Apakah yang dimaksud dengan pajak penghasilan Menurut undang-undang dan siapakah yang termasuk dalam subjek pajak penghasilan jelaskan?

PAJAK Penghasilan (PPh) merupakan jenis pajak subjektif sehingga subjek pajak mempunyai arti yang sangat penting dalam penerapan sistem PPh. Alasannya, subjek pajak merupakan pihak yang dituju untuk dikenakan pajak. Selain itu, penentuan subjek pajak juga menjadi salah satu tolak ukur dalam menentukan apakah suatu pihak wajib atau tidak memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya.

Pentingnya penentuan subjek pajak juga dikemukakan oleh Peter Harris. Menurut Harris, dalam tulisannya yang berjudul IFRS and the Structural Features of an Income Tax Law, undang-undang PPh harus mengidentifikasi pihak yang menjadi subjek pajak untuk dua tujuan utama.

Pertama, untuk mengalokasikan kewajiban PPh, yaitu siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak. Kedua, untuk mengidentifikasi siapa saja pihak-pihak yang bisa memiliki penghasilan sehingga diketahui batasan dari suatu entitas yang wajib membayar pajak (Harris, 2015).

Secara konsep, subjek pajak adalah person (orang pribadi dan badan) yang dituju oleh undang-undang PPh untuk dikenakan pajak (Mansury, 1992). Untuk menentukan siapa atau pihak yang menjadi subjek pajak, UU PPh harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketentuannya jelas dan komprehensif mencakup pihak-pihak yang memang harus menjadi subjek pajak. Rancangan ini juga mencakup pengkategorian dari setiap subjek pajak.

Kalau begitu, siapa saja yang seharusnya menjadi subjek pajak untuk tujuan penerapan PPh?

Pihak-pihak yang Menjadi Subjek Pajak

Berdasarkan Avi-Yonah, Sartori, dan Marian (2011), subjek pajak disebut juga dengan istilah unit pembayar pajak (tax paying unit atau tax unit). Unit pembayar pajak terdiri dari orang pribadi, pasangan yang menikah, keluarga, entitas bisnis, dan sebagainya, yang memperoleh penghasilan kena pajak. Unit pembayar pajak berkewajiban untuk membayar pajak dan menyetorkan pajak yang terutang kepada otoritas pajak.

UU PPh umumnya mengkategorikan subjek pajak berdasarkan jenis person atau entitas dominan yang diatur dalam ketentuan domestik, yaitu orang pribadi, perusahaan, dan kemitraan (partnership). Bahkan, di beberapa negara yang menganut common law, subjek pajak juga mencakup trust.

Selain itu, terdapat pula beberapa negara yang dalam UU PPh-nya secara khusus menyebut jenis entitas lainnya, seperti klub, perkumpulan, joint ventures, lembaga, dan sebagainya sebagai subjek pajak. Namun, jika mengikuti rumusan OECD dan United Nations (UN), subjek pajak hanya dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu orang pribadi dan badan (Darussalam, Septriadi, dan Hutagaol, 2007). Rumusan OECD inilah yang diadopsi oleh banyak negara dalam menggolongkan subjek pajaknya.

Dalam OECD Tax Policy (2006), subjek pajak orang pribadi didefinisikan dalam dua model. Pertama, setiap orang pribadi dianggap sebagai subjek pajak tersendiri dan terpisah dengan anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain, yang menjadi unit pembayar pajak adalah orang pribadi sehingga setiap orang pribadi wajib memenuhi kewajiban PPh-nya masing-masing. Contoh negara yang menerapkan subjek pajak dengan model orang pribadi adalah Australia, Kanada, Italia, Jepang, Swedia, United Kingdom (UK), China, Brazil, dan India.

Kedua, suatu keluarga yang setiap anggota keluarganya dianggap sebagai bagian dari subjek pajak keluarga sehingga unit pembayar pajak dalam model kedua ini adalah keluarga. Berdasarkan model ini, setiap orang pribadi dianggap sebagai bagian dari keluarganya dan keluargalah yang wajib melaksanakan kewajiban PPh-nya. Belgia, Prancis, dan Luksemburg adalah beberapa negara yang menerapkan subjek pajak dengan model ini (Avi-Yonah, Sartori, dan Omri Marian, 2011).

Terlepas dari kedua model di atas, faktanya terdapat pula negara yang mengadopsi model hybrid dalam penentuan unit pembayar pajaknya. Dalam model hybrid ini, elemen dari model orang pribadi dan model keluarga diterapkan bersamaan. Beberapa negara yang mengadopsi model hybrid adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Israel (Thuronyi, 2003).

Sementara itu, istilah badan memiliki pengertian yang berbeda-beda di tiap negara. Misalnya, di Kanada. The Canadian Income Tax (CITA) sebagai UU PPh Kanada tidak mendefinisikan dengan jelas apa itu badan. Section 248(1) CITA hanya menyatakan bahwa badan juga mencakup perusahaan yang berbadan hukum.

