Apakah boleh meminta pertolongan kepada selain Allah?

SANTAI AJA – Sebagian besar umat Islam memahami bahwa meminta pertolongan atau memohon pertolongan kepada selain Allah itu dianggap musrik atau dosa besar. Namun KH Buya Syakur Yasin MA memiliki pandangan lain.

Bagi Buya Syakur, musrik atau tidak musrik, hal itu merupakan hak prerogatif Allah. Sehingga manusia tak bisa menentukan atas keyakinan orang lain.

Baca Juga: Benci dengan Seseorang? Simak 3 Cara Menghilangkan Kebencian yang Jarang Diketahui

Menurut KH Buya Syakur Yasin MA, dalam hidup ada yang dengan sendirinya mendapat kemudahan. Ada juga yang memang perlu mendapat bantuan atau rekomendasi orang lain.

“Bolehkan kita dalam beragama meminta rekomentasi (bantuan orang lain)? Ini kemudian menjadi persoalan yang tak pernah sepakat,” ujar Buya Syakur.

Dijelaskan Buya Syakur, rekomendasi ini bahaya Arab berarti Tawasul.

Baca Juga: Hibur Penggemar dalam Program Ngabete, Tegar Septian: Kita Cari Duit yang Halal Saja

Pada hakekatnya, kata Buya Syakur, tawasul ini bukan meminta kepada manusia. Tetapi meminta kepada Allah SWT.

Tawasul ini, menurut Buya Syakur, meminta pertolongan atau bantuan kepada orang lain yang dianggap dekat dengan Allah SWT, agar kita diberi kemudahan oleh Allah SWT dalam segala urusan.


Page 2

“Jadi ketika kita tawasul kepada wali, kita sebenarnya bukan minta sama wali. Tetapi minta kepada Allah SWT. Cuma merasa diri banyak dosa, belum kenal Allah, maka dia meminta rekomendasi kepada wali yang dianggap sudah kenal Allah,” jelasnya.

Baca Juga: Persib Sukses Puncaki Klasemen Liga 1, Victor Igbonefo: Kami Belum Puas!

“Kalau sudah begini perang dalil. Jadi, artinya tawasul ini harus kita maknai meminta rekomendasi kepada seseorang yang dianggap dekat dengan Allah. Bukan meminta kepada manusia,” tandasnya.

Tawasul, menurut Buya Syakur, pada hakikatnya merupakan meminta saling mendoakan, dan itu bukan sesuatu yang dilarang dalam agama Islam.

Baca Juga: BAKOMUBIN Jawa Barat Akan Gelar Pelantikan, Seminar dan Musyawarah Kerja

“Bahkan dalam bacaan sholat pun isi diantaranya saling mendoakan. Ketika ada orang yang meminta didoakan, maka saya pun mendoakan," jelas Buya Syakur.

Baca Juga: Persib Sukses Gilas Persela Lamongan, Robert Alberts: Masih Banyak Kekurangan

“Dan ketika doa itu dikabulkan, itu Allah yang mengabulkan, bukan saya. Inilah kenapa lalu ada doa-doa ingin dimudahkan dalam segala urusan. Misalkan doa ingin dagangan laku, sekolah lancar, dan lain sebagainya,” pungkasnya.

Berikut penjelasan lengkap KH Buya Syakur Yasin MA melalui kanal yutubnya berjudul “Lakukan !! Agar dimudahkan dalam segala Urusan,”. ***


Page 3

SANTAI AJA – Sebagian besar umat Islam memahami bahwa meminta pertolongan atau memohon pertolongan kepada selain Allah itu dianggap musrik atau dosa besar. Namun KH Buya Syakur Yasin MA memiliki pandangan lain.

Bagi Buya Syakur, musrik atau tidak musrik, hal itu merupakan hak prerogatif Allah. Sehingga manusia tak bisa menentukan atas keyakinan orang lain.

Baca Juga: Benci dengan Seseorang? Simak 3 Cara Menghilangkan Kebencian yang Jarang Diketahui

Menurut KH Buya Syakur Yasin MA, dalam hidup ada yang dengan sendirinya mendapat kemudahan. Ada juga yang memang perlu mendapat bantuan atau rekomendasi orang lain.

