiri atas:

a.   pimpinan;

b.   Badan Musyawarah;

c.    komisi;

d.   Badan Legislasi Daerah;

e.   Badan Anggaran;

f.     Badan Kehormatan; dan

g.   alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.

(2)        Kepemimpinan alat kelengkapan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.

(3)        Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.

Bagian Kedua

Pimpinan

Pasal 37

(1)       Pimpinan DPRD terdiri atas:

a.     1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang;

b.    1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua  untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat                 puluh lima) orang sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;

c.     1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang;

d.    1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh) orang; atau

e.     1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.

(2)       Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD.

(3)       Ketua DPRD ialah anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD.

(4)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD ialah anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.

(5)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

(6)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD ialah anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.

(7)       Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.

(8)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.

(9)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

Pasal 38

(1)       Dalam hal pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) belum terbentuk, DPRD dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD dengan tugas pokok memimpin rapat DPRD, memfasilitasi pembentukan fraksi, memfasilitasi penyusunan peraturan DPRD tentang tata tertib, dan memroses penetapan pimpinan DPRD definitif.

(2)       Pimpinan sementara DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD.

(3)       Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik yang bersangkutan.

(4)       Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada            ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, ketua dan wakil ketua sementara DPRD berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan suara dalam pemilihan umum.

Pasal 39

(1)        Partai politik yang berhak mengisi kursi pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), menyampaikan 1 (satu) orang calon pimpinan DPRD kepada pimpinan sementara DPRD untuk diumumkan dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD sebagai calon pimpinan DPRD.

(2)        Pimpinan sementara DPRD menyampaikan nama calon pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi DPRD provinsi, dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi DPRD kabupaten/kota untuk diresmikan pengangkatannya.

Pasal 40

(1)        Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji di gedung DPRD setempat yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi bagi pimpinan DPRD provinsi atau ketua pengadilan negeri bagi pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(2)        Dalam hal pengucapan sumpah/janji di gedung DPRD setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena alasan tertentu tidak dapat dilaksanakan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD dapat dilaksanakan di tempat lain.

(3)        Dalam hal ketua pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD provinsi dipandu oleh wakil ketua pengadilan tinggi.

(4)        Dalam hal wakil ketua pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD provinsi dipandu oleh hakim senior pada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh ketua pengadilan tinggi.

(5)        Dalam hal ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD kabupaten/kota dipandu oleh wakil ketua pengadilan negeri.

(6)        Dalam hal wakil ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD kabupaten/kota dipandu oleh hakim senior pada pengadilan negeri yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri.

Pasal 41

(1)        Pimpinan DPRD mempunyai tugas:

a.   memimpin sidang DPRD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;

b.   menyusun rencana kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;

c.    melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPRD;

d.   menjadi juru bicara DPRD;

e.   melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD;

f.     mewakili DPRD dalam berhubungan dengan lembaga/instansi lainnya;

g.   mengadakan konsultasi dengan kepala daerah dan pimpinan lembaga/instansi vertikal lainnya sesuai dengan keputusan DPRD;

h.  mewakili DPRD di pengadilan;

i.     melaksanakan keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

j.     menyusun rencana anggaran DPRD bersama sekretariat DPRD yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan

k.   menyampaikan laporan kinerja pimpinan DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang khusus diadakan untuk itu.

(2)      Dalam hal salah seorang pimpinan DPRD berhalangan sementara kurang dari 30 (tiga puluh) hari, pimpinan DPRD mengadakan musyawarah untuk menentukan salah satu pimpinan DPRD untuk melaksanakan tugas pimpinan DPRD yang berhalangan sementara sampai dengan pimpinan yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas kembali.

(3)      Dalam hal salah seorang pimpinan DPRD berhalangan sementara lebih dari 30 (tiga puluh) hari, partai politik asal pimpinan DPRD yang berhalangan sementara mengusulkan kepada pimpinan DPRD salah seorang anggota DPRD yang berasal dari partai politik tersebut untuk melaksanakan tugas pimpinan DPRD yang berhalangan sementara.

Pasal 42

(1)         Masa jabatan pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPRD.

(2)         Pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya karena:

a.  meninggal dunia;

b.  mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD;

c.   diberhentikan sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

d.  diberhentikan sebagai pimpinan DPRD.

(3)         Pimpinan DPRD diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d apabila yang bersangkutan:

a.  melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD berdasarkan keputusan Badan Kehormatan; atau

b. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)         Dalam hal salah seorang pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan pengganti yang definitif.

(5)         Dalam hal ketua dan para wakil ketua berhenti secara bersamaan, tugas pimpinan DPRD dilaksanakan oleh pimpinan sementara yang dibentuk sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38.

Pasal 43

(1)         Usul pemberhentian pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD oleh pimpinan DPRD lainnya.

(2)         Pemberhentian pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.

(3)         Pemberhentian pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan DPRD.

Pasal 44

(1)         Keputusan DPRD provinsi tentang pemberhentian pimpinan DPRD provinsi disampaikan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk peresmian pemberhentiannya.

(2)         Keputusan DPRD kabupaten/kota tentang pemberhentian pimpinan DPRD kabupaten/kota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk peresmian pemberhentiannya.

(3)         Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan berita acara rapat paripurna DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).

Pasal 45

(1)        Pengganti pimpinan DPRD yang berhenti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 berasal dari partai politik yang sama dengan pimpinan DPRD yang berhenti.

(2)        Calon pengganti pimpinan DPRD yang berhenti diusulkan oleh pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diumumkan dalam rapat paripurna DPRD dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.

(3)        Pimpinan DPRD provinsi mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

(4)        Pimpinan DPRD kabupaten/kota mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota.

Bagian Ketiga

Badan Musyawarah

Pasal 46

(1)       Badan Musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD.

(2)       Badan Musyawarah terdiri atas unsur-unsur fraksi berdasarkan perimbangan jumlah anggota dan paling banyak 1/2 (setengah) dari jumlah anggota DPRD.

(3)       Susunan keanggotaan Badan Musyawarah ditetapkan dalam rapat paripurna setelah terbentuknya pimpinan DPRD, komisi, Badan Anggaran, dan fraksi.

(4)       Ketua dan wakil ketua DPRD karena jabatannya adalah pimpinan Badan Musyawarah merangkap anggota.

(5)       Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah sekretaris Badan Musyawarah dan bukan sebagai anggota.

Pasal 47

(1)        Badan Musyawarah mempunyai tugas:

a.   menetapkan agenda DPRD untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan peraturan daerah, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;

b.  memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD;

c.   meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;

d.  menetapkan jadwal acara rapat DPRD;

e.   memberi saran/pendapat untuk memperlancar kegiatan;

f.     merekomendasikan pembentukan panitia khusus; dan

g.   melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah.

(2)       Setiap anggota Badan Musyawarah wajib:

a.  mengadakan konsultasi dengan fraksi sebelum mengikuti rapat Badan Musyawarah; dan

b.  menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Badan Musyawarah kepada fraksi.

Bagian Keempat

Komisi

Pasal 48

(1)    Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD.

(2)    Setiap anggota DPRD kecuali pimpinan DPRD, wajib menjadi anggota salah satu komisi.

(3)    Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan ketentuan:

a.   DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk  4 (empat) komisi;

b.   DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) membentuk 5 (lima) komisi;

c.    DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (lima puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi; dan

d.   DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari  35 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

(4)    Jumlah anggota setiap komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diupayakan sama.

(5)    Ketua, wakil ketua, dan sekretaris komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi dan dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.

(6)    Penempatan anggota DPRD dalam komisi dan perpindahannya ke komisi lain didasarkan atas usul fraksi dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran.

(7)    Keanggotaan dalam komisi diputuskan dalam rapat paripurna DPRD atas usul fraksi pada awal tahun anggaran.

(8)    Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan sekretaris komisi ditetapkan paling lama 2½ (dua setengah) tahun.

(9)    Anggota DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota komisi yang digantikan.

Pasal 49

Komisi mempunyai tugas:

a.     mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.    melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan keputusan DPRD;

c.     melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD sesuai dengan ruang lingkup tugas komisi;

d.    membantu pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh kepala daerah dan/atau  masyarakat kepada DPRD;

e.     menerima, menampung, dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

f.       memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;

g.     melakukan kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD;

h.    mengadakan rapat kerja dan rapat dengar pendapat;

i.       mengajukan usul kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing-masing komisi; dan

j.       memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas komisi.

Bagian Kelima

Badan Legislasi Daerah

Pasal 50

Badan Legislasi Daerah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap, dibentuk dalam rapat paripurna DPRD.

Pasal 51

(1)      Susunan dan keanggotaan Badan Legislasi Daerah dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD dan permulaan tahun sidang.

(2)      Jumlah anggota Badan Legislasi Daerah ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota komisi.

(3)      Jumlah anggota Badan Legislasi Daerah setara dengan jumlah anggota satu komisi di DPRD yang bersangkutan.

(4)      Anggota Badan Legislasi Daerah diusulkan masing-masing fraksi.

Pasal 52

(1)     Pimpinan Badan Legislasi Daerah terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi Daerah berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

(2)     Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah sekretaris Badan Legislasi Daerah dan bukan sebagai anggota.

(3)     Masa jabatan pimpinan Badan Legislasi Daerah paling lama 2½ (dua setengah) tahun.

(4)     Keanggotaan Badan Legislasi Daerah dapat diganti pada setiap tahun anggaran.

Pasal 53

Badan Legislasi Daerah bertugas:

a.     menyusun rancangan program legislasi daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD;

b.     koordinasi untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan pemerintah daerah;

c. menyiapkan rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;

d.  melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD;

e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, di luar prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan atau di luar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah;

f.   mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;

g. memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan peraturan daerah yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan

h. membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.

Bagian Keenam

Badan Anggaran

Pasal 54

(1)      Badan Anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD.

(2)      Anggota Badan Anggaran diusulkan oleh masing-masing fraksi dengan mempertimbangkan keanggotaannya dalam tiap-tiap komisi dan paling banyak 1/2 (setengah) dari jumlah anggota DPRD.

(3)      Ketua dan wakil ketua DPRD karena jabatannya adalah pimpinan Badan Anggaran merangkap anggota.

(4)      Susunan keanggotaan, ketua, dan wakil ketua Badan Anggaran ditetapkan dalam rapat paripurna.

(5)      Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah sekretaris Badan Anggaran dan bukan sebagai anggota.

(6)      Penempatan anggota DPRD dalam Badan Anggaran dan perpindahannya ke alat kelengkapan DPRD lainnya didasarkan atas usul fraksi dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran.

Pasal 55

Badan Anggaran mempunyai tugas:

a.      memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD;

b.     melakukan konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara;

c.      memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;

d.     melakukan penyempurnaan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berdasarkan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan gubernur bagi DPRD kabupaten/kota bersama tim anggaran pemerintah daerah;

e.      melakukan pembahasan bersama tim anggaran pemerintah daerah terhadap rancangan kebijakan umum APBD serta rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara yang disampaikan oleh kepala daerah; dan

f.        memberikan saran kepada pimpinan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja DPRD.

Bagian Ketujuh

Badan Kehormatan

Pasal 56

(1)        Badan Kehormatan dibentuk oleh DPRD dan merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap.

(2)        Pembentukan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan DPRD.

(3)        Anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:

a.   untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh empat) orang berjumlah                    5 (lima) orang, dan untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 75 (tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang berjumlah 7 (tujuh) orang;

b.  untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga puluh empat) orang berjumlah   3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh) orang berjumlah 5 (lima) orang.

(4)       Pimpinan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan.

(5)       Anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD berdasarkan usul dari masing-masing fraksi.

(6)       Untuk memilih anggota Badan Kehormatan, masing-masing fraksi berhak mengusulkan 1 (satu) orang calon anggota Badan Kehormatan.

(7)       Dalam hal di DPRD hanya terdapat 2 (dua) fraksi, fraksi yang memiliki jumlah kursi lebih banyak berhak mengusulkan 2 (dua) orang calon anggota Badan Kehormatan.

(8)       Masa tugas anggota Badan Kehormatan paling lama        2½ (dua setengah) tahun.

(9)       Anggota DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota Badan Kehormatan yang digantikan.

(10)  Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh sekretariat DPRD.

Pasal 57

(1)        Badan Kehormatan mempunyai tugas:

a.     memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik, dan/atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD;

b.    meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan/atau kode etik DPRD;

c.     melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan

d.    melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada rapat paripurna DPRD.

(2)         Dalam melaksanakan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan dapat meminta bantuan dari ahli independen.

Pasal 58

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 57, Badan Kehormatan berwenang:

a.  memanggil anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan/atau peraturan tata tertib DPRD untuk memberikan klarifikasi atau pembelaan atas pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan;

b. meminta keterangan pengadu, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait, termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain; dan

c.  menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik dan/atau peraturan tata tertib DPRD.

Pasal 59

(1)     Badan Kehormatan menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik dan/atau peraturan tata tertib DPRD berdasarkan hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi oleh Badan Kehormatan.

(2)     Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.   teguran lisan;

b.  teguran tertulis;

c.   pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD; atau

d.  pemberhentian sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

(3)     Keputusan Badan Kehormatan mengenai penjatuhan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada anggota DPRD yang bersangkutan, pimpinan fraksi, dan pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4)     Keputusan Badan Kehormatan mengenai penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPRD diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 60

(1)     Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai identitas pengadu yang jelas dengan tembusan kepada Badan Kehormatan.

(2)     Pimpinan DPRD wajib menyampaikan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan Kehormatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengaduan diterima.