Lain halnya dengan Kanada. Italia merupakan negara yang sudah menetapkan dengan jelas siapa yang menjadi subjek pajak badannya. Berdasarkan ketentuan PPh di negara tersebut, subjek pajak badan terdiri dari perusahaan joint-stock, kemitraan atau persekutuan terbatas dengan modal berupa saham, perseroan terbatas, perusahaan kerja sama, dan entitas publik lainnya selain perusahaan.

Salah satu isu yang sering muncul ketika membahas subjek pajak badan adalah mengenai status dari kemitraan (partneship). Tidak dapat dipungkiri, perbedaan perlakuan pajak di tiap negara dalam memperlakukan entitas ini menjadi penyebab isu ini kerap diperbincangkan.

Pada dasarnya, terdapat dua jenis perlakuan kemitraan untuk tujuan pajak. Pertama, Kemitraan berfungsi sebagai “transparent entity” sehingga tidak diperlakukan sebagai subjek pajak. Dalam kasus ini, yang diperlakukan sebagai subjek pajak adalah mitranya. Perlakuan ini diterapkan di beberapa negara, seperti di Kanada dan Austria. Kedua, kemitraan berfungsi sebagai “non-transparent entity” sehingga diperlakukan sebagai subjek pajak seperti bentuk perusahaan pada umumnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan perlakuan ini (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Sama halnya dengan kemitraan. Status subjek pajak dari joint-venture juga sering menjadi perdebatan. Secara umum, joint venture sebagai bentuk usaha kerja sama antara dua entitas atau lebih (collective investment vehicle) dikecualikan sebagai subjek pajak sehingga penghasilan yang diterima oleh bentuk usaha ini hanya dikenai pajak di level masing-masing entitas yang melakukan kerja sama tersebut.

Dikecualikannya joint venture sebagai subjek pajak badan tidak terlepas dari adanya alasan untuk menghindari perlakuan pajak yang tidak menguntungkan bagi entitas yang melakukan kerja sama. Misalnya, dikenai pajak berganda (Vermaulen, 2015).

Subjek Pajak di Indonesia

Ketentuan mengenai subjek pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh. Berdasarkan rumusan pasal ini, subjek pajak di Indonesia terdiri dari empat.

Pertama, orang pribadi. Secara prinsip, subjek pajak orang pribadi di Indonesia menganut model keluarga. Ini sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (3) PP 74/2011. Sementara itu, orang pribadi yang menjadi subjek pajak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ UU PPh, yaitu mencakup orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Kedua, warisan yang belum terbagi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 2 UU PPh. Penetapan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Alasannya, atas warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan belum dibagikan kepada ahli waris dapat saja memberikan penghasilan meskipun si pewaris sendiri telah meninggal dunia.

Ketiga, badan. Sebagai subjek pajak, badan didefinisikan sebagai sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Badan dapat berupa perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lain sebagainya.

Keempat, Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Berdasarkan UU PPh, BUT diperlakukan sebagai subjek pajak badan luar negeri yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri.

BUT wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, menyampaikan SPT sebagai sarana untuk pelaporan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

Apakah kamu mengetahui apa itu pajak penghasilan?

Pajak penghasilan biasa disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 atau PPh 25 adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983. Kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun 1991, UU Nomor 10 & Tahun 1994, UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 & Tahun 2008.

Di Indonesia, awalnya pajak penghasilan diterapkan pada perusahaan perkebunan yang banyak didirikan di Indonesia. Pajak tersebut dinamakan dengan Pajak Perseroan (PPs). Pajak Perseroan adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan dan diberlakukan pada tahun 1925. Setelah pajak dikenakan hanya untuk perusahaan-perusahaan yang didirikan di Indonesia, berangsur-angsur akhirnya diterapkan pula pajak yang dikenakan untuk perorangan atau karyawan yang bekerja di suatu perusahaan.

Pada tahun 1932 misalnya, diberlakukan yang disebut dengan Ordonansi Pajak Pendapatan/Pajak Penghasilan. Ordonansi Pajak Pendapatan ini dikenakan untuk orang Indonesia maupun orang yang bukan penduduk Indonesia tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Setelah itu pada tahun 1935 diberlakukan Ordonansi Pajak Upah yang mengharuskan majikan memotong gaji atau upah pegawai untuk membayar pajak atas gaji atau upah yang diterima.

Nah untuk saat ini bagaimanakah Pajak Penghasilan diterapkan? Siapa saja yang menjadi subjek dan bukan subjek pajak? Lalu apakah objek dari Pajak Penghasilan? Berikut penjelasannya:

Baca Juga: Cara Mengisi dan Lapor SPT Pajak Online atau E-Filing 1770 S

Bingung cari Kartu Kredit Terbaik? Cermati punya solusinya!

Bandingkan Produk Kartu Kredit Terbaik!  

Subjek Pajak

Adapun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menjadi subjek pajak adalah sebagai berikut:

1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.

3. Subjek pajak badan, yakni badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

  • Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
  • Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah; dan
  • Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  • Bentuk usaha tetap (BUT), yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Bukan Subjek Pajak

Kemudian setelah mengetahui siapa saja yang menjadi subjek Pajak Penghasilan, maka kita juga perlu tahu siapa sajakah yang termasuk kriteria bukan subjek pajak. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, berikut merupakan subjek pajak:

1. Badan Perwakilan Negara Asing

2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia (WNI) dan negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik

3. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tesebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.

4. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Objek Pajak

Lalu apa sih sebenarnya objek pajak dari PPh 25? Objek pajak PPh 25 adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan bagi wajib pajak yang bersangkutan. Objek pajak bisa darimana saja asalnya, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia.

Objek pajak PPh 25 dihitung dalam satu tahun sehingga jika dalam satu tahun tersebut wajib pajak mengalami kerugian, maka pajaknya akan dikompensasikan dengan penghasilan lainnya, kecuali kerugiannya terjadi di luar negeri.

Namun jika ada penghasilan yang dikecualikan atau mempunyai tarif pajak tersendiri, maka jika mengalami kerugian tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang memiliki tarif pajak umum.

Kemudian setelah mengetahui subjek pajak, bukan subjek pajak dan objek pajak PPh 25, maka bagaimanakah menghitung PPh 25 yang harus ditanggung perorangan?

Baca Juga: PPh Pasal 21: Apa itu & Cara Menghitungnya

Langkah-langkah Menghitung PPh 25 sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2008: 

1. Hitung Penghasilan Bruto setiap Bulan

Caranya begini, jumlahkan saja penghasilan secara keseluruhan pada bulan berjalan. Maksudnya tidak hanya gaji pokok saja yang masuk dalam perhitungan, namun juga tunjangan lainnya bila ada, seperti tunjangan transport, tunjangan perumahan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja, premi Jaminan Kematian, premi asuransi kesehatan, dan tunjangan lain yang sifatnya teratur.

Selain itu, uang tambahan di luar gaji pokok juga ikut dijumlahkan, seperti uang lembur, uang perjalanan dinas, bonus, uang cuti, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya. Nah jumlahkan saja semuanya, hasilnya nanti merupakan penghasilan bruto pada bulan berjalan atau satu bulan penghasilan.

2. Temukan Penghasilan Bersih atau Neto selama Satu Bulan

Untuk menemukan penghasilan bersih atau neto selama satu bulan mudah saja. Kamu hanya perlu mengurangi penghasilan bruto pada bulan berjalan dengan pengurangnya. Nah yang dimaksud pengurang di sini, misalnya adalah biaya jabatan (biasanya 5% dari gaji pokok), iuran pensiun (biasanya 2% dari gaji pokok), iuran Jaminan Hari Tua (biasanya 2% dari gaji pokok).

3. Hitung Penghasilan Bersih atau Neto selama Satu Tahun

Caranya mudah, kamu juga pasti sudah bisa melakukannya, tinggal mengalikan 12 kali penghasilan bersih satu bulan.

4. Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Kamu bisa menghitungnya dengan cara mengurangi PKP, yaitu penghasilan bersih selama satu tahun yang sudah dihitung tadi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP ini berbeda-beda, tergantung dari status wajib pajak tersebut, antara yang belum kawin, kawin dan belum punya anak (K-0), kawin dan punya anak 1 (K-1), kawin dan punya anak dua (K-2), dan kawin dan punya anak 3 (K-3) berbeda-beda.

5. Menghitung PPh 25 yang Harus Dibayarkan

Setelah mengetahui PKP selama satu tahun, tinggal mengalikannya dengan tarif PPh 25 yang berlaku. Namun jika ingin mengetahui berapa PPh 25 per bulannya, maka tinggal membagi total pajak setahun dengan 12. Dengan mengetahui PPh 25 per bulan, bisa menghitung penghasilan bersih dengan mengurangi penghasilan bersih pada bulan berjalan dengan PPh 25 pada bulan berjalan.

Jangan Lupa Bayar Pajak

Beberapa informasi di atas diharapkan dapat menambah wawasan tentang Pajak Penghasilan atau PPh 25. Dengan begitu kamu dapat mengetahui lebih jelas apa saja kewajiban dan hak sebagai wajib pajak, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya pergesekan pada gaji atau upah yang diterima. Terakhir, jangan lupa bayarlah pajak tepat waktu sebagai bentuk tanggung jawab sebagai Wajib Pajak.

Baca Juga: Cara Isi dan Lapor SPT Pajak Online atau E-Filing 1770 SS