“Bolehkan kita dalam beragama meminta rekomentasi (bantuan orang lain)? Ini kemudian menjadi persoalan yang tak pernah sepakat,” ujar Buya Syakur.

Dijelaskan Buya Syakur, rekomendasi ini bahaya Arab berarti Tawasul.

Baca Juga: Hibur Penggemar dalam Program Ngabete, Tegar Septian: Kita Cari Duit yang Halal Saja

Pada hakekatnya, kata Buya Syakur, tawasul ini bukan meminta kepada manusia. Tetapi meminta kepada Allah SWT.

Tawasul ini, menurut Buya Syakur, meminta pertolongan atau bantuan kepada orang lain yang dianggap dekat dengan Allah SWT, agar kita diberi kemudahan oleh Allah SWT dalam segala urusan.

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Pada bab sebelumnya penulis membawakan beberapa bentuk kesyirikan seperti menyembelih untuk selain Allah yang secara dzhahir merupakan amal perbuatan tubuh, kemudian bernadzar untuk selain Allah yang berkaitan dengan perkataan. Pada bab ini penulis membawakan kesyirikan isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah yang secara dzhahir berkaitan dengan hati. Meskipun Isti’adzah terkadang terucap dengan perkataan.

الاِسْتِعَاذَةُ Isti’adzah adalah mashdar dari kata kerja اِسْتَعَاذَ ista’aadza yang maknanya طَلَبُ الْعَوْذِ yaitu memohon perlindungan, wazannya (timbangan kata kerjanya) adalah istaf’ala yang pada umumnya menunjukan thalab (permintaan). Sama seperti اِسْتَغَاثَ istaghaatsa yang maknanya طَلَبُ الْغَوْثِ thalabul ghauts yaitu meminta pertolongan dalam kondisi terdesak, اِستَعَانَ ista’ana yang maknanya طَلَبُ الْعَوْنِ thalabul ‘aun yaitu meminta pertolongan.

Isti’adzah atau memohon perlindungan kepada Allah merupakan ibadah yang sangat mulia. Sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa ayat di dalam Al-Quran, Allah berfirman:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Fushshilat : 36)

Pada ayat di atas Allah memerintahkan agar memohon perlindungan kepada Allah. Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam beberapa ayat di dalam Al-Quran, Allah berfirman:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh’.” (QS Al-Falaq : 1)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia’.” (QS An-Naas : 1)

وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan’.” (QS Al-Mu’minun : 97)

Sehingga Isti’aadzah kepada Allah adalah ibadah. Apabila seseorang beristi’aadzah kepada makhluk pada perkara yang mereka tidak mampu atau kepada makhluk yang ghaib maka hal itu adalah kesyirikan.

Secara umum, Isti’adzah terbagi menjadi dua:

  1. Isti’adzah billah (memohon perlindungan kepada Allah) maka itu adalah ibadah dan bukti
  2. Isti’adzah bi ghairillah (memohon perlindungan kepada selain Allah), hukumnya terbagi menjadi dua:
  3. Boleh, yaitu pada perkara yang dimampui oleh makhluk. Seperti : meminta perlindungan kepada polisi dari kejahatan orang yang jahat.
  4. Syirik, yaitu seperti meminta sesuatu yang tidak dimampui oleh makhluk seperti kepada mayat atau meminta perlindungan pada yang ghaib seperti kepada jin.

Penulis menyebutkan 2 dalil.

Dalil Pertama :

Firman Allah ﷻ :

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Bahwa ada beberapa orang laki-laki dari manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, maka jin-jin itu hanya menambah dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6).

Penulis membawakan dua dalil yang menunjukkan bahwa Isti’aadzah kepada selain Allah merupakan kesyirikan. Dalil pertama firman Allah:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Bahwa ada beberapa orang laki-laki dari manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, maka jin-jin itu hanya menambah dosa dan kesalahan.” (QS Al-Jin : 6)

