Apakah ppn boleh jadi harga perolehan

Pergantian tahun baru 2022 nampaknya masih menyisahkan euforia bagi sebagian masyarakat Indonesia. Beberapa resolusi hidup, rencana dan keinginan satu tahun kedepan bahkan khusus disusun untuk untuk menyambut tahun yang baru yang lebih baik. Begitu pula dengan perpajakan, pergantian tahun kali ini merupakan salah satu titik penting dalam perpajakan Indonesia. Pasalnya, perubahan beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang HPP banyak mulai diberlakukan pada tahun 2022. Ketentuan tersebut diantaranya mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, Perubahan Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku mulai tahun pajak 2022, dan Perubahan Ketentuan Undang-Undang PPN yang berlaku per 1 April 2022.

Sehubungan dengan perubahan Undang-Undang PPN, topik yang paling disorot oleh masyarakat adalah perubahan Objek PPN dan kaitannya dengan perubahan isi Pasal 4A dan Pasal 16B. Namun, selain mengubah Objek PPN, Undang-Undang HPP juga mengatur mengenai ketentuan pengkreditan Pajak Masukan yang juga penting untuk diperhatikan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Perubahan Aturan Pengkreditan Pajak Masukan dalam Undang-Undang HPP

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang PPN, definisi Pajak Masukan (PM) adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau JKP dan/atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP. Sedangkan, definisi Pajak Keluaran (PK) adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, JKP, ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud dan/atau ekspor JKP. Lebih lanjut, secara umum definis pengkreditan PM adalah kegiatan mengurangkan jumlah PM dari PK Wajib Pajak. 

Dalam perubahannya pada Undang-Undang HPP, Pemerintah menetapkan perubahan pada beberapa ketentuan pengkreditan PM yang kami rangkum sebagai berikut

  • Menetapkan penghitungan PPN terutang yang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain dapat dikreditkan.

    Hal ini diatur dalam tambahan Pasal 8A ayat (3) Undang-Undang PPN.

  • Menetapkan jumlah PM atas penyerahan yang terutang pajak dan PM yang berkenaan dengan penyerahannya tidak terutang pajak, tidak dapat dikreditkan.

    Hal ini diatur dalam perubahan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN.

  • Menghapus ketentuan pedoman pengkreditan PM bagi PKP yang peredaran usahanya dalam 1 tahun tidak melebihi jumlah tertentu.

    Hal ini diatur dalam perubahan Pasal 9 ayat (7), ayat (7b) dan ayat (7c) Undang-Undang PPN. Lebih lanjut, ketentuan mengenai Pajak Pertambahan Nilai bagi PKP dengan peredaran usaha tertentu diatur secara khusus dalam penambahan Pasal 9A Undang-Undang PPN.

  • Menghapus ketentuan mengenai larangan pengkreditan PM atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. Dengan demikian, per tanggal 1 April 2022, PM atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon dapat dikreditkan.

    Hal ini diatur dalam perubahan Pasal 9 ayat (8) huruf c Undang-Undang PPN.


Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan yang Berlaku di Tahun 2022

Berikut adalah ketentuan pengkreditan PM sesuai dengan perubahan Pasal 9 dan Pasal 9A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

  1. PM dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan PK dalam Masa Pajak yang sama.

    Pengkreditan PM dilakukan paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP.

  2. PKP yang belum melakukan penyerahan dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP dapat dikreditkan PM sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang PPN. 

    Maksimal penyerahan dan/atau ekspor dilakukan 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali. Jika melebihi, maka PM yang telah dikreditkan menjadi tidak dapat dikreditkan dan atas PM tersebut wajib dibayar kembali dan/atau tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian.

  3. Pengkreditan PM hanya dilakukan atas PPN dalam Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang PPN.

  4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PK lebih besar daripada PM, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP namun apabila sebaliknya maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya atau dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.

  5. Atas kelebihan PM berikut dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh PKP yang

    a. Melakukan ekspor BKP Berwujud;

    b. Melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN;

    c. Melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut;

    d. Melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;

    e. Melakukan ekspor JKP

    Pengembalian kelebihan PM kepada PKP berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan

  6. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang PM atas penyerahannya dapat dikreditkan serta dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya dan disisi lain juga melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang PM atas penyerahannya tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang pajak, jumlah PM yang dapat dikreditkan oleh PKP tersebut adalah PM yang berkenaan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang PM atas penyerahannya dapat dikreditkan. 

    Apabila jumlah PM tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah PM yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan.

  7. Pengkreditan PM tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

    a. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha

    b. perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP.

    c. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan.

  8. PM yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikreditkan menggunakan pedoman pengkreditan PM sebesar 80% (delapan puluh persen) dari PK yang seharusnya dipungut.

  9. PM yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan PM.

  10. PM yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok PPN dalam ketetapan pajak sepanjang telah dilakukan pelunasan, tidak dilakukan upaya hukum dan memenuhi ketentuan pengkreditan PM.

  11. PM yang belum dialihkan atas BKP yang dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima pengalihan sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan PM tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.

  12. PKP yang

    a. mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu; 

    b. melakukan kegiatan usaha tertentu;

    yaitu PKP yang antara lain:

    mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan PM;

    - melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan BKP dan/atau JKP maupun pembayarannya; atau

    memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan PPN tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme normal,

    c. melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu,

    Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu merupakan:

    BKP dan/atau JKP yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis pajak; dan

    - BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak

    dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP dengan besaran tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Atas PM yang berhubungan dengan penyerahan oleh PKP tersebut tidak dapat dikreditkan.

Ketentuan besarnya PPN yang dipungut dan disetor oleh PKP dengan kriteria tertentu di atas (poin 12) dilakukan dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan. Hal ini berkaitan dengan perubahan ketentuan mengenai Objek PPN dalam Pasal 4A dan hubungannya dalam perubahan Pasal 16B Undang-Undang PPN. Diharapkan dengan ketentuan besarnya PPN khusus untuk jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang dikabarkan akan diberikan dalam tarif yang sederhana dan “final” dari peredaran usaha sebagaimana disampaikan dalam paparan Undang-Undang HPP dapat memudahkan PKP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 

objek-ppn , pajak-masukan , pengkreditan-pajak-masukan , undangundang-hpp

Apakah PPN termasuk dalam perhitungan harga perolehan?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terdapat dalam Impor aktiva tetap dan pembelian aktiva tetap dapat dibebankan sebagai biaya atau ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Aktiva sepanjang tidak dikreditkan sebagai pajak masukan.

PPN masukan apakah bisa dibiayakan?

PP Nomor 138 Tahun 2000 memang memberi batasan PPN Masukan yang bisa dibiayakan menjadi dua saja. Tapi sepanjang PPN Masukan itu tidak dikreditkan di SPT Masa PPN, maka sah-sah saja hal itu dibiayakan.

Apakah PPN pembelian aset dapat dikreditkan?

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Apa saja komponen harga perolehan?

Komponen dari harga perolehan, yaitu:.
nilai jual..
nilai barang..
nilai taksiran..
nilai perolehan..