Bagaimana ketentuan jika makmum laki-laki berdiri sejajar dengan imam

Laduni.ID, Jakarta – Saya sering ditanya masalah ini, yaitu ketika shalat satu imam dan satu makmum. Dalil Hadis menunjukkan berdiri sejajar antara imam dan makmum. Tapi pendapat ulama Mazhab justru seperti bertentangan, sebab makmum mundur sedikit dari posisi berdiri imam. Apalagi jika ditambah "Anda ikut Nabi apa ikut imam Mazhab?"

Tadi pagi kuliah Subuh online yang mengkaji Sahih Bukhari bersama jamaah Masjid Manarul Ilmi ITS, kebetulan sampai pada hadis tersebut. Imam Bukhari menulis judul Bab:

ﺑﺎﺏ: ﻳﻘﻮﻡ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻦ اﻹﻣﺎﻡ، ﺑﺤﺬاﺋﻪ ﺳﻮاء ﺇﺫا ﻛﺎﻧﺎ اﺛﻨﻴﻦ

“Makmum berdiri di sebelah kanan imam, di sebelahnya sejajar bila terdiri dari 2 orang (imam dan makmum).”

Hadis yang disampaikan oleh Imam Bukhari adalah:

ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻗﺎﻝ: ﺑﺖ ﻓﻲ ﺑﻴﺖ ﺧﺎﻟﺘﻲ ﻣﻴﻤﻮﻧﺔ " ﻓﺼﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﻌﺸﺎء، ﺛﻢ ﺟﺎء، ﻓﺼﻠﻰ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ، ﺛﻢ ﻧﺎﻡ، ﺛﻢ ﻗﺎﻡ، ﻓﺠﺌﺖ، ﻓﻘﻤﺖ ﻋﻦ ﻳﺴﺎﺭﻩ ﻓﺠﻌﻠﻨﻲ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ

Ibnu Abbas berkata, “Saya menginap di rumah bibi saya, Maimunah (istri Nabi). Nabi shalat Isya, lalu datang dan shalat 4 rakaat. Kemudian Nabi tidur, bangun malam dan salat. Saya datang lalu berdiri di sebelah kiri Nabi, dan beliau mengarahkan saya ke sebelah kanan Nabi.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar sependapat dengan Imam Bukhari, sehingga dalam syarahnya banyak mengutip Atsar yang menguatkan posisi makmum berdiri sejajar dengan imam:

وَعَنْ اِبْنِ جُرَيْجٍ قَالَ : قُلْتُ لِعَطَاءٍ : الرَّجُلُ يُصَلِّي مَعَ الرَّجُلِ أَيْنَ يَكُونُ مِنْهُ ؟ قَالَ : إِلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ . قُلْتُ : أَيُحَاذِي بِهِ حَتَّى يَصُفَّ مَعَهُ لَا يَفُوتُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ ؟ قَالَ : نَعَمْ . قُلْتُ : أَتُحِبُّ أَنْ يُسَاوِيَهُ حَتَّى لَا تَكُونَ بَيْنَهُمَا فُرْجَةٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ .

Ibnu Juraij bertanya kepada Atha', “Dimana posisi makmum laki-laki yang shalat bersama imam laki-laki?” Atha' menjawab, “Sebelah kanannya.” Saya (Ibnu Juraij), “Apakah berdiri lurus sehingga tidak ada keterpautan antara imam dan makmum?” Atha', “Ya.” Saya bertanya, “Apakah lurus hingga tidak ada celah antara imam dan makmum?” Atha', “Ya” (Fathul Bari, 3/38).