Al-Hafidz Ibnu Katsir didalam tafsirnya berkata,

أَي : كُنَّا نَرَى أَنَّ لَنَا فَضْلًا عَلَى الْإِنْسِ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يعوذون بنا إِذَا نَزَلُوا وَادِيًا أَوْ مَكَانًا مُوحِشًا مِنَ البراري وغيرها، كما كانت عَادَةُ الْعَرَبِ فِي جَاهِلِيَّتِهَا يَعُوذُونَ بِعَظِيمِ ذَلِكَ الْمَكَانِ مِنَ الْجَانِّ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِشَيْءٍ يَسُوؤُهُمْ، كَمَا كَانَ أَحَدُهُمْ يَدْخُلُ بِلَادَ أَعْدَائِهِ فِي جِوَارِ رَجُلٍ كَبِيرٍ وَذِمَامِهِ وَخَفَارَتِهِ… وَقَالَ السُّدِّيُّ: كَانَ الرَّجُلُ يَخْرُجُ بِأَهْلِهِ فَيَأْتِي الْأَرْضَ فَيَنْزِلُهَا فَيَقُولُ: أَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنَ الْجِنِّ أَنْ أُضَرَّ أَنَا فِيهِ أَوْ مَالِي أَوْ وَلَدِي أَوْ ماشيتي

“Yaitu para jin berkata, “Kami memandang bahwa kami punya jasa kepada manusia, karena mereka meminta perlindungan kepada kami jika mereka singgah di lembah atau tempat yang angker seperti padang terbuka atau yang lainnya sebagaimana kebiasaan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, ketika hendak menempati atau melewati suatu tempat, mereka meminta perlindungan kepada jin terbesar penghuni daerah itu agar tidak mengganggu mereka, sebagaimana salah seorang dari mereka masuk ke daerah musuh dengan perlindungan dan jaminan keamanan dan penjagaan dari seorang pemuka di antara mereka…

As-Suddy berkata, “Adalah seseorang keluar bersama keluarganya menuju suatu tempat lalu mereka singgah di situ, maka sang lelaki berkata, “Aku berlindung kepada jin pemimpin lembah ini agar aku tidak mendapat kemudorotan atau mengenai hartaku atau anakku atau hewan tungganganku” ([1])

Al-Qurthubi berkata :

وَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ قَوْلِ الرَّجُلِ إِذَا نَزَلَ بِوَادٍ: أَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنْ شَرِّ سُفَهَاءِ قَوْمِهِ، فَيَبِيتُ فِي جِوَارِهِ حَتَّى يُصْبِحَ

“Yang dimaksud adalah apa yang dahulu mereka (Arab Jahiliyyah) melakukannya, dimana seseorang jika singgah di suatu lembah maka ia berkata, “Aku berlindung kepada pemimpin lembah ini dari kejahatan kaumnya yang bodoh”. Maka iapun bermalam dalam perlindungan sang jin hingga pagi hari” ([2]).

Muqootil berkata :

كَانَ أَوَّلُ مَنْ تَعَوَّذَ بِالْجِنِّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، ثُمَّ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ، ثُمَّ فَشَا ذَلِكَ فِي الْعَرَبِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ عَاذُوا بِاللَّهِ وَتَرَكُوهُمْ

“Yang pertama kali meminta perlindungan kepada jin adalah suatu kaum dari penduduk Yaman, kemudian dari Suku Bani Hanifah, kemudian tersebar di kalangan Arab. Tatkala datang Islam maka mereka berlindung kepada Allah dan meninggalkan para jin” ([3])

Inilah salah satu bentuk kesyirikan yang kaum Jahiliyyah dulu sering lakukan, jika mereka melewati lembah maka mereka meminta perlindungan kepada jin-jin tersebut. Pada asalnya hanya dilakukan oleh sebagian kaum namun lama kelamaan akhirnya tersebar di kalangan bangsa Arab. Dan demikianlah kesyirikan-kesyirikan yang lainnya, pada asalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang namun akhirnya tersebar luas.

Tentang makna فَزَادُوهُمْ رَهَقًا para ulama terbagi menjadi dua dalam menafsirkannya. Pertama, maknanya yaitu menambah ketakutan bagi manusia. Kedua, maknanya yaitu menambah kesombongan bagi para jin. Para jin semakin senang melihat manusia takut kepada mereka dan meminta perlindungan kepada mereka. Hal ini banyak disaksikan di dunia nyata, terlebih di tanah air. Sebagian orang ketika melihat batu besar atau pohon yang tinggi yang diyakini keramat, mereka kemudian memberinya sesajen lalu memohon kepada kepala jinnya agar para jin penunggunya tidak mengganggu mereka. Berlindung kepada jin seperti contoh ini merupakan perbuatan kesyirikan