(3)     Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan DPRD tidak menyampaikan pengaduan kepada Badan Kehormatan, Badan Kehormatan menindaklanjuti pengaduan tersebut.

(4)     Dalam hal pengaduan tidak disertai dengan identitas pengadu yang jelas, pimpinan DPRD tidak meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan Kehormatan.

Pasal 61

(1)      Setelah menerima pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Badan Kehormatan melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.

(2)      Penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara meminta keterangan dan penjelasan kepada pengadu, saksi, teradu, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait, dan/atau memverifikasi dokumen atau bukti lain yang terkait.

(3)      Hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.

(4)      Pimpinan DPRD dan/atau Badan Kehormatan menjamin kerahasiaan hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 62

(1)      Dalam hal hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) menyatakan bahwa teradu terbukti bersalah, Badan Kehormatan menjatuhkan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya.

(2)      Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan dan dilaporkan kepada rapat paripurna DPRD.

(3)      Dalam hal keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPRD, pimpinan DPRD menyampaikan keputusan tersebut kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4)      Pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada         ayat (3), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan diterima, menyampaikan keputusan dan usul pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD.

(5)      Dalam hal pimpinan partai politik tidak menyampaikan keputusan dan usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD tersebut berdasarkan keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi anggota DPRD provinsi, dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota.

(6)      Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian anggota DPRD provinsi dan gubernur meresmikan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan usul pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Bagian Kedelapan

Alat Kelengkapan Lain

Pasal 63

(1)    Dalam hal diperlukan, DPRD dapat membentuk alat kelengkapan lain berupa panitia khusus.

(2)    Panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap.

(3)    Panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dalam rapat paripurna DPRD atas usul anggota setelah mendengar pertimbangan Badan Musyawarah.

(4)    Pembentukan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan DPRD.

(5)    Jumlah anggota panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah anggota setiap komisi yang terkait dan disesuaikan dengan program/kegiatan serta kemampuan anggaran DPRD.

(6)    Anggota panitia khusus sebagaimana dimaksud pada       ayat (5), terdiri atas anggota komisi terkait yang diusulkan oleh masing-masing fraksi.

(7)    Ketua dan wakil ketua panitia khusus dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus.

(8)    Panitia khusus dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh sekretariat DPRD.

BAB VIII

PERSIDANGAN, RAPAT, DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Bagian Kesatu 

Persidangan

Pasal 64

(1)     Pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, tahun sidang DPRD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota DPRD.

(2)     Tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) masa persidangan.

(3)     Masa persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD dilakukan tanpa masa reses.

(4)     Masa reses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) kali reses.

(5)     Masa reses dipergunakan oleh anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok untuk mengunjungi daerah pemilihannya guna menyerap aspirasi masyarakat.

(6)     Anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok wajib membuat laporan tertulis atas hasil pelaksanaan tugasnya pada masa reses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna.

(7)     Jadwal dan kegiatan acara selama masa reses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan Badan Musyawarah.

Bagian Kedua 

Rapat

Pasal 65

(1)     Jenis Rapat DPRD terdiri atas:

a.         rapat paripurna;

b.        rapat paripurna istimewa;

c.         rapat pimpinan DPRD;

d.        rapat fraksi;

e.         rapat konsultasi;

f.           rapat Badan Musyawarah;

g.         rapat komisi;

h.        rapat gabungan komisi;

i.           rapat Badan Anggaran;

j.           rapat Badan Legislasi Daerah;

k.        rapat Badan Kehormatan;

l.           rapat panitia khusus;

m.      rapat kerja;

n.        rapat dengar pendapat; dan

o.         rapat dengar pendapat umum.

(2)     Rapat paripurna merupakan forum rapat tertinggi anggota DPRD dalam pengambilan keputusan yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua DPRD.

(3)     Rapat paripurna istimewa merupakan rapat anggota DPRD yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua untuk melaksanakan acara tertentu dan tidak mengambil keputusan.

(4)     Rapat pimpinan DPRD merupakan rapat para anggota pimpinan DPRD yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua DPRD.

(5)     Rapat fraksi adalah rapat anggota fraksi yang dipimpin oleh pimpinan fraksi.

(6)     Rapat konsultasi adalah rapat antara pimpinan DPRD dengan pimpinan fraksi dan pimpinan alat kelengkapan DPRD yang dipimpin oleh pimpinan DPRD.

(7)     Rapat Badan Musyawarah merupakan rapat anggota Badan Musyawarah yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua Badan Musyawarah.

(8)     Rapat komisi merupakan rapat anggota komisi yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua komisi.

(9)     Rapat gabungan komisi merupakan rapat antarkomisi yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua DPRD.

(10)   Rapat Badan Anggaran merupakan rapat anggota Badan Anggaran yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua Badan Anggaran.

(11)   Rapat Badan Legislasi Daerah merupakan rapat anggota Badan Legislasi Daerah yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua Badan Legislasi Daerah.

(12)   Rapat Badan Kehormatan merupakan rapat anggota Badan Kehormatan yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua Badan Kehormatan.

(13)   Rapat panitia khusus merupakan rapat anggota panitia khusus yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua panitia khusus.

(14)   Rapat kerja merupakan rapat antara DPRD dan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau antara Badan Anggaran, komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus dan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.

(15)   Rapat dengar pendapat merupakan rapat antara DPRD dan pemerintah daerah.

(16)   Rapat dengar pendapat umum merupakan rapat antara DPRD dan masyarakat baik lembaga/organisasi kemasyarakatan maupun perseorangan atau antara komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus dan masyarakat baik lembaga/organisasi kemasyarakatan maupun perseorangan.

Pasal 66

(1)     Rapat paripurna DPRD diadakan secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun masa sidang.

(2)     Rapat paripurna selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan atas usul:

a.     kepala daerah;

b.    pimpinan alat kelengkapan DPRD; atau

c.     anggota dengan jumlah paling sedikit 1/5 (satu perlima) dari jumlah anggota DPRD yang mencerminkan lebih dari 1 (satu) fraksi.

(3)     Rapat paripurna DPRD diselenggarakan atas undangan ketua atau wakil ketua DPRD berdasarkan jadwal rapat yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah.

Pasal 67

(1)    Hasil rapat paripurna DPRD dituangkan dalam bentuk peraturan atau keputusan DPRD.

(2)    Hasil rapat pimpinan DPRD ditetapkan dalam keputusan pimpinan DPRD.

(3)    Peraturan atau keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)    Peraturan atau keputusan DPRD provinsi dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan peraturan atau keputusan DPRD kabupaten/kota dilaporkan kepada gubernur, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah ditetapkan.

Pasal 68

Semua rapat di DPRD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 69

(1)    Rapat DPRD yang bersifat terbuka meliputi rapat paripurna DPRD, rapat paripurna istimewa, dan rapat dengar pendapat umum.

(2)    Rapat DPRD yang bersifat tertutup meliputi rapat  pimpinan DPRD, rapat konsultasi, rapat Badan Musyawarah, rapat Badan Anggaran, dan rapat Badan Kehormatan.

(3)    Rapat DPRD yang bersifat terbuka dan dapat dinyatakan tertutup meliputi rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus, rapat Badan Legislasi Daerah, rapat kerja, dan rapat dengar pendapat.

Pasal 70

Rapat DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dinyatakan tertutup oleh pimpinan rapat berdasarkan kesepakatan peserta rapat sesuai dengan substansi yang akan dibahas.

Pasal 71

(1)     Pembicaraan dalam rapat tertutup tidak boleh diumumkan.

(2)     Materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, dilarang diumumkan oleh peserta rapat.

(3)     Setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui pembicaraan atau materi rapat tertutup yang harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib merahasiakannya.

(4)     Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

(1)    Pimpinan rapat setelah membuka rapat memberitahukan surat masuk dan surat keluar untuk diberitahukan kepada peserta atau untuk dibahas dalam rapat, kecuali surat yang berkaitan dengan urusan kerumahtanggaan DPRD.

(2)    Pada setiap rapat DPRD dibuat risalah rapat yang memuat proses dan materi pembicaraan rapat.

(3)    Dalam hal rapat DPRD dinyatakan tertutup, risalah rapat wajib disampaikan oleh pimpinan rapat kepada pimpinan DPRD, kecuali rapat tertutup yang dipimpin langsung oleh pimpinan DPRD.

Pasal 73

Hari dan jam kerja DPRD disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74

(1)   Rapat DPRD dilaksanakan di gedung DPRD.

(2)   Dalam hal rapat tidak dapat dilaksanakan di gedung DPRD karena kebutuhan atau alasan tertentu, rapat DPRD        dapat dilaksanakan di tempat lain yang ditentukan oleh pimpinan DPRD.

Pasal 75

(1)    Setiap anggota DPRD wajib menghadiri rapat DPRD, baik rapat paripurna maupun rapat alat kelengkapan sesuai dengan tugas dan kewajibannya.

(2)    Anggota DPRD yang menghadiri rapat DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menandatangani daftar hadir rapat.

(3)    Para undangan yang menghadiri rapat DPRD, disediakan daftar hadir rapat tersendiri.

(4)    Anggota DPRD yang hadir apabila akan meninggalkan ruangan rapat, wajib memberitahukan kepada pimpinan rapat.

Bagian Ketiga

Pengambilan Keputusan

Pasal 76

(1)    Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.

(2)    Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 77

Setiap rapat DPRD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.

Pasal 78

(1)     Rapat paripurna memenuhi kuorum apabila:

a.    dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;

b.    dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD untuk memberhentikan pimpinan DPRD serta untuk menetapkan peraturan daerah dan APBD; atau

c.     dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD untuk rapat paripurna DPRD selain rapat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

(2)     Keputusan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila:

a.   disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;

b.   disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau

c.    disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

(3)     Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari      1 (satu) jam.

(4)     Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.

(5)     Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b untuk pelaksanaan hak angket, hak menyatakan pendapat, dan memberhentikan pimpinan DPRD, serta menetapkan peraturan daerah, rapat tidak dapat mengambil keputusan dan rapat paripurna DPRD tidak dapat diulang lagi.

(6)     Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk menetapkan APBD, rapat tidak dapat mengambil keputusan dan penyelesaiannya diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan kepada gubernur untuk kabupaten/kota.

(7)     Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi.

(8)     Setiap penundaan rapat, dibuat berita acara penundaan rapat yang ditandatangani oleh pimpinan rapat.

Pasal 79

(1)     Rapat alat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l memenuhi kuorum apabila dihadiri secara fisik oleh paling sedikit 50 % (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota alat kelengkapan yang bersangkutan dan lebih dari 1 (satu) fraksi.

(2)     Dalam hal rapat alat kelengkapan DPRD mengambil keputusan, keputusan dinyatakan sah apabila disetujui oleh suara terbanyak dari anggota alat kelengkapan yang hadir.

Pasal 80

Setiap keputusan rapat DPRD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

BAB IX

TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Pasal 81

(1)    Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah.

(2)    Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.

(3)    Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan berdasarkan program legislasi daerah.

(4)    Dalam keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah di luar program legislasi daerah.

Pasal 82

(1)    Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah.

(2)    Rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, daftar nama dan tanda tangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.

(3)    Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan DPRD disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian.

(4)    Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada rapat paripurna DPRD.

(5)    Rancangan peraturan daerah yang telah dikaji oleh Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada semua anggota DPRD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna DPRD.

(6)    Dalam rapat paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5):

a.    pengusul memberikan penjelasan;

b.    fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan

c.     pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD lainnya.

(7)    Rapat paripurna DPRD memutuskan usul rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:

a.    persetujuan;

b.    persetujuan dengan pengubahan; atau

c.     penolakan.

(8)    Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPRD menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi Daerah, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan peraturan daerah tersebut.

(9)    Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan DPRD kepada kepala daerah.

Pasal 83

(1)   Rancangan peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah diajukan dengan surat kepala daerah kepada pimpinan DPRD.

(2)   Rancangan peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah disiapkan dan diajukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 84

Apabila dalam satu masa sidang kepala daerah dan DPRD menyampaikan rancangan peraturan daerah mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Pasal 85

(1)    Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau kepala daerah dibahas oleh DPRD dan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.

(2)    Pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.

(3) Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari kepala daerah dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

1.    penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna mengenai rancangan peraturan daerah;

2.    pemandangan umum fraksi terhadap rancangan peraturan daerah; dan

3.    tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi.

b.   Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari DPRD dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

1.   penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan peraturan daerah;

2.   pendapat kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah; dan

3.   tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat kepala daerah.

c.     Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.

(4) Pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a.     Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:

1.   penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi proses pembahasan, pendapat fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan

2.   permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.

b.     Pendapat akhir kepala daerah.

(5)      Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada                ayat (4) huruf a angka 2 tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

(6)      Dalam hal rancangan peraturan daerah tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah, rancangan peraturan daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa itu.

Pasal 86

(1)      Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan kepala daerah.

(2)      Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan.

(3)      Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh kepala daerah, disampaikan dengan surat kepala daerah disertai alasan penarikan.

(4)      Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.

(5)      Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh kepala daerah.

(6)      Rancangan peraturan daerah yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama.

Pasal 87

(1)     Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah.

(2)     Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 88

(1)     Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah.

(2)     Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh kepala daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah.

(3)     Dalam hal sahnya rancangan peraturan                               daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka   kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.

(4)     Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir peraturan daerah sebelum pengundangan naskah peraturan daerah ke dalam lembaran daerah.

(5)     Peraturan daerah berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

(6)     Rancangan peraturan daerah yang berkaitan dengan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan harus dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)     Peraturan daerah setelah diundangkan dalam lembaran daerah harus disampaikan kepada Pemerintah dan/atau gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X

KODE ETIK

Pasal 89

(1)   DPRD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPRD selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.