Bagaimana pendapat para ulama Mazhab? Berikut perinciannya:

Mazhab Maliki

( وَالرَّجُلُ الْوَاحِدُ ) وَمِثْلُهُ الصَّبِيُّ الَّذِي يَعْقِلُ الْقُرْبَةَ إذَا صَلَّى وَاحِدًا مِنْهُمَا ( مَعَ الْإِمَامِ ) يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ ( يَقُومَ ) أَيْ يُصَلِّيَ ( عَنْ ) أَيْ جِهَةَ ( يَمِينِهِ ) وَيُنْدَبُ لَهُ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْهُ قَلِيلًا بِحَيْثُ يَتَمَيَّزُ الْإِمَامُ مِنْ الْمَأْمُومِ وَتُكْرَهُ مُحَاذَاتُهُ

Seorang makmum laki-laki atau anak kecil jika shalat bersama imam maka disunahkan berdiri di sebelah kanan imam. Dianjurkan bagi makmum mundur sedikit, sekira dapat dibedakan mana imam dan makmum. Dan makruh jika makmum sejajar dengan imam (Fawakih Ad-Dawani 2/407).

Mazhab Syafi'i

السنة أن يقف المأموم الواحد عن يمين الامام رجلا كان أو صبيا قال اصحابنا ويستحب ان يتأخر عن مساواة الامام قليلا

Sunah bagi makmum seorang diri berada di sebelah kanan imam, baik dewasa atau anak kecil. Ulama Syafi'iyah menganjurkan mundur sedikit dari imam (Al-Majmu', 4/292).

Mazhab Hambali

( فَلَا يَضُرُّ ) فِي صَلَاةِ مَأْمُومٍ ( عَدَمُ مُسَاوَاةٍ ) ، أَيْ : مُسَامَتَتِهِ لِإِمَامِهِ ( بِتَأَخُّرِهِ ) عَنْهُ قَلِيلًا ، بِحَيْثُ يَظْهَرُ لِلرَّائِي أَنَّهُ مَأْمُومٌ

Tidak masalah bila makmum tidak sejajar dengan imam dengan mundur sedikit, sekira menjadi jelas bagi orang yang melihat bahwa dia adalah makmum (Mathalib Uli Nuha 3/460).

Pendapat Ulama Mazhab Tidak Ada Dalilnya?

  • Baca juga: 0338. Hukum Menyentuh Imam oleh Orang yang Akan Bermakmum

Sebentar dulu, jangan memvonis pendapat ulama Mazhab tidak memiliki dalil Hadis. Syaikhul Islam, Zakaria Al-Anshari memberi alasan kenapa makmum berdiri sedikit mundur dari posisi imam:

( فَرْعٌ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقِفَ الذَّكَرُ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ وَيَتَأَخَّرَ قَلِيلًا ) اسْتِعْمَالًا لِلْأَدَبِ وَإِظْهَارًا لِرُتْبَةِ الْإِمَامِ عَلَى رُتْبَةِ الْمَأْمُومِ

“Disunahkan bagi makmum laki-laki sendirian berdiri di sebelah kanan imam dan mundur sedikit, untuk menjaga etika dan menampakkan posisi imam lebih di depan dari pada makmum.” (Asna Al-Mathalib 3/293)

Dalilnya sama seperti Hadis di atas, namun dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahan redaksi:

ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﺃﺗﻴﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ اﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺼﻠﻴﺖ ﺧﻠﻔﻪ، ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻴﺪﻱ، ﻓﺠﺮﻧﻲ، ﻓﺠﻌﻠﻨﻲ ﺣﺬاءﻩ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻗﺒﻞ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺻﻼﺗﻪ، ﺧﻨﺴﺖ، ﻓﺼﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻠﻤﺎ اﻧﺼﺮﻑ ﻗﺎﻝ ﻟﻲ: " ﻣﺎ ﺷﺄﻧﻲ ﺃﺟﻌﻠﻚ ﺣﺬاﺋﻲ ﻓﺘﺨﻨﺲ؟ "، ﻓﻘﻠﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﺃﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺣﺬاءﻙ،

Ibnu Abbas berkata: “Saya mendatangi Rasulullah SAW di akhir malam. Saya shalat di belakang Nabi. Kemudian Nabi memegang tangan saya dan menarik saya sampai sejajar. Ketika Nabi masuk ke dalam shalat, saya mundur. Selesai salat Nabi bertanya, ‘Kenapa kamu mundur?’ Ibnu Abbas, ‘Apakah layak bagi seseorang shalat berdiri sejajar dengan Engkau?’” (HR Ahmad)

Kesimpulannya, kedua bentuk makmum berdiri, baik sejajar lurus dan rapat dengan imam atau yang mundur sedikit, sama-sama memiliki dalil dan sama-sama sah, serta tidak ada ulama yang mengatakan salatnya batal.