Qotadah berkata :

فَزادُوهُمْ رَهَقاً أَيْ إِثْمًا وَازْدَادَتِ الْجِنُّ عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ جَرَاءَةً

فَزَادُوهُمْ رَهَقًا Yaitu mereka manusia semakin berdosa dan para jin semakin berani kepada manusia” ([4])

Kemudian diantara dalil lain yang menunjukan haramnya meminta tolong kepada jin adalah firman Allah:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُم مِّنَ الْإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

“Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’am : 128)

Adapun At-Thobari dalam tafsirnya menukil perkataan Ibnu Juraij tentang tafsir ayat di atas dibawakan kepada makna dari surat al-Jin ayat 6. Ibnu Juraij berkata :

كَانَ الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَنْزِلُ الْأَرْضَ فَيَقُولُ: أَعُوذُ بِكَبِيرِ هَذَا الْوَادِي فَذَلِكَ اسْتِمْتَاعُهُمْ، … وَأَمَّا اسْتِمْتَاعُ الْجِنِّ بِالْإِنْسِ…مَا يَنَالُ الْجِنُّ مِنَ الْإِنْسِ مِنْ تَعْظِيمِهِمْ إِيَّاهُمْ فِي اسْتِعَاذَتِهِمْ بِهِمْ، فَيَقُولُونَ: قَدْ سُدْنَا الْجِنَّ وَالْإِنْسَ

“Dahulu lelaki di zaman Jahiliyah singgah di suatu tempat lalu berkata, “Aku berlindung kepada jin pembesar/penguasa lembah ini”, maka itulah kesenangan yang diperoleh manusia dari jin…Adapun kesenangan yang diperoleh jin dari manusia… yaitu pengagungan manusia terhadap para jin tatkala manusia meminta perlindungan kepada para jin. Maka para jin berkata, “Sungguh kita telah menguasai jin dan manusia” ([5])

Perhatikanlah !, Meskipun kepala jin tatkala mendengar permohonan mereka asalnya dia akan mampu memenuhi permintaan mereka, lalu memerintahkan anak buahnya agar tidak mengganggu mereka, akan tetapi tetap saja perbuatan tersebut adalah kesyirikan, karena orang-orang tersebut berlindung kepada sesuatu yang ghaib. Dan meminta pertolongan kepada suatu yang ghoib -selain Allah- adalah kesyirikan.

Selain itu jin juga bermacam-macam, tidak semuanya muslim, ada jin kafir, jin Hindu, jin Budha, jin Ateis, bahkan jin yang muslim pun ada yang berakidah menyimpang sebagaimana halnya manusia. Demikian juga sekalipun jin muslim -sebagaimana manusia- ada diantara mereka yang suka berdusat, terlebih lagi syaithan yang suka berdusta, meskipun sesekali benar tapi hukum asalnya tabiat mereka adalah pendusta. Sebagaimana dalam sebuah hadits ketika syaithan mengajari Abu Hurairah ayat kursi, Nabi bersabda:

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ لاَ، قَالَ : ذَاكَ شَيْطَانٌ

“Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?” “Tidak”, jawab Abu Hurairah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.” ([6])

Lebih dari itu, pada umumnya jin tidak ingin membantu manusia kecuali dengan timbal balik, yaitu manusia harus membayar mahar kepada jin tersebut. Mahar yang dimaksud seperti darah binatang, atau kepala binatang. Hakikatnya itulah bentuk ketundukan dan itulah yang dicari oleh jin. Ketundukan kepada jin merupakan kelezatan baginya, jin sama sekali tidak membutuhkan harta manusia. Jin hanya butuh ketundukan dan pengagungan dari manusia. Disitulah letak kesyirikannya.

Diantara dalil tidak bolehnya meminta tolong kepada jin adalah Rasulullah sendiri tidak pernah meminta tolong kepada jin. Ketika kalung ‘Aisyah hilang maka Nabi tidak pernah meminta tolong kepada jin. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam butuh pasukan yang banyak saat perang Badar melawan kaum musyrikin, Nabi tidak pernah meminta bantuan Jin.

Dalil-dalil di atas menunjukan tidak bolehnya seseorang minta tolong kepada jin.

