Merdeka.com - Di era milenial saat ini, perkembangan ekonomi bisa dipantau melalui teknologi digital. Melalui teknologi ini, bisa dilihat perilaku konsumen dan lainnya. Sehingga pelaku usaha juga bisa memantau secara langsung apa yang dibutuhkan pasar saat ini. Presidium Majelis Nasional KAHMI, Kamrussamad mengatakan, melalui forum atau media sosial, pengusaha bisa memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, bagaimana kecenderungan belanja mereka, barang apa yang sedang populer dan lain sebagainya. Pengetahuan akan perilaku konsumen ini sangat penting sebagai landasan untuk mengembangkan bisnis, terutama ketika kamu ingin melakukan berbagai inovasi. Menurutnya, era digital membawa dampak dan perubahan yang cukup besar dalam perdagangan dunia pada masa depan. Dia menegaskan, ekonomi digital meningkat dua kali lipat dibandingkan 2008 yang baru mencapai 2 persen dari GDP dunia. Pertumbuhan untuk lima tahun ke depan diperkirakan sebesar 11 persen per tahun. "Menurut saya, perdagangan digital merupakan bagian dari revolusi digital yang akan membawa dampak yang sangat luas bagi seluruh daerah," tegasnya di Jakarta, Rabu (4/4). Dari informasi yang diterima, sebanyak 1,8 miliar jiwa penduduk di negara-negara Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) telah bertransaksi online pada akhir 2015. Jumlah itu sebanding 65 persen penduduk APEC yang berjumlah 2,85 miliar jiwa. Jasa online yang mempunyai pasar sebesar USD 1,6 triliun diperkirakan akan tumbuh 13 persen per tahun sampai 2020. Sebanyak dua pertiga nilai tersebut berasal dari e-retail dan e-travel. Oleh karena itu, dirinya mendorong lahirnya wirausahawan yang milenial dan tidak gagap akan teknologi. Sebab, di era ini, pemasaran akan sangat mudah di mana sekarang kontrol tidak lagi dilakukan secara konvensional melainkan dengan digitilisasi. "Jadi di manapun, kapanpun pemantauan usaha bisa dilakukan melalui genggaman," tegasnya. Melihat kondisi ini, apabila ada daerah yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah akan bisa terpantau. Seperti yang terjadi di NTB. Di daerah ini faktor ketersediaan infrastruktur jalan, jaminan suplai listrik, serta kesiapan sarana sistem transportasi laut, udara, dan darat. "Tapi ada juga yang infrastrukturnya baik namun banyak masyarakatnya yang tidak kreatif," tuturnya. Seperti yang terjadi di Lampung, daya dukung Lampung jadi sentra ekonomi Sumatera terlihat dari sisi produksi, terjadi pertumbuhan yang tertinggi pada kuartal terakhir 2017, yakni pada lapangan usaha pengadaan listrik dan gas. "Pertumbuhannya sebesar 46,48 persen," papar Kamrussamad. Sedangkan dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen pembentukan modal tetap bruto sebesar 14,18 persen. Dia memaparkan ekonomi Provinsi Lampung kuartal III-2017 mengalami pertumbuhan 3,52 persen bila dibandingkan kuartal sebelumnya. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha konstruksi sebesar 17,55 persen. "Ini yang harus dilakukan, melihat potensi ini mestinya kita harus cepat dan tanggap menciptakan lapangan kerja sesuai dengan kebutuhan disana," tegasnya. Dia menegaskan, Indonesia kini menyiapkan skenario pertumbuhan ekonomi tinggi menuju negara berpendapatan tinggi pada 2035. Saat itu, PDB Indonesia juga ditargetkan menjadi keempat terbesar di dunia. Kesemua itu membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas termasuk kuat dari sisi kewirausahaan. Menurut dia, orientasi kewirausahaan pada intinya juga mengubah paradigma dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan pekerjaan. Selain itu, harus bisa membantu mengembangkan bisnis para pengusaha muda dengan menciptakan jejaring luas, baik sesama pengusaha KAHMI maupun yang bukan. Kemandirian di bidang ekonomi selaras dengan Impian Indonesia 2015-2085 yang dilontarkan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia menjadi negara mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik. Bahkan, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia. "Karena itu, para alumni harus didorong pengabdiannya di bidang ekonomi, sekaligus memperbanyak wirausahawan," tegasnya. Dia berharap kehadiran Kahmi preneur di beberapa daerah mulai dari Bali, Potianak, Mamuju dan beberapa kota lainnya di Indonesia bisa membukan peluang usaha yang juga disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kota atau daerah. Sehingga, apa yang dilakukan bisa langsung dirasakan manfaatnya untuk peningkatan kesejahteraan anggota KAHMI sebagai pelaku usaha. (mdk/idr)
Dewasa ini, teknologi digital berkembang kian pesat mulai dari penerapannya hingga munculnya berbagai unit bisnis digital itu sendiri. Di Indonesia, banyak industri, terutama di sektor usaha jasa transportasi, perdagangan, dan keuangan, telah menerapkan teknologi digital. Namun demikian, teknologi digital sesung guhnya telah lama diterapkan di sektor industri manufaktur. Industri yang menerapkan teknologi digital dapat lebih dini mengantisipasi arah dan keinginan pasar. Lebih jauh dari itu, berbagai perusahaan yang “memanfaatkan” teknologi digital dapat menjadi penentu gerak dan laju pasar. Mereka dapat bekerja dan bergerak lebih efisien dan cepat dibandingkan yang tidak dapat memanfaatkan teknologi digital. Perusahaan akan lebih berdaya saing dalam pasar yang sehat dan mensyaratkan adanya persaingan sempurna. Persaingan usaha yang sehat tentu diperlukan untuk performa ekonomi yang baik. Tanpa adanya persaingan usaha yang sehat, perusahaan tidak dapat berkembang de ngan baik. Sayangnya, praktik monopoli dan lainnya banyak terjadi di pasar sehingga memerlukan otoritas yang mengatur persaingan usaha tersebut. Di dalam kasus eko nomi digital, persaingan usaha tampak jelas pada sektor transportasi, misalnya, antara taksi daring dan taksi konvensional. Lantas bagaimana dampaknya terhadap persaing an usaha agar ekonomi dapat tumbuh dengan baik tanpa mengabaikan masyarakat? Bagaimana praktik lainnya selain di sektor transportasi? Untuk itu, pada awal Juni 2021, Prisma berkesempatan mewawancarai Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih melalui ap likasi Zoom, yang mengelaborasi lebih jauh tentang persaingan usaha dan bagaimana posisi persaingan industri di Indonesia pada era digital dewasa ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelak sanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut petikan wawancaranya.
Di samping itu, hampir seluruh pelaku usaha kita tipikal “jago kandang.” Tidak ba nyak pelaku usaha kita berorientasi di luar pasar domestik atau sanggup bersaing di tingkat global. Mereka masih berkutat di pasar dalam negeri. Tidak mengherankan, proporsi ekspor Indonesia kebanyakan dari sektor usaha ekstraktif. Pemain dari luar pun relatif belum banyak yang masuk ke Indone sia. Persaingan pasar di negeri ini memang belum menuju persaingan yang sangat ketat. Masih banyak pelaku usaha yang berharap pemerintah harus aktif dalam kegiatan ekono mi. Pendek kata, persaingan di dalam negeri masih lekat dengan domain regulasi. Misal nya, ekspor dan impor bawang putih. Pelaku usaha kecil bawang putih hanya berjum lah 2,5 sampai 3 persen. Seharusnya impor bawang putih tidak perlu perlindungan agar terjadi persaingan di dalam negeri. Namun, terbit sejumlah regulasi tentang kuota atau momentum kapan harus melakukan impor tasi. Begitu pula beberapa industri kita yang kerap minta safeguard atau kebijakan biaya masuk antidumping dari negara. Itu meru pakan bukti bahwa pelaku usaha di dalam negeri perlu dilindungi dari persaingan yang lebih bebas. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebijakan safeguard yang dimaksud untuk memberi ruang dan waktu agar pelaku usaha kita mampu berkompetisi di tingkat global, menjadi seperti “candu.” P: Secara global, ekonomi terlihat me ngalami banyak perubahan. Bagaimana Anda mengaitkannya dengan ekonomi Indonesia dan posisi penting ekonomi digital? GSS: Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi membahas soal impor dari Cina, se hingga muncul istilah “benci produk asing.” Kita mungkin tidak menduga bahwa pembe lian bersifat personal dapat dilakukan secara digital. Ada beberapa marketplace, perantara penjual dan pembeli di dunia maya. Kini, semua orang bisa membeli barang secara personal dengan transaksi yang juga per sonal. Artinya, itu membuka sesuatu yang dahulu sulit dilakukan. Menteri Keuangan pun sempat khawatir dengan transaksi nera ca perdagangan kita yang banyak dilakukan dengan RRT. Persoalannya, digital yang se harusnya membuka ruang untuk kegiatan eksporimpor, kita justru lebih banyak im portasinya. Opportunity dalam konteks un tuk lebih banyak melakukan ekspor belum terpenuhi. Kegiatan ekspor tidak merugikan karena tidak melakukan replacement ter hadap sektor pelaku usaha domestik. Karena itu, menggenjot ekspor harus didukung dan dijadikan orientasi bagi ekonom dan pemerintah. Pada dasarnya, digital membuka lebar ru ang transaksi yang dahulu tidak terpikirkan untuk bisa melakukan cross-border. Namun, kita masih belum memanfaatkannya secara maksimal untuk melakukan ekspansi keluar. Yang terjadi justru kita kewalahan dengan barangbarang impor, khususnya dari RRT. Kita belum bisa secara maksimal meng giatkan ekonomi Indonesia dalam konteks global. Padahal, era digital dewasa ini bisa menjadi peluang sangat bagus. Digital kita ini hanya menjadi semacam ruang. Dalam konteks persaingan, kita justru mengundang pemain dan tamu dari luar untuk bersaing dengan pengusaha lokal, bukan memperluas ruang gerak dan pasar baru agar pelaku usaha kita bisa bersaing. Kita tidak menambah area bersaing, tetapi malah mengundang mereka untuk bersaing di wilayah kita. Pendek kata, opportunity ruang digital masih belum dapat kita manfaatkan secara optimal. Bakar Uang
Pada titik titik tertentu, pebisnis harus me narik atau mengulur. Saat melakukan spend- ing di tahap awal, tentunya ia telah punya bayangan untuk mengambil opportunity di masa depan. Dengan kata lain, “bakarbakar uang” beyond dari sekadar promosi.
GSS: Memang ia tidak dalam satu pasal bersangkutan yang pas dengan digital. Saya mengilustrasikan itu karena penggunaan teknologi komputer biasanya dikaitkan de ngan produktivitas dan dalam konteks per bankan hal ini sudah terjadi. Jauh sebelum era digital, sudah ada model pembayaran langsung atau lewat ATM dan mobile bank- ing. Namun, dalam persaingan, hal itu bisa menjadi ruang substitusi di pasar. Biaya tran saksi perbankan di Indonesia memang cukup tinggi. Biaya transaksi keuangan antarbank sebesar Rp4.000–6.500 berapa pun volu menya (dulu RTGS). Kalau itu bisa disubsti tusi barangkali bisa membuat area persaingan yang baru lagi. Menilai digital saat ini agak sulit. Tidak bisa sekarang, karena yang di lakukan digital hari ini berupa “bakar uang.” Kita belum melihat kestabilannya. Dahulu isi ulang Ovo atau Gopay, misalnya, gratis, seka rang harus bayar biaya Rp1.500. Bandingkan kalau transaksi dengan perbankan lain atau isi e-toll. Namun, minimal dengan kehadiran “lembagalembaga keuangan” seperti OVO, GoPay dan lainlain itu, bisa menekan dalam konteks transaksi pembayaran, bukan per bankan sebagai lending money. Karena perbankan menjalankan fungsi bisnis transaksi pembayaran. Dalam industri itu, hal tersebut memberikan alternatif. Bahkan, mungkin lebih luas lagi itu bisa dianggap sebagai pa sar bersangkutan. Kehadiran “lembagalembaga keuangan” itu memberikan dan membuka ruang tertentu di tengahtengah biaya transaksi keuangan yang masih tinggi. Bila kompetisi dibuka, kita berharap akan lebih kompetitif sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen menjadi lebih murah. Dalam hal itu, biaya transaksi diharapkan turun. Bila mereka tetap seperti itu, maka ini bisa menjadi an caman. Lebih baik kita pakai digital money saja. Itu rasionalitas konsumen yang punya banyak pilihan. Pada dasarnya, unit industri transaksi pembayaran di perbankan dikuasai oleh segelintir bank. Tidak semua perbankan menguasai pasar itu. Untuk transaksi pem bayaran di jalan tol, misalnya, hanya ada BCA, BRI, dan Bank Mandiri. Industri tran saksi pembayaran tidak sebangun dengan in dustri perbankan sebagai fungsi intermediasi. Bank BNI besar, tetapi untuk fungsi transaksi pembayaran bank ini jauh lebih kecil. Kalau perbankan tidak kompetitif dengan harga masih tinggi, Ovo, GoPay, ShopeePay, dan lainlain akan menjadi nomor satu. Pendek kata, digital hari ini masih “bakar uang.” Apakah ini akan menuju ke titik kesetimbang an, karena ujian persaingannya kelak ketika mereka sudah berada pada posisi tidak “ba kar uang.”Apakah mereka bisa eksis? Per bankan hari ini mungkin tengah menunggu, “kapan elo habis bakarbakar. Gua nggak mau ikutikutan elo bakarbakaran.” Kalau bicara infrastruktur dan kekuatan modal, per bankan memiliki kekuatan besar. Saya ingin lihat persaingan ketika mereka sudah tidak bakar uang. Konsumen hari ini memang di manjakan, tetapi konsumen memilih bukan karena faktor bakar uang. Pendek kata, ujian nya adalah ketika sudah tidak bakar uang. Malaikat turun ke bumi pun ada batas wak tunya. P: Biasanya hanya ada dua kartu, yakni Flazz dan eMoney untuk membayar parkir di perkantoran atau mal. Apakah itu karena persaingan atau interest? GSS: Yang pasti KPPU menjaga supaya lebih banyak muncul persaingan. Kami su dah beberapa kali melakukan advokasi kepa da pihak terkait supaya lebih variabel, tidak hanya Flazz dan eMoney saja. Saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan kenapa mereka bisa menjadi dua terbesar, tetapi pada dasarnya ada pengaruh faktor daya saing ma singmasing serta konsentrasi bank bersang kutan apakah pembayaran digital menjadi prioritas dalam unit bisnis. Perbankan de ngan fungsi intermediasinya cukup banyak mendapat untung. Apakah ia punya dasar untuk mengalihkan atau mengejar profit pada transaksi pembayaran itu bergantung pada fokus pelaku usaha serta respons pasar. KPPU sudah beberapa kali menghadapi ka sus seperti itu dan biasanya mereka mengi kuti advokasi KPPU, sehingga pemainnya tidak hanya single atau dua saja. P: Kartu itu semacam pengganti uang. Kalau harus bayar dengan kartu, meski pu nya uang tunai, kita tetap tidak bisa bayar parkir dengan uang tunai. GSS: Dahulu di jalan tol itu hanya boleh kartu eToll dari Bank Mandiri. Sekarang, ti dak hanya kartu eToll, tetapi juga sudah bisa kartu Flazz milik BCA. Masyarakat memang butuh alternatif. Tidak bisa dimonopoli. Meningkatkan Efisiensi Birokrasi
GSS: Bicara kemandirian dalam arti le bih mampu menyuplai kebutuhan perminta an, seperti pernah dikatakan Bung Karno “berdikari di bidang ekonomi,” sebenarnya arti kemandirian itu ditantang dalam era dig ital hari ini. Namun, apakah tepat bila kita masih mempertentangkan kemandirian de ngan ketidakmandirian, karena digital hari ini justru membuka ruang untuk merambah pasar global. Apakah kita mempersempit ke mandirian tersebut dalam unit sektorsektor atau dalam sebuah kerangka berpikir yang lebih holistik? Misalnya, kemandirian itu adalah transaksi neraca berjalan kita positif. Atau kita memandang kemandirian dimaksud sebagai “kita bisa makan beras sendiri, bikin gula sendiri, bisa buat kerajinan sendiri, dan lainlain”. Bila itu yang terjadi, maka ini jus tru kontraproduktif dengan perkembangan ekonomi digital. Dengan ekonomi digital, kita bisa membuka pasar global dan dapat memproduksi air mineral dari 100 menjadi 1.000 botol, misalnya. Kita mengejar oppor- tunity untuk meningkatkan ekspor, sehingga akhirnya membuat transaksi neraca berjalan kita positif. Kalau bicara pasar global, kita harus siap untuk mengekspansi pasar luar dan juga harus siap pasar kita diekspansi oleh produk luar. Saya lebih menempatkan pemahaman agar kita siap untuk lebih in tens melakukan ekspor–melihat ini menjadi opportunity bukan sebagai strategi defensif. Itu ibarat permainan sepak bola gaya Italia, tetapi kita pakai gaya lebih ofensif. Kalau de fensif total, pada akhirnya produk dan pelaku usaha kita tidak ada dan sedikit yang bisa menikmati pasar global. P: Apakah ada ukuran khusus keberhasil an persaingan usaha sehingga mampu ber adaptasi dengan perkembangan teknologi digital? GSS: Salah satu indikasi persaingan adalah mengikis entry barrier. Dalam kon teks persaingan, ekonomi digital bisa men jadi jalan keluar untuk mengikis hal tersebut, selain memberi ruang kepada pemain untuk masuk ke pasar. Saya tadi mengilustrasikan sistem pembayaran sebelumnya hanya per bankan, sedangkan dewasa ini sudah ada Ovo, GoPay, ShopeePay, dan lainlain. Bi arkan pasar yang lebih punya otoritas me nentukan siapa yang eksis dan siapa yang akan mendapatkan apresiasi pasar. Apakah ada ukuran khusus? Salah satu di antaranya adalah makin terkikisnya entry barrier. Sama halnya dengan kehadiran marketplace hari ini yang bisa mengikis entry barrier. Dahulu, kalau para retail memasok barang ke pasar modern, dia harus bayar listing fee dan daftar. Space mereka sangat terbatas. Itu merupakan tantangan bagi para pelaku usaha UMKM untuk masuk ke pasar modern, kare na tidak memenuhi skala ekonomi. Hari ini, marketplace dengan digital membuka ruang bagi pelaku usaha kecil bahkan mikro un tuk bisa punya kesempatan menjual barang di marketplace. Keberhasilan lain adalah ti dak adanya pelanggaran, karena, kembali ke awal, semua persaingan tetap akan gusar den gan aksi “bakar uang.” Yang justru dikhawat irkan adalah adanya pelanggaran persaingan untuk bisa rebound dari bakarbakar uang. Karena meraih keuntungan dengan cara nor mal dianggap linier, sedangkan dia bakar bakar uang dengan hitungan eksponensial kapan balik modal. Untuk bisa mengimbangi hal tersebut maka dilakukan caracara “me langgar” persaingan yang sehat. Kita meng anggap ukurannya adalah tidak ada pelang garan, sehingga pelaku usaha makin banyak yang bisa masuk dan akan diuji di pasar siapa yang paling kompetitif.
GSS: Beberapa waktu lalu, Kementerian Perdagangan melakukan repricing di mar- ketplace. Saya tanya, kalau memang ada, buktinya kasih KPPU saja. Bagi otoritas pe ngawas persaingan, kalau ada bisa membantu kita cari bukti pelanggaran silakan dilapor kan. Kita tahu ada beberapa kegiatan yang memang terkoneksi dengan pemerintah. Ka lau kita lihat hari ini memang ada sejumlah protes, seperti apakah digital hari ini sudah mendapatkan level playing field yang sama dengan nondigital? Ada juga isu kemitraan, terutama di sektor ride hailing, transportasi kendaraan berbasis aplikasi digital. Begitu pula di perhotelan dan marketplace. Di satu sisi, pemain digital yang unicorn atau deca- corn dalam transaksinya melakukan hubung an kemitraan. Konsekuensinya, hitungan penjualan dilimpahkan dalam satuan peng hasilan atau penjualan dari mitranya yang notabene usaha kecil atau usaha menengah. Dalam perpajakan kita ada perbedaan pengenaan pajak antara yang besar, mene ngah, dan yang kecil. Sebagai contoh, Go jek dan Grab Car. Mereka bermitra dengan para driver yang usaha kecil. Penghasilan nya berupa fee sebesar 10 atau 15 persen. Sembilan puluh persen penjualannya dihi tung sebagai usaha kecil, maka pajak yang dibayarkan konsumen kepada pelaku usaha itu satuan hitung pajaknya 90 persen usaha kecil. Bandingkan dengan taksi dari perusa haan besar. Satuan pendapatannya dihitung pendapatan perusahaan besar, sehingga per pajakannya juga diperlakukan sebagai usaha besar. Yang penting jangan sampai digital hari ini bisa berkembang, namun tidak dalam proses persaingan yang cukup fair, salah satu nya dalam instrumen pajak di level playing fieldnya tidak sama. P: Bagaimana dengan banyaknya kasus antara industri yang mengadopsi teknologi digital dan yang tidak dalam persaingan usaha? Apakah pemerintah perlu ikut campur tangan, padahal secara teori sebaiknya tidak. Kalau pakai teori persaingan, pemerintah se harusnya tidak melakukan intervensi.
Persaingan Usaha dan Kemitraan
GS:Tidak merugikan konsumen, karena kita boleh juga bayar dengan uang tunai. Be berapa mal memberikan alternatif seperti itu, namun pada dasarnya mengubah perilaku menjadi tidak dipaksa hanya pada satu kartu pembayaran digital tertentu. |