KAMI sering mendapat pertanyaan dari kawan-kawan, bagaimana sebenarnya posisi makmum jika satu orang, apakah di samping kanan imam persis (sejajar), atau agar mundur sedikit ke belakang?

Bagaimana ketentuan jika makmum laki-laki berdiri sejajar dengan imam

Kami jawab: Jika makmum hanya satu orang, maka disunahkan untuk berdiri di samping kanan imam. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِيْ مَيْمُوْنَةَ فَقَامَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ

“Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah. Maka Rasulullah ﷺ salat (malam), (awalnya) aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menjadikanku berdiri di samping kanan beliau.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

BACA JUGA: Bintangi Film Makmum, Ali Syakieb dapat Pemahaman Baru soal Shalat

Kalimat “di samping kanan” di dalam hadis di atas mengandung dua kemungkinan makna : (1)di samping kanan persis (sejajar), dan (2)di samping kanan agak ke belakang/mundur sedikit. Secara hukum, keduanya bisa masuk ke dalam hadis di atas. Namun, jika makmum agak mundur sedikit sebagai tanda yang di sampingnya adalah imam, maka ini merupakan perkara yang “mustahab” (dianjurkan) dalam madzhab Syafi’i. Hal ini diqiyaskan kepada aturan salat berjama’ah secara umum, dimana posisi imam lebih ke depan dari makmumnya.

Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

السُّنَّةُ أَنْ يَقِفَ الْمَأْمُومُ الْوَاحِدُ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ رَجُلًا كَانَ أَوْ صَبِيًّا قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنْ مُسَاوَاةِ الْإِمَامِ قَلِيلًا

“Disunahkan satu orang makmum untuk berdiri di samping kanan imam, baik seorang laki-laki dewasa ataupun anak-anak. Para sahabat kami menyatakan: DIANJURKAN UNTUK KE BELAKANG/MUNDUR SEDIKIT dari posisi sejajar dengan imam.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/184 cetakan Maktabah Al-Irsyad – KSA].

Oleh karena itu, apa yang biasa dilakukan oleh masyarakat muslimin dengan sedikit mundur dari posisi imam, merupakan amalan yang sudah tepat sesuai keterangan imam An-Nawawi -rahimahullah – di atas. Dengan hal itu, maka akan terwujud dua hal: Kesunahan berdiri di samping kanan imam, dan anjuran mundur sedikit dari posisi imam. Dan menurut hemat kami, ini lebih afdhal (utama). Namun jika sejajar (persis) dengan imam, juga merupakan perkara yang tidak salah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

BACA JUGA: Hukum Makmum Barengi Gerakan Imam ketika Shalat

Faidah:

Perbedaan sunah dengan mustahab. Sunah, sebuah perkara yang ditunjukkan oleh dalil secara khusus atau spesifik. Sedangkan mustahab (anjuran), sebuah perkara yang dihasilkan oleh ijtihad ulama ahli ijtihad berdasarkan berbagai indikasi-indikasi yang ada. []

Facebook: Abdullah Al Jirani

tirto.id - MUI menerbitkan fatwa mengenai ketentuan beribadah selama pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Salah satu isinya adalah imbauan boleh tidak salat lima waktu di masjid, bahkan salat Jumat juga, dengan menggantinya menjadi salat Zuhur di rumah. Hal ini dikhawatirkan bahwa kerumunan di tempat ibadah dapat menyebarkan virus corona SARS-CoV-2.

Wabah COVID-19 ini dianalogikan dengan 'wabah taun' yang disabdakan Nabi Muhammad SAW:

"Wabah taun adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah SWT yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah taun, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika taun telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya," (H.R. Muslim).

Di riwayat lain, Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (H.R. Bukhari).