(2)   Ketentuan mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPRD tentang kode etik.

(3)   Peraturan DPRD tentang kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat ketentuan tentang:

a.   pengertian kode etik;

b.   tujuan kode etik; dan

c.    pengaturan mengenai:

1.        sikap dan perilaku anggota DPRD;

2.        tata kerja anggota DPRD;

3.        tata hubungan antarpenyelenggara pemerintahan daerah;

4.        tata hubungan antaranggota DPRD;

5.        tata hubungan antara anggota DPRD dan pihak lain;

6.        penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan;

7.        kewajiban anggota DPRD;

8.        larangan bagi anggota DPRD;

9.        hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD;

10.   sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi; dan

11.   rehabilitasi.

Pasal 90

Pengaturan mengenai sikap dan perilaku anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 1 memuat ketentuan antara lain:

a.        bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.       mempertahankan keutuhan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c.        menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia;

d.       memiliki integritas tinggi dan jujur;

e.        menegakkan kebenaran dan keadilan;

f.    memperjuangkan aspirasi masyarakat tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, asal usul, golongan, dan jenis kelamin;

g.        mengutamakan pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota DPRD daripada kegiatan lain di luar tugas dan kewajiban DPRD; dan

h.       menaati ketentuan mengenai kewajiban dan larangan bagi anggota DPRD sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 91

Pengaturan mengenai tata kerja anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 2 memuat ketentuan antara lain:  

a.        menunjukkan profesionalisme sebagai anggota DPRD;

b.       melaksanakan tugas dan kewajiban demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat;

c.        berupaya meningkatkan kualitas dan kinerja;

d.       mengikuti seluruh agenda kerja DPRD, kecuali berhalangan atas izin dari pimpinan fraksi;

e.        menghadiri rapat DPRD secara fisik;

f.          bersikap sopan dan santun serta senantiasa menjaga ketertiban pada setiap rapat DPRD;

g.        menjaga rahasia termasuk hasil rapat yang disepakati untuk dirahasiakan sampai dengan dinyatakan terbuka untuk umum;

h.       memperoleh izin tertulis dari pejabat yang berwenang untuk perjalanan ke luar negeri, baik atas beban APBD maupun pihak lain;

i.          melaksanakan perjalanan dinas atas izin tertulis dan/atau penugasan dari pimpinan DPRD, serta berdasarkan ketersediaan anggaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

j.          tidak menyampaikan hasil dari suatu rapat DPRD yang tidak dihadirinya kepada pihak lain; dan

k.       tidak membawa anggota keluarga dalam perjalanan dinas, kecuali atas alasan tertentu dan seizin pimpinan DPRD.

Pasal 92

Pengaturan mengenai tata hubungan antarpenyelenggara pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 3, tata hubungan antaranggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c           angka 4, serta tata hubungan antara anggota DPRD dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 5  memuat ketentuan antara lain anggota DPRD bersikap adil, terbuka, akomodatif, responsif, dan profesional dalam hubungan kemitraan, serta menghormati lembaga DPRD dan lembaga penyelenggara pemerintahan lainnya.

Pasal 93

Pengaturan mengenai penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan sebagaimana dimaksud dalam         Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 6 memuat ketentuan antara lain memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.

Pasal 94

Pengaturan mengenai kewajiban anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 7 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 95

Pengaturan mengenai larangan bagi anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 8 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96

Pengaturan mengenai hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 9 memuat ketentuan mengenai sikap, perilaku, dan ucapan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, kesopanan dan adat budaya setempat.

Pasal 97

Pengaturan mengenai sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c         angka 10 serta rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam          Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 11 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI

LARANGAN DAN SANKSI

Bagian Kesatu

Larangan

Pasal 98

(1)    Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai:

a.   pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;

b.   hakim pada badan peradilan; atau

c.    pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.

(2)    Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD serta hak sebagai anggota DPRD.

(3)    Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.

Bagian Kedua

Sanksi

Pasal 99

(1)        Anggota DPRD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.

(2)        Anggota DPRD yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD.

(3)        Anggota DPRD yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD.

Pasal 100

Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) berupa:

a.     teguran lisan;

b.     teguran tertulis; dan/atau

c.      diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 101

Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98.

BAB XII

PEMBERHENTIAN ANTARWAKTU, PENGGANTIAN ANTARWAKTU, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA

Bagian Kesatu

Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 102

(1)  Anggota DPRD berhenti antarwaktu karena:

a.   meninggal dunia;

b.  mengundurkan diri; atau

c.   diberhentikan.

(2) Anggota DPRD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a.  tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama     3 (tiga)  bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;

b.  melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD;

c.   dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d.  tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

e.  diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f.    tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;

g.  melanggar ketentuan larangan sebagai anggota DPRD sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; atau

i.    menjadi anggota partai politik lain.

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku bagi anggota DPRD yang berkedudukan sebagai pimpinan DPRD dan/atau pimpinan alat kelengkapan DPRD.

Pasal 103

(1)     Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD provinsi dan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur bagi anggota DPRD kabupaten/kota.

(2)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(3)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(4)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.

(5)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.

(6)     Apabila setelah 7 (tujuh) hari gubernur atau bupati/walikota tidak menyampaikan usul sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), pimpinan DPRD provinsi langsung menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri, atau pimpinan DPRD kabupaten/kota langsung menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur.

(7)     Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian anggota DPRD provinsi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau dari pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(8)     Gubernur meresmikan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), atau dari pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(9)     Peresmian pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) berlaku sejak ditetapkan, kecuali peresmian pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf c berlaku sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 104

(1)     Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan atas pengaduan dari pimpinan DPRD, masyarakat, dan/atau pemilih.

(2)     Keputusan Badan Kehormatan mengenai pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna.

(3)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4)     Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan dan usul pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD.

(5)     Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan dan usul pemberhentian anggotanya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD meneruskan keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi anggota DPRD provinsi dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya batas waktu penyampaian keputusan tentang pemberhentian anggota DPRD dari pimpinan partai politik, untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(6)     Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD provinsi, dan bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur bagi anggota DPRD kabupaten/kota.

(7)     Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur.

(8)     Gubernur meresmikan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.

Bagian Kedua

Penggantian Antarwaktu

Pasal  105

(1)      Anggota DPRD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

(2)     Dalam hal calon anggota DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD, anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

(3)     Masa jabatan anggota DPRD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD yang digantikannya.

Pasal 106

(1)      Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan melampirkan fotokopi daftar calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara partai politik yang bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU provinsi dengan tembusan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(2)      KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.

(3)      Paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi setelah melakukan konfirmasi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan, menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.

(4)      Dalam hal KPU provinsi tidak menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu, atau menyampaikan nama pengganti antarwaktu yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2), pimpinan DPRD provinsi berdasarkan hasil konfirmasi dengan pimpinan partai politik yang bersangkutan, menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu dari partai politik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.

(5)      Paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada            ayat (3) dan ayat (4), gubernur mengusulkan penggantian antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.

(6)      Paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima usulan penggantian antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatan anggota DPRD provinsi.

(7)      Dalam hal gubernur tidak mengusulkan penggantian antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri Dalam Negeri meresmikan penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi berdasarkan pemberitahuan dari pimpinan DPRD provinsi.

Pasal 107

(1)    Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan melampirkan fotokopi daftar calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara partai politik yang bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU kabupaten/kota dengan tembusan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(2)    KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat      5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD kabupaten/kota.

(3)    Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota setelah melakukan konfirmasi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan, menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.

(4)    Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu, atau menyampaikan nama pengganti antarwaktu yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil konfirmasi dengan pimpinan partai politik yang bersangkutan, menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu dari partai politik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota.

(5)    Paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada              ayat (3) dan ayat (4), bupati/walikota mengusulkan penggantian antarwaktu kepada gubernur untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.

(6)    Paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima usulan penggantian antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatan anggota DPRD kabupaten/kota.

(7)    Dalam hal bupati/walikota tidak mengusulkan penggantian antarwaktu kepada gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur meresmikan penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemberitahuan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 108

(1)     Penggantian antarwaktu anggota DPRD tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kurang dari        6 (enam) bulan.

(2)     Dalam hal pemberhentian antarwaktu anggota DPRD dilaksanakan dalam waktu sisa masa jabatan anggota DPRD kurang dari 6 (enam) bulan, pemberhentian anggota DPRD tersebut tetap diproses, dengan tidak dilakukan penggantian.

(3)     Keanggotaan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kosong sampai berakhirnya masa jabatan anggota DPRD.

Bagian Ketiga

Persyaratan dan Verifikasi Persyaratan

Pasal 109

(1)     Calon anggota DPRD pengganti antarwaktu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.             warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b.             bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.              bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.             cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e.             berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f.               setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g.             tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h.            sehat jasmani dan rohani;

i.               terdaftar sebagai pemilih;

j.               bersedia bekerja penuh waktu;

k.             mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

l.               bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;

m.          bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara atau pejabat daerah lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n.            menjadi anggota partai politik peserta pemilu;

o.             dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan

p.             dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

(2)     Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPRD pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada              ayat (1) dibuktikan dengan:

a.           kartu tanda penduduk warga negara Indonesia;

b.           bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;

c.            surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;

d.           surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;

e.           surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;

f.             surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

g.           surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

h.           surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

i.             kartu tanda anggota partai politik peserta pemilu;

j.             surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; dan

k.           surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.

(3)     Selain kelengkapan berkas administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur atau bupati/walikota dalam mengajukan usulan penggantian antarwaktu anggota DPRD juga harus melampirkan:

a.   usul pemberhentian anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1)         huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf e dan huruf i dari pimpinan partai politik disertai dengan dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik;

b.     usul pemberhentian anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2)            huruf c dari pimpinan partai politik disertai dengan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c.   usul pemberhentian anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2)    huruf h dari pimpinan partai politik disertai dengan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal anggota partai politik yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan; atau

d.     keputusan dan usul pemberhentian sebagai anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g dari pimpinan partai politik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan setelah dilakukan penyelidikan dan verifikasi; dan

e.   fotokopi daftar calon tetap anggota DPRD pada pemilihan umum yang dilegalisir oleh KPU provinsi bagi DPRD provinsi dan oleh KPU kabupaten/kota bagi DPRD kabupaten/kota; dan

f.     fotokopi daftar peringkat perolehan suara partai politik yang mengusulkan penggantian antarwaktu anggota DPRD yang dilegalisir oleh KPU provinsi bagi DPRD provinsi dan oleh KPU kabupaten/kota bagi DPRD kabupaten/kota.

(4)     Verifikasi kelengkapan berkas penggantian antarwaktu anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan secara fungsional oleh unit kerja di masing-masing lembaga/instansi sesuai kewenangannya.

Bagian Keempat

Pemberhentian Sementara

Pasal 110

(1)   Anggota DPRD diberhentikan sementara karena:

a.   menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau

b.  menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.

(2)   Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) diusulkan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk anggota DPRD provinsi dan oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk anggota DPRD kabupaten/kota.

(3)    Apabila setelah 7 (tujuh) hari sejak anggota DPRD provinsi ditetapkan sebagai terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan DPRD provinsi tidak mengusulkan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada  ayat (2), sekretaris DPRD provinsi dapat melaporkan status terdakwa anggota DPRD provinsi yang bersangkutan kepada gubernur.

(4)    Apabila setelah 7 (tujuh) hari sejak anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan sebagai terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan DPRD kabupaten/kota tidak mengusulkan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris DPRD kabupaten/kota dapat melaporkan status terdakwa anggota                         DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan kepada bupati/walikota.

(5)    Gubernur berdasarkan laporan sekretaris DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengajukan usul pemberhentian sementara anggota DPRD provinsi yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri.

(6)    Bupati/walikota berdasarkan laporan sekretaris DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengajukan usul pemberhentian sementara anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan kepada gubernur.

(7)    Menteri Dalam Negeri memberhentikan sementara sebagai anggota DPRD provinsi atas usul gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5), dan gubernur memberhentikan sementara sebagai anggota DPRD kabupaten/kota atas usul bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6).

(8)    Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada  ayat (7) berlaku terhitung mulai tanggal anggota DPRD yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa.

(9)    Anggota DPRD yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan berupa uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga, dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 111

(1)   Dalam hal anggota DPRD yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 berkedudukan sebagai pimpinan DPRD, pemberhentian sementara sebagai anggota DPRD diikuti dengan pemberhentian sementara sebagai pimpinan DPRD.

(2)   Dalam hal pimpinan DPRD diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik asal pimpinan DPRD yang diberhentikan sementara mengusulkan kepada pimpinan DPRD salah seorang anggota DPRD yang berasal dari partai politik tersebut untuk melaksanakan tugas pimpinan DPRD yang diberhentikan sementara.

Pasal 112

(1)    Dalam hal anggota DPRD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat sebagai anggota DPRD.

(2)    Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku mulai tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3)    Dalam hal anggota DPRD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka anggota DPRD yang bersangkutan diaktifkan kembali apabila masa jabatannya belum berakhir.

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 113

(1)      Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD provinsi dan dari gubernur untuk anggota DPRD kabupaten/kota.

(2)      Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD provinsi dan oleh gubernur untuk anggota DPRD kabupaten/kota dalam waktu paling lambat                   30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

(3)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD:

a.    tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

b.    disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau

c.     disangka melakukan tindak pidana khusus.

BAB XIV

ELAKSANAAN KONSULTASI

Pasal 114

(1)  Konsultasi antara DPRD provinsi dengan pemerintah daerah provinsi dilaksanakan dalam bentuk pertemuan antara pimpinan DPRD provinsi dengan gubernur.

(2)  Konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dengan pemerintah daerah kabupaten/kota dilaksanakan dalam bentuk pertemuan antara pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan bupati/walikota.

(3)  Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam rangka:

a.      pembicaraan awal mengenai materi muatan rancangan peraturan daerah dan/atau rancangan kebijakan umum anggaran serta prioritas dan plafon anggaran sementara dalam rangka penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b.      pembicaraan mengenai penanganan suatu masalah yang memerlukan keputusan/kesepakatan bersama DPRD dan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan; atau

c.       permintaan penjelasan mengenai kebijakan atau program kerja tertentu yang ditetapkan atau dilaksanakan oleh kepala daerah.

(4)   Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan                ayat (2), pimpinan DPRD didampingi oleh pimpinan alat kelengkapan DPRD yang terkait dengan materi konsultasi dan kepala daerah didampingi oleh pimpinan perangkat daerah yang terkait.

(5)   Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara berkala atau sesuai dengan kebutuhan.

(6)   Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan, baik atas prakarsa pimpinan DPRD maupun kepala daerah.

(7)   Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.

Pasal 115

(1)    Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 juga dapat dilaksanakan dengan pimpinan instansi vertikal di daerah.
(2)    Pimpinan DPRD dapat membuat kesepakatan dengan pimpinan instansi vertikal di daerah mengenai mekanisme konsultasi antara DPRD dengan instansi vertikal tersebut.

BAB XV

PENERIMAAN PENGADUAN DAN PENYALURAN

ASPIRASI MASYARAKAT

Pasal 116

(1)    Pimpinan DPRD, alat kelengkapan DPRD, anggota DPRD atau fraksi di DPRD menerima, menampung, menyerap, dan menindaklanjuti pengaduan dan/atau aspirasi masyarakat yang disampaikan secara langsung atau tertulis tentang suatu permasalahan, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang DPRD.
(2)    Pengaduan dan/atau aspirasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses administratif oleh sekretariat DPRD dan diteruskan kepada pimpinan DPRD, alat kelengkapan DPRD yang terkait, anggota DPRD, atau fraksi di DPRD.
(3)    Pimpinan DPRD, alat kelengkapan DPRD yang terkait, atau fraksi di DPRD dapat menindaklanjuti pengaduan dan/atau aspirasi sesuai kewenangannya.
(4)    Anggota DPRD dapat menindaklanjuti pengaduan dan/atau aspirasi kepada pimpinan DPRD, alat kelengkapan DPRD yang terkait, atau fraksinya.
(5)    Dalam hal diperlukan, pengaduan dan/atau aspirasi masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan:
a.   rapat dengar pendapat umum;
b.  rapat dengar pendapat;
c.   kunjungan kerja; atau
d.  rapat kerja alat kelengkapan DPRD dengan mitra kerjanya.
(6)    Tata cara penerimaan dan tindak lanjut pengaduan dan/atau aspirasi masyarakat diatur oleh sekretaris DPRD dengan persetujuan pimpinan DPRD.

BAB XVI

PELAKSANAAN TUGAS KELOMPOK PAKAR ATAU TIM AHLI

Pasal 117

(1)    Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.

(2)    Kelompok pakar atau tim ahli paling banyak sesuai dengan jumlah alat kelengkapan DPRD.

(3)    Kelompok pakar atau tim ahli paling sedikit memenuhi persyaratan:

a.       berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) dengan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun, strata dua (S2) dengan pengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun, atau strata tiga (S3) dengan pengalaman kerja paling singkat 1 (satu) tahun;

b.      menguasai bidang yang diperlukan; dan

c.       menguasai tugas dan fungsi DPRD.

(4)     Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sesuai kebutuhan atas usul anggota DPRD.

(5)     Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD.

(6)     Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD.

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 118

(1)     Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2)     Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

(3)     Peraturan DPRD provinsi tentang Tata Tertib DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan         setelah terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Menteri Dalam Negeri.

(4)     Peraturan DPRD kabupaten/kota tentang Tata Tertib DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan setelah terlebih dahulu dikonsultasikan kepada gubernur.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 119

Peraturan Pemerintah ini berlaku pula sebagai pedoman penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 120

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4417) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4569), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 121

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                                   Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

   ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Januari 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

                    PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 22

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2010

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

I.       UMUM

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan                        dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat tersebut perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat baik di pusat maupun di daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan ketatanegaraan. Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah daerah yang diharapkan mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang, hak, dan kewajiban DPRD.

Dalam kapasitasnya, DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah mempunyai kedudukan yang sama dengan pemerintah daerah dalam membangun dan mengusahakan dukungan dalam penetapan kebijakan pemerintahan daerah, yang dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga kebijakan dimaksud dapat diterima oleh masyarakat luas.

Kedudukan dan fungsi yang seimbang antara DPRD dan pemerintah daerah juga dimaksudkan agar hubungan DPRD dengan pemerintah daerah dapat berjalan secara serasi dan tidak saling mendominasi satu sama lain, dalam praktiknya dilaksanakan melalui penyeimbangan antara mengelola dinamika politik di satu pihak dan tetap menjaga stabilitas pemerintahan daerah di pihak lain, sehingga pola keseimbangan pengelolaan pemerintahan daerah yang dilakukan dapat memberikan manfaat secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. 

Guna meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja DPRD dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, serta guna mewujudkan peran DPRD dalam mengembangkan check and balances antara DPRD dan pemerintah daerah, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 325 ayat (1), Pasal 376 ayat (1), Pasal 338, dan Pasal 389 Undang-Undang Nomor 27             Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Pemerintah ini ditetapkan untuk menjadi pedoman bagi DPRD dalam menyusun Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD.

II.     PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Pemilihan wakil gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi, wakil bupati/wakil walikota dilakukan oleh DPRD kabupaten/kota, apabila masa jabatan wakil kepala daerah masih tersisa                      18 (delapan belas) bulan atau lebih terhitung sejak kekosongan jabatan wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota.

Huruf f

Yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Huruf g

Yang dimaksud dengan ”kerja sama internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama provinsi, kabupaten/kota ”kembar”, kerja sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Penentuan jumlah anggota DPRD provinsi untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Nama anggota DPRD provinsi terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum yang ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi dan secara administratif dilakukan oleh KPU provinsi serta dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur dan tembusannya disampaikan kepada KPU.

Istilah “melalui” dimaksudkan bahwa gubernur tidak boleh menilai keputusan KPU provinsi melainkan hanya meneruskan keputusan KPU provinsi kepada Menteri Dalam Negeri. Apabila gubernur tidak meneruskan kepada Menteri Dalam Negeri, KPU provinsi langsung mengusulkan peresmian pengangkatan anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.

Ayat (2)

Penentuan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang            Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Nama anggota DPRD kabupaten/kota terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum yang ditetapkan dengan keputusan KPU kabupaten/kota dan secara administratif dilakukan oleh KPU kabupaten/kota serta dilaporkan kepada gubernur melalui bupati/walikota dan tembusannya disampaikan kepada KPU provinsi.

Istilah “melalui” dimaksudkan bahwa bupati/walikota tidak boleh menilai keputusan KPU kabupaten/kota melainkan hanya meneruskan keputusan KPU kabupaten/kota kepada gubernur. Apabila bupati/walikota tidak meneruskan kepada gubernur, KPU kabupaten/kota langsung mengusulkan peresmian pengangkatan anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “masa jabatan 5 (lima) tahun” adalah terhitung mulai tanggal pengucapan sumpah/janji anggota DPRD, sehingga setelah melewati masa jabatan 5 (lima) tahun sudah tidak lagi menjadi anggota DPRD. Oleh karena itu anggota DPRD yang baru harus mengucapkan sumpah/janji pada saat berakhirnya masa jabatan anggota DPRD yang lama.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “hakim senior” adalah hakim yang memiliki pangkat/golongan ruang yang tertinggi di pengadilan tinggi yang bersangkutan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan “hakim senior” adalah hakim yang memiliki pangkat/golongan ruang yang tertinggi di pengadilan negeri yang bersangkutan.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Huruf a

Hak mengajukan rancangan peraturan daerah dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan peraturan daerah.

Huruf b

Hak anggota DPRD untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD.

Huruf c

Hak anggota DPRD untuk menyampaikan suatu usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah maupun kepada DPRD sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPRD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.

Huruf i

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat (1)

Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD, partai politik, atau perguruan tinggi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “sarana” adalah alat tulis kantor dan alat kelengkapan kantor, tidak termasuk sarana mobilitas.

Yang dimaksud dengan “anggaran” adalah kebutuhan belanja untuk menunjang kegiatan rapat fraksi dan kebutuhan kesekretariatan.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Penyampaian calon pimpinan DPRD dari partai politik secara administratif ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik atau jabatan lain sesuai AD/ART pada partai politik setempat/sesuai dengan tingkatan wilayahnya harus sesuai dengan rekomendasi dewan pimpinan pusat partai politik yang bersangkutan.

Dalam hal penyampaian usul calon pimpinan DPRD yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat/sesuai dengan tingkatan wilayahnya berbeda dengan rekomendasi dari dewan pimpinan pusat partai politik yang bersangkutan, yang berlaku adalah calon anggota DPRD yang direkomendasikan oleh dewan pimpinan pusat partai yang bersangkutan.

Ayat (2)

Istilah “melalui” dimaksudkan bahwa gubernur untuk calon pimpinan DPRD provinsi dan bupati/walikota untuk calon pimpinan DPRD kabupaten/kota hanya meneruskan keputusan DPRD yang ditandatangani oleh pimpinan sementara DPRD.

Apabila gubernur tidak meneruskan keputusan DPRD provinsi tersebut kepada Menteri Dalam Negeri dan bupati/walikota tidak meneruskan keputusan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur, pimpinan sementara DPRD provinsi dapat langsung mengusulkan peresmian pengangkatan pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota dapat langsung mengusulkan peresmian pengangkatan pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “berhalangan sementara” adalah situasi dan kondisi yang menyebabkan unsur pimpinan DPRD tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Tidak termasuk berhalangan sementara apabila anggota pimpinan DPRD dikenai pemberhentian sementara sebagai anggota dan/atau pimpinan DPRD.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan “penyelesaiannya diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri” adalah penetapan peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai payung hukum bagi pemberlakuan APBD provinsi yang sama dengan tahun sebelumnya apabila tidak berhasil dibentuk Peraturan Daerah tentang APBD.

Yang dimaksud dengan “penyelesaiannya diserahkan kepada gubernur” adalah penetapan peraturan gubernur sebagai payung hukum bagi pemberlakuan APBD kabupaten/kota yang sama dengan tahun sebelumnya apabila tidak berhasil dibentuk Peraturan Daerah tentang APBD.

Ayat (7)

Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi untuk menentukan kelanjutan dari rapat dimaksud.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pada prinsipnya semua naskah rancangan peraturan daerah harus disertai naskah akademik, tetapi beberapa rancangan peraturan daerah seperti rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan peraturan daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya, dapat disertai atau tidak disertai naskah akademik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah perlunya menindaklanjuti keputusan pejabat atau lembaga yang berwenang mengenai pembatalan suatu peraturan daerah, atau adanya kebutuhan untuk menindaklanjuti suatu kebijakan nasional atau peraturan perundang-undangan yang bersifat segera.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Terkait dengan ketentuan Pasal ini, dalam peraturan DPRD tentang kode etik dapat memuat ketentuan seperti larangan menggunakan jabatan sebagai anggota DPRD untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompoknya yang mempunyai usaha atau melakukan penanaman modal dalam suatu bidang usaha, larangan menggunakan jabatannya sebagai anggota DPRD untuk memengaruhi pengambilan keputusan pada lembaga peradilan atau lembaga lain untuk kepentingan pribadi atau kelompok, larangan menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain yang terkait dengan tugas dan wewenang DPRD, larangan menggunakan anggaran DPRD untuk suatu kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas dan wewenang DPRD, dan larangan menggunakan anggaran DPRD untuk suatu kegiatan yang dibiayai pihak lain.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, maka sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemberhentian anggota partai politik yang bersangkutan sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan proses pemberhentian antarwaktu dapat berlanjut setelah pemberhentiannya sah.

Huruf i

Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 103

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pimpinan partai politik di provinsi untuk DPRD provinsi dan pimpinan partai politik di kabupaten/kota untuk DPRD kabupaten/kota, sesuai dengan rekomendasi/keputusan dewan pimpinan pusat partai politik yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dilegalisir” adalah dilegalisir oleh KPU provinsi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 107

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dilegalisir” adalah dilegalisir oleh KPU kabupaten/kota.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “unit kerja di masing-masing lembaga/instansi” adalah:

a.     unit kerja yang ada di sekretariat DPRD provinsi, KPU provinsi, sekretariat daerah provinsi, dan Kementerian Dalam Negeri, bagi penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi;

b.     unit kerja yang ada di sekretariat DPRD kabupaten/kota,   KPU kabupaten/kota, sekretariat daerah kabupaten/kota, dan sekretariat daerah provinsi, bagi penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota.

Pasal 110

Ayat (1)

Status sebagai terdakwa dibuktikan dengan register perkara di pengadilan negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

              Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Ayat (1)

Konsultasi pimpinan DPRD dengan pimpinan instansi vertikal adalah dalam rangka menerima masukan dan memberikan saran/rekomendasi mengenai permasalahan tertentu yang terjadi di daerahnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa masa kerja kelompok pakar atau tim ahli tidak tetap, atau sesuai dengan kegiatan yang memerlukan dukungan kelompok pakar atau tim ahli. Dengan demikian pemberian honorarium kepada kelompok pakar atau tim ahli didasarkan pada kehadiran sesuai kebutuhan/kegiatan tertentu.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5104