Sangat disayangkan di tanah air kita, banyak tersebar fenomena seseorang yang punya khadam, dia merasa mempunyai jin yang dikuasinya dan bisa diperintah olehnya. Padahal hakikatnya dialah yang dikuasai oleh jin, karena jin pasti meminta syarat-syarat, yang jika dituruti maka dia telah terjatu ke dalam kesyirikan.

Dalil Kedua :

Khaulah binti Hakim menuturkan: “aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

((مَنْ نَزَلَ مَنْـزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مًنْـزِلِهِ ذَلِكَ))

“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia berdo’a:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalam Allah yang maha sempurna dari kejahatan semua mahluk yang Ia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempatnya itu.” (HR. Muslim).

Penulis membawakan hadits ini seakan-akan ingin memberitahu para pembaca bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam punya solusi untuk berlindung dari keburukan-keburukan makhlukNya. Jika orang-orang Arab jahiliyah mereka memohon perlindungan kepada kepala Jin, maka Nabi mengajarkan doa ini untuk berlindung kepada Allah dari keburukan para makhluk-Nya.

Apabila seseorang melewati lembah, melewati padang pasir, atau tempat-tempat lainnya, maka hendaknya dia berdoa dengan doa yang diajarkan Nabi:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalam Allah yang Maha sempurna dari kejahatan semua mahluk yang Ia ciptakan”

Maka tidak ada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempat itu.

Hadits ini juga menjadi dalil bahwa kalamullah bukanlah makhluk tetapi sifat Allah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mengajarkan agar berlindung dengan makhluk-Nya, dimana telah dimaklumi bahwasanya berlindung dengan makhluk adalah kesyirikan. Sehingga manusia boleh saja bersumpah dengan Al-Quran karena bersumpah dengan sifat Allah hukumya tidak mengapa. Yang tidak diperbolehkan adalah bersumpah dengan makhluk. Nabi bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik.” ([7])

Kalamullah bisa ditinjau dari dua hal.

Pertama, ditinjau dari sisi asalnya, yaitu pada asalnya sifat kalamullah itu qadim atau azali, artinya sifat kalam-Nya telah menyertai keazalian Dzat Allah, bukan sifat yang muncul kemudian. Hal ini sama halnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, seperti sifat mendengar-Nya, sifat melihat-Nya, dan sifat-sifat lainnya, semua sifat-sifat ini telah menyertai keazalian zat Allah. Atau dengan kata lain Dzat Allah yang azali adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat yang azali juga diantaranya sifat kalaam (berbicara).

Hal ini berbeda dengan manusia, pada saat dilahirkan manusia belum dapat berbicara, barulah kemudian seiring bertambahnya umurnya dan selalu mendengarkan pembicaraan orang-orang di sekelilingnya akhirnya dia dapat berbicara. Ada yang bisa berbicara di usia 2 tahun, ada yang di usai 4 tahun. Intinya sifat berbicara itu datang setelah melalui beberapa tahapan, bukan lahir kemudian langsung bisa berbicara. Sehingga semakin cepat seorang manusia bisa berbicara maka semakin sempurna ia. Seperti mukjizat Nabi Isa ‘alaihis salam yang diberi kemampuan langsung bisa berbicara setelah dilahirkan. Allah berfirman:

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ ۖ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا، قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا

“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?’; erkata Isa, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi’.” (QS Maryam 29-30)

Inilah salah satu kelebihan Nabi Isa dibanding manusia-manusia lain. Akan tetapi Nabi Isa itu dahulu tidak ada kemudian ada. Dan bahkan pendapat yang benar bahwasanya Nabi Isa setelah bisa berbicara tatkala masih kecil maka beliau tidak terus berbicara hingga dewasa, akan tetapi beliau hanya berbicara sementara waktu untuk menjelaskan bahwa beliau seorang Nabi dan menjelaskan kesucian ibunya -Maryam- yang dituduh berzina. Setelah itu beliau menjadi seperti bayi biasa kembali yang tidak berbicara.

Adapun Allah sejak azali sudah ada dan sudah mampu berbicara.

Adapun sekte Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa Allah terdiri atas Dzat dan Sifat, dimana Dzat-Nya azali namun Sifat-Nya adalah makhluk yang tidak azali. Seandainya sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, berbicara dan sifat lainnnya itu azali berarti Tuhan itu berbilang, karena diantara sifat utama Tuhan adalah azali, tidak ada yang boleh azali kecuali Dzat Tuhan. Mereka membayangkan bahwa Dzat terpisah dari sifat. Dan yang merupakan Tuhan adalah DzatNya semata. Maka jika ditetapkan ada 2 sifat yang azali seperti sifat Mendengar dan sifat Melihat, maka Tuhan itu ada 3 yaitu Tuhan Allah, Tuhan Mendengar, dan Tuhan Melihat.

Tentu ini adalah logika yang aneh. Pemahaman seperti ini muncul karena terpengaruh oleh ilmu filsafat. Sehingga dari situlah Mu’tazilah mayakini Al-Quran itu makhluk yang tidak azali, karena Al-Qur’an adalah perkataan (pembicaraan) Allah, yaitu sifat Allah, sementara sifat-sifat Allah adalah makhluk. Adapun Ahlussunnah, mereka meyakini bahwa Allah itu azali beserta sifat-sifatNya diantaranya sifat berbicara-Nya.

Kedua, kalamullah ditinjau dari sisi topik/isi pembicaraannya atau kapan Allah berbicara?, maka sifat berbicara Allah itu haadist (baru terjadi), artinya Allah akan berbicara jika Dia berkehendak. Allah bisa berbicara sejak zaman azali, tetapi kapan Allah berbicara itu terserah Allah, dan itulah tanda kesempurnaan dari sifat berbicara. Semisal firman Allah di dalam Al-Quran:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir’.” (QS Al-Kafirun : 1)

Maka perkataan ini difirmankan oleh Allah pada zaman Nabi Muhammad dan bukan pada zaman Nabi Musa. Begitupula ketika terjadi dialog antara Allah dan Nabi Musa sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Quran:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ، قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?; Berkata Musa, ‘Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” (QS Thaha : 17-18)

Maka perkataan ini difirmankan oleh Allah pada zaman Nabi Musa dan bukan pada zaman Nabi Adam. Sehingga dari sisi topik kalam itu adalah sesuatu yang baru. Jika diistilahkan:

الْكَلَامُ قَدِيْمٌ النَّوْعِ حَدِيْثُ الْاَحَدِ

“Kalamullah secara asalnya adalah qadim tetapi topiknya adalah baru”

Kemudian Kalamullah itu tidak ada batasnya dan tidak ada habisnya. Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi:

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“Katakanlah, ‘Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)’.” (QS Al-Kahfi : 109)

Allah juga berfirman dalam surat Luqman:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Luqman : 27)

Sifat kalamullah tidak ada ujungnya. Kalamullah bukan hanya Al-Quran, Al-Quran hanyalah bagian dari kalamullah, begitupun dengan kitab-kitab suci samawi yang lain (seperti Taurot, Zabur, dan Injil).

Al-Qurthubi ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Kabar (hadits) ini shahih dan merupakan ucapan yang jujur. Kami telah mengetahui akan kebenarannya secara dalil dan secara praktek. Semenjak aku mendengarnya aku selalu membacanya dak aku tidak pernah tertimpa apapun sampai aku pernah meninggalkannya. Suatu hari di suatu kota aku disengat kalajengking pada malam hari. Lalu aku merenungkan mengapa bisa demikian, ternyata aku lupa membaca doa tersebut.”([8])

Kandungan bab ini:

  1. Penjelasan tentang maksud ayat yang ada dalam surat Al Jin.
  2. Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik.
  3. Hadits tersebut di atas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama, merupakan dalil bahwa kalam Allah itu bukan makhluk, karena minta perlindungan kepada makhluk itu syirik.
  4. Doa ini sangat utama walaupun singkat.
  5. Sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dunia, baik dengan menolak kejahatan atau mendatangkan keberuntungan tidak berarti sesuatu itu tidak termasuk syirik.

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

______________________

([1]) Tafsir Ibnu Katsir 8/252

([2]) Tafsir Al-Qurthubi 19/10

([3]) Tafsir Al-Qurthubi 19/10

([4]) Tafsir Ibnu Katsir 8/252

([5]) Tafsir At-Thobari 9/556

([6]) HR Bukhari no. 2311

([7]) HR Ibnu Abi Hatim

([8]) Futuhat Rabbaniyah, Ibnu Allan, 3/100