Menurut imbauan MUI, umat Islam diharapkan tidak membuat kerumunan selama beribadah, termasuk salat berjamaah di masjid, jika keadaannya membahayakan kesehatan masyarakat luas.

Salat wajib lima waktu berjamaah di masjid dapat diganti dengan salat di rumah bersama keluarga. Dalam keadaan ini, jumlah jamaah salat biasanya tidak sebanyak ketika berada di masjid.

Baca juga: Isi Lengkap Fatwa MUI tentang Sholat Jumat Saat Pandemi COVID-19

Terdapat beberapa posisi salat berjamaah yang lazim dipraktikkan di rumah, yaitu:

1. Imam dengan jumlah makmum dua orang atau lebih

Jika makmum dalam salat berjamaah jumlahnya lebih dari dua orang, maka makmum membentuk barisan.

Posisi ini paling mudah dilakukan karena persis seperti kondisi salat berjamaah di masjid sebelum wabah COVID-19.

2. Imam dengan satu orang makmum laki-laki

Jika makmum sendirian saja bersama imam, maka posisinya berdiri sejajar dengan imam. Imam berada di sebelah kanan dan makmum di sebelah kiri.

Dalilnya bersandar pada riwayat Abdullah bin ‘Abbas RA, ia berkata:

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits (istri Rasulullah SAW). Aku melihat Rasulullah SAW salat Isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan salat empat rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian, beliau bangun malam. Aku pun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, lalu tidur kembali," (H.R. Bukhari).

3. Makmum berjenis kelamin perempuan

Jika seseorang mengimami makmum berjenis kelamin perempuan, baik itu jumlahnya satu atau lebih dari seorang, maka posisi makmum di belakang imam.

Rujukannya adalah riwayat dari Anas bin Malik RA, ia berkata: “Aku salat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi SAW, dan ibuku, Ummu Sulaim di belakang kami," (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Perempuan mengimami makmum perempuan

Jika tak ada laki-laki di waktu salat, maka perempuan boleh menjadi imam. Kalau jumlahnya dua orang, maka posisinya sama dengan posisi laki-laki berdua di atas.

Namun, jika jumlah perempuannya lebih dari dua orang, maka imam perempuan posisinya berada di tengah jamaah.

Hal ini dirujuk dari Rabthah al-Hanafiyah, ia berkata : "Aisyah RA pernah mengimami para wanita dan ia berdiri di antara mereka dalam salat wajib," (H.R. Abdurrazaq dan Baihaqi).

5. Salat di ruangan sempit

Jika kondisi ruangan salat berada di tempat sempit sehingga posisi imam tidak dapat berada di tempat ideal, maka posisinya sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan.

Rujukannya adalah riwayat dari Al-Aswad bin Yazid, ia berkata:

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: 'Apakah kalian sudah salat?' Kami berkata: 'belum.' Beliau mengatakan: 'Kalau begitu bangunlah dan salat!'

Maka kami pergi untuk salat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: 'Demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam" (HR. Muslim dan Nasa'i).

Baca juga: Niat Sholat Idul Adha & Panduan Salat Hari Raya Kurban Saat Corona

Secara umum, sebagaimana dilansir NU Online, posisi makmum laki-laki yang sudah balig berada di saf atau barisan paling depan, lalu ketika saf awal tidak cukup, dilanjutkan pada saf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu saf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu saf selanjutnya ditempati oleh para makmum perempuan.

Sebaiknya anak kecil tidak menempati saf-saf depan selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya, karena posisi ideal bagi anak kecil adalah di belakang laki-laki dewasa.

Akan tetapi, ketika saf awal tidak penuh, anak kecil barulah boleh menempati saf-saf depan yang sejajar dengan laki-laki balig. Tujuannya untuk menyempurnakan saf. Hal ini dikecualikan jika anak kecil itu memang datang lebih awal dibandingkan dengan orang-orang yang telah balig, maka ia boleh menempati saf depan.

Baca juga: Amalan & Keutamaan Bulan Dzulhijjah: Puasa, Kurban, Salat Iduladha

Baca juga artikel terkait SALAT atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates